Tanah Sharaya
11
494
Husain! Di tanah Sharaya ini kita harus berpisah. Selamat jalan sayang. Sampai kapan pun kamu akan selalu ada di hati umi.
Oleh. Ghumaisha Gaza
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kota suci terasa kian membara. Mentari menyengat membakar debu-debu khilaf setiap insan yang bersujud mesra. Tak terasa semilir rindu menyelinap dalam kalbu. Mengalirkan tangis menyayat hati yang pilu. Aminah menggunakan khimar hitamnya mengusap pipi merahnya yang telah basah. Di belakangnya ada tembok berpagar yang kokoh dan panjang. Aminah tampak makin kecil kala terus tersedu sambil memeluk sehelai pakaian di dadanya. Aroma pakaian itu membuat air matanya kian mengalir deras.
"Dan di tanah Sharaya ini umi 'kan menyemai rindu. Sebagaimana harapanmu, semoga kamu bersama barisan orang-orang yang beruntung. Umi pamit, Nak, umi pamit!"
Angannya menatap satu per satu wajah yang nyaris sama. Aminah mengatur napasnya dan berusaha menghentikan kesedihannya. Ia sadar bahwa ia adalah tamu Allah, tamu yang sejatinya harus berserah diri. Pasrah atas apa yang telah dan akan menimpanya. Namun wajah yang ia rindukan senyumannya itu menjadikan dadanya terasa sesak dan remuk redam.
****
Swissotel Al Maqam Makkah yang terletak di kawasan kompleks Abraj El Bait memiliki jarak yang cukup dekat dengan Masjidilharam. Aminah dan keluarganya yang menginap di hotel tersebut hanya perlu berjalan kaki beberapa menit saja jika ingin beribadah ke sana. Pesona Ka'bah yang megah juga menjadi pemandangan indah di kamarnya. Hari ini ia baru saja melaksanakan umrah. Sedikit menyisakan lelah karena dilaksanakan sesegera mungkin setibanya di Jeddah dan sesaat setelah memasuki Makkah. Dengan segala fasilitasnya, hotel ini sudah lebih dari cukup untuk istirahat tubuhnya. Tetapi ternyata tidak serta-merta bagi hatinya.https://narasipost.com/sastra/03/2021/temani-aku-abi-aku-merindumu/
Dipandanginya Husain yang masih mengenakan pakaian ihram, sejak tadi hanya duduk di atas kursi rodanya di depan jendela sambil memandangi Ka'bah. Aminah mencoba memecah kebisuan di antara mereka berdua. Ia duduk di sofa kemudian berkata, "Sebentar lagi Magrib sayang, segera ganti pakaianmu!"
Aminah hanya menghela napas ketika Husain sama sekali tidak menghiraukan kata-katanya. Ia lalu berkata lagi, "Hasan sudah terbang dari Kairo sekitar satu jam yang lalu. Husni dari Madinah sebentar lagi sepertinya akan tiba."
Akhirnya Husain mengangguk pelan. Tak lama ia pun menggerakkan sedikit kursi rodanya dan bangkit lalu berjalan pelan mendekati Aminah. "Umi jangan terlalu khawatir ya, aku baik-baik saja. Pokoknya aku, Hasan, Husni akan tawaf di lantai dasar dan menyentuh Ka'bah, aku ingin beribadah tanpa kursi roda, biar Umi sama Abi juga tidak repot harus mendorongku. Aku kuat kok, Mi. Jemaah umrah sedang banyak Mi, kalau aku pakai kursi roda terus aku hanya akan diizinkan untuk tawaf di lantai atas."
Aminah menarik napas dalam-dalam lalu berbicara dengan hati-hati. "Sabar sebentar ya, kamu harus menghemat tenaga. Jangan sampai kesehatanmu drop. Lusa jadwal hemodialisis. Abi sedang memastikan kendaraan apa yang nanti akan dipakai ke rumah sakit."
Tidak ada kata apa pun yang terdengar oleh Aminah. Husain hanya diam dengan air muka yang tiada berseri. Tak lama azan Magrib berkumandang. Aminah segera ke kamar mandi setelah mengusap kepala Husain sejenak. Di kamar mandi, Aminah memandangi sesaat wajahnya di depan cermin. Ia lalu menjatuhkan tubuhnya dan memeluk lututnya erat. Air mata yang ia tahan akhirnya terjatuh juga.
"Dari hasil tes dan pemeriksaan yang telah dilakukan, hasilnya menunjukkan ada penurunan fungsi ginjal secara bertahap pada Nak Husain."
Meski disampaikan dengan sangat hati-hati, namun penjelasan dokter yang masih terngiang-ngiang hingga hari ini seperti sayatan pisau yang melukainya. Seiring berjalannya waktu, luka itu terasa makin melebar dan tak pernah kering bagi Aminah. Hatinya risau menghadapi kenyataan yang terasa berat ini. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi pada satu di antara tiga anak kembarnya?
"Kondisi ini biasa disebut dengan gagal ginjal kronis. Kondisi di mana ginjal tak mampu berfungsi lagi dengan baik."
Aminah terus terisak di kamar mandi sambil sesekali membekap mulutnya sendiri agar tangisnya tidak terdengar.
"Menurut pengetahuan manusia yang lemah dan terbatas, gagal ginjal kronis memang tidak dapat sembuh sepenuhnya. Kita hanya bisa berupaya memperlambat perkembangan gagal ginjal tersebut agar tidak makin parah. Selagi Nak Husain bisa mengikuti perawatan dan arahan medis, insyaallah masih memiliki kesempatan untuk bisa menjalani kehidupannya dengan baik. Selebihnya kita serahkan pada Allah Swt. Bagaimanapun Allahlah yang memiliki kehendak."
Bagi Aminah, vonis dokter dua tahun lalu itu bagai petir di siang hari yang cerah. Kala itu Hasan, Husain, dan Husni, ketiga anak kembar identiknya tersebut sedang kuliah tingkat dua di Timur Tengah. Meski ketiganya memiliki kecenderungan yang sama dalam ilmu syariat namun ternyata masing-masing memilih tempat kuliah yang berbeda.
Husain adalah mahasiswa Ulum Islamiyah Universitas Al-Ahgaff Yaman. Saat itu merupakan kepulangan mereka bertiga yang pertama kali ke tanah air setelah melalui separuh perjalanan menimba ilmu di luar negeri. Semua tampak baik-baik saja hingga beberapa hari kemudian Husain jatuh sakit dan vonis dokter itu seakan meruntuhkan menara cita-citanya. Husain harus berhenti kuliah karena diagnosis dokter menyatakan bahwa sakitnya telah memasuki stadium akhir.
"Apa kamu belajar terlalu keras, Nak? Apa yang terjadi selama di Yaman? Apa yang luput dari perhatian umi terhadapmu?" Pertanyaan tersebut selalu menggelayuti perasaan Aminah bahkan hingga hari ini. Ia sudah sekuat tenaga untuk rida dengan segala ketetapan Allah. Tetapi entah mengapa menjelang kelulusan Hasan dari Universitas Al-Azhar Kairo dan Husni dari Universitas Islam Madinah menyisakan luka di belahan hatinya yang lain. Aminah turut tenang dan bahagia atas pencapaian Hasan dan Husni yang sebenarnya berat pula saat itu untuk melanjutkan kuliah mereka. Tetapi bagaimana ia harus bersikap di hadapan Husain saat ini?
Aminah segera menghapus air matanya. Setelah berwudu dan menenangkan diri sesaat, akhirnya Aminah pun keluar untuk menemui Husain lagi.
***
"Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu (ajal), maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya¹." ucap Abdulkarim membacakan sebuah ayat kepada Aminah seraya mengusap punggung Aminah lembut. "Kita harus yakin, Mi, jika semua yang terjadi, baik buruknya, itu datang dari Allah."
Aminah mengangguk pelan lalu menatap wajah suaminya sesaat. Rasanya akhir-akhir ini jarang sekali mereka berbicara berdua dalam waktu yang lama. Semenjak Husain sakit, perhatiannya memang seakan hanya pada Husain saja, apalagi dalam perjalanan umrah kali ini.
Abdulkarim kembali berbicara, "Coba Umi ingat, selama dua tahun ini, ada di antara keluarga kita, sahabat, dan teman-teman yang telah mendahului kita, padahal sebagiannya kita anggap sehat dan baik-baik saja. Mereka juga telah mendahului Husain yang kita khawatirkan setiap harinya. Untuk itu memang sudah selayaknya kita senantiasa menyiapkan diri, melapangkan dada, untuk bisa menerima apa pun keputusan Allah."
"Tentu, untuk Husain kita harus terus berdoa memohon yang terbaik."
Aminah sekali lagi hanya mengangguk. "Iya, Abi betul." Ia kemudian menghela napas panjang. "Umi telah memelihara takut akan kehilangan Husain, padahal setiap kita pun sedang berjalan pada kematian."
Abdulkarim kembali mengusap punggung Aminah kemudian mengajaknya untuk beranjak. Sudah cukup lama mereka berada di pelataran rumah Sakit An Nur Jabal Tsur, Makkah. Kini Aminah merasa cukup lega karena Husain bisa melakukan cuci darah tepat waktu setelah berbagai administrasi yang harus dilengkapi bahkan jauh sebelum keberangkatan mereka ke tanah suci.
Di dalam ruangannya, Husain hanya diperbolehkan untuk ditunggui oleh satu orang saja. Pada satu jam terakhir proses cuci darah, Aminah kembali menemani Husain.
"Sebahagia itu kamu!" Seru Aminah melihat Husain yang duduk di ranjang pasien tampak tersenyum riang. Padahal biasanya Husain mudah bosan ketika menunggu proses cuci darah yang bisa berlangsung sampai empat jam. Apalagi jika ia merasa mual dan sakit kepala, proses cuci darah menjadi sesuatu yang menyiksanya.
Namun dalam duduk tegaknya Husain kini tampak berseri-seri. "Kata Umi aku 'kan memang orang normal seperti yang lain, yang membedakan hanya cuci darah seminggu dua kali. Jadi nanti sore atau malam aku akan pergi bersama Hasan dan Husni ke Masjidilharam, beribadah sepuasnya!"
Aminah tersenyum. "Bagaimanapun kamu tetap harus menjaga kesehatan! Jangan kecapekan ya, besok siang kita akan ke Madinah."
Husain mengangguk sambil memicingkan matanya, "Iya Umi! Aku 'kan sudah bilang kalau aku mau beribadah bukan yang lain!"
Aminah tersenyum lagi lalu mengusap kepala Husain. Dipandanginya lengan kiri Husain yang tersambung dengan mesin cuci darah. Aminah kemudian hanya duduk di kursi samping Husain. "Kamu tidak mau istirahat, Nak? Tidur atau berbaring?"
Husain menghela napas. "Dari tadi saat bersama Hasan atau Husni mereka mengajakku berbicara terus." Husain diam sejenak. "Tetapi aku juga asyik mendengarkan mereka. Meski aku jadi kangen Yaman, Mi, kangen kuliah di sana lagi. Akhir-akhir ini juga banyak teman-teman sekelasku waktu itu yang menghubungiku. Menanyakan kabarku bahkan ada yang curhat soal ujian. Hah! Ada-ada saja ya, Mi?"
Aminah turut tersenyum. Ia memandang wajah Husain dengan hati yang berkecamuk. Ini wajah yang sangat umi rindukan. Umi rindu riang wajahmu, Nak!
"Saat dulu aku divonis gagal ginjal kronis, aku merasa hancur, Mi. Bagaimana bisa itu terjadi padaku? Padahal aku hidup sebagaimana teman-temanku, kita tinggal dan makan bersama, ke kampus bersama, bergadang untuk menghafal pelajaran atau muraja'ah bersama. Tetapi mengapa hanya aku? Mengapa hanya aku yang tak bisa kembali ke Yaman untuk melanjutkan kuliahku? Aku merasa saat itu aku tak memiliki harapan lagi. Semua mimpiku seakan lenyap begitu saja. Menjalani cuci darah dua kali sampai tiga kali seminggu itu rasanya melelahkan. Aku takut menghadapi kematian tetapi tak berdaya menjalani kehidupanku."
Husain berbicara sambil terus tersenyum. "Seiring berjalannya waktu, karena Abi dan Umi selalu ada, menguatkan serta mendampingi, aku mulai terbiasa dengan kehidupan baruku. Hasan dan Husni sekalipun kita berjauhan tetapi selalu mendukungku. Mereka bisa memberikan akses belajar online bersama masyayikh Mesir ataupun Madinah. Mengirimkan berbagai kitab dan lain-lain. Hingga aku merasa aku pasti bisa menjalani kehidupanku. Dan perjalanan ke tanah suci ini menjadikan aku semakin sadar, Mi, Allah ingin aku menjadi hamba-Nya yang lebih baik dari hari ke hari. Aku sangat senang berada di Makkah, aku ingin berdoa di tempat dan di waktu yang mustajab, semoga aku termasuk hamba-Nya yang beruntung."
Aminah menarik napas dalam-dalam. Ada air yang membasahi netranya. Allah memilihmu karena kamu memang istimewa, Nak.
"Maafkan aku ya, Mi, pasti sering sekali aku merepotkan Umi."
Aminah menggeleng. Diusapnya air yang hampir membasahi pipinya itu dengan cepat. Aminah kini menatap wajah Husain sambil tersenyum. Tak lama Husain pun membaringkan tubuhnya dan memejamkan matanya. Aminah mengusap-usap kepala Husain lembut. Aminah kembali tersenyum. Bayi mungilnya itu ternyata telah menjelma menjadi pemuda dewasa.
****
Langkah Abdulkarim terasa berat menerobos padatnya jemaah yang baru saja menyelesaikan salat Subuh. Di belakang Abdulkarim, Hasan begitu terengah-engah menggendong Husain di punggungnya. Sementara Husni yang berjalan di belakang Hasan dan Husain pun sesekali hanya menghapus air matanya. Tibalah mereka di perbatasan saf salat jemaah wanita. Langkah mereka semua terhenti ketika melihat Aminah yang masih duduk di atas sajadahnya. Menyadari kedatangan mereka, Aminah pun bangkit perlahan.
Husain tampak terkulai dan matanya terpejam. Dengan suara yang bergetar Aminah bertanya, "Apa yang terjadi?"
Semuanya hanya terdiam. Sementara napas terengah-engah Hasan semakin terdengar di antara kesunyian mereka. Dalam keadaan tenang Abdulkarim meminta Hasan untuk membaringkan Husain di atas sajadah Aminah. Kemudian meminta Husni untuk mengambilkan segelas air zamzam. Aminah menatap Abdulkarim menanti jawaban atas pertanyaannya. Tetapi Abdulkarim pun hanya membalas dengan tatapan memohon agar Aminah tetap tenang.
Aminah segera mendekati Husain. Mulut Husain tampak terbuka sedikit dan napasnya tampak berat. Aminah mencium tangan kanan Husain kemudian bersimpuh dan berbicara di dekat telinganya, "Apa yang terjadi, Nak, apa yang terasa?"
Hasan di dekat Aminah berkata lirih, "Kita sedang berzikir dan berdoa Mi, tiba-tiba Husain menelungkup ke pangkuan Abi. Padahal sebelumnya Husain tidak mengeluhkan apa pun, sejak kedatangan kita ke sini juga tidak ada tanda-tanda kesakitan atau kelelahan."
Aminah menghela napas panjang, "Husain, Husain, sayang, ini umi, Nak!" Bisiknya. Husain dengan mata terpejamnya tiba-tiba menitikkan air mata.
"Apa yang terasa, Nak? Apa ada yang sakit? Mau minum dulu? Kita ke rumah sakit sekarang, ya?" Aminah segera menoleh pada Abdulkarim dan Husni yang sedang memegang segelas air zamzam.
"Panggil askar (tentara penjaga)!" pinta Abdulkarim pada Husni. Namun tiba-tiba Husain menggerakkan tangannya, memberi isyarat kepada semuanya untuk tidak ada yang meninggalkannya. Abdulkarim menatap wajah Husain dengan segala gemuruh di dadanya.
Aminah menggelengkan kepalanya kemudian mengangkat tubuh Husain ke dalam pangkuannya. Aminah mengusap dada Husain lembut. Air matanya mengalir deras. Kemudian ia memegang erat tangan Husain yang terasa dingin. Abdulkarim yang berusaha tenang kini tampak meneteskan air mata, ia lalu mengusap kepala Aminah terlebih dahulu. Aminah menahan suara tangisnya. Abdulkarim kemudian mendekat ke telinga Husain dan berbicara dengan sangat lembut menuntun Husain dengan sebuah kalimat, "Laa ilaaha illallaah!"
***
Aminah terpaku memandang hamparan tanah dengan bongkahan batu sederhana di pemakaman Sharaya yang terletak di pinggiran kota Makkah. Setiap jemaah haji maupun umrah yang wafat di Makkah harus dimakamkan di sana. Tidak ada nama atau tulisan apa pun pada nisan-nisannya. Seorang wanita tidak diperkenankan untuk masuk ke area pemakaman tersebut. Air mata Aminah kembali berlinang seraya memandang jauh ke arah makam Husain berada. Husain dimakamkan sekitar pukul sembilan waktu Makkah. Proses yang terasa cepat sejak Husain mengembuskan napas terakhirnya bada Subuh tadi di depan Ka'bah.
Aminah kembali mencium pakaian Husain yang ada di genggamannya. Pakaian yang masih menyimpan aroma tubuh Husain itu membuat Aminah merasakan lagi detik-detik kepergian anak tercintanya. Suatu gelombang yang datang tiba-tiba tanpa kepalsuan. Tak ada pilihan yang dapat menolak harinya seperti mereka telah menerimanya.(Syair Umar Bin Khattab, Kitab At-Tadzkirah)
Aminah mengingat syair itu sambil terus terisak.
"Tahukah engkau ,Nak ! Saat Abi mengucapkan kalimat istirja, umi benar-benar tak percaya. Yang umi ketahui kamu pergi dengan riang gembira untuk salat malam bersama Hasan dan Husni. Kamu layaknya orang yang sehat malam itu. Sungguh umi tak menyangka kamu akan pergi saat Subuh tiba.
Umi guncangkan tubuhmu pelan, tetapi tak ada respons apa pun. Umi dekap erat tubuhmu, berharap ada seembus napas yang dapat terdengar. Tetapi kamu tetap diam, Nak. Umi panggil namamu beberapa kali tetapi kamu tetap tak bergerak sama sekali.
Husain, umi rindu kamu, Nak! Kini umi seakan berjalan dalam kehampaan, melihat persis wajahmu pada wajah Hasan dan Husni membuat rindu makin menggebu. Bagaimana umi 'kan mengobati luka ini, Nak? Bagaimana umi 'kan kembali ke rumah tanpa kehadiranmu? Husain, bagaimana langkah umi akan tetap kokoh sementara umi 'kan meninggalkanmu sendiri di tanah ini?
Saat ribuan jemaah umrah menyalatkanmu di Masjidilharam, umi makin tak kuasa berdiri. Saat kamu mulai pergi ke tanah Sharaya ini, seketika itu sekeliling umi terasa gelap. Dan sekarang umi benar-benar tak mampu memandang wajahmu lagi.
Husain! Di tanah Sharaya ini kita harus berpisah. Selamat jalan sayang. Sampai kapan pun kamu akan selalu ada di hati umi.
Selesai.
¹TQS. Yunus: 49
²Syair Umar Bin Khattab, Kitab At-Tadzkirah
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
Mengharu biru ceritanya Mbak
Masyaallah, sedih ceritanya. Mungkin banyak ya kondisi-kondisi seperti ini saat beribadah haji. Barakallah ..
MasyaAllah, Barakallah mba. Ceritanya sangat menyentuh. Jadi ikutan naggis bacanya. Moga Allah selalu menguatkan kita saat apapun diambil kembali oleh-Nya, termasud orang-orang yang kita sayang. Aamiin
Ibunya teman meninggal saat imenunaikan badah haji kemarin.
Katanya dimakamkan di Makkah (pemakaman Sharaya).
Saya waktu itu bertanya-tanya tentang tanah Sharaya, tapi belum sempat mencari tahu lebih jauh.
Alhamdulillah, dengan membaca cerpen Mbak Ghumaisa Gaza ini, saya jadi mengetahuinya.
Betapa sedih hati seorang ibu ketika putranya yang dicintainya meninggalkannya utk selama-lamanya. Namun takdir tak bisa ditentang. Buatku terenyuh membacanya kisah keren ini.
"Saat dulu aku divonis gagal ginjal kronis, aku merasa hancur, Mi. Bagaimana bisa itu terjadi padaku?"
Aku paham sekali rasa ini ...
Cerita yang keren mbak, menyadarkan kita arti kehidupan yang harus diisi dengan amal untuk bekal di sana.
Bagus banget ceritanya. Saya jadi tau tentang Tanah Sharaya. Barakallaah mbak
MasyaaAllah, ceritanya dikemas dengan penggambaran yang menggugah.
Masyaallah. Ceritanya mengharu biru mba. Langsung baper begitu selesai membacanya. Seolah-olah kita ada di sana. Barakallah mba
Cerita teh Erni selalu keren. Bagi pembacanya seakan ikut merasakan kesedihan yang dirasakan uminya Husain..
[…] https://narasipost.com/challenge-np/09/2023/tanah-sharaya/ […]