Air Mata Ibu
4
177
Ibu menunduk dan air mata menetes dari netranya. Tak terasa buliran air mata menetes mengenai kerudungku.
Oleh. Iha Bunda Khansa
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Perempuan tua itu duduk di teras rumah yang dikelilingi tanaman hias dan beberapa pohon cabai. Sejak kepergian sang suami 10 tahun lalu, kini ia tinggal bersamaku, putri satu-satunya. Anak laki-laki pertama sudah menikah dan tinggal di Cirebon. Anak laki-laki yang kedua bekerja di Surabaya.
"Atikah, tolong ambilkan kacamata ibu di atas meja makan, ibu belum selesai membaca," panggilnya.
"Sebentar, Bu, Tikah sedang masak telur, nanti Tikah antarkan," ujarku dari dapur.
Ibuku, Hj. Rokayah usianya menginjak 78 tahun, salah satu hobinya adalah membaca, selain Al-Qur'an yang rutin dibacanya tiap habis magrib dan seusai salat subuh. Suaranya terdengar nyaring, juga bacaan tahsin-nya bagus. Tak heran ketika masih sekolah suka ikut lomba musabaqah tilawatil Qur'an di kampungnya.
Beruntung ibu mempunyai anak-anak yang sangat menyayanginya. Anak pertamanya walaupun jauh, tetapi hampir dua hari sekali menelepon, menanyakan kesehatan dan tentu membantu kebutuhan tiap bulannya. Sama halnya dengan anak kedua yang sudah cukup umur, tetapi belum menemukan wanita sebagai pendamping hidupnya. Walaupun sibuk, tetapi tidak meninggalkan kewajiban dakwahnya, alangkah beruntungnya perempuan yang kelak mendampinginya.
"Bu, ini kacamatanya, aku menyerahkan kacamata sambil duduk di sebelahnya.
" Wah … Ibu sedang membaca buku kisah istri-istri Rasulullah?" tanyaku lagi.
"Ya, betul, Tik, ibu sangat terharu saat membaca salah satu istri nabi yang bernama Mariyah al-Qibtiyah, beliau ditinggal putra satu-satunya yang masih kecil.
"Oh, ya, Bu, kita makan dulu ya, Tika sudah masak sayur bayam kesukaan ibu dan telur dadar."
"Baik, Nak, bantu ibu ya bawakan cangkir bekas minum susu."
Sebagai putri bungsu, aku mengurungkan niat untuk melanjutkan kuliah di Bandung. Selepas SMA aku berniat menemani ibu di rumah, meskipun ibu menyuruh melanjutkan kuliah di Bandung. Aku menolaknya dengan beberapa alasan. Aku berencana usaha membuat makanan ringan untuk dititipkan di warung-warung, jadi bisa sambil menemani ibu.
Banyak pelajaran membersamai ibu di usia senjanya, nasihat yang membuat hati tenang, tetapi kadang kala ada perilaku ibu yang sensitif dan agak rewel. Sebagai anak tentu harus memaklumi, bersabar, dan ikhlas merawatnya. Siapa lagi kalau bukan anaknya? Inilah kesempatan untuk berbakti pada orang tua, terutama ibu yang telah melahirkan.
Baca: luka-pengasuhan-dan-perjuangan-untuk-pulih/
Doaku selalu untuk ibu, semoga diberikan kesehatan dan di usia senja tenang hatinya serta diberikan kesehatan dan keberkahan.
"Tikah, nanti sore temani ke taman ya, ibu ingin duduk-duduk," pinta ibu.
"Baik, Bu, tapi Ibu istirahat dulu ya, nanti Tikah bangunkan. Setelah salat asar, kita ke taman."
Alhamdulillah, rumah peninggalan almarhum ayah cukup luas. Ayah rajin bertanam beberapa pohon buah-buahan seperti pohon mangga. Meski usianya cukup lama, buahnya masih bisa dinikmati anak cucunya. Ada saung yang cukup luas untuk berkumpul keluarga, biasanya jika liburan dan Lebaran bisa untuk ngaliwet (makan-makan). Semoga Lebaran nanti kakak-kakak dan keponakan kumpul.
Aku terkejut mendengar samar-samar suara tangisan, tetapi terhenti saat kuketuk kamar ibu.
"Ibu … boleh Tikah masuk?"
"Masuklah, Nak."
Aku menghampiri ibu, duduk di pinggir tempat tidurnya. Kulihat ibu menyeka air mata dengan kerudungnya. Sambil matanya menatap jauh seolah teringat seseorang yang dicintainya.
"Bu, kenapa menangis? Apa yang Ibu pikirkan?"
Ibu terdiam dan sambil sesenggukan bercerita teringat cucu perempuannya yang sudah tiada, menyusul kakeknya. Nayla, cucu perempuan pertama dari anak pertama menghadap Allah di usia remaja. Anaknya salihah, baik, penurut, dan rajin membaca Al-Qur'an. Aku pun sebagai tantenya sayang sekali. Setahun lalu, kematian yang mendadak telah memisahkan kedua orang tuanya yang sangat menyayangi, apalagi ibundanya. Anak yang tidak pernah berpisah sejak bayi sampai di usia remaja itu telah pergi. Kami keluarga besar juga merasakan kehilangan.
"Tikah, ibu rindu, kangen sama Nayla, keponakanmu yang sudah menghadap Allah. Masih teringat anaknya cantik, salihah, penurut, dan menyenangkan," celoteh ibu.
"Saat dia lahir ke dunia, ibu yang mengumandangkan azan ke telinganya karena ayahnya sedang ke luar kota sehingga tidak bisa menemani. Ibulah yang menemani," ujarnya lagi.
Ibu terus bercerita. Saat masih SD kelas 4, Nayla membaca hafalan surah Ar-Rahman, lancar dan yang mendengarnya juga takjub.
Anak yang menyenangkan, tetapi Allah lebih mencintai daripada kedua orang tua dan keluarga besarnya.
Kuusap lembut air mata ibu, kucium keningnya penuh kasih sayang.
"Ibu … aku juga rindu Nayla."
Aku berusaha menghiburnya dengan penuh kasih, berharap beliau bersabar, juga kakakku yang telah kehilangan buah hatinya, putri kesayangannya di dunia.
Aku sampaikan kepadanya, kita harus ikhlas dan bersabar menerima qada-Nya, pada akhirnya kita pun akan menghadap Ilahi rabi dan menyampaikan salah satu hadis dari Ali bin Abi Thalib, "Menanggung kesedihan dan musibah dengan sabar, jika tidak, kamu tidak akan bahagia."
Ibuku menunduk dan air matanya menetes dari netranya. Tak terasa buliran air mata pun menetes mengenai kerudungku. Nayla, kau gadis yang beruntung, di usiamu yang masih remaja, auratmu terjaga hingga ajal menjemput, belum banyak dosa. Insyaallah husnul khatimah. Doa yang tak pernah putus dari kami … semoga kau tenang di sisi-Nya.
"Tikah, antar ibu ke kamar mandi ya, ibu mau berwudu dan salat asar," suara ibu menyadarkanku.
Sebenarnya ibu masih bisa sendiri ke kamar mandi, kadang ibu juga memasak. Namun, sejak vertigonya kambuh dan pinggangnya sakit, kami khawatir ibu jatuh, jangan sampai ibu diopname lagi di rumah sakit.
Aku berusaha untuk menghibur ibu di kala teringat orang-orang terkasihnya berpulang menghadap Allah, suami dan cucu pertamanya yang masih muda lebih dahulu menghadap Allah.
"Ibu, jangan terus bersedih. Tak apa kerinduan menghampiri karena rindu tak bertepi. Kita yang masih ada hanya mendoakan semoga di alam barzah Allah kumpulkan bersama orang-orang saleh, syuhada, dan para nabi, dijauhkan dari siksa kubur, kelak kita pun akan kembali dan berkumpul di surga Firdaus." Aamiin.
Kita hanya menunggu giliran pulang, dunia tak selamanya. Teringat salah satu hadis riwayat At-Tirmidzi, ketika Rasulullah saw. bangun dari tidur, tampak bekas tikar di kulitnya, kemudian salah satu sahabat menawarkan, "Ya Rasulullah, bagaimana jika kami ambilkan kasur untukmu?"
Muhammad Rasulullah bersabda, "Apalah artinya dunia ini buat diriku. Aku di dunia ini bagaikan orang yang bepergian dan berteduh di bawah pohon kemudian pergi dan meninggalkannya."
Doaku, semoga Allah memberikan kepadaku, ibu, juga orang-orang yang kucintai, kesempatan di dunia ini untuk memperbanyak amal saleh dan bekal menuju kampung akhirat yang kekal. Semoga Allah juga mengganti air mata ibuku dengan senyuman.[]
Dunia sementara, akhirat selamanya.
Cianjur, 5 Oktober 2024
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
Semoga Allah balas dengan pahala berlipat atas baktinya pada ibu.
Anak salehah
Ibu sosok yang mulai, sungguh anak yang berbakti pahala menanti
[…] Baca juga:Â Air Mata Ibu […]