Obrolan penuh hikmah itu membawa aku pada sebuah titik balik. Aku sadar letak salahku, aku tidak boleh kikir lagi perhitungan.
Oleh. Aniyatul Ain
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Malam itu terasa sangat hangat. Kebersamaan dengan teman-teman anggota RISMA (Remaja Islam Musala Al-Hidayah) di Sekolah Menengah Atas (SMA) dahulu, sulit aku lupakan. Kami kelas X di salah satu sekolah favorit di Kota Serang-Banten, saat itu sedang melaksanakan kegiatan Pelantikan Anggota RISMA Tahun 2001. Kami bermalam di sekolah dengan agenda super padat. Kegiatan dilaksanakan selama dua hari, yakni hari Sabtu dan Minggu.
Selepas salat Isya, kami makan malam bersama dan saling bercengkerama. Sambil menunggu sesi materi selanjutnya, kami para akhwat berkumpul di aula, ngobrol santai dan tak lupa ngemil makanan. Padahal malam itu, perut kami baru saja terisi nasi dengan ayam bakar kecokelatan dan sambal goreng yang merah merona super pedas, sangat memanjakan lidah.
Wanti yang Dermawan
Tiba-tiba dari arah depan, temanku Wanti berseru: “Eh, nih temen-temen, dimakan.”
Tangan mungilnya, seraya membuka bungkus biskuit berukuran besar. Kami yang ditawari biskuit berbanderol mahal tersebut, tidak sungkan untuk makan bersama. Apalagi aku, belum pernah sama sekali kucoba biskuit yang berlogokan tentara Inggris dengan topi khasnya itu. Alhasil, tidak menunggu lama, dalam hitungan menit biskuit itu ludes dimakan. Netraku menangkap, Wanti si pemilik biskuit hanya makan satu biskuit. Sisanya? Lebih banyak dimakan teman-temannya.
“Hmm, kenapa batin aku yang merasa tidak enak ya?” Aku bergumam dalam hati.
“Kok, bisa-bisanya ya Wanti membiarkan biskuit mahalnya dihabiskan oleh teman-temannya? Termasuk aku juga tadi ikut makan. Sedangkan dia sendiri cuma makan satu biskuit?” Aku terus bertanya dan menggerutu dalam hati.
Nalarku terus menelusuri kenapa Wanti bisa sedermawan itu? Jiwa perhitunganku terus bergejolak melihat kejadian ini. Bagiku, ini tidak biasa! Biskuit mahal bisa habis dimakan orang lain, sedangkan diri sendiri cuma makan satu.
“Kalau aku jadi Wanti, pasti akan kusembunyikan biskuit itu. Dimakan ngumpet-ngumpet ketika yang lain sedang tidur, misalnya. Atau aku akan makan sesampainya di rumah saja. Makan sendiri di dalam kamar dalam kondisi kamar terkunci. Lagi-lagi, aku protes dengan kedermawanan Wanti.
Aku berandai-andai menjadi Wanti tetapi dengan casing diri aku sendiri yang kikir dan serba perhitungan! Huft ... aku menghela napas panjang melihat karakter unik dari sosok Wanti.
Gadis yang Kikir dan Perhitungan
Terlahir dari keluarga yang pas-pasan, bahkan bisa dibilang “orang susah”, aku diajari agar selalu hemat dalam semua keadaan. Hemat memakai air, hemat makan nasi juga lauknya dan ketika diberi uang saku. Semua harus hemat. Didikan orang tua yang super keras karena terbentur ekonomi yang pas-pasan ini tanpa sadar menggiring aku menjadi pribadi yang benar-benar super hemat, bahkan cenderung menjadi kikir! Aku harus cermat menggunakan uang saku yang seadanya. Saking cermatnya, aku bahkan cenderung menjadi gadis yang serba perhitungan!
Baca: Keinginan atau Kebutuhan
Jangankan berbagi dengan sesama, untuk kebutuhan sendiri pun sebetulnya masih jauh dari kata cukup. Akan tetapi, aku dituntut harus bisa mengelola uang saku pemberian orang tua sebaik mungkin. Kalau butuh beli deodoran, pembersih wajah, bahkan bayar SPP sekolah, dari uang saku sendiri. Jadilah saat itu, aku menjadi gadis yang kikir lagi perhitungan! Semua selalu diperhitungkan, apakah mendatangkan keuntungan untuk aku atau justru sebaliknya?
Oleh karena itu, kedermawanan Wanti temanku, saat Pelantikan Anggota RISMA di sekolah dahulu, bagiku terasa janggal. Kok bisa, ada orang seroyal itu? Kenapa Wanti rela berkorban untuk teman-temannya? Sungguh, ini sebuah pelajaran hidup yang sangat menggugah untukku.
Sebuah Kekaguman
Selain dermawan, sosok Wanti itu sangat ramah dan hangat. Pantas saja, disenangi semua orang. Gadis Sunda yang ngekos di belakang sekolah itu, mempersilakan siapa pun teman perempuannya jika ingin main di kosannya. Ada yang ikut salat ataupun sekadar mengistirahatkan badan. Ya, sebaik itu Wanti, perempuan manis berhidung mancung juga berlesung pipi asal Menes-Banten.
Suatu ketika aku bertanya pada Wanti, “Eh, Wanti kenapa sih waktu acara Pelantikan Anggota RISMA kemarin itu kamu biarkan temen-temen ngabisin biskuitmu?” Tanya aku penuh selidik.
Tiba-tiba, Wanti mengernyitkan dahi “Biskuit apa ya, Ni?” Wanti justru balik bertanya padaku.
“Itu lo, Wanti 'kan saat itu bawa biskuit berlogokan tentara Inggris dengan topi khasnya. Aku perhatikan, kamu cuma makan satu biskuit. Biskuit sebesar itu, justru habis sama temen-temen. Emang gak rugi gitu?” Kali ini pertanyaanku to the point tentang “untung-rugi” pada Wanti.
“Oh ya Allah, biskuit itu... Ya, ya, ya... aku sekarang ingat Ani...,” jawab Wanti terkekeh. “Gak apa-apa Ani, aku cuma makan satu juga udah seneng,” jawab Wanti tulus.
“Kok bisa sih seneng? Kamu gak merasa rugi gitu? Itu 'kan biskuitnya mahal!” Aku yang gemas sendiri mendengar penjelasan Wanti.
Mendengar aku bicara dengan nada protes seperti itu justru Wanti makin terkekeh. Sambil menghela napas panjang, dia mulai bicara serius denganku.
Kedermawanan Sahabat Nabi
“Ni, apa yang aku kasih itu belum seberapa dibanding orang-orang yang telah berjasa pada agama ini. Bukankah dulu Rasul saw. dan para sahabat adalah sosok yang sangat mendahulukan kepentingan orang lain? Kalau aku baca kisah mereka, mereka sangat berlomba-lomba dalam kebaikan, Ni. Sampai-sampai ingat gak, waktu itu mereka dalam kondisi perang mereka sangat kehausan tetapi persediaan air mereka menipis. Mereka masih mendahulukan sahabat yang lain agar dapat minum terlebih dahulu. Kadang aku malu Ni, melihat sahabat Rasul Saw. sedemikian sayang pada sesamanya. Aku mah masih egois, Ni.” Wanti menjelaskan dengan saksama.
Kalimat demi kalimatnya begitu penuh hikmah. Deg. Hati aku seperti tertampar akan kemuliaan sifat Rasul saw. dan para sahabat.
Obrolan dengan Wanti belum usai. Aku mencoba memvalidasi sikap aku yang kikir dan serba perhitungan itu.
“Wanti, terus terang aku belum bisa mencontoh sikapmu yang dermawan itu. Apalagi sikap Rasul saw. dan para sahabat. Bagaimana mungkin aku akan berbagi dengan yang lain, sedangkan aku sendiri juga dalam kondisi kekurangan juga membutuhkan?” Aku kembali bertanya pada Wanti sambil menjelaskan kondisi aku sekarang.
Nasihat Sahabat
“Ani ....” Wanti kembali menyapaku dengan lembut.
“Ani tahu kan, kalau Allah itu sangat menyukai hamba-hamba-Nya yang berbuat kebaikan?” Tanya Wanti memastikan.
Aku menganggukkan kepala. “Nah, Ani bisa melakukan kebaikan apa pun yang Ani mampu. Jangan sampai keterbatasan yang ada pada kita menjadi penghalang kita berbuat kebaikan, Ni ... Kita tidak tahu, kebaikan mana yang Allah catat sebagai sebuah amal saleh yang ikhlas. Karena hanya amalan yang ikhlas 'kan yang Allah terima. Maka, teruslah berbuat kebaikan.” Wanti menjelaskan dengan seksama.
Tanpa sadar, di sudut mataku ada bulir hangat yang membasahi pipi, keluar dengan sendirinya.
Wanti belum selesai menjelaskan. Bahkan, di bagian ini ia pun ikut meneteskan air mata.
“Ani, kalau kita merasa kekurangan, sesungguhnya para sahabat pun sama dengan kita. Kondisi mereka juga ada yang tidak berada. Namun ....” Tangis Wanti mulai pecah.
“Tetapi ... mereka masih saja bisa berkorban untuk orang lain, Ni. Ingat 'kan, kisahnya Abu Thalhah dan Ummu Sulaim saat menjamu tamu Rasul saw.? Mereka menjamu tamu dengan sangat baik. Sengaja lampu rumah mereka dimatikan agar tidak terlihat isi piring tuan rumahnya. Karena isi piring tuan rumahnya justru kosong karena ketiadaan makanan di rumah. Tuan rumahnya rela berkorban tidak makan, demi menjamu tamu tersebut. Sungguh, aku tuh belum sebaik mereka Ni ....” Wanti berderai air mata.
Tak Mau Kikir Lagi
Melihat ketulusan Wanti, aku makin malu sendiri. Apalagi jika disandingkan dengan Rasul saw. dan para sahabat. Entahlah, apa aku masih layak dikatakan sebagai umat Nabi saw.?
Obrolan penuh hikmah itu membawa aku pada sebuah titik balik. Aku sadar letak salahku, aku tidak boleh kikir lagi perhitungan. Bahkan aku merasa malu, dan menyesali sifat kikir pada diriku. Diam-diam aku mengagumi Wanti yang berwawasan Islam luas dan mengaplikasikan ilmunya. Di lubuk hati terdalam juga aku begitu mengagumi sosok sahabat yang diceritakan Wanti. Sampai aku terhentak dari kesalahanku dan memohon kepada Allah Swt. agar memudahkan aku untuk bisa beramal saleh, sekecil apa pun itu.
Benar kata pepatah, setiap orang ibarat buku. Setiap halamannya mengandung kisah. Kisah baik untuk ditiru dan diamalkan. Kisah buruk untuk diambil pelajaran dan tidak dilakukan. Terima kasih Wanti sudah menjadi bagian dari kisah hidupku yang penuh hikmah.
Wallahu a’lam bi ash-shawaab. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
Sahabat yang baik akan selalu mengingatkan kita dalam hal kebaikan, barakallah mbak Aniyatul Ain
Keren naskahnya mengajarkaan kedermawanan dan persahabatan yg tulus. Barakallah mba Aniyatul sukses dunia akhirat.
[…] Baca juga: sebuah-titik-balik/ […]