Polemik Produk Halal Berlabel "Haram"

Polemik Produk Halal Berlabel haram

Meskipun secara substansi produk ini halal, nama yang digunakan bisa menimbulkan kesalahpahaman di kalangan umat Islam, karena istilah tersebut secara umum merujuk pada minuman beralkohol yang jelas haram.

Oleh. Maman El Hakiem 
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Pemberian sertifikat halal oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menimbulkan polemik ketika produk yang mendapatkan sertifikasi tersebut memiliki label seperti Wine, Tuak, dan Beer. Ketiga produk ini identik dengan minuman beralkohol yang jelas-jelas dilarang dalam ajaran Islam, sehingga memunculkan reaksi pro dan kontra dari berbagai pihak.

Berkaitan dengan ini, data dari sistem Sihalal , ternyata ada 61 produk berlabel Wine telah bersertifikat halal dari Komisi Fatwa MUI, 53 produk lainnya diperoleh melalui Komite Fatwa. Hal demikian juga untuk produk dengan merek Beer, 8 produk bersertifikat halal dari MUI, dan 14 produk dinyatakan halal dari Komite Fatwa.

Dalam pandangan Islam, produk yang mengandung alkohol, seperti wine, beer, dan tuak, serta segala bentuk minuman keras, jelas haram untuk dikonsumsi. Kata wine sendiri merujuk pada minuman anggur beralkohol yang dalam Al-Qur'an dikategorikan sebagai sesuatu yang tidak boleh diminum. Begitu pula dengan tuak, di budaya Indonesia merujuk pada minuman tradisional beralkohol, dan beer yang di sejumlah negara menjadi label jenis minuman keras.

Produk Halal yang Ambigu di Masyarakat

Adanya sertifikat halal pada produk dengan label tersebut menimbulkan kebingungan dan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat, terutama umat Islam. Ada pertanyaan besar mengenai bagaimana produk yang secara definisi haram bisa mendapatkan sertifikat halal.

Menanggapi polemik tersebut, BPJPH dan MUI menjelaskan bahwa sertifikat halal diberikan berdasarkan kandungan dan proses produksi, bukan hanya berdasarkan nama produk. Sertifikasi halal tidak semata-mata bergantung pada nama produk, tetapi apakah bahan baku dan proses produksinya sesuai dengan syariat Islam. Dalam beberapa kasus, produk-produk tersebut mungkin tidak benar-benar mengandung alkohol atau diolah dengan cara yang halal.

Sebagai contoh, ada produk yang menggunakan istilah wine atau beer untuk menggambarkan rasa atau proses fermentasi tanpa kandungan alkohol. Pada konteks ini, BPJPH dan MUI menilai bahwa produk-produk tersebut dapat memenuhi syarat halal jika terbukti secara ilmiah dan melalui audit bahwa tidak ada kandungan yang diharamkan.

Dengan alasan itu pula, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Mamat Salamet Burhanudin, mengatakan bahwa produk tersebut telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapat ketetapan halal sesuai mekanisme yang berlaku. (CNBC.Com, 5-10-2024)

Meskipun telah ada penjelasan dari BPJPH dan MUI, banyak pihak tetap merasa keberatan. Kritik utama berasal dari segi semantik dan persepsi publik. Nama seperti wine dan tuak tetap dikaitkan dengan minuman keras dalam budaya masyarakat. Penggunaan nama tersebut pada produk yang disertifikasi halal dianggap bisa membingungkan konsumen, bahkan merusak citra halal itu sendiri.

Beberapa ulama dan tokoh masyarakat menganggap bahwa meskipun produk tersebut secara teknis halal, penggunaan nama-nama yang kontroversial harus dihindari demi menjaga kesucian dan kehormatan konsep halal dalam Islam. Ada seruan agar pihak yang terlibat dalam sertifikasi lebih berhati-hati dalam memilih produk yang akan disertifikasi, terutama dalam konteks penyebutan atau branding produk.

Tantangan Aturan Sertifikasi Halal

Kasus ini juga menunjukkan adanya tantangan dalam regulasi dan penerapan standar halal di Indonesia. Dalam upaya menegakkan sistem sertifikasi halal yang luas dan komprehensif, BPJPH dan MUI menghadapi dilema antara kebutuhan untuk mendukung industri dan keharusan menjaga integritas halal. Masalah ini menjadi lebih kompleks ketika industri menggunakan nama-nama produk yang sensitif secara agama, tetapi sesuai dari segi teknis halal.

Polemik ini menyoroti perlunya kolaborasi yang lebih erat antara regulator, produsen, dan masyarakat untuk memastikan bahwa sertifikat halal tidak hanya sah secara teknis, tetapi juga dapat diterima secara moral dan budaya oleh masyarakat luas. Meskipun dari segi bahan dan proses produk bisa saja halal, nama-nama yang dianggap kontroversial oleh masyarakat tetap menimbulkan kekhawatiran. Diperlukan kebijakan yang lebih bijak dan komunikasi yang lebih baik agar sertifikasi halal dapat dipahami dan diterima dengan baik oleh seluruh kalangan.

Baca: Produk Tuak Bersertifikat Halal,Bahaya!

Dalam Islam, nama atau istilah memiliki peran penting dalam menyampaikan makna dan membentuk persepsi. Setiap kata yang digunakan, terutama dalam konteks keagamaan, dapat memengaruhi pemahaman umat tentang sesuatu. Syariat Islam menekankan pentingnya penggunaan nama atau istilah yang jelas, sehingga masyarakat tidak salah paham atau tersesat dalam memahami realitas.

Dalam tradisi Islam, terdapat perhatian besar terhadap penggunaan istilah yang jelas dan tidak ambigu. Rasulullah saw. sendiri menganjurkan agar umat menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan tidak menimbulkan kerancuan. Sebagaimana makna dari hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, bahwa Rasulullah saw. tidak membolehkan penggunaan istilah tertentu yang dapat menimbulkan kesalahpahaman atau makna yang salah.

Dalam hal ini, nama atau istilah yang secara umum diasosiasikan dengan sesuatu yang haram atau tidak baik, sebaiknya dihindari dalam konteks yang tidak tepat, meskipun secara substansi hal itu boleh atau bahkan halal.

Dalam dunia modern, nama-nama produk sering kali dipilih untuk tujuan komersial, dan kadang-kadang tidak sepenuhnya merepresentasikan kandungan atau esensinya. Misalnya, penggunaan istilah wine untuk produk nonalkohol atau beer untuk minuman fermentasi tanpa kandungan alkohol. Meskipun secara substansi produk ini halal, nama yang digunakan bisa menimbulkan kesalahpahaman di kalangan umat Islam, karena istilah tersebut secara umum merujuk pada minuman beralkohol yang jelas haram.

Syariat Islam menekankan pentingnya menjaga ketepatan makna dalam penggunaan nama. Ini dilakukan agar umat tidak terjerumus dalam keraguan (syubhat) atau kesalahan dalam memahami sesuatu. Dalam konteks produk halal, meskipun kandungannya sudah jelas halal, penggunaan istilah yang kontroversial bisa merusak persepsi masyarakat. Oleh karena itu, pemilihan nama yang tepat sangat dianjurkan dalam syariat agar tidak menimbulkan fitnah atau salah paham.

Adab dalam Berbahasa

Islam mengajarkan adab yang baik dalam berbicara dan memilih kata. Allah Swt. di dalam Al-Qur'an surah Al Isra: 53, menyampaikan perintah kepada hamba-hamba-Nya untuk menyampaikan sesuatu dengan perkataan yang lebih baik. Tentunya, ini menunjukkan seorang muslim harus berhati-hati dalam menggunakan bahasa, termasuk nama atau istilah, agar tidak menimbulkan keburukan atau salah paham.

Para ulama juga sepakat bahwa penggunaan istilah yang baik dan tepat adalah salah satu cara menjaga kehormatan Islam dan mencegah terjadinya kekeliruan dalam beribadah atau menjalani kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, jika sebuah istilah bisa menimbulkan konotasi yang salah, sangat dianjurkan untuk menggantinya dengan istilah yang lebih jelas dan sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Klarifikasi juga sangat penting jika terjadi kebingungan di tengah masyarakat. Misalnya, dalam kasus produk yang halal namun memiliki nama yang kontroversial, perlu ada penjelasan yang terbuka dan transparan dari pihak yang berwenang, seperti ulama atau lembaga halal, untuk menghindari kesalahpahaman di kalangan masyarakat.

Penggunaan istilah yang ambigu atau dapat menimbulkan kesalahpahaman sebaiknya dihindari, terutama dalam konteks yang berkaitan dengan halal-haram. Edukasi dan klarifikasi menjadi kunci agar umat dapat memahami fakta dengan benar tanpa terjebak dalam asumsi yang keliru.

Wallahu 'alam bish shawaab. []

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor Narasiliterasi.id
Maman L Hakiem Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Rasa Malu, Fitrah untuk Menjaga Iman
Next
Polemik Sertifikasi Halal: Meresahkan dan Membahayakan
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Novianti
Novianti
6 months ago

Jika dipikir, apa sih tujuannya bikin seperti.itu. Sudah jelas wine, tuak, haram. Lalu dibuat regulasi bahwa halal bisa juga diberikan pada sisi nama. Jika bukan untuk merusak umat Islam dan demi cuan..

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram