
Trisula akan efektif jika dijalankan pada sistem yang adil dan berpihak kepada rakyat, bukan dalam sistem yang terus menyuburkan ketimpangan.
Oleh. Nettyhera
(Kontributor Narasiliterasi.id & Pengamat Kebijakan Publik)
Narasiliterasi.id-Kemiskinan di Indonesia masih menjadi masalah kronis yang belum terselesaikan meski berbagai rezim telah berganti. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2024, jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 24,06 juta jiwa atau 8,57 persen dari total populasi. Ini memang mengalami sedikit penurunan dari Maret 2024 yang berada di angka 9,03 persen. Namun, data terbaru semester I tahun 2025 belum dirilis karena BPS secara resmi menunda pengumuman dengan alasan peningkatan kualitas dan akurasi data (bps.go.id).
Di balik angka-angka itu, ada jutaan rakyat yang hidup dalam keterbatasan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan penghidupan yang layak. Kondisi inilah yang mendorong pemerintah menetapkan kebijakan baru untuk mengatasi kemiskinan secara lebih sistematis melalui peluncuran Program Trisula.
Tiga Senjata Pemerintah dalam Program Trisula
Program Trisula yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto bersama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka merupakan strategi nasional dalam memberantas kemiskinan ekstrem. Tiga komponen utama dalam program ini adalah Sekolah Rakyat, Cek Kesehatan Gratis di sekolah, dan Koperasi Desa Merah Putih. Pemerintah meyakini bahwa kemiskinan tidak bisa diselesaikan dengan satu pendekatan saja, melainkan perlu dilawan dari berbagai sisi, yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Sekolah Rakyat ditujukan untuk anak-anak dari keluarga miskin ekstrem yang belum tersentuh pendidikan formal. Dalam skema ini, negara menjamin seluruh kebutuhan siswa, mulai dari biaya pendidikan, asrama, makan, hingga pakaian. Tujuannya adalah memberikan jaring pengaman bagi generasi yang paling rentan agar mereka tidak terputus dari masa depan.
Cek Kesehatan Gratis menjadi komponen kedua. Program ini menyasar pelajar SD hingga SMA dengan berbagai layanan pemeriksaan seperti kesehatan gigi, tekanan darah, pendengaran, bahkan deteksi dini penyakit menular seperti tuberkulosis serta kesehatan jiwa. Ini adalah langkah progresif mengingat banyak anak dari keluarga miskin yang mengalami gangguan kesehatan namun tidak terdeteksi karena minimnya akses layanan medis.
Dengan menjadikan sekolah sebagai pintu masuk layanan kesehatan, program ini diharapkan bisa menjangkau lebih banyak anak dan memberikan pengaruh positif terhadap kualitas hidup dan proses belajar mereka. Program ini diklaim telah menjangkau lebih dari 3 juta pelajar pada tahap awal. (kompas.com, 20 Juni 2025)
Komponen ketiga adalah Koperasi Desa Merah Putih yang menjadi simbol kebangkitan ekonomi dari akar rumput. Pemerintah menargetkan membentuk 80 ribu koperasi di seluruh desa dan kelurahan untuk mendorong kemandirian ekonomi masyarakat.
Melalui koperasi ini, warga desa diharapkan dapat mengelola produksi pangan, industri kecil, hingga distribusi kebutuhan pokok secara kolektif. Program ini juga ditargetkan menciptakan dua juta lapangan kerja dan mengurangi arus urbanisasi yang tidak terkendali. (antaranews.com, 4 Juli 2025)
Baca juga: Pro Kontra Pembangunan Sekolah Rakyat
Apresiasi dan Tantangan yang Perlu Diwaspadai
Secara konseptual, Program Trisula menunjukkan adanya niat baik dan keseriusan pemerintah dalam menangani kemiskinan. Namun, di balik semangat itu, terdapat tantangan besar yang belum tentu bisa dijawab hanya dengan pendekatan administratif. Masalah utama dari kemiskinan di Indonesia bukan hanya pada minimnya akses terhadap pendidikan dan kesehatan, tetapi pada ketimpangan struktural yang sudah berlangsung lama.
Sumber daya alam yang melimpah tidak dikelola secara adil dan merata. Penguasaan aset oleh segelintir elite, liberalisasi sektor publik, dan ketergantungan pada investasi asing telah menjadikan negara lemah dalam menjalankan fungsi pelayanannya terhadap rakyat.
Trisula memang bisa memberi manfaat bagi sebagian kelompok, tetapi sejauh mana ia mampu menjangkau 24 juta rakyat miskin, atau bahkan lebih jika mengacu pada standar kemiskinan global yang ditetapkan oleh Bank Dunia yaitu pendapatan di bawah $2,15 per hari?
Sekolah Rakyat, misalnya, baru menargetkan 100 unit sekolah dalam waktu dekat. Ini tentu jauh dari cukup. Cek kesehatan pun, meski sudah menjangkau jutaan pelajar, belum menyentuh banyak wilayah pelosok yang sulit akses. Sementara koperasi desa harus bersaing dengan kekuatan pasar yang sudah dikuasai ritel modern dan konglomerasi.
Akar Persoalan, Sistem yang Gagal
Di sinilah pentingnya melihat ulang akar persoalan kemiskinan. Dalam sistem kapitalisme, negara diposisikan lebih sebagai fasilitator pasar daripada pelindung rakyat. Negara tidak memiliki kendali penuh atas sumber daya karena banyak sektor vital telah dikomersialisasi.
Hal ini membuat negara kesulitan untuk menyejahterakan rakyatnya tanpa bergantung pada utang atau investasi luar. Program seperti Trisula pada akhirnya hanya menjadi tambal sulam yang tak mampu menyelesaikan masalah dari akarnya.
Negara Pelayan, Bukan Pedagang
Sebaliknya, Islam memiliki pendekatan yang lebih fundamental dan sistemis dalam menyelesaikan kemiskinan. Dalam sistem pemerintahan Islam, negara memegang peran sentral sebagai penjamin kebutuhan dasar seluruh warga.
Pendidikan dan kesehatan diberikan secara gratis sebagai bentuk tanggung jawab negara, bukan belas kasihan. Pengelolaan sumber daya alam dilakukan oleh negara dan hasilnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Zakat, wakaf, dan harta milik umum seperti hasil tambang, laut, dan hutan dikelola secara adil dan didistribusikan kepada yang berhak.
Sebagaimana firman Allah Swt.:
"Dan orang-orang yang dalam harta mereka terdapat hak yang diketahui, bagi orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian."
(QS. Al-Ma’arij: 24-25)
Dalil ini menegaskan bahwa Islam memandatkan distribusi kekayaan untuk menuntaskan kemiskinan sebagai kewajiban, bukan pilihan. Negara dalam Islam bertugas menjaga distribusi kekayaan tetap adil, bukan membiarkannya terkonsentrasi di tangan segelintir orang.
Pada masa kekhilafahan, sejarah mencatat bagaimana sistem Islam mampu menciptakan masyarakat yang sejahtera. Di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, misalnya, disebutkan bahwa sulit menemukan orang miskin yang mau menerima zakat karena kebutuhan mereka telah terpenuhi.
Negara memastikan tidak ada satu pun warga yang kelaparan atau kehilangan tempat tinggal. Pasar diatur agar tidak terjadi penimbunan, monopoli, atau manipulasi harga. Semua ini berjalan karena negara menerapkan syariat Islam secara kaffah, bukan sebagian.
Trisula Harus Tajam Sampai Akar Masalah
Oleh karena itu, jika pemerintah sungguh-sungguh ingin memberantas kemiskinan, maka langkah yang harus ditempuh bukan sekadar membuat program baru, tetapi membenahi sistem yang menjadi akar masalah. Trisula hanya akan efektif jika dijalankan dalam sistem yang adil dan berpihak kepada rakyat, bukan dalam sistem yang terus menyuburkan ketimpangan. Islam telah memberikan teladan, bukan hanya dalam bentuk konsep, tetapi dalam praktik sejarah yang telah terbukti keberhasilannya.
Sudah saatnya kita berhenti menambal, dan mulai merombak. Kemiskinan bukan sekadar nasib, melainkan akibat dari pilihan sistem yang salah. Maka memilih sistem Islam sebagai solusi bukanlah sebuah utopia, melainkan keniscayaan yang harus diperjuangkan.
Jika kita ingin Trisula benar-benar menjadi senjata pemutus rantai kemiskinan, maka ia harus diarahkan pada akar masalahnya: sistem yang tidak berpihak pada keadilan sosial. Dan satu-satunya sistem yang terbukti melahirkan keadilan itu adalah Islam yang diterapkan secara kaffah dalam institusi Khilafah. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Bagus di atas kertas, kedodoran dalam implementasi. Terlebih jika sudah menyinggung dana. Darimana sumbernya dan bertahan berapa lama? Soal kopdes saja mirip MBG, berubah-ubah info dari pemerintah. Ini menunjukkan kebijakan tanpa pengkajian mendalam dan untuk populis semata.