"Gak apa-apa, Mas, saya senang kok, Mak Rum mengunjungi kami. Tapi maaf, Mas, barang sebanyak ini sampai bertruk-truk untuk apa ya?" ujarku ingin mengurai rasa penasaran.
Oleh. Ifana Kose, S. Pd.I
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Rinai hujan masih saja berjatuhan mengguyur sebagian besar belahan bumi Jakarta walau hanya menyisakan titik-titik kecil. Namun, tetap menambah kesan enggan bagi sebagian orang yang saat ini masih menggulung diri di balik selimut.
Waktu masih menunjukkan pukul 04.00 pagi. Namun aku sudah harus bersiap memulai hari melawan segala rasa enggan nan dingin yang lebih mendominasi di pagi buta seperti ini setelah melaksanakan dua rakaat subuh dan menyantap sarapan yang dibuatkan Arini istriku. Aku segera berangkat untuk mengais rezeki.
Berbekal sebuah karung goni dan cantolan sampah, serta sebuah penyangga kayu yang terus bertengger di bawah ketiak sebagai pengganti sebelah kakiku yang sudah kehilangan fungsi akibat kecelakaan setahun lalu. Aku berjalan menyusuri titik-titik ramai jalanan kota, memungut satu dua sampah botol maupun bungkus makanan ringan, lalu kembali mengisinya ke dalam karung goni yang kusampirkan ke belakang layaknya sebuah tas ransel.
Jalanan masih cukup lengang karena waktu masih sangat pagi, ditambah kondisi cuaca yang masih belum bersahabat membuat sebagian orang masih terbuai di alam mimpi. Namun hal ini berbanding terbalik denganku, bagiku ini berkah. Karena dengan kondisi seperti ini, aku lebih banyak memperoleh barang rongsok tanpa harus berebut dengan para perongsok lainnya.https://narasipost.com/cerpen-cerbung/07/2022/kambing-kurban-untuk-emak/
Namaku Muhammad Faqih Ibrahim, aku biasa dipanggil Faqih. Kata almarhum ayah, nama itu diberikan ibuku tepat setelah kelahiranku dan sebelum ibu menutup mata untuk selamanya. Nama ini sudah dirancang ibu sejak aku baru bisa dideteksi dengan alat tes kehamilan di dalam kandungan.
Nama itu memiliki arti laki-laki terpuji yang paham aturan Islam. Oleh karena itu, aku tak ingin memupus doa dan harapan ibuku yang disemat dalam bait namaku. Aku ingin menjadi lelaki bertanggung jawab setidaknya untuk keluargaku.
Saat ini tampaknya takdir sedang mempermainkanku. Bagaimana tidak, beberapa tahun lalu aku seorang pemuda gagah dengan penampilan menarik serta didukung pekerjaan yang lumayan berkelas sebagai supervisor di sebuah perusahaan ternama di kotaku.
Aku memiliki segalanya, harta, rumah mewah, dan keluarga. Aku disanjung dan dicintai banyak orang. Namun, setelah tragedi kecelakaan, semua perlahan hilang. Diawali dengan surat PHK dan penjualan aset-aset yang kumiliki.
Sekarang aku berada di sini, di tengah-tengah hiruk pikuk kendaraan Kota Jakarta, yang hilir mudik melintas seakan tak pernah lelah mengarungi jalanan kota.
"Lumayan untuk hari ini," gumamku pelan. Aku sudah mengumpulkan sekarung penuh barang rongsokan. Kalau dijual, aku sudah memperoleh hasil yang cukup untuk makan sehari dan sedikit menabung. Rencananya, akan kugunakan membuka usaha kelontong yang entah kapan akan terwujud.
Hari sudah beranjak sore, semburat jingga sudah mulai terlihat di ufuk barat langit Jakarta. sudah waktunya kembali ke rumah, aku pun kembali menyusuri jalanan kota yang padat merayap.
Satu kilometer berjalan, aku sedikit melipir ke kiri memasuki lorong kecil menuju rumah sang pengepul rongsok. Setelah ditimbang, aku akhirnya mengantongi selembar warna biru dan selembar lagi warna hijau, alhamdulillah. Masih lebih mendingan dari pada pendapatanku pada hari-hari sebelumnya.
Penghasilan sebagai tukang rongsok tidak menentu. Jika sedang hoki seperti ini, aku bisa mengumpulkan pundi-pundi rupiah antara kisaran 50-70 ribu dalam sehari. Namun jika sedang sial, maka terkadang aku hanya memperoleh 10-20 ribu, bahkan sampai tidak membawa pulang sepeser rupiah pun.
Di awal terjun dalam pekerjaan ini, aku belum punya pengalaman dan juga lahan mencari rongsok, terkadang bahasa kasar dan cacian kudapatkan jika tak sengaja memungut sampah di lahan orang. Suatu waktu aku bahkan dikira pengemis oleh sebagian orang karena terkadang terlelap di tepi jalan saking lelahnya menyusuri setiap inci jalanan kota. Bahkan, aku pernah dimarahi seorang ibu karena anaknya ketakutan kala melihatku memungut bekas sampah yang baru saja mereka buang.https://narasipost.com/cerpen-cerbung/12/2022/manini-dan-muninggar-bagian-2/
Tiga kilometer berjalan, akhirnya aku sampai juga di depan rumah kontrakan minimalis yang sudah kurang lebih enam bulan kutempati. Perlahan aku mendekat di depan pintu lalu mengetuk sembari mengucap salam "Assalamu alaikum.”
"Waalaikumsalam," Suara dari dalam disertai derap langkah mendekat.
Pintu terbuka menampilkan wajah cantik wanita yang kutaksir berusia lebih dari setengah abad.
"Surya, Kamu sudah pulang, Nak?"
"Alhamdulillah iya, Mak. Rianti di mana?" Ia menanggapi pertanyaan mak sekaligus mengajukan pertanyaan.
"Rianti di dalam, Nak, sedang masak menyiapkan makan malam, kamu mandi lalu istirahat saja, mak buatkan teh hangat untukmu." Aku pun berlalu mengikuti semua titah beliau.
Malam hari, usai makan malam, aku dan Arini bersantai sambil menikmati tayangan berita di TV. Mak Rum sendiri sudah berada di kamarnya dengan kondisi lampu kamar telah dimatikan, pertanda beliau telah terlelap.
Di tengah obrolan kami, sekilas aku melirik ke arah TV yang tengah menyampaikan berita kehilangan di ikuti dengan menampilkan gambar wajah seseorang yang sepertinya tak asing bagiku. Aku segera mengubah posisi duduk lantas fokus di depan layar berukuran 24 inci itu.
Hal itu pun disadari istriku, terbukti dengan sorot mata yang begitu fokus juga gerakan tangan yang segera menekan tombol volume pada remot TV yang saat ini berada di genggamannya.
"Mas, itu Mak Rum, ‘kan?" ujarnya memecah fokus.
"Iya bener Ar, itu Mak Rum." ujarku.
Tak ingin membuang waktu, tangan ini segera menyambar benda pipih yg berada di sampingku, dengan lincahnya segera menekan angka-angka yang tertera pada selebaran di layar TV tersebut, lalu menekan tombol save.
****
Hari ini aku berencana berangkat mencari rongsok agak siang, karena aku dan Arini akan menghubungi keluarga Mak Rum. Mak Rum sebenarnya bukan kerabat kami. Aku dan Arini sama-sama yatim piatu saat menikah. Mak Rum, wanita setengah abad itu, kutemukan saat pulang mengais rezeki di tengah guyuran hujan.
Saat kutanya di mana rumahnya, beliau hanya terdiam dan menampilkan sorot mata bingung. Karena waktu sudah malam, akhirnya aku berinisiatif membawanya pulang ke rumah dan akan mencari rumahnya esok hari.
Namun setelah sampai di rumah, saat pintu rumah dibuka oleh istriku, hal tak terduga terjadi. Beliau langsung memekik lantas menyebut nama Rianti, lalu merangsek masuk dan mendekat ke arah istriku dengan cepat memeluknya sambil menangis. "Ke mana saja kamu, Ri? Sudah berbulan-bulan ibu mencarimu, Nak." ujarnya kala itu.
Aku dan istriku kaget dan bingung lantas menjelaskan padanya tentang kebenaran bahwa istriku bukanlah “Ri” yang dia maksud, namun Mak Rum tetap saja kukuh bahwa istriku adalah Rianti dan aku adalah Surya suami Rianti.
Di lain waktu, bahkan dia pernah menangis sepanjang hari jika kami mencoba menjelaskan kebenarannya. Bukan apa-apa, tapi kami memikirkan perasaan keluarganya yang pasti sedang kebingungan mencarinya. Hal itu terus berulang beberapa kali hingga akhirnya aku dan Arini menyerah dan terpaksa menyandang nama Surya dan Rianti di depan Mak Rum.
Di sebuah ruangan dapur berukuran 2x3 aku duduk bersandar pada dinding kusam sembari menemani istriku yang sedang sibuk dengan aktivitas paginya.
Ini memang sudah menjadi kebiasaan kami, menurutku menumbuhkan cinta itu tidak mesti mewah, cukup dengan menemaninya mengobrol di dapur seperti ini, atau mungkin dengan membantunya meringankan pekerjaannya sambil bersenda gurau rasanya si empunya dapur sudah bahagia, terbukti dengan senyum manis yang terus tersungging. Jika punya keuangan lebih, bolehlah membahagiakan istri dengan mengunjungi spot wisata tertentu.
Hari sudah beranjak terang, matahari mulai menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Lantunan ayat suci masih terus terdengar dari sebuah kamar yang saat ini ditempati Mak Rum. Itu memang sudah menjadi kebiasaannya selama kurang lebih dua bulan tinggal bersama kami di sini, dia akan bangun di waktu subuh lalu melaksanakan dua rakaat dan lanjut tadarusan sampai matahari terbit. Beliau akan keluar kamar jika telah melaksanakan salat duha.
Aku segera menghabiskan tegukan terakhir dari gelas teh, lantas mengambil handphone jadul yang aku miliki, lalu men- scroll bagian kontak keluarga Mak Rum. Kasian mereka sudah lama menunggu kabar dan khawatir akan kondisi Mak Rum yang sampai sekarang belum diketahui keberadaannya.
Tak ingin membuang waktu, aku segera menekan tombol hijau.
tuuuuut … tuuuuut … tuuuuut …
Pada dering ketiga, nada masuk pun berganti dengan sapaan seseorang dari seberang sana. Aku pun segera mengucap salam dan menyampaikan niatku. Ada nada terkejut kala kukatakan bahwa Mak Rumaisha ada bersamaku. Aku pun menyebutkan alamat lengkap rumahku lantas mengakhiri panggilan.
Suasana haru masih saja menyelimuti. Sejak sepuluh menit lalu, keluarga Mak Rum baru saja tiba. Rupanya setelah mendengar kabar dan mendapat alamatku anak Mak Rum langsung gercep bergegas ke sini.
Rasanya Mak Rum berasal dari keluarga berada, terbukti dengan dua buah kendaraan roda empat keluaran terbaru yang terparkir cantik di depan kontrakanku.
Setelah bercerita panjang lebar dan menikmati jamuan ala kadarnya serta tak lupa mengucapkan terima kasih, mereka pun berencana untuk pamit membawa serta Mak Rum pulang. Namun hal tak terduga terjadi, Mak Rum mengatakan bahwa dia tak ingin ke mana-mana. Beliau akan tetap tinggal bersama Arini dan Surya sampai kapan pun.
Hal itu sontak membuat keluarga itu heran dan bertanya-tanya. Hingga mengalirlah cerita asal mula nama Surya dan Arini disematkan kepada kami. Menurut Mas Heri, anak sulung Mak Rum, Surya dan Arini adalah adik kandung dan ipar mas Heri sendiri yang juga merupakan anak kandung Mak Rum, mereka meninggal kecelakaan 4 bulan lalu. Sejak saat itu, Mak Rum mulai terguncang jiwanya, mulai pergi tanpa pamit bahkan berbicara sendiri. Puncaknya dua bulan lalu, beliau pergi dan menghilang hingga hari ini ditemukan berada di kontrakan kami.
Setelah beberapa saat, Mak Rum ditenangkan dan dibujuk oleh Arini agar mau pulang bersama Mas Heri. Akhirnya, Mak Rum luluh juga dan menyetujui dengan catatan kami harus terus menjenguknya seminggu sekali, dan kami pun tidak keberatan dengan itu.
Siang itu, rumah kami kembali diselimuti haru, bukan lagi karena Mas Heri bertemu dengan ibunya, bukan pula Mak Rum bertemu dengan anak cucunya. Sesi itu telah usai tepat pukul 10 tadi. Namun kali ini, lebih kepada kami yang merasa sedih karena harus berpisah dengan Mak Rum, yang selama ini telah membersamai kami dalam keadaan apa pun. Riak wajah Mak Rum pun menggambarkan hal yang sama, bahkan beliau sampai menitikkan air mata kala bersalaman dan berpelukan dengan Arini. Tak pelak ciuman dan pelukan bertubi-tubi dia berikan kepada istriku.
Saat bersalaman dengan Mas Heri, beliau mengucapkan banyak terima kasih dan menyodorkan sebuah amplop yang cukup besar. Bisa kutebak isi dari amplop itu berupa uang, dan jika dilihat dari ketebalannya kemungkinan berkisar kurang lebih 100 jutaan.
"Terima kasih, Mas, telah menolong ibuku. kalau tak ada Mas aku tak tau apa yang akan terjadi pada ibuku di luar sana." ujar Mas Heri sambil memeluk dan menepuk-nepuk bahuku.
"Sama-sama, Mas, pertolongan itu datangnya dari Allah hanya kebetulan Allah menunjuk saya untuk menjadi perantara-Nya menolong Mak Rum,” balasku.
Setelah bersalaman, beliau sedikit melipir ke arah samping di mana tasnya diletakkan dan mengeluarkan amplop cokelat.
"Terima ini, Mas, nilainya tidak seberapa," ujar Mas Heri sambil menyodorkan amplop cokelat.
"Terima Kasih Mas, tapi demi Allah saya ikhlas menolong Mak Rum, saya dan istri sudah menganggap Mak Rum sebagai ibu kami sendiri." Tolakku halus.
"Tolong jangan ditolak, Mas, ini ungkapan terima kasih kami karena kebesaran hati Mas sudah mau menampung ibu kami." ujar Mas Heri sedikit memaksa.
"Tak ada bayaran untuk bakti seorang anak kepada orang tua, Mas, sudah saya katakan bahwa kami sudah menganggap Mak Rum sebagai ibu kandung kami sendiri." Kupertegas kalimat penolakanku.
"Baiklah, Mas, kalau begitu terima kasih banyak, jika ada masalah segera hubungi saya. Anggap saya sebagai saudara Kamu." ujarnya dan aku pun menanggapi dengan anggukan.
"Kalau begitu kami pamit dulu. Assalamualaikum."
Pamit Mas Heri sembari menyusul anak dan istrinya yang sudah lebih dulu berjalan disusul Arini yang bergandengan dengan Mak Rum. Aku pun turut serta berdiri di sisi mobil hingga deru mesin pun berbunyi dan perlahan meninggalkan area parkir.
*****
Aku kembali menjalani hari-hari seperti biasa. Kami pun rutin mengunjungi Mak Rum setiap minggunya. Terhitung sudah 2 bulan Mak Rum kembali pada keluarganya, namun sudah dua minggu ini aku dan Arini tidak bisa mengunjungi Mak Rum. Kondisi istriku saat ini sangat lemah, entah kenapa sudah beberapa hari ini Arini terlihat begitu lesu, kliyengan, kurang enak badan, bahkan sering kali mual-mual. Aku bahkan banyak tak berangkat kerja karena harus menjaganya.
Siang hari saat baru saja aku membersihkan tubuh Arini dengan washlap, aku mendengar suara mesin mobil bersahut-sahutan parkir di depan rumah. Segera kuselimuti Arini lantas menarik besi penyangga yang telah setia menemaniku selama setahun ini. Lalu aku mengapitnya di antara tangan dan ketiak sebelah kiri sembari berjalan ke arah depan memastikan ada apakah di depan sana.
Saat aku membuka pintu, sontak aku kaget dengan apa yang aku lihat, di sana terparkir 5 boks truk kontainer dengan sepasang ibu dan anak sedang mengomandoi para sopir untuk menurunkan barang-barang bawaannya.
Mereka adalah Mak Rum dan Mas Heri. Rupanya Mak Rum sudah menceritakan kepada Mas Heri kalau aku punya cita-cita membuka toko kelontong, dan juga Mak Rum meminta kepada Mas Heri agar dia mau tetap tinggal bersamaku dan Arini.
Perlahan Mas Heri mendekat,
"Assalamualaikum, Mas Faqih. Maaf ya, datang gak bilang-bilang. Soalnya ibu kebelet pengin bertemu kalian akhirnya gak sempat telepon." ujar Mas Heri menerangkan.
"Gak apa-apa, Mas, saya senang kok, Mak Rum mengunjungi kami. Tapi maaf, Mas, barang sebanyak ini sampai bertruk-truk untuk apa ya?" ujarku ingin mengurai rasa penasaran.
"Tolong jangan tersinggung ya, Dek. Maksud kedatanganku ke mari memang untuk mengantar ibu, tapi bukan hanya untuk berkunjung, beliau meminta untuk menetap tinggal bersama kalian. Oleh karena itu, aku mengajukan saran agar ibu membuka usaha kelontong dibantu oleh Kamu dan Arini." Belum selesai Mas Heri berucap, Mak Rum segera memotong.
"Iya, Nak Faqih, tolong diterima ya, bantu ibu menjalankan usaha ini. Ibu hanya mau bersama kalian." ujar Mak Rum mengiba.
Mendengar sebutan dari Mak Rum, sontak aku menoleh ke Mas Heri. Lantas lewat mimik wajah, aku pun menanyakan hal tersebut.
Menurut Mas Heri, sekarang Mak Rum sudah lebih ikhlas dan mau menerima kenyataan bahwa Rianti dan Surya memang sudah pergi untuk selama-lamanya. Namun, dia tulus mencintai Arini dan Faqih seperti menyayangi Surya dan Rianti, hingga beliau pun memutuskan tinggal bersama kami.
Hari ini, aku berdiri dengan menyangga pada tongkat besi yang masih selalu setia menemani setiap langkahku, memandangi ruang tamu kontrakanku yang kini disulap menjadi toko kelontong yang baru berdiri seminggu lalu.
Tak henti mengucap syukur dan mengagumi cara Rabb-ku bekerja mengubah takdirku. Siapa sangka Mak Rum yang saat kutemukan di tengah jalan dengan kondisi basah kuyup dan pakaian kumal, ternyata dialah malaikat yang dikirim Tuhan untuk mengubah takdirku. Tak sampai di situ saja, Allah pun memberi kami kabar bahagia dengan kondisi Arini saat ini, ternyata sakitnya itu karena ada kehidupan baru di dalam rahimnya. []
TAMAT
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
kehilangan anak dan mantu membuat Mak Rum terguncang jiwanya.. semoga kita dikuatkan saat kerabat kita berpulang padaNya..
MaasyaaAllah, cerita mengharukan. Tentang rizki, ikhlas, bakti dan kesetiaan.
Masyaallah ...betapa Allah Maha Baik, pertemuan Mak Rum dgn Surya dan Arini telah membawa kebahagiaan pada ketiganya.
MasyaAllah.....terharu. membuatku meneteskan air mata. Ketulusan hati yang luar biasa dari seorang yang bernama Muhammad Fakih Ibrahim.
Sabar dalam ujian, akhirnya indah balasan dari yang Maha Kuasa.
Masyaallah, kisah ketulusan seseorang yang kini mulai langka. Keren ceritanya. Barakallah ...
Bagus ceritanya.... menginspirasi..bahwa setiap kesulitan yg d hadapi merupakan ujian dari Allah SWT,,,jika KT menghadapi nya dengan ikhlas, sabar, ikhtiar dan berdoa,, insyallah akan Indah pada waktunya....❤️
Barakallah❤️
Allah selalu memberi kejutan dari sisi mana saja ya..
Seperti Mak Rum bagi Arini dan suaminya.
Ada gak ya zaman sekarang, orang pikun diterima dan dianggap sebagai keluarga? Hehe
Kayak sinetron di televisi ya,, sudah lama kagak lihat TV..cerpennya asik dan unik