Abidin berpikir. Ia sedang merencanakan sebuah misi. Apa pun yang terjadi, ia merasa harus bisa mengajak bapaknya salat di masjid kampung ini. Ia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Oleh. Imas Hanifah N.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-"Pak, kenapa Bapak gak pernah salat?" tanya Abidin suatu ketika. Bapaknya hanya diam beberapa saat, lalu mengambil gelas kopi, menyeruput isinya sedikit. Setelah itu, barulah ia menjawab, "Bapak salat di kampung sebelah."
"Setiap hari? Subuh juga? Kalau salat Jumat?"
"Iya. Setiap waktu salat, bapak ke kampung sebelah. Kamu aja yang gak tahu. Biasanya kamu masih tidur. Salat Jumat juga di sana."
Abidin merasa itu jawaban yang kurang tepat. Entah mengapa ia merasa demikian. Ia tidak yakin, tetapi Abidin pun tidak mau berburuk sangka.
"Kenapa Bapak gak salat di sini saja? Masjid kampung ini 'kan dekat dengan rumah kita."
"Ya, bapak maunya di kampung sebelah. Sudah, kamu kalau mau tinggal sama bapak, jangan banyak tanya. Atau kamu mau bapak pulangkan lagi ke nenek kamu?"
Abidin menggeleng. "Gak mau, Pak. Nenek lagi sakit, meskipun ada Teh Rani juga yang mengurus nenek, tetapi Abidin mau di sini aja sama bapak."
"Ya, makanya kamu jangan tanya-tanya terus kalau di sini. Jangan bikin bapak pusing. Kamu sekolah aja yang benar, biar bisa jadi orang sukses dan banyak duit."
"Bapak mau Abidin jadi orang sukses?"
"Pakai tanya lagi. Ya, mau."
"Kalau gitu, Bapak harus doakan Abidin setiap selesai salat."
Bapaknya tidak menjawab.
"Pak?" tanya Abidin memastikan. Ia pikir bapaknya mungkin tidak mendengar kata-katanya dengan jelas.
"Sekali lagi kamu tanya, ya. Bapak lempar kamu ke rumah nenek kamu sekarang."
Abidin tidak menganggap ucapan bapaknya serius. Ia agak takut, tetapi tahu kalau bapaknya hanya bercanda. Ia pun memilih untuk masuk ke dalam kamarnya saja.
Di dalam kamar, Abidin berpikir. Ia sedang merencanakan sebuah misi. Apa pun yang terjadi, ia merasa harus bisa mengajak bapaknya salat di masjid kampung ini. Ia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Ibu dan bapak Abidin sudah lama berpisah. Sejak kecil sampai kini sudah kelas VI SD, ia tinggal bersama sang nenek. Ibunya sudah menikah lagi dan tinggal di luar kota, sedangkan bapaknya belum menikah lagi dan tetap tinggal di kampung, bekerja sebagai sopir angkot.
Karena sudah dua minggu neneknya sakit, Abidin memutuskan untuk tinggal dengan bapaknya selama kurun waktu yang belum bisa ditentukan.
Abidin sangat bersemangat ketika tahu bahwa akan tinggal bersama bapaknya itu, tetapi ia sedikit kaget karena bapaknya punya banyak kebiasaan yang berbeda dengan dirinya atau dengan sang nenek. Khususnya soal salat. Selama tiga hari berturut-turut, semenjak tinggal bersama, Abidin belum pernah sekalipun melihat bapaknya melaksanakan salat.
Rasa penasaran Abidin belum sepenuhnya tuntas meskipun ia sudah bertanya tentang itu. Ia malah ingin terus bertanya dan mencari tahu kebenaran soal apakah betul bapaknya itu salat di kampung sebelah, atau sebenarnya tidak?
Selang satu hari berlalu setelah Abidin bertanya, sepulang dari sekolah, ia makan siang dan bersiap untuk pergi ke sekolah agama (diniah). Bapaknya rupanya pulang juga untuk istirahat. Alih-alih pergi mengambil air wudu atau makan, bapaknya malah merebahkan diri di kursi.
"Pak, kenapa gak makan dulu?" tanya Abidin. Ia tahu bapaknya belum tidur, jadi ia berani untuk bertanya.
"Iya, nanti saja. Kamu saja yang makan. Bapak sudah makan tadi."
"Iya, Pak. Abidin setelah makan mau ke sekolah agama."
"Iya, bagus. Kamu harus rajin. Biar pintar dan bisa sukses."
"Iya, Pak. Oh iya, sekolah agama di sini beda gak, ya, dengan yang di kampung nenek?"
"Sama aja."
"Begitu, ya. Bapak jangan lupa salat zuhur, ya."
Tidak ada jawaban.
Hal itu rupanya berlangsung berulang-ulang, setiap kali Abidin mengingatkan soal salat, bapaknya tidak pernah benar-benar mengiyakan dan malah lebih sering pura-pura tidak dengar. Abidin hampir putus asa dengan rencananya semula, tetapi ia kembali bersemangat setelah menemukan satu cara lain. Ya, Abidin menemukan pertanyaan yang menurutnya lebih bagus untuk ditanyakan kepada bapaknya, selain pertanyaan salat.
Pada pagi hari, ketika sarapan, Abidin melemparkan pertanyaan itu kepada bapaknya. "Pak, kata Pak Ustaz besok kiamat, ya?"
"Eh." Mendengar itu, bapaknya agak terkejut.
"Iya, kata Pak Ustaz begitu, lo."
"Jangan aneh-aneh kamu. Masa Pak Ustaz bilang begitu."
"Besok hari Jumat 'kan, Pak?"
"Iya."
"Nah, kata Pak Ustaz, hari Jumat itu kiamat."
"Jumat yang mana, kita gak tahu, Abidin… Sudah, jangan bahas lagi."
"Namun, bisa saja besok, 'kan, Pak?"
"Bukan besok. Pasti bukan. Masih banyak yang salat. Masih banyak yang azan."
"Namun, Bapak gak salat."
"Salat."
"Di kampung sebelah?"
"Iya."
Abidin menatap bapaknya tajam.
"Kenapa kamu ini? Gak percaya?"
"Kenapa Bapak gak salat di kampung sini saja? Kenapa harus ke kampung sebelah?"
"Aduh, pusing sekali kepala bapak. Oke, besok bapak akan salat di kampung ini sama kamu, tetapi setelah itu, jangan pernah kamu tanya-tanya bapak lagi atau menyuruh bapak salat lagi."
Abidin tersenyum. "Oke!"
Keesokan harinya, tepat hari Jumat, Abidin sudah siap. Ia sudah mandi dan memakai baju yang bagus untuk pergi melaksanakan salat Jumat. Bapaknya hanya memandang Abidin tajam. Namun, ia pun mengikuti apa yang Abidin lakukan.
"Bapak juga dulu sering salat Jumat, kok. Jadi masih ingat," ucap bapaknya tiba-tiba.
"Berarti, selama ini Bapak bohong, Bapak gak salat Jumat di kampung sebelah?"
"Eh, bukan. Bukan begitu."
"Lalu bagaimana?"
"Ya ampun. Kamu kenapa gak bisa sehari saja gak tanya-tanya."
Abidin pun berhenti bertanya, tetapi dalam hatinya ia merasakan firasat baik. Sekali bapaknya merasakan salat Jumat lagi, Abidin punya keyakinan kalau bapaknya akan makin rajin. Tentu ini pun belum tentu, tetapi bagi Abidin, ia pikir tidak ada salahnya berharap seperti itu.
Abidin menggandeng tangan bapaknya, walaupun terlihat bapaknya itu agak kurang suka, tetapi Abidin tetap tidak mau melepaskannya. Ada banyak tatapan-tatapan heran dari warga ketika melihat ia dan bapaknya itu pergi ke masjid bersama. Namun, ada pula yang tak henti tersenyum, seperti ikut merasakan kelegaan yang juga Abidin rasakan.
"Ini sekali saja, ya. Besok-besok, bapak salat lagi di kampung sebelah," bisik bapaknya kepada Abidin. Abidin hanya tersenyum, tidak menjawab.
Awalnya semua berjalan seperti biasa. Abidin dan bapaknya duduk bersebelahan. Menyimak khotbah Jumat, kemudian melaksanakan salat. Namun, pada rakaat terakhir, saat bagian sujud, Abidin mendengar sesuatu. Ada isak tangis tertahan yang jelas menyapa telinganya. Abidin baru yakin bahwa suara isak tangis itu dari bapaknya saat salat benar-benar sudah selesai.
"Pak, Bapak tidak apa-apa?" tanya Abidin pelan.
"Kamu ini tanya terus, nanti saja tanyanya," ucap bapaknya dengan suara yang gemetar, masih menahan tangis. Tangis yang menurut Abidin adalah awal yang akan membuat bapaknya itu menjadi seseorang yang lebih baik lagi setelah ini. Ya, Abidin yakin soal itu dan ia akan terus memegang keyakinan tersebut sampai hari-hari yang akan ia jelang ke depannya.[]
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
Masyaallah perjuangan seorang anak untuk mengajak salat bapaknya, luar biasa. Tulisan yang menginspirasi.
Salut dengan Abidin, tak kenal lelah terus mengingatkan bapaknya untuk salat. Bahkan punya cara yang cerdik dengan pertanyaan yang membuat si Bapak akhirnya mau salat juga.
MasyaAllah, anak yang gigih menginginkan bapaknya kembali shalat. Cerpen yang keren, sederhana tapi penuh makna.
Abidin Abidin masa kini harusnya begitu. Semangat pantang mundur mengajak ayahnya pada kebaikan, apalagi agar salat.
Saya pernah menjumpai kisah nyata yang mirip dengan ini. Anak dan istrinya salat tapi kepala keluarganya enggak. Anak dan istri selalu merayu dengan berbagai cara sampai kepala keluarga ini mau salat