My Lovely Mom

my lovely Mom

Ibu, maafkan diriku atas segala khilaf dan kekuranganku. Terima kasih atas segala jasamu. I love you, my lovely mom.

Oleh. Isty Da’iyah 
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Terlahir sebagai anak ketiga dari empat bersaudara yang semuanya laki-laki, membuat diriku lebih suka dekat-dekat dengan ibuku. Kebetulan sejak masih TK hingga ke sekolah pada jenjang yang lebih tinggi, semua teman-temanku adalah laki-laki, maka ketika di rumah aku lebih nyaman berdekatan dengan ibu. Bahkan, kakak-kakakku di rumah sampai menjuluki diriku sebagai anak bayangan ibu. Karena ke mana pun posisi ibuku, di situlah ada keberadaanku.

Pernah suatu ketika ibu telat menjemput aku ke sekolah, aku yang saat itu masih kelas tiga SD merasa sangat sedih, aku takut ibu melupakan aku, aku menangis sampai ia datang menjemput. Ada kelegaan menjalar di hati ketika aku melihat wajah ibuku. Karena aku merasa ia adalah satu-satunya orang yang paling aku butuhkan. Ibuku yang selalu membisikkan kata-kata ajaib dalam diriku. Nyatanya mampu mengantarkan aku menapaki langkah-langkah kecil dakwah yang ia ajarkan padaku. “Kamu adalah kecintaanku, kamu adalah harapanku, anak saleh pasti bisa menjadi anak kebanggaan orang tua, anaknya Ibu pasti bisa,” ucapnya tiap kali aku mengeluhkan tentang ketertinggalanku.

Baca: Awan Mendung di Kota Bandung

Tak Sebanding

Aku memang tidak sepintar kakak-kakakku. Aku tidak segesit kakak pertamaku ketika berlatih bela diri, bahkan tidak selincah gerakannya ketika dilatih oleh pelatih renangku. Pun aku tak berprestasi sebagaimana mereka yang sering mendapat piala. Diriku adalah anak yang biasa saja, bukan anak istimewa yang bisa membuat bangga.

Aku merasa tidak seberuntung kakak keduaku, yang bisa masuk ke sekolah yang ia inginkan. Aku cenderung pemalu dan cuma bisa tersenyum bila bertemu orang atau ditanya sesuatu oleh orang lain. Bagiku hanya kepada ibu aku bisa bercerita dan bisa mengungkapkan segalanya.

Aku juga pernah tertinggal kelas ketika kelas satu SD. Aku sedih karena harus beradaptasi dengan teman-teman baru, tetapi ibuku kelihatan biasa saja. Bahkan, saat itu ibu menghiburku dengan kata-kata ajaibnya. "Tidak apa-apa tinggal kelas, suatu saat kamu pasti bisa berlari kencang mengejar ketertinggalanmu. Kamu suatu saat bahkan bisa melampaui teman-temanmu,” katanya sambil memeluk diriku. Hanya dengan seperti ini aku merasa lega.

Ibuku, sungguh aku mencintaimu, menyayangimu, dan aku butuh dirimu. Makanya aku lebih suka bermain di rumah bersama ibu. Sangat berbeda jauh dengan kedua kakak-kakakku yang banyak teman dan sering main di luar. Aku lebih nyaman membuntuti ibu ke mana pun ia pergi.

Bagiku ibu adalah nomor satu, bahkan ketika aku punya sesuatu atau makanan dari luar yang sekiranya ibuku mau, maka makanan itu aku kasihkan ke ibu dulu. Aku selalu teringat akan hadis-hadis tentang ibu. Salah satunya hadis ketika Rasulullah menyuruh sahabatnya yang bertanya kepada beliau tentang siapa yang didahulukan, ketika ia membaktikan dirinya. Rasul memerintahkan untuk berbakti kepada ibunya terlebih dahulu. Tiga kali Rasul mengatakan lafaz ibu. “Ibumu, ibumu, dan ibumu, lalu ayahmu,”

Merindumu Selalu Ibu

Ibuku, sosok yang selalu aku rindu. Sampai ketika aku harus belajar ke pondok pesantren, hal yang paling berat denganku adalah berpisah dengan ibuku. Wanita yang gerakannya super cepat dalam menyiapkan keperluan untuk keempat anak-anaknya. Wanita yang selalu mengendong adik kecilku dan memangku diriku ketika proses kajian di rumahku, begitu dan selalu begitu sampai aku hafal dan paham apa yang ia kaji dengan sahabat-sahabatnya. Ibuku, wanita yang serba bisa begitu aku menyebutnya selalu, kini aku harus berpisah dengannya untuk sementara waktu.

Aku selalu merindukan cerita-cerita serunya sebelum tidur, selalu merindukan elusan lembutnya di kepalaku disertai doa-doa terbaiknya ketika mata ini mau terpejam. Oh ibu, belum berangkat ke pondok pun aku sudah merasakan rindu itu. Aku sedih saat itu, tetapi demi untuk kebaikanku aku harus pergi menuntut ilmu, agar ia bangga padaku.

Jauh Darimu Ibu

Hari-hari sulit aku lalui ketika harus berpisah dengan orang terdekatku, ibu. Merasakan panjangnya malam, merasakan sedihnya tidur tanpa elusan dikepala disertai dengan doa-doa darinya. Waktu sebulan berpisah dengan ibuku, telah cukup membuat tubuhku yang dahulunya gendut dan gembil, kini sukses menjadi tinggi semampai.

Sampai suatu ketika jadwal kunjungan ke pondok pun telah tiba. Aku bahagia, akhirnya bisa melepaskan rindu pada sosok yang tidak lelah memberi motivasi pada diriku. "Menjadi laki-laki itu harus kuat, karena ia adalah calon mujahid, ia yang akan meneruskan perjuangan dakwah Islam ke penjuru dunia, siapkan dirimu, siapkan bekal hidupmu. Meskipun dirimu jauh dari orang tuamu, tetapi doa terbaik selalu Ibu langit kan dan akan menyertai dirimu, kapan pun di mana pun,” katanya.

Ia menambahkan kata-kata sakti yang bisa mengubah semangatku. Ibuku selalu bilang, kalau aku istimewa, kalau aku bisa, hanya saja butuh waktu untuk berproses. “Aku yakin Mas Aiman akan bisa membuktikannya, karena besar harapan kami, kedua orang tuamu ini, melihat Mas Aiman sukses, bukan hanya di dunia, tetapi juga selamat sampai akhirat,” nasihatnya.

Sejak kunjungan itu, aku mulai bertekad untuk lebih baik lagi, tidak lupa doa-doa selalu aku pinta kepadanya ketika ada kesempatan untuk bertemu atau ketika jadwal telepon. Karena aku meyakini doa ibu adalah doa jalur langit yang Allah siapkan.

Aku bertekad untuk membuktikan jika aku bisa. Apabila berhasil akan aku persembahkan hasilnya hanya untuk ibuku. Sebagai wujud cintaku dan terima kasihku padanya yang selalu memberikan ketulusannya kepadaku.

Ketika Lulus dari Pesantren

Tempaan dan didikan di pesantren telah mampu menjadikan aku menjadi pribadi yang lebih dewasa. Pesantren yang penuh dengan teman yang baik dan ustaz yang bersemangat dalam menyebarkan dakwah Islam. Tempat inilah yang sekarang menjadi rumah keduaku. Pesantren yang mampu mengubah Aiman kecil yang cengeng menjadi Aiman yang siap berjuang meneruskan cita-cita mulia ini.

Aku lulus dan mampu memberikan persembahan terbaikku untuk ibuku, my lovely mom yang harapannya ada di pundakku. Aku mampu membuktikan, meskipun tidak menjadi yang terbaik pertama, tetapi namaku ada di deretan ketiga santri berprestasi.

Saat itu aku lihat senyum bangga ibu untukku, meskipun ia berusaha bersikap sewajarnya saja, namun ia tidak bisa menyembunyikan rasa bangganya padaku. Aku lulus dari pesantren dengan hasil yang memuaskan. Sungguh senyumnya adalah kebahagiaanku.

Berjuang Lebih Baik Lagi

Pesantren, tempat yang mampu mendewasakan diriku tempat yang mampu mengubah diriku, dari anak pemalu menjadi anak yang berani maju, ternyata aku bisa bersuara untuk menyampaikan dakwah agamaku.

Sebenarnya aku masih ingin terus belajar di tempat yang namanya pesantren. Karena pertimbangan faktor biaya, akhirnya aku harus masuk ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di kotaku. Meskipun ibu juga ingin aku ke pesantren, tetapi karena waktu itu biaya kuliah untuk kedua kakakku harus dibayarkan pada waktu yang bersamaan, belum lagi biaya sekolah adik bungsuku yang juga lumayan mahal. Maka karena ibu percaya bahwa aku bisa menjaga diri di sekolah negeri, akhirnya aku bisa masuk MAN lewat jalur prestasi tahfiz.

Ibuku bicara dari hati ke hati denganku. Ibu menjelaskan jika pesantren dan luar pesantren akan berbeda. Maka aku harus kuat iman, kuat akidah, dan kuat menjaga diri. Ia sekali lagi meyakinkanku kalau aku bisa melalui masa-masa sekolah di MAN. Suasana di rumah akan disuasanakan seperti di pesantren, bahkan sekarang ibu yang akan langsung jadi mudir pesantren rumah ala kami. Aku akan mengikuti aturan dari ibuku sebagaimana di pesantren dulu.

Aku tahu, mungkin ini berat bagi ibu, tetapi aku akan berusaha mendukung apa yang menjadi keinginannya. Sering aku melihatnya terisak di malam hari, menyebut nama anaknya satu per satu. Aku tahu dalam sistem kapitalis sekuler seperti ini memang doa-doa terbaik yang kita perlu. Selalu melibatkan Allah adalah caraku dalam mewujudkan cita-citaku. Semuanya terbukti ketika Allah menolongku untuk ikut tes masuk kelas akselerasi di MAN. Semoga apa yang diinginkan ibu segera terwujud, bisa masuk kelas akselerasi, sehingga hanya perlu dua tahun saja untuk menuntaskannya di sekolah itu.

Bukan Anak Istimewa, tetapi Bisa

Aku memang anak yang biasa-biasa saja. Diriku bukanlah anak istimewa, tetapi ingin menjadi yang teristimewa bagi Ibu. Aku ingin masuk surga melalui pintu yang tengah, yakni pintu surga yang dikhususkan bagi anak yang berbakti kepada ibunya. Aku melakukannya karena ini perintah Allah Swt.

Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an surah Luqman ayat 14 yang artinya:

”Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah gandung dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembali.”

Aku ingin seperti Uwais. Uwais adalah pemuda yang sangat berbakti pada ibunya. Ia mengendong ibunya pergi haji sendirian melewati padang sahara berbulan-bulan lamanya. Aku ingin membahagiakannya. Aku ingin meringankan bebannya, karena selama hidupnya waktunya hampir semua digunakan untuk mengurus anak-anaknya.

Berkah

Kata ibuku jika kita melakukan sesuatu karena Allah, ada sebuah keberkahan di dalamnya. Terbukti aku merasa keberkahan selalu mendatangiku. Aku menemukan teman-teman dan lingkungan yang baik di sekolah. Aku bisa mengembangkan segala potensiku ketika di rumah atau di sekolah.

My Lovely Ibu

Ibu, banjiri aku terus dengan doa terbaikmu, agar aku bisa membalas semua jasamu kepadaku, meski itu tak sebanding dengan besarnya pengorbananmu padaku. Aku berdoa semoga dirimu diberi keberkahan waktu membersamai putra-putramu, meskipun aku tahu tidak semua putramu paham akan kemauanmu, tetapi aku yakin dengan doa-doamu dan kuatnya usahamu dalam mendidik putramu, Allah akan kabulkan doa-doamu.

Ibu, maafkan diriku atas segala khilaf dan kekuranganku. Terima kasih atas segala jasamu. I love you, my lovely mom.

Wallahu a’lam bi-shawab. []

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor Narasiliterasi.id
Isty Daiyah Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Pembangunan Infrastruktur Dongkrak Ekonomi, Benarkah?
Next
Maaf, Ayah!
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

5 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Atien
Atien
30 days ago

Masyaallah. Peran seorang ibu memang luar biasa. Cintanya pun tulus demi kebahagiaan anak-anaknya. Kasih ibu takkan habis ditelan waktu. Cintanya takkan pudar ditelan zaman.
Barakallah mba @Isty

Isty Da'iyah
Isty Da'iyah
29 days ago
Reply to  Atien

Wa fik barakallahbak Atien

Mimy muthmainnah
Mimy muthmainnah
30 days ago

Ibu oh Ibu satu2nya wanita yg sebenarnya tulus pada anaknya. Doanya maha dashyat menembus langit. Beruntungnya ibu memiliki anak saleh sebab kelak doanyalah yg sampai hingga mengantarkannya ke Surga.

Barakallah Mb Isty sukses dunia akhirat

Isty Da'iyah
Isty Da'iyah
29 days ago

Wa fik barakallah mbak Mimi

Isty Da'iyah
Isty Da'iyah
29 days ago

Semoga tercapai cita-citamu anakku

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram