Anak Langit
3
375
“Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).” (TQS Hud: 6)
Oleh. Eno Wasiat
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Lima belas menit menjelang pukul 24.00. Suara tangisnya memecah kesunyian malam. Seolah menjadi alarm buatku dan suami untuk bergantian menggendong si kecil atau mengusap-usapnya dengan minyak telon. Suara murottal dari seluler sedikit aku keraskan agar anakku hanya fokus dengan lantunan indah dari Ilahi. Beberapa detik kemudian suara seperti ledakan keras di atas genteng terdengar. Kami tak tahu suara apa itu. Karena selalu terdengar di jam yang sama. Hanya kami yang di dalam rumah saja yang mendengar suara itu. Tidak ada tetangga yang mendengar. Rumah kosong yang sementara kami tempati ini milik saudara ibu mertua. Alhamdulillah suara itu hanya berlangsung satu bulan. Dan anakku bisa tertidur tenang.
Pertanyaan dari beberapa tetangga mengapa anakku setiap tengah malam menangis, lambat laun hilang sendiri. Aku jarang berkumpul dengan tetangga jika tidak ada sesuatu yang penting. Paling sering ke rumah ibu saja yang tinggal bersebelahan denganku. Datang ke Posyandu sesekali sambil menikmati celoteh emak-emak yang membandingkan perkembangan anak mereka. Anakku yang terlahir dengan riwayat bocor jantung sering mencuri perhatian mereka. Selalu terlihat panik jika bertemu banyak orang. Apalagi suara berisik dan keras. Ketidaknyamanan itu membuat anakku sering menangis jika diajak keluar rumah. Berbagai pertanyaan sering dilontarkan beberapa ibu-ibu. Enggan rasanya harus menjelaskan ke semua orang yang menatap dengan aneh ke arah kami. Sebagai orang baru yang tinggal di kampung ini, kami berusaha beradaptasi dan beramah-tamah dengan masyarakat. Namun, tidak semua orang bisa memahami kondisi itu. Dan aku pun berusaha menerimanya.
Salah seorang teman menyarankan agar kami membawa ke spesialis dan psikolog anak. Tentu saja kami ingin yang terbaik untuk anak. Kondisi yang sangat terbatas secara finansial, bahkan BPJS sudah tak mampu kami bayar kembali, memaksaku tidak membawanya ke sana. Surat pernyataan terakhir dari dokter spesialis jantung saat masih tinggal di Bali, cukup membuat kami optimis untuk menjaga dan merawat buah hati keduaku ini dengan cara yang berbeda. Allah Swt. tidak mungkin keliru menitipkan amanah-Nya.
“Mbak, katanya tinggal di Bali itu enak, gampang nyari cuan. Kok, malah pulang kampung? Di kampung itu susah nyari uang, lo,” komentar seorang tetangga dengan beberapa temannya.
“Ah, masa? Buktinya di sini banyak orang kaya dan sukses,” jawabku sambil tersenyum.
Sejujurnya aku juga masih berpikir keras mau kerja apa, karena terbiasa kerja kantoran dan menangani berbagai proyek. Tapi kami harus survive. Jangan sampai membebani orang tua apalagi saudara. Sambil membersamai anak-anak, kami tak malu bekerja apa pun asal halal. Dari jual gorengan, sablon kaos, desain, dan membuka sanggar lukis meskipun gratis. Keyakinanku bersama suami, rezeki itu dari Allah Swt. Semua makhluk sudah dijamin. Tinggal di mana saja, yang penting masih di bumi milik-Nya. Bukankah rezeki itu bertebaran di mana-mana?
“Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).” (TQS Hud: 6)
Saat bungsuku berusia dua puluh bulan, kami sekeluarga harus menghadiri sebuah acara keluarga ibu di luar kota. Karena menghormati beliau, akhirnya kami ikut. Termasuk kedua jagoanku.
“Pa, nanti tolong bilang ke Pak supirnya supaya jangan merokok, ya,” Pintaku ke suami.
“Iya, Ma,” jawabnya.
Awalnya Pak supir tidak merokok saat menyetir. Namun, saat berhenti dan berada di lokasi tujuan, kami dan anak-anak tetap saja harus menghirup asap rokok dari beberapa bapak-bapak. Sedih rasanya menatap si kecil mulai gelisah dan menurut saran dokter tidak boleh terkena asap rokok. Kucoba memberikan sinyal kepada mereka dengan menjauhkan diri bersama anak-anak. Tapi bukannya pengertian yang kudapatkan, sebuah komentar tak sedap terlontar dari seseorang. Kami ini dibilang orang aneh. Nggak bisa adaptasi dengan lingkungan. Berapa banyak anak-anak terpapar asap rokok oleh ayah mereka setiap hari namun semua baik-baik saja, begitu katanya. Ya sudahlah. Kami memilih diam dan tak ingin berdebat dengat mereka.
Rombongan keluarga kembali hari itu juga hingga tiba di rumah sudah hampir dini hari. Setelah membersihkan badan, kami bersiap untuk istirahat. Anak sulungku langsung terlelap karena lelah. Sementara si bungsu tak mau memejamkan mata. Yang paling menyedihkan, dia tidak mau minum ASI lagi sejak perjalanan pulang. Memaksanya hanya membuatnya marah dan rewel.
Perasaan bersalah dan menyalahkan mulai hinggap di kepala. Kesal, marah, dan menyesal rasanya. Mungkinkah ini gara-gara asap rokok? Suamiku bukan perokok, tapi kenapa anakku yang jadi korban?
Semakin hari si kecil tampak kurus. Tidak dapat asupan ASI, susu formula tidak mau, dan asupan makanan keluarga belum begitu diminati. Usianya hampir 24 bulan. Belum juga ada tanda-tanda berjalan. Beda sekali dengan kakaknya. Usia satu tahun sudah berlari. Bahkan di usia yang belum genap tiga tahun sudah bisa naik sepeda roda dua. Suami selalu menguatkanku. Bahwa tidak ada yang terlambat. Nanti kalau sudah waktunya, sudah dewasa, semua akan sama saja. Bisa berjalan di usia berapa pun tak akan ada artinya.
Setiap anak pasti berbeda. Walau menurut buku tumbuh kembang anak normal, bungsuku dianggap lambat. Usia dua tahun baru mulai belajar berjalan. Aku bersyukur dia sehat, mulai suka sekali air putih, brokoli, dan kentang. Suatu hari kakinya terkilir karena belum begitu kuat berjalan. Sehingga takut mencoba lagi.
“Ayo, Dik! Kita jalan-jalan di luar rumah, ya … ,” ajakku.
Kaki kanannya sedikit kesulitan untuk tegak berjalan. Namun aku terus mendukungnya dengan memegangi tangannya agar tidak terjatuh. Beragam komentar dari beberapa orang hanya aku senyumin saja tanpa komentar. “Ya Allah, Engkaulah kekuatanku. Kuatkan kami, ya Rabb,” ucapku dalam hati.
Jika terlalu lelah, si bungsu selalu minta dielus-elus kakinya hingga tertidur. Bisa berlangsung satu jam, bahkan lebih dari dua jam. Dalam keadaan yang sama-sama lelah selalu kusisipkan doa terbaik untuk anakku sambil mengusap kaki mungilnya. Kutatap wajahnya yang imut, mata sipit, dan berkulit putih bersih, biasanya dia akan tertidur setelah mendengarkan murottal juz 30 dua putaran. Bacaan Al-Qur’an selalu membuatnya tenang. Jika terdengar suara azan dari masjid, dia akan terdiam dan fokus mendengarkan meskipun keras.
“Ya, Allah, kami milik-Mu. Aku ikhlas menerima amanah-Mu ini. Kuatkan kedua kaki ini yaa, Allah. Dengan kaki ini, kelak antarkan Assyadid Nibras Arif selalu salat lima waktu di masjid. Senang dengan majelis ilmu dan mudahkan kaki ini berjalan ke tempat-tempat yang baik dan Engkau ridai. Aamiin.”
Beberapa bunyi sering membuatnya tidak nyaman. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat di sini jika mengadakan acara hiburan atau karnaval selalu menggunakan sound system super keras. Bahkan untuk acara keagamaan. Pernah suatu ketika ada pertunjukkan reog lewat dan berhenti di depan tempat tinggal kami. Kaca jendela, pintu, dan dinding bergetar oleh dentuman musik yang sangat kuat. Anakku yang sudah tertidur langsung terbangun. Jantungnya berdebar hebat. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Tiba-tiba anakku muntah-muntah setelah sekitar 30 menit pertunjukkan reog berlangsung. Kupeluk tubuhnya yang bergetar dan dingin sambil memohon pada Allah agar dikuatkan. Hanya itu yang bisa membuat kami tenang. Berteriak atau protes pun tak mungkin. Yang sering terjadi justru kami yang disalahkan. Disuruh tinggal di hutan saja. Waduh.
Nibras tidak melewati sekolah PAUD dan Tamak Kanak-kanak A seperti teman-temannya. Alhamdulillah, setelah mencari informasi ke beberapa sekolah. Akhirnya kami menemukan sekolah yang insyaallah baik untuk anak kami. Para guru bisa memahami kondisinya. Ustazah menyebut anakku dengan sebutan Anak Langit. Terima kasih ya Allah, Engkau temukan kami dengan mereka yang penuh kesabaran membersamai Nibras dengan segala kekurangan, kelebihan, dan keunikannya.
Nibras belum bisa membaca dan menulis. Dia lebih tertarik pada hafalan Qur’an dan menggambar. Itu pun masih sebatas gambar mobil saja. Ingatannya cukup kuat. Sehingga cepat sekali menghafal bacaan Qur’an dan syair lagu dengan beberapa bahasa dan cengkok yang bervariasi. Mengganti lirik lagu semaunya sendiri menjadi hiburan tersendiri buat kami. Ditambah dengan suaranya yang empuk dan merdu.
Allah selalu menitipkan kelebihan pada setiap kekurangan. Ya, Allah. Akhirnya kami mengerti mengapa Engkau titipkan Nibras kepada kami. Banyak pesan yang Engkau sampaikan melalui makhluk kecil ini. Tentang kesabaran, keikhlasan, pengorbanan, perjuangan, serta ketaatan hanya pada Sang Pemilik Kehidupan. Semoga dengan anugerah yang Allah titipkan, kelak kamu menjadi pejuang yang lantang menyerukan kebenaran. Aamiin.[]
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
Ya Allah mb..hati ini ikut nyeri mbaca kisah ini.. sehat2 selalu dedek Nibraz anak shalih..
Dedek Nibraz harus kuat
Penyemangat kedua orang tua
Aliran pahala mengalir kencang untuk kedua orang tuamu
Yakin Allah selalu memberikan yang terbaik
Rasa hati pilu membaca cerita mu
Betul, di dalam setiap kekurangan pasti ada kelebihan. Buat dedek Nibras, semoga Allah beri kekuatan dan semangat ya