Tunjangan Rumah DPR, Perlukah?

Tunjangan Rumah DPR Perlukah

Berbicara soal tunjangan rumah DPR, prestise pejabat terletak pada kekayaan dan kemewahan sehingga tunjangan tinggi menjadi wajar dalam demokrasi kapitalisme. Namun, Islam justru menanamkan pandangan yang berbeda tentang kekuasaan.

Oleh. Dyah Pitaloka
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Dikutip dari Kompas.com, Anggota DPR RI periode 2024-2029 tidak lagi mendapatkan fasilitas Rumah Jabatan Anggota (RJA). Untuk menggantikannya, mereka disebut bakal mendapatkan tunjangan rumah secara bulanan. Sekretaris Jenderal DPR RI, Indra Iskandar, menyatakan keputusan ini diambil karena RJA tidak lagi ekonomis untuk dipertahankan karena usia bangunan yang sudah tua dan memerlukan biaya pemeliharaan besar.

Indra juga menjelaskan bahwa pimpinan DPR dan fraksi-fraksi sepakat untuk mengembalikan kompleks RJA di Kalibata dan Ulujami kepada negara melalui Kementerian Keuangan dan Kementerian Sekretariat Negara. Setelah dikembalikan, aset-aset tersebut akan diperiksa sebelum langkah selanjutnya ditentukan.

Saat ini, Sekretariat Jenderal DPR RI tengah mengkaji besaran tunjangan perumahan yang tepat. Tunjangan ini akan dimasukkan ke dalam komponen gaji anggota DPR dan dievaluasi setiap tahun berdasarkan fluktuasi harga sewa di Jakarta. Diperkirakan, mereka akan menerima tunjangan dengan besaran Rp50-70 juta tiap bulan.

Kebijakan ini tercantum dalam surat Sekjen DPR RI nomor B/733/RT.01/09/2024 tanggal 25 September 2024. Pimpinan DPR tidak akan menerima tunjangan ini karena mereka tetap tinggal di rumah dinas di kawasan Widya Chandra dan Kuningan, Jakarta Selatan.

Melihat Kelayakan Rumah Dinas DPR RI

Dari total 596 rumah dinas di Kompleks Rumah Jabatan Anggota (RJA) DPR RI, hanya sekitar 45 persen yang dianggap masih layak huni. Sekretaris Jenderal DPR RI, Indra Iskandar, mengungkapkan bahwa meskipun sebagian rumah dianggap layak, banyak penghuni yang mengeluhkan berbagai masalah, seperti dinding yang lembap, atap bocor, dan gangguan tikus yang mengurangi kenyamanan.

Pada 7 Oktober 2024, Kompas.com mengunjungi kompleks rumah dinas anggota DPR di Kalibata, Jakarta Selatan. Sebagian besar rumah di kompleks tersebut sudah kosong, namun rumah-rumah itu masih tampak cukup layak huni, meski ada beberapa bagian yang memerlukan perbaikan. Sebagai contoh, di rumah nomor A3-30, plafon di area kamar dan garasi mengalami kebocoran dan terdapat bercak kekuningan. Selain itu, cat dinding mulai terkelupas, dan ada bau tidak sedap dari tikus di kamar utama karena rumah tersebut sudah lama tidak dihuni. Kondisi serupa juga ditemukan di rumah nomor B4-159, di mana plafon berubah warna akibat bocor.

Luas setiap rumah dinas di kawasan Kalibata sekitar 188 meter persegi dan memiliki dua lantai. Lantai bawah terdiri dari satu kamar utama, satu toilet, ruang kerja, garasi, dapur, dan halaman belakang, sementara di lantai atas terdapat empat kamar tidur dan dua toilet.

Efektivitas Tunjangan Rumah

Menurut Indra, anggota DPR akan menerima tunjangan perumahan bulanan sekitar Rp50-70 juta. ICW memperkirakan bahwa jika tunjangan tersebut diberikan kepada 580 anggota DPR selama 60 bulan atau 5 tahun, total anggaran yang dikeluarkan akan mencapai Rp1,74 triliun hingga Rp2,43 triliun.

ICW menilai ini berpotensi menyebabkan pemborosan anggaran sebesar Rp1,36 triliun hingga Rp2,06 triliun dalam lima tahun ke depan. Dengan demikian, ICW meminta Sekjen DPR RI untuk menghapus kebijakan yang diatur dalam surat Nomor B/733/RT.01/09/2024 tersebut.

Menurut pengamat tata kota, Nirwono Yoga, memberikan tunjangan bukan solusi efektif karena tidak semua anggota DPR membutuhkan rumah dinas. Ia menyarankan agar rumah dinas yang ada diperbaiki dan diprioritaskan untuk anggota dewan yang benar-benar membutuhkannya, terutama mereka yang berasal dari luar Jakarta dan tidak memiliki rumah. Bagi anggota DPR RI yang sudah memiliki hunian di kawasan Jakarta, fasilitas rumah dinas sebetulnya tidak diperlukan.

Yoga juga menekankan bahwa jika tunjangan tetap diberikan, tidak seharusnya diberikan kepada anggota yang sudah memiliki rumah mewah, karena dana tersebut bisa digunakan untuk keperluan lain yang lebih mendesak.

Tunjangan Rumah DPR di Tengah Impitan Iuran Tapera

Kebijakan tunjangan perumahan untuk anggota DPR memicu kecemburuan di kalangan masyarakat, terutama di antara pekerja dan buruh. Saat anggota DPR RI menikmati manisnya wacana tunjangan perumahan, para pekerja malah akan terkena potongan sebesar 3 persen untuk iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Presiden Joko Widodo telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 yang mewajibkan pekerja swasta ikut serta dalam Tapera, yang sebelumnya hanya berlaku untuk ASN, TNI, Polri, dan pegawai BUMN/BUMD. Iuran ini terdiri dari 2,5 persen yang ditanggung oleh pekerja dan 0,5 persen oleh perusahaan.

Baca Juga: Program 3 Juta Hunian, Akankah Terwujud?

Iuran Tapera, yang dikelola oleh Badan Pengelola Tapera (BP Tapera), mendapat kritikan karena dianggap memberatkan, terutama bagi pekerja yang sudah dibebani berbagai potongan lain seperti BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Sejak 2018, lebih dari 8,5 juta penduduk kelas menengah Indonesia mengalami penurunan status ekonomi, seiring dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi. Beban kelas menengah, terutama yang bekerja di sektor formal, diperkirakan akan semakin berat dengan adanya iuran Tapera, ditambah dengan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai menjadi 12%.

Banyak dari kalangan ini yang masih menyewa rumah bertahun-tahun karena harga properti terus meningkat, membuat impian memiliki hunian dekat tempat kerja semakin sulit tercapai. Tentunya ini bertolak belakang dengan para wakil rakyat yang saat ini terkesan pilah-pilih rumah dinas.

Mahalnya Sistem Demokrasi Tuntut Tunjangan Lebih

Kritik terhadap mahalnya biaya demokrasi seharusnya terlihat di setiap tahap pelaksanaannya. Untuk menjadi calon legislatif (caleg), para kontestan perlu membayar mahar untuk mendapatkan kursi di partai politik. Selain itu, caleg juga harus membiayai kampanye, termasuk membentuk tim sukses untuk mendukung pencalonannya.

Tak hanya itu, praktik jual beli suara masih marak terjadi, di mana masyarakat yang apatis politik hanya menunggu "serangan fajar" sebagai bagian dari praktik politik uang yang merugikan. Akibat tingginya biaya politik ini, para pejabat DPRD kemarin menggadaikan Surat Keputusan (SK) sebagai jalan cepat untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan. Tak jauh, tuntutan tunjangan berlebih seperti tunjangan rumah dinas bagi para anggota legislatif di DPR RI erat kaitannya dengan mahalnya biaya yang sudah mereka keluarkan dalam sistem demokrasi.

Kehidupan di dalam sistem sekuler yang konsumtif juga memengaruhi gaya hidup para wakil rakyat. Banyak pejabat yang terjebak dalam gaya hidup mewah dan tak jarang menggunakan kekuasaan untuk mengakses kemewahan tersebut. Mereka sering hidup berlebihan dari hasil proyek-proyek pemerintah. Gaji besar pun dianggap belum cukup untuk mendukung gaya hidup mewah para wakil rakyat.

Ironisnya, tren pamer kekayaan di tengah masyarakat kerap dilakukan oleh para pejabat dan keluarganya. Media kerap kali menyoroti hal ini sehingga perilaku hedonis pejabat menjadi hal biasa di mata publik. Fakta ini menegaskan bahwa sistem politik saat ini telah menjadi arena bisnis yang menguntungkan.

Tidak heran jika seorang analis politik dan penulis buku "Digital Democracy, Analogue Politics" yang bernama Nanjala Nyabola mengatakan bahwa pemilu dalam sistem demokrasi merupakan sebuah bisnis besar. Dengan demikian, butuh modal besar untuk memainkannya. Tunjangan rumah yang saat ini dituntut oleh anggota DPR RI adalah salah satu pundi harta untuk modal mereka, pun untuk memenuhi gaya hidup mewah yang diinginkan mereka.

DPR Wakili Siapa?

Dengan segala kemewahan dan status sosial yang mereka dapatkan, apakah wakil rakyat benar-benar mewakili suara rakyat? Sayangnya, tidak. Alih-alih bekerja untuk kepentingan rakyat, mereka justru melayani kepentingan oligarki di dalam lingkaran kekuasaan. Hal ini masuk akal, karena sejak awal pencalonan mereka didukung oleh para pemodal besar. Ketika mereka mendapatkan kursi kekuasaan, praktik bagi-bagi kekuasaan pun dimulai.

Baca Juga: Wakil Rakyat, Benarkah Melayani Rakyat?

Rakyat dapat melihat bagaimana para pengusaha dan penguasa saling berkolaborasi dalam sistem demokrasi ini. Akibatnya, banyak regulasi yang lebih menguntungkan korporasi, seperti UU Cipta Kerja, UU Penanaman Modal, kebijakan reklamasi, dan pengambilalihan lahan masyarakat, seperti kasus di Rempang. Ini hanyalah beberapa contoh dari pengkhianatan para pejabat terhadap rakyat.

Korporasi yang sering menganggap rakyat sebagai hambatan bagi kepentingan mereka menggunakan pemerintah sebagai pelindung. Pemerintah yang seharusnya berpihak pada rakyat justru sering berada di sisi yang berlawanan. Bahkan, bukan rahasia lagi bahwa pejabat sering menerima "upeti" dari korporasi.

Tidak heran jika kepercayaan rakyat terhadap para anggota dewan terus menurun, yang berdampak pada rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilu. Ini semua karena para penguasa saat ini tidak bekerja untuk rakyat, melainkan untuk memenuhi kepentingan korporat.

Wakil Rakyat dalam Sistem Islam

Disebutkan dalam Kitab Ath-Thariq karya Syekh Ahmad Athiyat, Majelis Syura atau majelis umat dalam sistem Islam adalah perwakilan yang terdiri dari sekelompok orang yang dipilih oleh umat untuk melakukan kontrol dan memberikan pandangan kepada khalifah dalam penerapan hukum Islam. Mereka juga memberikan saran yang dianggap bermanfaat bagi kaum muslim. Setiap individu yang memiliki kewarganegaraan Islam, berakal, balig, dan merdeka berhak menjadi anggota Majelis Umat. Rasulullah saw. pernah meminta kaum muslim untuk memilih 14 pemimpin dari kalangan Anshar dan Muhajirin sebagai penasihat dalam berbagai urusan. (muslimahnews.net)

Wewenang utama Majelis Syura meliputi:

  1. Memberi masukan kepada khalifah terkait urusan dalam negeri seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, yang sifatnya mengikat.
  2. Mengoreksi tindakan khalifah dan penguasa jika ada kekeliruan, dengan keputusan mayoritas yang juga bersifat mengikat.
  3. Mengungkapkan ketidaksukaan kepada wali atau pejabat lainnya, yang kemudian khalifah harus memberhentikan jika ada pengaduan.
  4. Memberikan pendapat terkait undang-undang yang akan ditetapkan serta memberi batas kandidat khalifah.

Dalil terkait syura terdapat dalam Al-Qur’an, seperti dalam QS. Ali Imran: 159 yang menyuruh bermusyawarah, dan QS. Asy-Syura: 38 yang menyatakan bahwa urusan umat diselesaikan melalui musyawarah. Bagi nonmuslim, mereka dapat merujuk kepada ahli dzikir (orang berilmu) sebagaimana disebut dalam QS. Al-Anbiya: 7.

Rasulullah saw. juga pernah bersabda kepada Umar dan Abu Bakar bahwa jika mereka bersepakat dalam suatu musyawarah, maka beliau tidak akan menentang keputusan tersebut.

Islam Teladan Kesederhanaan

Umar bin Khaththab ra., yang sering dijadikan teladan pemimpin, adalah sosok yang sangat takut kepada Allah. Rasa takut inilah yang membuatnya berhati-hati dalam menggunakan harta negara untuk keperluan pribadi dan keluarganya.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang merupakan cicit dari Umar bin Khaththab ra. pun dikenal sebagai pemimpin yang gemar bersedekah dan hidup bersahaja. Pada masa kepemimpinannya, masyarakat hidup sejahtera hingga sulit menemukan orang yang layak menerima zakat karena kemakmuran yang merata.

Penutup

Pemimpin idaman yang sederhana seperti Umar bin Khattab ra. dan cicitnya tidak mungkin lahir dari sistem sekuler seperti saat ini. Berbicara soal tunjangan rumah DPR, prestise pejabat terletak pada kekayaan dan kemewahan sehingga tunjangan tinggi menjadi wajar dalam demokrasi kapitalisme. Namun, Islam justru menanamkan pandangan yang berbeda tentang kekuasaan. Sistem kapitalis telah membuat para pejabat menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan memperkaya diri.

Akibatnya, praktik politik dalam sistem ini tidak lebih dari perputaran uang di kalangan konglomerat. Gaji tinggi, tunjangan, dan bonus lainnya menjadi fokus bagi para pejabat di sistem kapitalis ini. Pandangan kapitalistik yang mendominasi para pejabat ini perlu digantikan.

Sudah saatnya Islam, dengan konsep kepemimpinan yang unik, hadir sebagai alternatif dalam kepemimpinan saat ini. Di tengah banyaknya pejabat yang mengkhianati rakyat, Islam menawarkan satu-satunya sistem yang mampu melahirkan pemimpin yang amanah dan takut kepada Allah.

Wallahualam bissawab.[]

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor Narasiliterasi.id
Dyah Pitaloka Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Tawaf Ajaib bagi Kesehatan Jiwa dan Raga
Next
Sebuah Titik Balik
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Novianti
Novianti
1 day ago

Cuman bisa ngelus dada melihat gaya hidup pejabat saat ini. Tidak ada malu-malunya malak rakyat demi gaya hidup mewah mereka.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram