Terbanglah, Wahai Anakku!

Terbanglah Wahai Anakku

Terbanglah, wahai anakku! Terus bertumbuh hingga kelak mendapatkan momen tepat untuk menjadi terbaik di hadapan Allah.

Oleh. Novianti
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Ting, sebuah pesan masuk dalam handphone, “Mam, alhamdulillah saya lulus”. Pesan pendek dari putraku, tetapi mampu menggemuruhkan rasa haru dalam hati. Akhirnya, perjuangannya untuk menunaikan apa yang menjadi pilihannya tercapai. Tertunda setahun dari waktu seharusnya, yaitu lima tahun. Bukan sengaja menunda, tetapi karena ada tanggung jawab sebagai Sekjen Nasional organisasi himpunan profesi jurusannya.

Tidak berselang lama dari wisuda, ia bekerja dan ditempatkan di sebuah pedesaan. Sebagai anak yang besar di kota, tempat bekerjanya bukanlah tempat yang nyaman. Banyak hal yang ia dapatkan dengan mudah di kota, tidak akan diperolehnya di sana. Ternyata anakku mau menempa diri dengan pilihannya sendiri.

Mendampingi Meniti Kedewasaan

Aku mengingat kembali kenangan saat mendampinginya dalam proses perjalanan meniti kedewasaan. Tatkala bersekolah di SMA boarding school, itulah pertama kali ia berpisah dari orang tuanya. Baru sebulan, ia mengatakan dengan wajah ditekuk ,”Sekolah itu tidak cocok untuk saya”. Lalu keluarlah sederet keluhan mulai dari keadaan kamar, teman-teman satu asrama, teman-teman di sekolah, makanan, dan masih banyak lagi.

Kami sebagai orang tua mendengarkan, namun bukan berarti mengiyakan dan membawanya pulang. Sering kali manusia memilih menghindari sebuah kondisi, meski di situ ada peluang untuk berkembang. Orang senang menghindari hal yang tidak disukai demi mempertahankan sebuah kenikmatan sementara.

Contoh, orang yang paham pentingnya berolahraga rutin pagi hari. Akan tetapi, banyak yang memilih tidur lagi setelah salat subuh. Jawabannya karena tidur dan berada di ranjang memberi kenikmatan sementara serta pilihan lebih mudah daripada harus berolahraga.

Ketika itu kami mengatakan memahami apa sedang dihadapinya, akan tetapi rela menunda kenikmatan (delayed gratification) lebih baik. Seorang juara harus membayar terlebih dahulu di awal dengan berbagai kepahitan untuk menikmati hasilnya kemudian. Sedang pecundang, lebih mementingkan kenyamanan sesaat, tetapi lupa bahwa itu akan mendatangkan kerugian di masa depan.

Kami memberikan pilihan. Apakah ingin berjuang dan jika gagal, kami masih bisa mendampingi untuk bangkit kembali, atau memilih menyerah, tetapi nanti harus berjuang keras sendirian karena mungkin kami sudah tiada.

Akhirnya, tetap bertahan meski diselingi dengan berbagai drama. Diare berhari-hari setelah mengikuti program kepemimpinan dengan berjalan kaki Bogor-Cianjur. Termasuk akal-akalan agar bisa menemui kami. Minta izin keluar asrama karena mau fotocopy, padahal fotocopy di kota berbeda yaitu tempat tinggal orang tuanya. Ia nekat, pulang sendiri dengan kereta.

Banyak kisah menggelikan sekaligus menguji kesabaran. Tetapi kami ibarat petani yang sedang menumbuhkan bibit terbaik pemberian Allah. Bibit itu perlu dirawat dan dipupuk pada media tanam yang baik. Bukan berarti harus selalu memberi kenyamanan dan kemudahan sehingga anak rapuh, ringkih menghadapi kerasnya kehidupan.

Ada pepatah, “Apa yang Anda tanam, itulah yang akan Anda tuai”. Sebagai orang tua harus menanam dengan semangat tinggi, kerja keras, berdoa tanpa henti. Tidak boleh ingin memperoleh panen dengan cara instan (instant gratification) dan selalu membantu setiap kesulitan anak.

Orang tua harus bekerja work smart dan work hard. Work smart artinya memahami hal-hal fundamental yang harus diajarkan kepada anak. Prioritas yang harus diberikan dan dilakukan dengan work hard lewat berbagai upaya yang membuat anak memahami fokus utama dalam hidupnya.

Tumbuhkan Jiwa Kepemimpinanmu, Anakku!

Islam mengajarkan agar anak ditumbuhkan jiwa kepemimpinannya, setidaknya bisa memimpin diri sendiri untuk terus bergerak dan bereksplorasi melejitkan potensinya. Di antaranya dengan mendorong anak belajar mengambil risiko dengan melewati tantangan. Hidup akan terasa flat jika tidak memaksa diri terlibat dalam hal-hal yang menantang. Tentunya ada risiko di balik setiap tantangan, namun risiko itulah yang dapat membuat seseorang maju.

Oleh karenanya, aku mendukung ketika anakku berniat melakukan penelitian di sebuah desa tentang potensi ikan sapu-sapu bagi kesuburan tanah. Ia harus tinggal di desa dan berhubungan dengan nelayan untuk mendapatkan ikan sapu-sapu yang dibutuhkan. Pernah sudah menanam 3 pekan, tiba-tiba tanamannya mati dan penelitian mengulang dari awal.

Baca juga: Pentingnya Family Time

Meski kecewa, tetapi pengalaman itu sangat berharga. Belajar untuk tetap bergairah, antusias, dan tetap bersikap positif walau tantangan menghadang dan terus berusaha mencari solusi agar tujuannya tercapai. Tidak menjadi quiter, memilih kalah untuk menghindari masalah. Islam mengajarkan agar memperoleh yang terbaik, harus berikhtiar.

Ketika di masa Covid-19, ia mencoba mengisi waktu dengan berjualan jeruk. Dibeli dari pasar secara grosiran dan dijual per kilo. Pulang dari pasar, membersihkan jeruk dan menimbang sesuai pesanan. Lalu dikirim ke rumah pembeli. Gayanya sudah mirip penjual buah betulan, tetapi harus berhenti karena terkena Covid-19.

Kami ingatkan jangan berpuas diri dengan suatu pencapaian. Jika sudah mampu menaklukkan satu tantangan, cobalah melakukan hal lain lebih menantang. Dari setiap gunung yang berhasil ditaklukkan, selalu akan ada gunung lain yang lebih terjal dan membutuhkan strategi berbeda untuk menaklukkannya. Sebagaimana Allah firmankan dalam surah Al-Insyirah ayat 7 ,"Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain."

Para pendaki kawakan tidak berhenti pada satu pendakian, akan mencoba menaklukkan gunung-gunung terjal lainnya. Demikian juga rintangan dalam hidup diciptakan untuk dapat dikalahkan. Jika berani menghadapi tantangan, seseorang akan belajar dan menjadi lebih tangguh, lebih bijaksana dalam menyelesaikannya. Bagi seorang muslim, musibah atau kesenangan merupakan hadiah dari Allah Swt.

Aku pernah harus berlari tanpa alas kaki di atas jalan beraspal pada siang hari saat latihan di sebuah perguruan silat. Ternyata yang membuatku tidak berhenti berlari dan akhirnya sampai di garis finis adalah panas yang dirasa oleh telapak kaki. Terkadang kesakitan itu harus dinikmati sebagai cara Allah memaksa agar menjadi pribadi lebih kuat, terus bergerak sampai pada tujuan yang diinginkan.

Dalam perjalanannya ke depan, anakku akan menemukan kegagalan atau kepahitan hidup. Semoga ia memahami dan menerima dengan ikhlas. Lebih baik menikmati itu semua sebagai latihan untuk meraih sukses masa mendatang.

Manusia tidak dapat menghubungkan titik demi titik di dalam kehidupan ini dengan melihat ke depan. Akan tetapi, dapat melihat titik-titik tersebut terhubungkan ketika sudah berada jauh ke depan lalu menoleh ke belakang. Di situlah, manusia bisa memahami hikmah perjalanan yang sudah dilewatinya.

Semoga kelak, anakku mengerti bahwa kesuksesan adalah sesuatu yang begitu berharga sehingga sewajarnya tidak mudah maupun murah untuk diraih. Kesuksesan sejati adalah meraih rida Allah, dengan taat kepada syariat-Nya.

Terbanglah, wahai anakku. Terus bertumbuh hingga kelak mendapatkan momen tepat untuk menjadi terbaik di hadapan Allah. Seperti halnya Khalid yang masih belum menaklukkan pasukan Romawi di Mu’tah, akhirnya berhasil di perang berikutnya yaitu Perang Yarmuk. Atau seperti Abu Hurairah, datang ke Madinah tidak tahu apa-apa, tiga tahun setelahnya bisa menghafal 5371 hadis nabi.

Wallahu a'lam bishawab.[]

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor Narasiliterasi.id
Novianti Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Belajar Bahasa Surga
Next
Belajar dari Ali bin Abi Thalib
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

4 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Novianti
Novianti
30 days ago

Alhamdulillaj tim NP, mendokumentasikan perjalana hidup dengan putraku.

trackback

[…] Baca juga: terbanglah-wahai-anakku/ […]

Atien
Atien
28 days ago

Masyaallah. Perjuangan seorang ibu dalam mendampingi buah hatinya memang selalu dipenuhi kisah-kisah menarik dan penuh hikmah. Barakallah mba @Novianti, Sukses untuk putranya.

Novianti
Novianti
23 days ago
Reply to  Atien

Aamiiiin ya Alllah. Semoga demikian juga dengan ibu.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram