Bendera One Piece, Makar atau Sindiran?

Bendera One Piece Makar atau sindiran

Fenomena ini bukan sekadar aksi nyeleneh. Ia adalah simbol kekesalan rakyat yang tak bisa lagi diungkapkan lewat mekanisme formal.

Oleh. Hanny N
Kontributor NarasiLiterasi.Id

NarasiLiterasi.Id--Ramainya pengibaran bendera bajak laut ala One Piece di berbagai daerah belakangan ini membuat jagat maya ramai dan aparat negara siaga. Konon, pihak keamanan mencurigai hal ini sebagai potensi makar. Lucu, menggelikan, dan satir. Rakyat yang kehabisan cara menyampaikan kritik justru dituding hendak menggulingkan negara. Padahal yang digulingkan sebenarnya adalah rasa sabar. (kompas.id, 5-8-2025)

Fenomena ini bukan semata ekspresi fans anime. Ketika rakyat mengganti simbol negara dengan bendera fiksi bajak laut, itu bukan karena mereka tidak cinta tanah air, tetapi karena mereka merasa ditinggalkan oleh pemimpin negeri. One Piece hanya menjadi media sindiran, ekspresi frustrasi terhadap sistem dan rezim yang dianggap tak mampu menyejahterakan rakyat.

Bukankah pengibaran bendera bajak laut di tengah kemiskinan, harga bahan pokok melambung, utang negara menumpuk, dan korupsi merajalela itu semacam satire kolektif? Bahwa negara ini, dalam pandangan rakyatnya sendiri, sudah seperti kapal yang tak tentu arah nahkoda?

Ketika Kritik Dicap Makar

Alih-alih mengevaluasi diri, pemerintah malah sibuk mencari motif makar dari sehelai kain bergambar tengkorak. Tindakan rakyat yang over ekspresif justru dibalas dengan paranoia negara. Lucu, bukan? Bendera bajak laut dianggap ancaman, tapi kapitalis asing yang menguasai tambang, hutan, dan pelabuhan malah dianggap investor strategis. Di mana logika warasnya?

Di titik ini, rakyat pun merasa makin jauh dari harapan. Apa yang bisa mereka harapkan dari negara yang gagal membedakan mana suara protes dan mana upaya kudeta? Negara yang alergi pada kritik, tapi tak peka terhadap jeritan rakyat.

Padahal pengibaran bendera bajak laut ini tak lebih dari simbolik. Rakyat merasa negeri ini telah dibajak. Bukan oleh Luffy dan kawan-kawan, tetapi oleh oligarki, korporasi besar, dan pejabat korup yang mengeruk kekayaan negara seenaknya.

Suara Rakyat

Fenomena ini bukan sekadar aksi nyeleneh. Ia adalah simbol kekesalan rakyat yang tak bisa lagi diungkapkan lewat mekanisme formal. Karena dalam sistem demokrasi kapitalistik, suara rakyat hanya dihargai saat pemilu. Setelah itu? Dipaksa bungkam oleh aturan dan kebijakan yang dibuat segelintir elite, demi melanggengkan kepentingan mereka sendiri.

Apalagi, belakangan makin terlihat jelas, betapa negara ini makin absurd. Korupsi merajalela, harga kebutuhan pokok makin menyesakkan, suara kritis dianggap makar, dan rakyat kecil terus diminta sabar. Sementara pejabat bebas foya-foya.

Rakyat sudah muak, suara rakyat tak lagi berarti. Maka tak ada cara lain selain menyadarkan umat untuk meninggalkan sistem batil ini, dan kembali pada sistem Islam yang menjadikan penguasa benar-benar sebagai pelayan umat.

Demokrasi Sistem Batil

Dalam sistem demokrasi, suara rakyat katanya adalah suara Tuhan. Namun, di negeri ini, suara rakyat hanya jadi bising di telinga elite kekuasaan. Demokrasi nyatanya telah berubah menjadi sirkus kekuasaan yang mempertontonkan drama lima tahunan, tetapi tetap melanggengkan kekuasaan para elite. Siapapun yang berkuasa, sistemnya tetap kapitalistik di mana rakyat hanya dijadikan alat.

Harga beras mahal, rakyat kelimpungan. Pajak naik, rakyat tercekik. Subsidi dipangkas, rakyat diminta mandiri. Namun, pejabat makin gemuk, kementerian ditambah, dan utang luar negeri terus menumpuk. Rakyat pun bertanya, negeri ini sebenarnya milik siapa?

Fenomena bendera One Piece adalah tamparan telak bagi sistem. Ketika rakyat memilih karakter fiktif bajak laut ketimbang politisi sungguhan, itu menandakan bahwa hilangnya kepercayaan mereka terhadap pemimpin adalah nyata. Ironi pahitnya, bajak laut fiktif dianggap lebih punya visi dan kepemimpinan dibanding elite negeri.

Baca juga: Sikap Tegas pada Negara Pengusung Islamofobia

Bendera Bajak Laut, Simbol Kejenuhan

Mengangkat bendera bajak laut bisa jadi bukan soal loyalitas, tetapi sinyal keputusasaan. Bendera itu simbol bahwa rakyat merasa tak punya tempat berlabuh. Bahwa mereka merasa negara telah "dibajak", bukan oleh mereka, tapi oleh sistem rusak yang tak memihak rakyat.

Yang lebih miris, ini terjadi di negeri yang katanya mayoritas muslim. Negeri yang memiliki potensi besar, SDA melimpah, penduduk banyak, tapi justru menderita karena sistem yang diterapkan bukan dari Islam. Islam hanya jadi identitas, tapi tidak menjadi solusi. Syariah dianggap radikal, padahal ia satu-satunya jalan selamat.

Sementara itu, solusi Islam terus didiskreditkan. Negara Islam, Khilafah, dan syariah dianggap ancaman. Namun, negara yang dipenuhi korupsi dan ketimpangan dianggap wajar. Padahal hanya sistem Islam yang bisa membebaskan rakyat dari penjajahan gaya baru, pajak mencekik, ketimpangan akut, dan dari pemimpin zalim.

Saatnya Rakyat Sadar: Solusi Hakiki adalah Khilafah

Jangan salah sangka, Islam bukan anti simbol. Namun, Islam adalah solusi konkret. Ketika sistem demokrasi kapitalistik telah gagal membawa keadilan dan kesejahteraan, maka inilah saatnya rakyat kembali menengok sistem dari Allah: Khilafah Islamiyyah.

Khilafah bukan utopia. Ia pernah berdiri selama 13 abad dan menyatukan umat, menyebar keadilan, serta menumbuhkan peradaban. Dalam Khilafah, urusan rakyat menjadi prioritas. Kebutuhan dasar dijamin, pajak bukan sumber utama pemasukan, dan penguasa benar-benar melayani, bukan dilayani.

Jika rakyat mau keluar dari lingkaran setan sistem rusak ini, maka mereka harus membuka mata terhadap solusi Islam. Tak cukup hanya mengibarkan bendera satire. Harus ada kesadaran politik Islam yang mengakar. Harus ada partisipasi dalam dakwah dan perjuangan untuk menegakkan sistem Islam secara kaffah.

Rakyat butuh pemimpin seperti Umar bin Khattab, bukan hanya boneka oligarki. Rakyat butuh sistem seperti yang ditegakkan Rasulullah ï·º, bukan demokrasi transaksional. Dan untuk itu, rakyat butuh kesadaran politik yang lahir dari akidah Islam, bukan sekadar ekspresi kecewa lewat cosplay bajak laut.

Dari Sindiran Menuju Perubahan Nyata

Kalau hari ini rakyat mengibarkan bendera bajak laut, itu sinyal bahwa ada yang sangat salah dalam sistem kita. Tapi jangan berhenti di simbol. Kita harus bergerak ke arah substansi. Jangan hanya mengkritik rezim, tapi tinggalkan sistem yang melahirkan rezim serupa. Saatnya umat berjuang bersama jemaah dakwah ideologis untuk mengembalikan kejayaan Islam melalui jalan yang benar. Yaitu, perjuangan dakwah menegakkan Khilafah 'ala minhaj an-nubuwwah.

Wallahualam bissawab. []

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Hanny N.
Hanny N. Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Kurikulum Akidah Islam Mencetak Generasi Faqih Fiddin
Next
One Piece dan Simbol Perubahan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Baca juga: Bendera One Piece, Makar atau Sindiran? […]

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram