Politik Dinasti Tumbuh Subur dalam Demokrasi

politik dinasti tumbuh subur dalam demokrasi

Banyak pihak menyebut politik dinasti maupun dinasti politik berpotensi mencederai demokrasi. Faktanya keduanya sudah terjadi sejak lama di negeri ini bahkan makin marak.

Oleh. Yuliyati Sambas
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Politik dinasti akhir-akhir ini mendapat banyak sorotan dalam kancah perpolitikan Indonesia. Puncaknya terjadi ketika terjadi demo besar-besaran dengan tajuk "Darurat Negeri". Masyarakat melihat banyak praktik-praktik tidak etis yang dimainkan para petinggi negeri. Mereka mengaitkannya dengan politik dinasti yang dimainkan oleh penguasa saat itu.

Tidak berapa lama, praktik serupa tampak dilakukan juga oleh trah keluarga Soekarno. Salah seorang cucu sang proklamator, Rommy Soekarno pada akhirnya disahkan naik menjadi salah satu anggota DPR RI Fraksi PDIP periode tahun 2024-2029.

Aroma politik dinasti dirasakan oleh rakyat ketika proses penaikan dirinya menuju badan legislatif terjadi setelah dua kandidat lain yang lolos dalam pemilu dari partai pengusung mereka mundur secara teratur. Rommy seperti diberitakan oleh media kompas.com (30-09-2024) pada saat pemilu legislatif mendapat suara di Daerah Pemilihan VI Jawa Timur sebanyak 51.244 suara. Perolehan tersebut ada di posisi ketiga sesudah Dra. Sri Rahayu yang mengantongi 126.787, lalu H. Arteria Dahlan, S.T., S.H., M.H. 62.242 suara.

Kedua kader Partai Banteng tersebut baik secara tersirat maupun terucap mengonfirmasi mundurnya mereka adalah dalam rangka memberi kesempatan salah satu the royal family partai melaju ke kursi Senayan. Ini diakui sebagai bentuk kepatuhan mereka pada arahan sang pemilik partai. (IDN Times, 30-09-2024)

Politik Dinasti dan Dinasti Politik

Antara politik dinasti dan dinasti politik sekilas merupakan istilah yang mirip, padahal tentu saja keduanya berbeda makna dan arah bahasan. Politik dinasti adalah politik yang mengarahkan proses regenerasi kekuasaan dengan mengandalkan darah dan keturunan untuk mencapai kepentingan golongan tertentu dalam meraih atau mempertahankan kekuasaan di suatu wilayah maupun negara. Sementara itu, dinasti politik yaitu rezim kekuasaan politik atau pemain politik dengan praktik secara turun temurun oleh anggota keluarga atau saudara sedarah.

Banyak pihak menyebut baik itu politik dinasti maupun dinasti politik berpotensi mencederai demokrasi. Ini tentu tidak diharapkan terjadi di negara yang menganut demokrasi seperti Indonesia. Namun, faktanya keduanya sudah terjadi sejak lama di negeri ini. Bahkan makin ke sini praktik-praktik politik dinasti makin marak.

Di luar itu, sebenarnya banyak lagi kasus-kasus yang memperlihatkan politik dinasti tengah dilakukan para politisi negeri ini. Sebut saja di kalangan legislatif daerah Jawa Barat ada Nisya Ahmad yang merupakan adik kandung Raffi Ahmad menggantikan posisi Thoriqoh Nashrulloh. Ia pada akhirnya yang dilantik, meski jumlah suara pemilu ada di bawah Thoriqoh. Diketahui bahwa Raffi Ahmad pun saat ini telah sah menjadi salah satu pejabat di Kabinet Merah Putih.

Selain itu ada sederet pasangan suami-istri yang sama-sama terpilih di DPR. Ada Uya Kuya dengan istrinya Astrid, Ahmad Dhani dan Mulan Jameela, serta Ahmad Muzani dengan Himmatul Aliyah dari Gerindra. Nasdem pun tak ketinggalan, bahkan sampai ada dua pasang suami istri yang berhasil melenggang ke kursi Senayan. Mereka adalah Viktor Laiskodat bersama istri Julie S. Laiskodat, serta Sugeng Suparwono-Amelia Anggraeni. Bahkan dari PKS juga tampak Ahmad Heryawan-Netty Prasetyani berbarengan duduk di kursi dewan pada 2024 ini.

Itu baru yang duduk di DPR pusat sebagai pasangan suami-istri. Belum yang berposisi sebagai ayah dan anak. Jangan tanya yang menduduki jajaran eksekutif baik di daerah bahkan pusat. Semua tampak tengah menjalankan politik dinasti.

Sebab Maraknya Politik Dinasti dan Dinasti Politik

Pertama, secara naluriah bahwa pada setiap diri itu terbekali dengan adanya keinginan untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaan. Ini masuk ke dalam naluri mempertahankan eksistensi diri (garizah baqa’). Ketika kekuasaan sudah didapat maka selanjutnya naluri ingin memberi kekuasaan kepada anggota keluarga, kerabat, hingga orang terdekat lainnya pun muncul. Ini sebenarnya sah-sah saja. Yang menjadi persoalan adalah ketika naluri tersebut diwujudkan dengan tindakan tidak benar dan melanggar aturan yang ada.

Kedua, kekuasaan hari ini dipandang sebagai prestise dan ajang untuk bisa mengeruk kekayaan. Tidak mengherankan ketika kedua hal yang memikat hati tersebut sebisa mungkin dikecap oleh orang terdekat yang tidak lain adalah keluarga atau kerabat.

Ketiga, aturan yang berlaku demikian longgar dan dapat ditarik ulur sesuai kepentingan. Asas pragmatisme kerap mewarnai keputusan-keputusan politik, tidak terkecuali dalam kontestasi penguasa dan pejabat.

Demokrasi Kapitalisme Sekuler Biangnya

Praktik-praktik politik dinasti untuk membangun dinasti politik yang hari ini terjadi sejatinya bermuara pada diterapkannya demokrasi itu sendiri. Jika sebagian kalangan mengatakan bahwa demokrasi tercederai dengan adanya politik dinasti, tetapi kenyataannya di alam demokrasi justru politik dinasti bisa tumbuh sedemikian suburnya. Demokrasi dengan pilar kebebasannya memberi ruang kepada pihak tertentu untuk melakukan perilaku apa pun, tidak terkecuali mengadopsi politik dinasti.

Di alam demokrasi pula dengan sistem kapitalisme yang diemban mampu meloloskan hasrat mempertahankan kekuasaan hanya di lingkar keluarga tertentu, asalkan mereka memiliki harta atau akses pada harta. Bagaimanapun semua orang sadar dan paham betapa kontestasi dalam demokrasi itu berbiaya mahal. Siapa pun orangnya yang memiliki uang atau mampu menggandeng pihak memiliki uang, dengan kesepakatan "kamu dapat apa, aku dapat apa" melengganglah ia ke singgasana kekuasaan yang dikehendaki.

Hal ini disempurnakan dengan prinsip dasar sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Sekularisme pula yang akan menjauhkan manusia dari menerapkan aturan, pandangan, dan pemikiran agama ke ranah berpolitik. Jangan heran ketika rasa malu yang merupakan salah satu pilar etika dan moral pun kian dinomorsekiankan jika berbicara urusan hasrat dan keinginan yang hendak diraih. Apalagi soalan agama, kerap muncul pameo "jangan bawa-bawa agama untuk urusan dunia" atau "tidak perlu agama ikut kalau yang diurus persoalan politik bernegara".

Makna bahagia pun hanya bersandar pada hal-hal yang bersifat materi dan kepuasan ragawi semata. Kekuasaan, popularitas, harta, pengaruh, prestise, dan semacamnya menjadi terasa membahagiakan bagi orang-orang yang di kepalanya bercokol prinsip sekuler kapitalistik.

Pandangan Islam Terkait Kekuasaan dan Politik

Kekuasaan dalam Islam dipandang sebagai pilar pendukung agama. Imam Al-Ghazali menyebut dalam Al Iqthisad fi al-I'tiqad bahwa agama dan kekuasaan itu ibarat saudara kembar. Agama sebagai dasar, sedangkan kekuasaan sebagai penjaganya. Ketiadaan dasar akan menyebabkan keruntuhan dan tidak adanya penjaga niscaya menyebabkan sesuatu itu akan hilang.

Dengan pandangan tersebut, mustahil kekuasaan dipisahkan atau dijauhkan dari pengaturan agama. Justru agama akan menjadi asas dan panduan dalam berjalannya kekuasaan. Sementara itu, kekuasaan akan menyokong bagaimana kehidupan dapat berjalan secara aman, damai, tenteram, adil, dan sejahtera.

Adapun politik dalam khasanah Islam bermakna riayatusysyu'unil ummah atau pengaturan urusan umat/rakyat. Seseorang disebut politisi, utamanya penguasa, adalah ketika dirinya mau mengemban amanah berupa mengatur urusan rakyat agar berjalan sesuai dengan hukum syariat.

Bahagia Bermakna Patuh pada Syariat

Kebahagiaan yang hakiki sesungguhnya adalah ketika seorang hamba taat pada Penciptanya. Itu diwujudkan dengan seberapa besar ia tunduk pada syariat. Terdapat perbedaan diametral antara kekuasaan dalam bingkai kapitalisme demokrasi sekuler dan sistem Islam ditinjau dalam tataran makna bahagia.

Baca juga: Politik Dinasti dan Demokrasi

Di sistem kapitalisme demokrasi sekuler, bahagia adalah ketika kekuasaan akan mengantarkan seseorang para teraihnya sebanyak-banyaknya pemuas jasadi yang bersifat materi. Adapun dalam Islam, bahagia adalah ketika seseorang mampu meraih rida-Nya. Sedangkana rida Allah ‘Azza wa Jalla hanya bisa teraih ketika kekuasaan disandarkan pada syariat dan asas akidah Islam.

Bagaimana Politik Dinasti dalam Islam?

Lantas bagaimana Islam memandang politik dinasti dan dinasti politik? Sebenarnya hal demikian adalah sesuatu yang tidak bermasalah asalkan dijalankan dalam bingkai akidah Islam dan syariat. Namun, dalam Islam, selama bingkai akidah dan syariat yang berbicara, kekuasaan tidak akan menjadi sesuatu yang dikejar. Ia justru menjadi hal yang dikhawatirkan, yaitu khawatir jika tidak sanggup bersikap amanah dengan tugas kekuasaan yang dipikul. Ini karena pertanggungjawabannya disadari dan diyakini bukan hanya kepada rakyat yang diurus, melainkan sampai ke hadapan Allah di akhirat nanti.

Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh kalian akan berambisi terhadap kekuasaan, padahal kekuasaan itu bisa berubah menjadi penyesalan pada Hari Kiamat kelak.” (HR. Al-Bukhari)

Teladan indah ketika sosok Umar bin Abdul Aziz dibaiat menjadi khalifah pada masa pemerintahan Kekhilafahan Bani Umayah. Ia bukanlah keluarga atau kerabat dari khalifah sebelumnya, Al-Walid bin Abdul Malik. Dirinya adalah putra dari seorang Gubernur Mesir Abdul Aziz bin Marwan. Meski demikian, Umar bin Abdul Aziz dipilih menjabat sebagai khalifah bukan karena ada unsur dinasti, tetapi lebih karena integritas dirinya yang taat pada syariat, baik sebagai pribadi maupun penguasa yang tampak ketika ia menjabat sebagai Gubernur Madinah.

Pada saat Umar bin Abdul Aziz dibaiat, pidato pertamanya demikian mahsyurnya, “Taatlah kalian kepadaku selama aku taat kepada Allah. Apabila aku maksiat kepada Allah maka tidak ada (kewajiban) kalian taat kepadaku.”

Khatimah

Politik dinasti dan dinasti politik meski dikatakan tidak sesuai dengan demokrasi, tetapi faktanya justru akan terus tumbuh subur di alam demokrasi. Sebaliknya dalam sistem pemerintahan Islam, seorang politisi sejati tidak akan tergiur menjadikan politik dinasti untuk meraih kekuasaan yang disadari hanya sementara dan berat pertanggungjawabannya. Wallahualam bissawab. []

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor Narasiliterasi.id
Yuliyati Sambas Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Mafia Kasus Bukti Keadilan Kian Tergerus
Next
Marriage is Scary, Pacaran No Worry ?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Atien
Atien
5 months ago

Kalau sudah bicara demokrasi pasti akan sejalur dengan sistem saat ini yang menggunakan berbagai cara agar tetap langgeng dalam kekuasaan. Termasuk di dalamnya mewariskan kekuasaan tersebut kepada anak turunannya. Bisa dipastikan semuanya pasti penuh kecurangan.
Barakallah mba @Yuliyati

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram