
Di balik pilihan nikah siri yang dianggap mudah, praktis, dan aman ini. Namun, dalam sistem kapitalisme-demokrasi mengandung konsekuensi yang berimplikasi pada hukum yang akan merusak tatanan sosial di masyarakat dan negara.
Oleh. Mahganipatra
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)
NarasiLiterasi.Id-Fenomena jasa nikah siri yang viral di platform TikTok baru-baru ini bukan sekadar persoalan hukum keluarga. Namun, justru persoalan ini telah mengungkapkan gejala sosial-politik di masyarakat. Bagaimana negara, masyarakat, agama, dan kekuasaan saling bertarung dalam lanskap ideologi di Indonesia. Terbukti, 250 ribu pengguna telah merespons dengan menonton video ini.
Tingginya respons dan minat masyarakat terhadap jasa pernikahan siri, menjadi ruang terbuka terjadinya pergeseran sudut pandang masyarakat terhadap pernikahan. Ini menjadi bukti rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi, pergeseran nilai agama, dan dominasi budaya digital. Sehingga pernikahan yang semestinya sakral, berubah menjadi komoditas yang dipasarkan secara terbuka.
Hanya dengan mengeluarkan uang Rp1,5 juta langsung mendapatkan paket lengkap "nikah beres tanpa ribet" dengan fasilitas gedung, restoran, hingga wali dan penghulu. Bahkan dijanjikan pula akan mendapatkan sertifikat nikah siri, buku nikah, hingga tempat ijab kabul yang "siap pakai". Paket jasa nikah siri yang ditawarkan melalui akun media sosial TikTok ini, dianggap sangat murah bagi mereka yang membutuhkan. (Kilat.com, 22-11-2025)
Latar Sosial Fenomena Pernikahan Siri
Fenomena pernikahan siri tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi ia merupakan produk kapitalisme yang lahir dari dinamika sosial, budaya, ekonomi, dan struktur negara. Di balik fenomena ini terdapat pertarungan politik yang lebih dalam dan hal ini menunjukkan, siapa sesungguhnya yang paling berhak mengatur manusia, ikatan sosial, dan legalitas keluarga di Indonesia.
Latar sosial ini juga telah membuka tabir bahwa praktik pernikahan siri bukan hanya pilihan individu, tetapi cermin dari kesenjangan sosial, krisis kepercayaan, dan perubahan nilai dalam masyarakat Indonesia yang telah melahirkan gejala sosial. Akibat negara Indonesia menerapkan sistem kapitalisme-sekuler.
Sistem ini telah melahirkan pergeseran nilai-nilai agama, dengan mereduksi dan mempersempit syariat Islam sebatas legalitas yang minimalis. Masyarakat kapitalisme hanya menganggap bahwa nikah siri sebagai solusi praktis, bukan lagi pilihan darurat. Dalam pandangan masyarakat kapitalis, nilai-nilai agama yang terkandung di dalam pernikahan telah bergeser dari ibadah yang sakral, tertib, dan teratur. Menjelma menjadi sesuatu yang bisa dieksploitasi dan dilakukan kapan saja, di mana saja, dan melalui jasa apa saja.
Problem Politik Pernikahan Siri
Fenomena maraknya para peminat pernikahan siri ini, langsung mendapat perhatian serius dari negara lewat instrumen politiknya yaitu Kementerian Agama RI. Negara memandang perlu untuk kembali menegaskan supremasi hukumnya agar bisa mengontrol masyarakat. Namun, apakah ini efektif?
Terbukti walaupun Kemenag mengimbau agar masyarakat melangsungkan pernikahan melalui jalur resmi, yaitu mendaftar di KUA, dengan memenuhi semua persyaratan hukum dan administrasi. Meliputi pengawasan dan pengecekan identitas calon pengantin, batas usia, status perkawinan, keabsahan wali, serta keberadaan dua saksi yang memenuhi syarat. Agar pernikahan mendapat pengakuan negara dan hak-hak pasangan serta anak dapat terlindungi.
Dengan menegaskan kepada masyarakat bahwa meskipun “nikah siri” tidak otomatis haram, tetapi ketika tidak dicatat oleh negara, maka keabsahan sebuah perkawinan sulit dipertanggungjawabkan. Baik menurut hukum negara maupun syariat, sehingga seluruh mekanisme ini harus dipenuhi. Apalagi jika pernikahan dijual/dipromosikan secara komersial lewat media sosial, tanpa prosedur hukum yang jelas. Maka, praktik tersebut dianggap menyimpang dari ketentuan hukum negara dan bisa membahayakan perlindungan hukum bagi keluarga.
Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah, Ahmad Zayadi, kemudian menjelaskan pula bahwa dalam hukum nasional, sebuah perkawinan hanya dianggap sah ketika dicatat secara resmi oleh negara. Namun, pernikahan tetap dianggap tidak sah, meskipun telah memenuhi rukun dan syarat agama jika tidak dicatat oleh negara. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. (detik.com, 24-11-2025)
Lalu, apakah kemudian masyarakat langsung mengamininya? Atau justru fenomena ini terus berlanjut bak "anjing menggonggong kapilah berlalu?"
Sebab Pernikahan Siri dan Dampak Sosial
Dalam sistem kapitalisme, pernikahan harus melewati proses resmi dan administratif. Namun, seiring dengan perkembangan zaman perlahan kian memudar. Apalagi ketika terjadi pergeseran budaya digital dan komoditifikasi relasi makin kontras menghiasi peradaban kapitalisme-sekuler.
Baca juga: pergub baru kontroversi poligami
Masyarakat kapitalisme memandang bahwa segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia bisa menjadi barang yang diperjualbelikan, termasuk pernikahan. Saat pernikahan legal dianggap mahal dan birokratis rumit, kapitalisme dengan wataknya yang khas menawarkan alternatif lain yang lebih mudah, yaitu “jalan pintas” yang bisa diperdagangkan.
Hal ini terjadi karena; Pertama, di dalam prosedur birokrasi sistem kapitalisme ada istilah "jika bisa sulit mengapa harus mudah?", demikian pula yang terjadi dalam birokrasi di KUA. Selain dianggap rumit, biayanya pun sangat mahal. Sementara nikah siri, biayanya murah, prosedurnya cepat dan praktis karena tidak membutuhkan birokrasi yang lambat.
Kedua, pernikahan siri terjadi untuk menghindari rasa malu akibat pasangan terlanjur hamil di luar nikah, untuk menghindari stigma negatif, atau tekanan sosial di masyarakat.
Ketiga, karena masih dalam status perceraian (status pasangan yang rumit), tidak direstui oleh orang tua, atau karena status poligami yang tidak bisa disahkan oleh negara.
Keempat, anggapan bahwa sah agama lebih penting daripada sah negara.
Kelima, ketidakpercayaan terhadap institusi negara.
Keenam, demi menghindari tanggung jawab hukum.
Ketujuh, terpengaruh media sosial dan romantisasi nikah siri akibat mobilitas sosial dan hubungan instan.
Padahal, di balik pilihan pernikahan siri yang dianggap mudah, praktis dan aman ini. Dalam sistem kapitalisme-demokrasi mengandung konsekuensi yang berimplikasi pada hukum yang akan merusak tatanan sosial di masyarakat dan negara, di antaranya:
1. Hilangnya hak perempuan terhadap status kekuatan hukum negara dalam hak waris, nafkah dan perlindungan hukum.
2. Anak kehilangan legalitas administrasi hukumnya. Baik dalam masalah penafkahan dan waris, maupun dalam masalah dokumen akta kelahiran karena tidak bisa mencantumkan akta nikah.
3. Potensi eksploitasi terhadap perempuan makin meningkat, sebab dalam pernikahan siri posisi perempuan paling rawan.
4. Manipulasinya tinggi, sebab suami bisa “hilang” tanpa konsekuensi hukum, sehingga perempuan menjadi sangat rentan secara struktural.
Akar Persoalan Pernikahan Siri
Fenomena pernikahan siri bukan sekadar masalah administrasi, tetapi merupakan konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme sekuler oleh negara. Telah terjadi dualisme hukum yang saling bertentangan. Di satu sisi, syariat menetapkan pernikahan sah cukup dengan wali, saksi, dan akad. Namun, di sisi lain, negara memaksakan legalitasnya hanya melalui pencatatan sipil.
Sebab, dalam perspektif kapitalisme sekuler pernikahan di depan petugas pencatatan sipil merupakan prosedur akad kesepakatan pria dan wanita untuk hidup bersama dalam ikatan pernikahan yang memiliki legalitas hukum, atas ketentuan perceraian, dan berimplikasi pada kekuatan hukum di masyarakat dan negara.
Padahal, justru regulasi pencatatan ini yang telah menciptakan kesenjangan sehingga melahirkan jutaan keluarga sah secara agama tapi tidak diakui negara. Artinya pernikahan siri ini terjadi karena adanya krisis secara struktural, bukan semata krisis moral.
Oleh karena itu, selama sistem kapitalisme tetap bercokol di negeri ini, maka kisruh terkait pernikahan siri tidak akan pernah selesai.
Perspektif Kapitalisme-Sekuler vs Sistem Islam
Dalam perspektif kapitalisme-sekuler sebuah pernikahan akan dianggap sah ketika tercatat di depan petugas catatan sipil. Sebab, fungsi negara adalah membuat undang-undang yang bersandar pada akal manusia yang dapat mengatur sistem kehidupan sosial masyarakat dan negara. Dengan menafikan seluruh aturan agama, semisal aturan dalam sistem Islam kaffah.
Negara kapitalisme-sekuler akan memaksa masyarakat untuk mengikuti model keluarga kapitalistik-modern yang membutuhkan data, statistik, kontrol kependudukan, pajak, dan sistem waris formal, sehingga keberadaan pernikahan siri dianggap mengganggu seluruh mekanisme sistem ini.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam kaffah, di mana pernikahan akan dianggap sah ketika memenuhi syarat-syaratnya, yaitu ada wali, saksi, dan ijabkabul. Secara syar'i pernikahan di hadapan petugas sipil sama sekali tidak dipandang sebagai akad nikah ataupun kesepakatan pernikahan. Karena tidak ada nilainya sama sekali menurut syariah Islam.
Karena itu, dalam perspektif Islam pernikahan yang terdaftar di catatan sipil hanya bentuk kesepakatan antara pria dan wanita untuk sekadar membantu pendataan regulasi negara. Regulasi ini menjadi bagian dari tugas negara untuk melaksanakan kewajibannya dalam meriayah seluruh masyarakat demi terjamin dan terwujudnya maqashid syariah Islam.
Adapun mekanisme regulasi ini, maka akan dibuat secara praktis, ekonomis, dengan birokrasi yang sangat mudah dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dari berbagai wilayah maupun dari beragam kalangan masyarakat. Hal ini telah dibuktikan secara historis maupun empiris bahwa sistem Islam bisa mewujudkannya. Sejak masa kekhilafahan Umar bin Khattab telah membentuk sistem pencatatan kependudukan yang terus berkembang hingga berakhirnya Khilafah Islamiah di masa kekhilafahan Utsmaniah di Turki.
Pernikahan dalam Sistem Islam Kaffah
Dalam kitab Sistem Pergaulan dalam Islam, karya Al allamah syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dijelaskan bahwa perkawinan atau pernikahan adalah pengaturan hubungan pertemuan (interaksi) antara laki-laki dan perempuan yang diatur dengan aturan khusus berupa akad pernikahan untuk tujuan melestarikan keturunan.
Akad pernikahan dipandang sempurna dan telah terjadi pernikahan, ketika telah memenuhi empat syarat akad yang syar'i atau syarat in'iqad pernikahan. Sebaliknya jika salah satu dari empat syarat tersebut tidak terpenuhi maka dianggap akad pernikahan tidak terwujud atau dinilai batil sejak dari dasarnya. Syarat akad in'iqad pernikahan di antaranya;
Pertama, terjadi ijab dan kabul yang dilangsungkan dalam satu majelis. Kedua, di antara laki-laki dan perempuan yang berakad, masing-masing dari keduanya mendengar dan saling memahami tentang akad tersebut. Ketiga, ucapan kabul tidak boleh menyalahi ucapan ijab, baik secara keseluruhan maupun sebagiannya.
Keempat, diharuskan bahwa syariah benar-benar memperbolehkan perkawinan di antara kedua pihak yang berakad, di mana mempelai wanita harus seorang muslimah atau ahlulkitab baik Yahudi atau Nasrani. Sementara untuk mempelai pria harus seorang muslim bukan nonmuslim. Syariat Islam telah melarang dengan tegas bagi laki-laki muslim menikahi seorang perempuan musyrik. Larangan ini sangat jelas ditegaskan dalam firman-Nya di Al-Qur'an surah Al Baqarah, ayat 221:
Artinya: "Maka janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya seorang budak wanita yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan yang mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya, seorang budak laki-laki yang mukmin lebih baik daripada laki-laki musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka menyeret ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menjelaskan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran." (TQS. Al-Baqarah: 221)
Oleh karena itu, agar akad pernikahan ini berlangsung sah, maka harus memenuhi tiga syarat, yaitu;
Pertama, mempelai wanita harus benar-benar halal untuk dinikahi.
Kedua, harus ada wali.
Ketiga, ada dua orang saksi muslim laki-laki yang balig, berakal sehat, dan dapat mendengar serta memahami ucapan kedua belah pihak yang berakad dari perkataan ijab dan kabulnya adalah akad pernikahan.
Maka, jika akad pernikahan tersebut telah memenuhi syarat-syaratnya, pernikahan itu sah. Akan tetapi, jika salah satu dari ketiganya tidak terpenuhi, maka akad pernikahan dianggap fasad (rusak). Demikianlah syariat Islam telah menetapkan syarat-syarat akad pernikahan dengan sangat terperinci dan detail.
Kesimpulannya, di dalam sistem Islam kaffah, jika seorang laki-laki dan perempuan telah sempurna melaksanakan kesepakatan dalam akad pernikahan, dan telah terpenuhi syarat sahnya. Maka pernikahan tersebut secara legalitas memiliki kekuatan hukum yang akan berimplikasi terhadap tatanan sosial di masyarakat dan negara.
Wallahu a'lam bishawab.[]
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com


















