The Third World and the Illusion of Justice

Karenanya, negara maju (first world) menjadikan negara berkembang (third world) sebagai target investasi, disebabkan komoditas dan upah tenaga kerja yang berharga murah. Inilah, momen di mana kapitalisme mulai melebarkan sayap dan bertengger di negara-negara berkembang.

Oleh. Witta Saptarini, S.E.
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Alkisah negeri kaya yang terjajah, buruh dibayar murah, anak-anak tak bisa sekolah. Bocah mencakar-cakar mencari nafkah, bertarung dengan bahaya. Inilah “negara dunia ketiga” susah senang banyak susahnya, sengsara karena dijarah. Itulah beberapa penggal lirik lagu bertajuk ‘’Negara Dunia Ketiga”, milik salah satu dari sekian banyak grup musik punk di dunia, yang kerap menyuarakan realitas “dunia ketiga”. Ya, grup band Marjinal mengusung misi lewat lirik cadasnya, yakni mengkritik penguasa, membela kaum buruh, serta melawan korupsi. Lagu ini juga menganalogikan bahwa hidup di “negara dunia ketiga” layaknya dunia binatang, yang diwarnai keserakahan dan kesengsaraan karena ulah sang penjarah. Benar-benar merepresentasikan semakin pelik dan terpuruknya hidup dengan standar “dunia ketiga”.

Sebagaimana kabar dunia hari ini yang sempat menjadi spekulasi. Bahwasanya, isu terkait stagflasi benar-benar telah terjadi di tahun 2023 ini. Seperti yang disampaikan oleh salah satu ekonom global terkemuka di dunia, Profesor Nouriel Roubini. Beliau mengatakan, “ Stagflasi sungguh telah terjadi, bahkan memiliki fase yang lebih seram daripada inflasi.”  Ya, perfect storm of inflation alias stagflasi global kini tengah menghantam dunia, tak terkecuali negara-negara maju berstatus “dunia pertama”. Suatu kondisi secara kontinu dan bersamaan, di mana inflation rate meningkat, economic growth rate melambat dan unemployment tetap tinggi. Tentu saja, hal ini menjadi dilema bagi para pembuat kebijakan. Pasalnya, sejak tindakan yang ditujukan untuk menurunkan inflasi, justru menyebabkan kontraksi ekonomi (economic contraction). Stagflasi memiliki tendensi mengarah pada indeks kesengsaraan suatu negara (misery index). Secara refleks memberi hantaman keras pada kualitas implementasi demokrasi dunia dan terpuruknya “dunia ketiga”. (ABC News Australia, 2/3/2023)

Three Worlds One Planet

Pertama kalinya geopolitical patterns tiga dunia muncul pada pertengahan abad ke-20, yang dibentuk oleh lanskap politik global perang dingin, yakni pemetaan negara-negara pemeran di dalamnya menjadi tiga dunia. Perang yang tak melibatkan aksi militer layaknya Perang Dunia. Melainkan, persaingan antarideologi Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam bidang politik, ekonomi, termasuk dalam hal propaganda. Tentunya, ingin mendominasi dunia dengan menancapkan ideologinya. Seorang demograf asal Prancis bernama Alfred Sauvy, menjadi kiblat para sejarawan untuk penamaan tiga dunia tersebut. Dalam artikelnya tahun 1952 berjudul “Three Worlds One Planet”, Sauvy mengklasifikasikannya menjadi “first, second, and third world country”. Istilah “dunia pertama” merepresentasikan blok Barat alias negara yang mengusung ideologi kapitalisme liberal, yakni Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang, dan Australia. Lalu, menempatkan Uni Soviet dan Eropa Timur pada “dunia kedua” dengan ideologi komunismenya. Sedangkan, “dunia ketiga” menjadi label negara nonblok, yakni semua negara yang tidak proaktif berpihak pada suatu kubu dalam perang dingin. Di antaranya, negara bagian Eropa yang miskin, Amerika Latin, Timur Tengah, Asia, dan Afrika. Di mana, akhir dari perang dingin ini dimenangkan oleh blok Barat, yang meluhurkan ide demokrasi liberal, diikuti dengan embel-embel kapitalismenya. 

Democracy in the Third World

Sejarah munculnya demokrasi adalah masa kegelapan Eropa. Di mana, dominasi gereja dengan penguasa berkolaborasi menindas rakyat atas nama Tuhan dan gereja, sekaligus menjadi era kebangkitan bagi para filsuf dan cendekiawan. Mayoritas dari mereka menyeru dan memilih ide memisahkan agama dari kehidupan, serta negara. Maka, muncul ide vox populi vox dei, yakni suara rakyat itu sejatinya suara Tuhan. Sehingga, menjadikan kedaulatan berada di tangan rakyat, mereka berhak mengangkat dan menurunkan penguasa, membuat undang-undang bagi penguasa untuk mengatur dirinya. Pada abad ke-18, Barat mulai menerapkan beberapa aspek politik demokrasi, meski banyak mendapat kritik keras dari para filsuf di masa itu.

Adapun hancurnya pemerintahan komunis di Eropa Timur, runtuhnya “Tembok Berlin” yang notabene simbol fisik perang dingin, tekanan diplomatik dan ekonomi oleh otoritas negara-negara Barat bersama organisasi pemerintahan internasional, buruknya kondisi ekonomi “negara dunia ketiga”, serta gerakan politik global ke arah demokrasi yang didukung oleh revolusi komunikasi, adalah serangkaian peristiwa yang melahirkan kelompok prodemokrasi di “dunia ketiga”.  Secara sistematis, menjadikan demokrasi sah dan berkuasa (legitimate and authoritative) sebagai rezim kebenaran. Pada akhir abad ke-20, fenomena demokratisasi berhasil membius masyarakat “dunia ketiga”, dan menyuburkan hegemoni kapitalismenya. Sebab, demokrasi yang diboncengi kapitalisme, diyakini sebagai satu-satunya jalan mencapai kesejahteraan negara “dunia ketiga”. Faktanya, kondisi negara-negara di dalamnya kian terpuruk, dan terperangkap kapitalisme global.

The Illusion of Justice 

Seiring perubahan dinamika politik dunia, terminologi “dunia ketiga” menjadi label Barat untuk mengelompokkan negara miskin dan berkembang secara ekonomi. Sebaliknya, Amerika Serikat dan Eropa yang notabene negara kaya secara ekonomi, digambarkan sebagai negara “dunia pertama”. Melalui berbagai perjanjian internasional, penerapan kebijakan negara maju (first world) berimplikasi pada ketimpangan interaksi. Pun, lemahnya posisi “dunia ketiga” sebagai negara berkembang yang miskin akan sumber daya ekonomi, menjadikannya cenderung “patuh” atas nama kepentingan pembangunan nasional. Alhasil, bergantung pada mekanisme ekonomi kapitalis yang didesain berdasarkan ukuran negara, tingkat pembangunan, dan zona ekonomi yang vital, membuatnya sulit untuk melepaskan diri. Karenanya, negara maju (first world) menjadikan negara berkembang (third world) sebagai target investasi, disebabkan komoditas dan upah tenaga kerja yang berharga murah. Inilah, momen di mana kapitalisme mulai melebarkan sayap dan bertengger di negara-negara berkembang.

Cengkeraman negara maju melalui penanaman modalnya di negara berkembang adalah wujud neokolonialisme, yang menimbulkan masalah sosial baru pada level domestik, yakni kemiskinan, kesenjangan sosial, kriminalitas, dan lain sebagainya. Pun, overdosis utang dan beban cicilan, menjadi masalah besar negara berkembang pada level internasional. Alhasil, defisitnya negara berkembang memaksanya untuk terus mengajukan utang luar negeri kepada IMF dan World Bank, untuk melaksanakan pembangunan. Sehingga, menjadi rintangan besar untuk menentukan prioritas penyelesaian masalah domestik. Sebab, pada hakikatnya negara berkembang telah dirancang berada dalam genggaman negara maju. Bagai dunia tanpa suara, para penguasa negara berkembang tak peduli dengan pekik tangis rakyatnya. Melalui serangkaian kebijakan, mereka berpihak pada kapitalisme global. Walhasil, tanpa disadari hanya akan melanggengkan statusnya sebagai negara berkembang (developing country). 

Faktanya penguasa makin memberi ruang pada kapitalisme, membuat sumber daya alam negara berkembang kian habis dikeruk asing. Hal ini ditandai meluasnya entitas korporasi asing yang bertengger di negara berkembang, tentunya dikonstruksi oleh demokratisasi yang ditunggangi konsep liberalisasi ekonomi. Dengan bujukan sejumlah kompensasi atas penerimaannya terhadap kapitalisme global, yang tak sebanding dengan apa yang telah dilepaskan begitu saja kepada korporasi asing, telah menciptakan kesenjangan antara negara maju dan berkembang. Hal ini disebabkan tidak meratanya distribusi kekayaan kapitalisme, yang menguntungkan segelintir elite penguasa saja. Begitu pula dengan karakter sistem ekonominya yang lemah. Sehingga, meniscayakan terjadinya krisis secara berulang, tidak sigap menghadapi pasang surut ekonomi, serta tidak memiliki kemampuan memulihkan diri. Pasalnya, sistem ini bertumpu di atas pilar sistem mata uang kertas, investasi berbasis spekulasi alias perjudian, serta utang piutang berbasis riba. Tak heran, berbagai badai krisis menerjang sepanjang sejarah ekonomi kapitalis diterapkan. Hal ini membuktikan, bahwa masyarakat “dunia  ketiga” telah teperdaya menerima demokrasi yang diboncengi kapitalisme atas nama kemakmuran bersama, sekaligus menegasikan narasi political recognition dan politics of recognition yang selama ini diklaim. Bahwasanya, dengan adanya pertukaran internasional, mampu menjamin kesetaraan hak individu maupun kelompok, kehidupan yang adil, damai, dan makmur di alam demokrasi, ternyata hanyalah ilusi. 

Democracy Paradox

Klaim bahwa demokrasi sebagai format negara ideal, jelas tak terbukti. Kegagalannya mewujudkan kesejahteraan, merefleksikan berbagai prinsipnya yang kontradiksi. Realitasnya, hanya menyejahterakan kelompok elite oligarki. Pasalnya, kekuasaan politik terkonsentrasi di tangan orang kaya dan korporasi. Bahkan, sebagai ikon demokrasi dunia, Amerika Serikat telah mengingkari prinsip demokrasi itu sendiri. Sistem pemerintahan yang terjadi adalah totaliter dan sama sekali tidak menghargai konstitusi. Sejarah mencatat, buruknya implementasi demokrasi saat pilpres tahun 2000. Di mana, saat itu pemilihan diserahkan pada lima orang hakim di Mahkamah Agung ( U.S. Supreme Court ) dan memenangkan George W. Bush. Padahal, popular vote menunjukkan Al Gore mendapat 60% dari suara rakyat Amerika Serikat. Barat pun secara masif menjajakan dan memaksakan demokrasi, untuk dijadikan solusi krisis multidimensi dan pelicin agenda liberalisasi ekonominya sebagai alat penjajahan, untuk merampas kekayaan alam di negeri-negeri Islam. Sekaligus melegitimasi penjajahan atas dunia Islam, serta mengukuhkannya sebagai boneka Barat. Pun, tak segan menggulingkan penguasa anti-Barat, dengan berbagai tekanan politik dan intervensi. https://narasipost.com/opini/02/2022/balada-tempe-di-negeri-penghasil-kedelai/

Dengan segala tirani dan kemunafikannya, demokrasi jelas tidak meniscayakan kesejahteraan dan keadilan. Hal ini diperkuat data V-Dem Institute, yang menunjukkan kualitas demokrasi di dunia telah mengalami stagnasi selama 16 tahun berturut-turut. Bahkan, terjadi di negara-negara pengusung demokrasi yang telah mapan. Secara global, skor democracy index merosot tajam hingga ke level 30 tahun silam. Tak heran, saat debat capres Donald Trump menyatakan bahwa Amerika Serikat sebagai “first world country”, namun hidup dengan standar “dunia ketiga”. Sejatinya, demokrasi hanya mengantarkan perubahan rezim bukan pada sistem. Menurut teori ketergantungan, bila “dunia ketiga” ingin maju. Maka, dituntut kemandirian dan kemampuannya terlepas dari bayang-bayang sistem internasional melalui revolusi. Tentu saja, diperlukan peran kekuatan politik luar negeri yang besar di baliknya.

Khilafah Unites The World

Secara fundamental, prinsip demokrasi jelas bertentangan dengan Islam. Maka, bila menjadikan demokrasi beserta turunannya sebagai solusi multidimensi, jelas merupakan bentuk kemaksiatan yang besar. Pasalnya, Islam meletakkan kedaulatan mutlak di tangan Allah Swt. sebagai pembuat hukum. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah Al-An’am ayat 57, “Menetapkan hukum adalah haknya Allah, bukan manusia.” Maka, otoritas pembuat hukum ialah Allah Swt., manusia hanya menjalankan mandat untuk menerapkannya, agar manusia tidak menyembah kepada selain-Nya. 

Karenanya, Islam memiliki sistem politik yang agung warisan Rasulullah saw. Dalam konteks ini, secara syar’i kaum muslimin di seluruh dunia haram menerapkan sistem federasi. Imam Muslim menuturkan riwayat dari Arfajah yang mengatakan, “ Siapa pun yang datang kepada kalian, sementara urusan kalian terhimpun di tangan khalifah, lalu ia hendak mengoyak kesatuan, serta memecah-belah jemaah kalian, maka bunuhlah.”

Maka, sejatinya kaum muslimin wajib menjadikan hukum Allah Swt., sebagai landasan sistem pemerintahan yang diterapkan dalam yang format negara ideal, yakni institusi negara Khilafah sebagai sistem kesatuan. Sejarah peradaban Islam mencatat, Khilafah merupakan continental super state. Artinya, sebagai negara adidaya kontinental, kekuasaannya terbentang antarbenua, menyatukan perbedaan kepercayaan dan suku, serta memiliki pasukan militer yang mampu melindungi perdamaian dan kemakmuran. https://narasipost.com/opini/05/2021/pasar-bebas-mengebiri-hak-kebijakan-pangan-negara/

Khilafah satu-satunya sistem kepemimpinan yang meniscayakan kestabilan ekonomi dan kesejahteraan hidup manusia. Dengan konsep ekonominya yang khas, maka terbentuk karakter ekonomi yang mandiri, sigap menghadapi gelombang konjungtur (economic cycle), serta mampu memulihkan diri bilamana terjadi krisis. Kekuatan politik luar negerinya pun tak diragukan, kehebatannya memainkan peranan penting dalam menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia, menjadikannya peradaban yang paling besar di dunia selama 13 abad. Khilafah meniscayakan tidak adanya hegemoni buruk dan tindakan unilateral yang merugikan. Oleh sebab itu, sebagai negara adidaya, Khilafah menaungi negara yang lemah dan terzalimi. Kemudian, daya integrasinya berhasil menyatukan Jazirah Arab, Persia, sebagian Eropa, Asia, dan Afrika. Di mana, seluruh manusia yang bernaung di bawahnya, baik muslim dan nonmuslim merasakan keadilan dan kesejahteraan hidup. Maka, Khilafah sangat layak diberi predikat pemersatu bangsa-bangsa dan bintangnya keadilan, yang terpancar dari segala aspek di dalamnya.

Wallahu a’lam bish-shawab.[]

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor Narasiliterasi.id
Witta Saptarini S.E Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Merefleksikan Fenomena Hijrah Menuju Peradaban Penuh Berkah
Next
Palestina dan Asa yang Terhunjam
4.3 36 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

59 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
firda umayah
firda umayah
1 year ago

Naskah yang keren. Memang benar. Cuma dalam Khilafah, hegemoni yang buruk akan hilang. Sebaliknya justru yang ada adalah keadilan dan kesejahteraan. Karena Khilafah adalah sistem pemerintahan yang berdasarkan perintah Allah.

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  firda umayah

Jazaakillah khayr

Muthiah Mila
Muthiah Mila
1 year ago

Polemik dan nestapa yang melanda "negara dunia ketiga" semata-mata disebabkan ideologi kufur yang mereka pertahankan.

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  Muthiah Mila

Mantapss, betul sekali ☺️

Dara
Dara
1 year ago

Topik yg menarik, jadi tahu kalau ada istilah negara dunia ketiga. Semakin membuka pemikiran buruknya demokrasi beserta embel2 kapitalisme nya. sprti yg disebutkan tadi hanya ilusi belaka bahwa negara adil, makmur, damai dgn penerapan demokrasi.

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  Dara

Alhamdulillah, jazaakillah khayr.. setuju bgt, semoga bermanfaat…jgn lupa share yaa

Hanimatul Umah
Hanimatul Umah
1 year ago

MasyaAllah sangat menarik ini, kapitalisme global mencengkeram dunia ketiga, hingga tak berdaya rakyat kecil, memperdaya para elite segelintir orang. Kesenjangan sangat lebar.

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  Hanimatul Umah

Alhamdulillah Jazaakillah khayr yaa.. ❤️

Novianti
Novianti
1 year ago

Uraian panjang tentang dinamika politik dunia yang menarik. Hari ini semua dibikin percaya dan manut saat dikategorikan oleh negara barat yang hakekatnya adalah rancangan sejak awal. Umat mesti melek dan move on meninggalkan demokrasi pada sistem Islam

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  Novianti

MasyaAllah..Alhamdulillah Jazaakillah khayr yaa Mbaku ❤️

Miladiah Alqibthiyah
Miladiah Alqibthiyah
1 year ago

Pembahasannya sangat.. sangat.. sangat unik. Diksi yang super.. super.. super keren. Beda dari tulisan Opini dan World News kebanyakan.
One Hundred thumbs for u. Barakallah

Witta
Witta
1 year ago

MasyaAllah terharu..wa fiik barakallah...Alhamdulillah jazaakillah khayr yaa..love..love love

Dewi Kus6
Dewi Kus6
1 year ago

Masyaallah tulisan yang membuka wawasan secara panjang lebar telah dijelaskan dan solusi yang tepat hanya ada dalam politik Islam yang jelas memberikan soli6 tepat dan menyejahterakan seluruh rakyat tanpa kecuali.

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  Dewi Kus6

Alhamdulillah semoga bermanfaat yaa, Jazaakillah khayr yaa Mbaku ❤️

Sherly
Sherly
1 year ago

Naskah yang keren bangeeet.
Barakallah ❤️

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  Sherly

Jazaakillah khayr yaa Mbaku ❤️

sar tinah
sar tinah
1 year ago

Naskahnya keren. Bagaimana nasib negara-negara dunia ketiga di bawah pengasuhan demokrasi kapitalisme. Barakallah mbak ...

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  sar tinah

Wa fiik Barakallah yaa Mbaku ❤️

Maftucha
Maftucha
1 year ago

Penyajian fakta nya sangat bagus dan menggambarkan wawasan penulis yang luas, barakallah

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  Maftucha

Alhamdulillah Jazaakillah khayr yaa Mbaku ❤️

Agat
Agat
1 year ago

Stempel negara dunia ketiga buatan kaum kapitalis, tujuannya utk menekan negara lain

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  Agat

Bener bgt…salah satunya

Mimy Muthamainnah
Mimy Muthamainnah
1 year ago

Masyaallah barakallah mb Witta daging semua naskahnya..sukses selalu mb

Witta
Witta
1 year ago

Wa fiik barakallah, jazaakillah khayr ya Mbaku.. Aamiin Allahumma Aamiin ❤️

Empat fatimah
Empat fatimah
1 year ago

Masya Allah mama tau perjuangan mu menulis naskah ini di tengah kesibukan ,smg dgn tulisan makin byk orang memahami bahwa Islam satu satunya solusi yg hakiki

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  Empat fatimah

MasyaAllah mah..jazaakillah khayran ATAs doa terbaik dan perhatiannya.. Aamiin Allahumma Aamiin..banyak cinta untukmu ❤️

Ragil
Ragil
1 year ago

Kondisi dunia ketiga memang semenyedihkan itu.

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  Ragil

Iya sangat hiks

Mariyah Zawawi
Mariyah Zawawi
1 year ago

Masya Allah ....
Kalau yang menulis sarjana ekonomi memang beda ya.
Baarakallaah mbak

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  Mariyah Zawawi

MasyaAllah wa fiik barakallah Mbaku ❤️
Ingat pesan dan wejangan mom, ini salah satunya “Orang-orang yg berkumpul di KonaPost adalah orang-orang hebat. Siapa pun bisa jd penulis hebat kalau ada kemauan, saatnya take action guys, ingat kita sama-sama makan nasi, kecuali mereka makan batu.. baru kita lari”. Hehehe

Mariyam Sundari
Mariyam Sundari
1 year ago

MasyaAllah, tiada lain aturan yang sempurna selain Islam. Barakallah.

Witta
Witta
1 year ago

MasyaAllah, wa fiik barakallah ❤️

Nining Sarimanah
Nining Sarimanah
1 year ago

Baarakallah teh Witta, tulisannya memang berbobot.

Witta
Witta
1 year ago

Wa fiik barakallah, jazaakillah khayr ya❤️

Nilma Fitri
Nilma Fitri
1 year ago

Mantap. Baarakallaahu fiik teteh Penulis. Keren tulisannya.

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  Nilma Fitri

Aamiin Allahumma Aamiin, wa fiik barakallah ❤️

Irni
Irni
1 year ago

Jelas banget bedanya. Selain dari Islam, kebaikan itu hanya ilusi. Dari Islam, kebaikan itu nyata, bahkan alam semesta pun merasakannya.

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  Irni

MasyaAllah ❤️

Nirwana Sadili
Nirwana Sadili
1 year ago

Keren banget tulisannya, nambah wawasan. Paham betul seluk betul ekonomi kapitalis. Tulisan opini sangat berbobot.

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  Nirwana Sadili

Alhamdulillah semoga bermanfaat, jgn lupa share, Jazaakillah khayr yaa ❤️

trackback

[…] Setelah negara-negara dunia ketiga mendapatkan kemerdekaan, mereka pun menerapkan sistem demokrasi. Mereka berharap, melalui penerapan sistem ini, mereka akan meraih cita-cita menjadi negara yang makmur dan sejahtera. Mereka juga bermimpi memiliki kedudukan yang setara dengan negara-negara maju yang pernah menjajah mereka.https://narasipost.com/challenge-np/08/2023/the-third-world-and-the-illusion-of-justice/ […]

Witta
Witta
1 year ago

❤️

Rina
Rina
1 year ago

Barokallohu fiik..tulisannya mudah dimengerti semoga banyak yang tercerahkan setelah membaca tulisan teteh..

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  Rina

Wa fiik barakallah ya teteh ❤️. Alhamdulillah.. Aamiin Allahumma Aamiin

Ilamarsila
Ilamarsila
1 year ago

MasyaAllah.. ❤️

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  Ilamarsila

Jazakillah khayran ya kak Ila ❤️

Putrinujaha
Putrinujaha
1 year ago

MasyaAllah buguru ♥️

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  Putrinujaha

Jazaakillah khayran ya umma Hawwa ❤️

Elsa mustika
Elsa mustika
1 year ago

MasyaAllah bu guru..sukses terus jurnal nya .

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  Elsa mustika

Jazaakillah khayran ya bundaa, Aamiin Allahumma Aamiin ❤️

Rosyi Zakiyyah
Rosyi Zakiyyah
1 year ago

Masya Allah bu guruuuu

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  Rosyi Zakiyyah

Jazaakillah khayran ya umi ❤️

Danish
Danish
1 year ago

MasyaAllah bu Guru.. Barakallah...

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  Danish

Wa fiik barakallah mimoo ❤️

Eva
Eva
1 year ago

Barakallahu fiik

Witta
Witta
1 year ago
Reply to  Eva

Wa fiik barakallah ❤️

trackback

[…] Di sini lain, demokrasi Indonesia berjalan seiring dengan korupsi. Demokrasi yang berbiaya mahal menjadikan tingkat korupsi tinggi. Uang negara ditilap oleh para koruptor, sedangkan rakyat tenggelam dalam kemiskinan ekstrem. Kesejahteraan hanya menjadi angan-angan tanpa kenyataan. Tikus mati di lumbung padi menjadi pengibaratan yang pas untuk Indonesia. https://narasipost.com/challenge-np/08/2023/the-third-world-and-the-illusion-of-justice/ […]

Maya Rohmah
Maya Rohmah
1 year ago

Ini sempat menjadi pertanyaan saya juga. Kenapa ada sebutan negara dunia ketiga?.Lalu yang pertama siapa?

Ternyata itu adalah ulah Barat untuk mengelompokkan negara miskin dan berkembang secara ekonomi.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram