"Bagaimana agar tulisan kita bermutu? Pertama, tentukan inti pesan yang mau kita sampaikan, wujudkan dalam satu kalimat pendek. Kedua, buat anak tangga pemahaman, jangan ujug-ujug. Selama kita menulis sejak pembukaan hingga penutup, harus bermuara pada konklusi tersebut. Jangan bertentangan atau melebar ke mana-mana."
Oleh. Ragil Rahayu
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Jazakunnallah khairan atas kesempatan yang diberikan ke saya untuk sharing malam ini. Walaupun rasanya kayak "nguyahi segoro" karena di sini anggotanya penulis-penulis hebat semua.
Opini yang bermutu itu seperti apa, sih?
Kalau menurut saya, opini disebut bermutu jika pesan yang disampaikan penulis sampai ke pembaca secara tepat sasaran. Misalnya penulis ingin menyampaikan A, maka pembaca menerimanya juga A. Bukan A+, A-, atau malah B. Berarti, tidak boleh ada miss komunikasi (miskom) antara penulis dan pembaca.
Nah, dari mana kita tahu bahwa opini kita sudah tepat sasaran atau belum? Tentu saja dari pembaca. Pembaca itu bisa jadi teman kita yang kita minta untuk membaca naskah kita, atau redaktur media yang kita tuju. Jika teman, kita minta dia untuk memberi kritik dan saran. Jika redaktur media, dimuat atau tidaknya tulisan kita merupakan indikator mutu tulisan kita. Tapi, ketika tulisan kita enggak dimuat di media, belum tentu tulisan kita jelek, bisa jadi karena enggak bagus.
Bagaimana agar tulisan kita bermutu?
- Tentukan inti pesan yang mau kita sampaikan, wujudkan dalam satu kalimat pendek. Namun, ada juga media yang filternya longgar sehingga setiap tulisan yang masuk selalu dimuat. Ya enggak apa-apa, sih, itu kebijakan redaksi.
Namun, alhamdulillahnya, filter di NP rapet banget. Jadi, no baper-baper klub, ya. Kalau disuruh revisi, ayo saja! Itung-itung mengulang masa skripsi, biar terasa awet muda. Misalnya, sekarang lagi musim perselingkuhan, eh, selingkuh, kok, musim, sih? Lebih tepatnya sedang banyak kasus perselingkuhan. Nah, kita bisa membuat naskah dengan pesan inti:
Perselingkuhan marak terjadi karena gaya hidup bebas (liberalisme).
- Buat anak tangga pemahaman, jangan ujug-ujug.
Nah, selama kita menulis sejak pembukaan hingga penutup, harus bermuara pada konklusi tersebut. Jangan bertentangan atau melebar ke mana-mana. - Gunakan analisis yang tepat.
Sebuah fakta memungkinkan dianalisis dengan berbagai cara, tergantung selera penulis. Misalnya, membahas perselingkuhan dari sudut pandang budaya, tata ruang, dsb. Namun, kita harus bisa menentukan analisis yang paling tepat sehingga bisa makjleb ke benak pembaca.
Pecahlah target mafhum keseluruhan tulisan yang sudah kita buat menjadi beberapa bagian.
Misalnya:
- Marak terjadi kasus perselingkuhan.
- Perselingkuhan tersebut diawali dari pergaulan laki-laki dan perempuan yang tanpa batas.
- Hal ini terjadi secara massal sehingga bukan masalah individual.
- Menyelesaikan problem perselingkuhan mutlak butuh ketakwaan.
- dll.
Masing-masing bagian tersebut bisa menjadi satu subbab dalam tulisan kita. Untuk dalil, selain berupa ayat Al-Qur'an dan hadis, bisa berupa qaul ulama. Jangan lupa dilengkapi nama kitab yang memuatnya.
- Perkuat dengan data dan dalil.
Logika saja tidak cukup untuk menguatkan argumentasi kita dalam naskah. Namun, kita butuh pendukung berupa data dan dalil. Pastikan sumber data kita kredibel. Hindari menjadikan hasil screenshot sebagai referensi. Telusuri sumbernya hingga kita yakin memang sumber tersebut kredibel. - Pastikan konstruksi pemikiran kita terjaga sejak awal hingga akhir tulisan. Tidak belok-belok, atau malah muter-muter. Dengan menjaga keutuhan konstruksi pemikiran, tulisan kita akan terasa sambung menyambung sehingga enak dibaca dan bisa menghasilkan satu kesimpulan yang kita harapkan.
- To the point.
Tulisan kita, jika hendak tayang di media, terbatasi oleh jumlah karakter maksimal. Oleh karena itu, maksimalkan space yang ada. Sedot lemak-lemak kata yang menggelambir agar tulisan kita langsing dan singset.
Tanya Jawab
- Haifa Aiman
Pernyataan pemateri tentang hindari menjadikan hasil screenshot sebagai referensi. Maksudnya bagaimana? Mohon berikan contohnya.
Jawaban:
Kita sering, 'kan, baca berita di medsos (media sosial) seperti Facebook atau WhatsApp, berupa screenshot. Biasanya langsung ditanggapi begini dan begitu. Langsung heboh. Padahal, screenshot itu butuh dikonfirmasi dahulu sumbernya, diteliti tanggalnya, dll. sehingga klir bagi kita berita yang sebenarnya.
- Sartinah
Apa sudah cukup kalau tulisan kita misalnya hanya mengambil qaul ulama sebagai dalil tanpa hadis atau ayat?
Jawaban:
Tergantung kebutuhan. Mana dalil yang lebih menguatkan. Misalnya, kita membahas persoalan ijtihadiah, tidak cukup dengan ayat atau hadis, tetapi butuh qaul ulama yang kita adopsi. Misalnya, soal sanksi untuk orang-orang yang ada di lingkaran bisnis narkoba, itu dalilnya berupa qaul ulama, karena merupakan hasil ijtihad. Qaul ulama juga kita butuhkan untuk menunjukkan penyikapan ulama terhadap suatu hal. Misalnya, qaul ulama bahwa imam dalam hadis tertentu itu maksudnya khalifah, juga bahwa yang legal memberlakukan sanksi hudud adalah khalifah.
- Mariyatul Qibtiyah
Kalau saya memahami ini bukan dalil, tapi penjelasan dari dalil. Benarkah seperti itu?
Jawaban:
Yang saya maksud bukan dalil makna dalil syarak. Konteksnya adalah ketika menulis harus ada dalilnya.
Kuis
https://m.bisnis.com/kabar24/read/20230515/15/1655904/jk-prihatin-hanya-satu-muslim-yang-masuk-daftar-10-orang-terkaya-di-indonesia
Berdasarkan berita pada link tersebut, silakan membuat:
- Pesan inti yang hendak disampaikan (satu kalimat)
- Anak tangga pemahaman (beberapa sub bab)
Jawaban:
Sebenarnya tidak ada jawaban baku, karena menulis itu persoalan rasa juga. Apalagi angle tulisan juga macam-macam, dan itu diperbolehkan. Jadi satu tulisan bisa dibahas dari berbagai angle.
Nah, jawaban versi saya adalah:
Kalimat inti:
Muslim terpinggirkan secara ekonomi.
Jembatan pemahaman:
- Data hanya satu muslim yang masuk daftar 10 orang terkaya di Indonesia menunjukkan lemahnya kekuatan ekonomi umat.
- Mayoritas umat Islam terkategori miskin, ini menunjukkan peran ekonomi umat terpinggirkan dalam kapitalisme.
- Kondisi ini bertolak belakang dengan kondisi dalam khilafah, umat Islam adalah pelaku utama perekonomian sehingga terwujud kesejahteraan.
- Cara Islam mewujudkan ekonomi yang berkeadilan, didukung data sejarah.
Sekian dan terima kasih.[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
MasyaAllah Sharing Bermanfaat, Barakallah untuk pengetahuannya semoga bisa diterapkan nantinya