Semesta Bercerita: Tentang Aku, Asa, dan Masa

“Selama masih ada kehidupan, akan selalu ada kisah yang menggugah untuk dituliskan” (Sayf Muhammad Isa)

Oleh. Fatimah Fatmawati
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-“Selama masih ada kehidupan, akan selalu ada kisah yang menggugah untuk dituliskan”
(Sayf Muhammad Isa)

Ngawi,14 Agustus 1998 : Sebuah detak berharga tentang awal kehidupan,
Seberkas episode yang menjadi titik awal sebuah perjalanan,
Sepenggal awesome moment tentang awal kerasnya perjuangan,
Dan kini dunia mengenalnya dengan nama Fatimah Fatmawati.

Menjadi sulung dari dua bersaudara bukan perkara mudah. Anak pertama, pundaknya harus sekokoh baja dan hatinya setegar karang. Menjadi tangguh untuk merangkai yang rapuh. Menjadi kuat untuk mewujudkan mimpi masa depan yang hebat. Dan benar, anak pertama adalah karunia Maha Kuasa yang istimewa untuk sebuah keluarga. Maka, dengan segala kelebihan dan kekurangan, selamat berjuang, wahai Sulung!https://narasipost.com/motivasi/02/2021/kisah-teladan-cinta-dan-kasih-sayang-berbalut-rida-ilahi/

Tentang hidup, tak mudah untuk menjadi orang yang tegar dan kokoh. Bukan hanya soal raga tapi juga tentang jiwa. Ketika kita lemah, kita memandang dunia ini kejam. Tapi kita tahu dunia tak pernah kejam. Kita sendiri yang menganggapnya demikian karena kita yang terlalu lemah. Beginilah hidup, patah tumbuh lagi, gagal coba lagi, jatuh bangkit lagi karena akhirnya dunia hanya mencari orang-orang yang mampu berjuang dan bertahan. Orang-orang yang pantang menyerah. Orang yang keras pada dirinya sendiri, hingga kemudian dunia melunak padanya.

==============

Fajar terbit menyingkap rahasia gelap malam. Menyingsing dengan eloknya untuk menawarkan harapan yang belum diwujudkan. Menghadirkan semangat melalui embusan angin yang menerpa. Semesta ini terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja. Pagi yang sempurna. Tapi tidak dengan takdir Tuhan, kadang ia hadir tanpa diduga. Bahkan, untuk memahami kebaikan disetiap ketentuan-Nya harus merasakan perih, luka, dan tak jarang juga air mata.

Detik ini, siapa yang menyangka Fatimah berada di titik ini. Menjadi seorang mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Ahmad Dahlan. Hingga bukan hanya istimewa, Yogyakarta telah menjelma menjadi kampung halaman tempatnya dididik dan ditempa. Begitulah hidup, sulit untuk ditebak, yang dikejar hilang, yang dinanti pergi, yang dipertahankan harus dikorbankan, Sampai kita menyerah kemudian berserah, semesta bekerja. Beberapa hadir sesuai harapan, beberapa jauh lebih baik dari yang diimpikan.

“Aku tak sebaik yang kau kira. Namun, aku juga tak seburuk yang kau sangka” tegas Fatimah saat ada yang bertanya tentang dirinya.

Kotak ingatan yang Fatimah simpan seolah terbuka, isinya berhamburan menyerang Fatimah dengan sesal yang mencekik perlahan. Luka yang berhasil gadis itu abaikan seolah kembali muncul dengan sayatan yang lebih tajam. Berusaha melupakan, tapi yang terlihat justru derai air mata. Fatimah kecil itu ceroboh, keras kepala, lemah, dan cengeng. Hidup dalam keluarga yang pernah patah membuatnya bertindak di luar batas dan susah diatur. Hari-harinya hanya dihabiskan untuk menyalahkan takdir.

Berbagai hal menyakitkan di masa lalunya telah bermetamorfosis mengerikan, menjadikannya tumbuh dalam trauma terhadap kehidupan. Namun, waktu telah menentukan alurnya, apa yang kini ia rasa adalah rahasia. Bebannya hanya akan ia simpan, ditutup rapi dengan tawa. Lukanya hanya akan terlihat seperti tiada dan Fatimah kembali menjadi rahasia. Ada tapi tak pernah terlihat nyata. Ada tapi memilih terabaikan hadirnya. Coretan tentang Fatimah, sebagai cerita bahwa selamanya bukan milik manusia.https://narasipost.com/cerpen-cerbung/07/2022/dersik-rindu/

Banyak orang yang menikmati senja. Katanya, senja adalah ketenangan, keindahan, dan kedamaian. Tapi, bukankah senja juga perayaan kehilangan? Senja mengajarkan, tidak semua perpisahan memerlukan lafal. Hari mulai menggelap, lampu-lampu berpendar memecah suramnya sang malam. Menjelang malam, di teras rumah, keluarga kecil itu berbincang. Dengan lugas sang ayah berkata, “Setelah ini sekolahmu bukan lagi di Ngawi. Kamu harus merantau untuk mandiri. Bapak sudah pilihkan SMP di Solo. Kelak di sana, pelajari Islam dengan sempurna. Kenali Sang Pencipta, maka kau akan paham siapa dirimu dan untuk apa kau dilahirkan.”

Kalimat ayahnya seperti ombak pasang yang membabat habis cita-citanya. Harapan ayahnya adalah lonceng kematian terhadap asa yang diimpikannya. Tentang bagaimana ayahnya dengan lugas menata jalan yang harus Fatimah tempuh. Ada belati dalam setiap diksi yang keluar dari mulut ayahnya. Terlalu tajam, hingga Fatimah merasa dadanya terhunus dalam. Gak ada pilihan lain? Dia pikir dia siapa?

Entah bagaimana, kenyataan itu menjelma menjadi api besar yang siap membakar siapa saja. Fatimah mengatupkan bibirnya, jemarinya mengepal sebelum akhirnya membuka suara, “Apa salahku? Kenapa aku harus diasingkan jauh? Apakah karena aku tidak bisa membanggakan? Bapak kayak semua orang, gak pernah percaya sama aku. Sepertinya benar, mimpiku adalah sia-sia. Dan apakah ini tanda aku hanyalah beban di keluarga sehingga harus dibuang jauh di pengasingan?”

Fatimah sudah tidak peduli pada suaranya yang meninggi. Ia bahkan tak peduli kalau setelah ini semua akan sulit. Namun, sekali lagi Fatimah lupa, keputusan ayahnya adalah final yang tak dapat ditoleransi. Keduanya bungkam dalam detik yang terasa panjang, sebelum akhirnya langkah kaki ayahnya masuk ke dalam rumah memecah keheningan.

Solo, 25 Juli 2010.

Suasana pagi yang berbeda. Dalam hening sepertiga malam terakhir, boarding itu telah ramai. Ada antrean di depan kamar mandi yang memanjang, suara lantunan ayat Al-Qur’an yang saling bersahutan, dan jiwa-jiwa yang khusyuk dalam sujud panjang. Awalnya, Fatimah mengira kehidupan boarding akan menawarkan kebebasan yang tak pernah ia miliki ketika di rumah. Namun, bayangan itu seketika sirna saat yang dihadapinya adalah kakak kelas bermuka garang dunia dan akhirat yang pagi-pagi sekali telah membangunkannya. “Bangun, bangun, yang tidur akan dihukum” teriaknya dari luar kamar sambil menggedor pintu. Dengan kantuk dan malas yang menggelayuti, ia memutuskan untuk tidur lagi. Tapi nahas, nasib baik tidak berpihak padanya. Hingga ketika azan subuh berkumandang, bukan hanya kakak kelas, namun ustazah langsung yang membangunkan tidur nyenyaknya dan memberikan hukuman.

Sejak saat itu, ia mulai berpikir dan menyusun berbagai rencana agar dikeluarkan dari boarding. Baru awal masuk ia sudah merasa bahwa boarding ini bukan habitat yang cocok untuknya. Dulu, baginya boarding ini tak lebih dari tempat yang mengisolasinya dari dunia. Ruang kejam yang membabat habis segala mimpi yang telah disemai. Begitulah manusia, terlalu picik dalam memandang kebaikan kada-Nya.

Bagi Fatimah, Surakarta telah menjelma menjadi ruang ‘tuk kembali mengenal luka, tawa, lara, bahagia, kerinduan sekaligus perpisahan. Kalau kata Pidi Baiq, Perpisahan adalah upacara menyambut hari-hari penuh rindu. Tiga tahun ia mengarungi luasnya samudera kehidupan yang sebenarnya. Tinggal jauh dari orang tua, memaksakan dirinya mandiri, dituntut untuk menyelesaikan dan bertanggung jawab pada setiap masalah pribadi. Banyak pengalaman berharga yang telah ia selami. Mulai memahami tsaqofah Islam, ilmu sains dan teknologi, hukum-hukum Islam, juga cara bagaimana bertahan dan berjuang. Dan di sanalah awal ia belajar menjadi manusia, belajar mengenal Islam sebagai way of life-nya.

Pada awalnya, semua orang bangga pada pilihannya. Tapi pada akhirnya, tidak semua orang bertahan pada pilihannya. Saat kita sadar bahwa yang dipilih tidak sepenuhnya seperti yang diimpikan. Karena yang tersulit dalam hidup bukan memilih, tapi bertahan pada pilihan. Dan detik itu, Fatimah sadar bahwa mempertahankan adalah puzzle tersulit dalam terjalnya perjuangan. Dalam kehidupan selanjutnya, Fatimah memutuskan untuk bersekolah di SMA BIMa Nganjuk, Jawa Timur. Bukan tanpa alasan ia memilih di sana, keputusan tersebut hasil dari tekad kuat untuk berubah. Ia sudah lelah hidup dalam kesiaan. Tapi, pada saat yang sama orang tuanya menuntut untuk tetap melanjutkan di sekolah sebelumnya. Berat bukan, berjalan tanpa rida orang tua?!

Menjadi anak SMA dan angkatan pertama tentu bukan perkara sepele. Keterbatasan ruang, fasilitas, asrama, adalah hal yang harus disikapi dengan dewasa. Dalam kitab Majma’ al Amtsal karya Abu al Fadhl an-Naisaburi di sebutkan "Al-Fadhlu lil mubtadi wa in ahsanal muqtadhi" Keutamaan itu adalah untuk pemula walaupun penerusnya itu lebih baik. Angkatan pertama, sulung sekolah yang dinanti gebrakannya. Angkatan yang ditunggu keberhasilannya. Maka, Angkatan pertama harus menjadi mutiara bersinar di mana pun berada. Sehingga bagi SMA BIMa, Angkasa (Angkatan Satu) adalah istimewa. Setiap langkahnya bagaikan prasasti yang pasti terkenang, maka mau meninggalkan jejak kebaikan atau keburukan adalah pilihan. Tiada alasan tetap berdiam, meski mimpi masih berupa angan.

Seiring bergulirnya waktu, detik demi detik telah berlalu. Meninggalkan berjuta rasa yang terkenang. Menyisakan seberkas memori akan pahit manisnya perjuangan. Dan menyimpan kesan, yang tak akan tergerus zaman. Tiga tahun SMA menjadi perjalanan terhebat. Saat jiwa-jiwa pengutuk takdir Tuhan dipertemukan. Saat 23 manusia dengan segala beda dikumpulkan. Dan saat semua pihak kembali disadarkan, “Untuk apa kau diciptakan?” Masa yang telah merangkai yang lemah menjadi kuat. Masa yang menempa mereka menjadi insan bermanfaat. Dan masa yang telah mengajarkan janji masa depan yang hebat.

Semua ini karena mereka berani menembus keterbatasan, hingga tiada lagi batas dengan apa yang mereka citakan. Berulang kali, tentang menyerah, bangkit, terluka semua akan terdengar masuk akal pada fasenya. Sehingga, pilihlah peran yang bisa diambil dan dipertanggungjawabkan. Terkadang tidak semua hal harus ada jawabannya sekarang. Semesta suka sekali memberi kejutan. Jalan panjang perjuangan, usaha pun harus berulang dilakukan.

========

“Anda lahir di fase perjuangan, maka tak pantas untuk pasrah dan menyerah” Bagi seorang pejuang, terjatuh untuk bangkit dan terluka untuk menang.

Mahasiswa, elemen yang berkesempatan mereguk dalamnya sumur ilmu pengetahuan. Idealisme adalah kemewahannya. Belajar adalah keharusan yang tak dapat diabaikan. Namun, akan merugi bila belajar dikerdilkan hanya tentang perkuliahan. Kehidupan dalam kampus harus diasah, bukan banyak berkeluh kesah. Agar kampus tak menjelma menjadi tembok yang membelenggu. Mahasiswa harus menjadi corong ‘tuk menyuarakan keluh masyarakatnya. Harus berani mengambil pendirian, bukan bersikap netral-netralan. Maka, jangan takut jatuh dan terantuk, dengan terbentur akan terbentuk.

Tapi, kini mahasiswa telah kehilangan identitasnya. Banyak yang tidak sadar akan perannya. Bahkan, beberapa memutuskan hidup di zona nyamannya. Mahasiswa mampu kembali kepada fitrahnya sebagai agent of change, sebagai iron stock, sebagai social control dan terlebih sebagai generasi intelektual muda yang akan membumikan kembali kehidupan terbaik bagi manusia. Apabila mereka bersungguh-sungguh dalam menunaikan amanah napas kehidupan. Dikatakan oleh pujangga Mesir:
“ Sesungguhnya pada tangan-tangan pemudalah urusan umat dan pada kaki-kaki merekalah kehidupan umat”

Mahasiwa hanya akan menjadi hebat dan bangkit dari keterpurukan ketika memiliki kemajuan taraf berpikir dan mengenal Islam sebagai way of life. Sehingga paham, bahwa tujuan hidupnya adalah mengabdi pada Allah, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka, setiap napasnya, geraknya, bahkan tidurnya selalu berusaha diselaraskan dengan visi hidupnya. Bolehlah berprestasi tinggi sedemikian rupa, tapi jangan lupa akarnya berasal dari Allah taala. Dan kelak akan kembali ke Allah. Maka, di dunia pun semata-mata untuk mengabdi kepada-Nya.

Menjadi mahasiswa tahun ke-3, rasanya masa terlalu cepat berlalu. Tak terasa kini Fatimah telah memiliki tiga adik angkatan. Rasanya waktu tidak lagi berjalan cepat, tapi berlari mengejar. Rasanya baru tahun kemarin melepas euforia masa putih abu-abu. Rasanya baru kemarin menjadi junior di kepanitiaan. Rasanya baru kemarin punya adik angkatan pertama kalinya. Dan sekarang, harus sadar bahwa segalanya tak lagi sama. Di fase ini, banyak hal yang harus dikorbankan untuk tetap memperjuangkan yang diprioritaskan.

Tertatih-tatih, jelas. Saat yang lain sudah istirahat dengan nyenyak, terkadang ia menghabiskan malam hanya sekadar untuk belajar kembali, mendalami setiap detail yang belum dipahami. Hingga akhirnya ia mengenal keluasaan bahasa Arab dan budayanya melalui sastra kontemporer dan klasik, naskah drama Arab yang tak kalah serunya, puisi Arab yang menghunjam relung hatinya dan mengenal berbagai pariwisata dunia Arab. Bahkan hal-hal yang bersifat ilmiah juga dipelajari, bagaimana penyusunan kamus dalam bahasa Arab, mengenal jurnalistik Arab, bagimana cara berkomunkasi dengan native Arab, dan bagaimana cara kerja bahasa Arab menyolusikan permasalahan terkini. Tentu semua tak terlepas dari peran para dosen yang gigih dalam mengajari hingga kehadiran teman-teman yang turut membersamai.

Bahasa dan Sastra Arab (BSA) bukan hanya sekadar program studi untuk memuaskan hasrat intelektualitas. Bagi Fatimah, BSA telah menjadi rumah yang mendidiknya dengan dewasa. Tentang bagaimana bertahan dalam tekanan, tidak hanya sibuk mengejar IPK tinggi, tapi softskill juga harus diimbangi. Karena, tidak selamanya IPK merepresentasikan kecerdasan. Oleh karena itu, tidak jarang ditemui orang yang ber-IPK tinggi tapi minim integrasi. Maka pertanggungjawabkan IPK tinggi sesuai dengan kontribusi yang dapat diberi. Melalui BSA ia belajar menjadi mahasiswa seharusnya.

Tidak hanya kuliah, Fatimah pun mengambil peran di organisasi mahasiswa yang telah mengajarkannya definisi menekan ego. Ada yang diam, karena terlalu lelah mengeluh. Ada pula yang bersuara karna lelah menyimpan. Sama-sama sedang berjuang. Tapi, saat setiap kepala sibuk untuk sempurna, sederhana menjadi hal langka. Memohon agar dipahami tapi abai membenahi diri. Mungkin kita lupa tugas manusia bukan menghakimi. Bahkan selamanya, asumsi tentang rasa akan jadi bisnis yang tak pernah usai. Maka, luangkan waktu duduk sebentar, untuk saling memahami karena bumi adalah tempat terbaik untuk berbagi ruang dan hati.

Seperti sebuah sistem, organisasi dan kerja sama merupakan kesatuan yang berkaitan. Saat organisasi tanpa kerjasama, maka hanya sia-sia. Dan ketika kerjasama tanpa wadah, bak pejalan yang pincang. Maka, dalam kerjasama persembahkan karya terbaik. Jangan lengah dan menyerah di tengah jalan. Tata hati dan diri, kita sama-sama paham, saat ekspektasi diletakkan pada manusia, kecewa adalah hasilnya. Dan pada akhirnya hadiah mengikuti organisasi adalah keluarga, yang telah sama-sama mengarungi jalan panjang perjuangan.

Demi hujan, ada banyak hal yang dikorbankan. Seperti awan yang mengikhlaskan putihnya. Seperti tanah yang merelakan dirinya basah. Atau seperti kenangan yang rela kembali terbangkitkan. Gadis itu terdiam, membingkai angkasa yang menghitam. Kata “andai saja” mendadak mengisi penuh kepala Fatimah. Tidak seharusnya ia membenci semesta dan bagaimana caranya bekerja. Karena, untuk setiap luka dan bahagia, bukankah semuanya This too shall pass?

Lari ke mana pun, atau lari sejauh apa pun, tapi masalah tak akan pergi. Dia tetap di sana sampai berani berbalik arah dan menghadapinya. Karena masalah adalah tantangan, bukan beban. Masalah adalah hadiah yang harus diterima dengan suka cita. Maka, terimalah masalah dengan pandangan yang tajam karena masalah yang akan menuntun kita menapaki tangga kekuatan menuju kesuksesan. Bahkan hidup juga masalah, maka nikmatilah hadiah ini.

Rasa khawatir dihadirkan agar kita selalu bersiaga. Bukan untuk membuat diri kita stres ataupun berduka. Kita harus sadar, hidup hanya untuk sementara. Jadi, untuk apa kita harus berputus asa? Kehidupan tak akan pernah berubah bila kita diam saja. Untuk itu, kita harus berani memulai dengan langkah-langkah nyata.

Time flies, but memorise last forever. 25 tahun perjalanan ini diarungi. Kini Fatimah belajar untuk menjadi manusia versi yang Allah mau. Hari-hari berat dan kelam yang berlalu biarlah menjadi pengingat untuk hari esok. Bahwa memaafkan dan berdamai dengan diri sendiri, adalah harta yang berharga untuk dimiliki. Saatnya pulang menjadi tujuan paling nyaman setelah proses panjang berjuang. Lelah lantas hilang. Dan semoga bahagia ‘kan datang. []

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor Narasiliterasi.id
Fatimah Fatmawati Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Lelaki Cacat Penggenggam Asa
Next
Elegi Sahabat Surga
4.5 2 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

9 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Novianti
Novianti
1 year ago

Rangkaian kalimat yang berkisah dengan cara berbeda. Seperti berjalan di atas kerikil tapi dengan tetap tersenyum karena indahnya alam yang dilewati. Dengan kalimat sastra tetap mengurai ttg motivasi, hikmah, perjuangan. Barokalloohu fiik

Sartinah
Sartinah
1 year ago

Masyaallah, kisah tentang perjuangan seseorang. Kalimat-kalimatnya indah berasa lagi baca story rasa sastra. Barakallah ...

R. Bilhaq
R. Bilhaq
1 year ago

Hidup memang penuh perjuangan ya.. semoga Allah memberi kebahagiaan untuk mu Mbak, di dunia dan akhirat..

Nining Sarimanah
Nining Sarimanah
1 year ago

Masyaallah, story dengan cara gaya penulisan yang berbeda, banyak kalimat yang bernuansa sastra. Hehe aku yang kurang paham ttg sastra jadi bingung juga mengartikannya.

Sherly
Sherly
1 year ago

Keren banget ❤️❤️

Barakallah ❤️

Dia dwi arista
Dia dwi arista
1 year ago

Naskah kamu keren mbak

Maftucha
Maftucha
1 year ago

Sebenarnya isi cerita singkat ya, cuma cara penyampaiannya yang dalam sehingga terkesan panjang,, gaya sastra yang tinggi, bikin pikiran melayang layang ikut membayangkan,, bagus sekali cara penulisannya... Kagum.com

Ita Mumtaz
Ita Mumtaz
1 year ago

Masya Allah, tetap tersenyum

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram