Semoga Kita Tidak Ikut Gila

semoga kita tidak ikut gila

Semoga kita tetap waras. Tidak ikut gila berada di lingkungan sosial yang menggerus akal dan bobroknya pergaulan yang mengenyahkan moral.

Oleh. Hafida N.
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Dering alarm dari ponsel membuatku terbangun dari tidur. Memaksakan diri, aku segera berpindah posisi menjadi duduk bersila atau aku akan kembali bergumul dengan selimut. "Ngantuknya," keluhku sembari beranjak menjauhi ranjang.

Derit pintu kamar terdengar jelas karena suasana sangat sepi. Ini pukul 3 pagi. Aku yakin penghuni kamar lain baru menutup mata sekitar 1 jam yang lalu. Huh, menjadi anak rantau memang membuat jam tidur berantakan.

Air dingin yang mengenai wajah, tangan, dan kaki berhasil membuatku menggigil. Selepas menunaikan salat Tahajud yang sebenarnya jarang aku lakukan, aku membuka Al-Qur’an. Membacanya lirih di sela-sela hening dini hari. "Selanjutnya apa?" tanyaku pada diri sendiri.

Berpikir sejenak, aku lalu mengambil ponsel dan membuka channel pribadi yang aku buat. Menuliskan day list chapter hari ini yang nantinya akan aku ceklis hijau setelah kulakukan. "List hari ini: Matkul Susastra pukul 8, matkul Kewarganegaraan online pukul 1 siang, matkul Pancasila pukul setengah 7 malam, apalagi ya?" Aku membacakan satu-persatu list yang aku buat. Semoga tidak ada yang terlewat. "Oh iya, catat materi Linguistik."

Bingung mau melakukan apa, aku memutuskan untuk tidur lagi. Masih ada 1½ jam sebelum azan Subuh berkumandang. Sebelum aku menutup mata, hal yang biasa aku lakukan adalah berucap pada diri sendiri, "Aku akan bangun pukul 5 lebih 15."

Introvert

"Jika tidak ada pertanyaan, kuliah hari ini saya tutup. Terima kasih atas kehadirannya." Dosen matkul Susastra menutup pertemuan. Para mahasiswa segera membubarkan diri. Teman kelas saling berpencar bersama circle masing-masing.

"Nufa, mau ikut ke bioskop?"

"Nonton Home Sweet Home. Ada diskon, nih."

"Atau mau nonton horor? Apa itu judul yang lagi keluar?"

Huh, aku tidak suka menonton film. Bukan tidak suka dengan suasana bioskop atau filmnya, tetapi aku tidak suka menghambur-hamburkan uang. Hei, daripada untuk menonton lebih baik uangnya untuk membeli makanan. Itu lebih berfaedah, ‘kan?

"Maaf, kapan-kapan aku ikut."

Tiga teman kelasku itu saling menatap lalu mengangguk bersamaan. "Ah, it's ok. Kalau mau nonton ajak kami aja, ya. Belum pernah lho kita main bareng," kata salah satu dari mereka. Aku menganggukkan kepala meski ragu acara main bareng itu akan terjadi.

Caraku Membentengi Diri

Sejujurnya, aku memiliki list bayangan manusia mana saja yang bisa aku jadikan teman. Selebihnya, hanya aku anggap sebagai kenalan. Meski terkadang aku merasa bersalah. Semoga tidak ada yang menganggapku egois, tetapi ini adalah salah satu cara membentengi diri dari pergaulan yang makin mengerikan. Menurutku, pergaulan memiliki pengaruh untuk menaik-turunkan iman.

Dalam Islam, pergaulan juga diatur. Ada ayat-ayat Al-Qur'an maupun hadis yang menyinggung soal pergaulan. Seperti dalam QS. Asy-Syu’ara ayat 99–101 yang artinya: "Tidak ada yang menyesatkan kami, kecuali para pendosa. Tidak ada pemberi syafaat (penolong) untuk kami. Tidak pula ada teman akrab." Ayat ini ditafsirkan bahwa tidak ada yang menyesatkan kecuali orang-orang yang berdosa, yang terdiri dari setan yang berwujud jin dan manusia yang tidak henti-hentinya menggoda ke jalan yang sesat. Manusia tidak memiliki pemberi syafaat yang dapat menolong dari kesusahan, bahkan teman akrab sekalipun. Maka, kembali ke dunia untuk berbuat amal kebaikan adalah hal yang diinginkan. Inilah yang membuatku memberi batasan sosial dan memilah manusia-manusia yang dapat dijadikan teman.

Aku bukan antisosial, hanya sedikit introvert. Suatu hari, teman kelasku bilang bahwa temanku banyak. Pemikiranku dapat diterima banyak orang. Mengobrol denganku adalah hal menyenangkan. Aku tersenyum mendengar pernyataan itu. Syukurlah, auraku tidak lagi menakutkan seperti saat sekolah dulu. Aku berusaha menjadi orang yang easy going dan ramah tetapi tidak berlebihan, mengamalkan hadis berikut: "Janganlah kamu menganggap remeh sedikit pun terhadap kebaikan, walaupun kamu hanya bermanis muka kepada saudaramu (sesama muslim) ketika bertemu." (HR. Muslim dan At-Tirmidzi).

Romantisme Kelabu

"Tiba-tiba banget hujan. Padahal tadi pagi cerah benderang." Celetukan itu membuyarkan renunganku. Berjalan keluar lift menuju lobi, aku dapat melihat dengan jelas bahwa sekarang hujan begitu deras. Bersama mahasiswa lainnya, aku terjebak di lobi kampus. Sebagian mahasiswa duduk di tempat yang tersedia, sebagian lain berdiri bahkan ada juga yang duduk di lantai. Aku salah satu yang tidak kebagian tempat duduk. Berdiri merenung menatap hujan adalah hal yang aku lakukan.

Hari Kamis adalah hari melelahkan, selain karena matkul pertama mendapat ruang kelas di fakultas lain yang jarak antarkampus ke kos lumayan membuat kaki pegal, 2 matkul selanjutnya yang diadakan online membuat ponselku panas. "Aku belum mencatat materi Basindo besok," ucapku sembari menghela napas. Umumnya, mencatat memang tidak dianggap penting di perkuliahan, tetapi bagiku catatan lengkap itu penting. Saat akan ujian, bagaimana bisa belajar jika catatan tidak lengkap? Mengandalkan AI? Itu tidak worth it. AI terkadang tidak bisa menangkap makna soal.

"Permisi," suara seseorang membuyarkan lamunan. Aku menoleh dan menatap lelaki yang barusan bersua. Aku ada di sudut lobi, memisahkan diri dari teman kelas. Keberadaanku seharusnya tidak menghalangi lalu-lintas mahasiswa yang keluar masuk. Lalu kenapa orang ini menegurku? "Bajumu basah. Pakai ini," sembari menyodorkan jaketnya sambil tersenyum.

"Hah?" Aku bingung. Aku tidak mengerti kenapa ada orang random yang berbaik hati padaku. Terasa aneh karena selama ini tidak ada people stranger yang menyapa dan menawarkan jasa, tanpa aba-aba pula. Entah aku yang kurang menarik di mata lawan jenis atau memang karena Sang Maha Esa menjauhkanku dari dosa zina. Semoga saja.

Selama 18 tahun hidup, aku tidak pernah diajak pacaran. Pernah ada yang PDKT, itu pun aku menyadarinya setelah diberi penjelasan oleh kedua sahabatku. Otakku memang terkadang lama konek jika disuguhi hal berbau romantis begitu.

Baca: Noktah Tak Bernilai

Orang Gila

Suara dering ponsel dari saku celana membuatku mengurungkan niat untuk menyuarakan penolakan. Lelaki yang masih memegang jaket itu bergegas mengambil ponsel. Di saat itulah aku melihat panggilan video dari kontak yang namanya membuatku terpaku tidak menyangka. OMG! Tanpa mengatakan apa-apa dan sebelum dia menyadari bahwa aku berhasil mengintip ponselnya, aku segera bergeser menjauhinya. Mendekat ke arah teman kelasku yang notice dengan lelaki itu. Bersembunyi di antara mereka.

"Ada apa?" bisik salah satu teman di depanku. Aku hanya menggeleng lantas meminta mereka merapatkan diri. Tanpa effort yang besar, aku tetap bisa bersembunyi karena tubuhku lebih kecil dari yang lain. Mengintip dari celah-celah, aku melihat lelaki itu mengedarkan pandangan. Semoga dia tidak melihatku. Raut kebingungannya kemudian berubah menjadi raut kesal. Aku berhasil dibuat terkejut saat lelaki itu menerobos derasnya hujan begitu saja.

"Orang gila!" seru salah satu teman kelasku yang disetujui oleh yang lain. Yang tadi berseru lalu menoleh padaku, "Nufa, kamu kenal dia?" Aku menggelengkan kepala, "Aku bahkan baru melihatnya. Fyi, dia sudah punya pacar." Ucapanku berhasil membuat yang lain terkejut. "Tadi ada yang video call dia. Kontaknya bernama Ayang dengan emot love berpita. Gak mungkin ‘kan itu VC dari ibunya?" Penjelasanku membuat yang mendengar terkejut.

"Sepertinya dia gila beneran." Celetukan salah satu teman kelas disetujui semua. Tepukan pelan dari para teman kelas perempuan lalu singgah di bahuku. "Tidak apa-apa, Fa. Dia bukan jodohmu. Jangan patah hati, ya."

Hei! Aku melotot mendengar ucapan penenang itu. Enak saja. Aku bahkan tidak mengenalnya. Dia hanya orang iseng yang gabut. Untunglah, pacarnya menelepon. Jika tidak dan aku terlanjur terlihat mengobrol dengannya, apakah aku akan dianggap perebut laki orang? Huh, seramnya!

Semoga Tetap Waras

Abaikan orang asing itu. Semoga kesibukan perkuliahan membuatku dengan cepat melupakan kejadian aneh yang baru pertama kali menimpaku. Aku sungguh berharap, tidak ada lagi kejadian aneh sejenisnya di lain waktu.

"Nufa, tugas kelompok kita kurang yang mana?"

"Ada yang bisa jelasin tugas tadi?"

"Yang foto PPT materi minggu kemarin, minta dong. Kirim grup kelas."

"Siapa yang paham aturan penulisan?"

Aku akan dengan senang hati menjawab pertanyaan terkait perkuliahan. Mentransfer balik ilmu yang aku dapatkan. Tentu dengan memberi penjelasan dan langkah-langkah mencari solusinya, bukan dengan langsung memberikan jawaban.

"Beli gacoan, yuk!"

"Siapa mau nonton bioskop??"

"Nyoba MCD mau?"

"Ada yang mau galau bareng Bernadya? Gak ada teman nih aku."

"Nufa, ayo bikin TikTok."

Nah, untuk hal-hal barusan, aku akan menolaknya. Aku lebih suka menghabiskan waktu bersama diri sendiri. Aku tidak gelisah saat aku tidak berbaur dengan yang lain. Tidak masalah saat aku tidak ikut bergabung dengan pembicaraan yang membahas tren TikTok terkini atau membahas idol K-Pop mana yang wamil. Mungkin ini terdengar jahat, tetapi aku tidak peduli. Aku tidak mau membuang energiku yang cepat habis ini untuk memikirkan hal yang tidak ada keuntungannya bagi kehidupan dunia akhiratku.

Sini, aku beritahu satu hal. Mungkin bagimu ini tidak masuk akal. Di era globalisasi ini, saat aku melangkah ke sistem sosial yang penuh suguhan informasi dan hiburan viral, di saat yang sama, aku merasa secara perlahan kehilangan moral. Apakah kamu merasakan hal yang sama sepertiku?

Semoga kita tetap waras. Tidak ikut gila berada di lingkungan sosial yang menggerus akal. Semoga kita tetap waras. Tidak ikut gila di antara bobroknya pergaulan yang mengenyahkan moral. Ini asaku yang sedang aku perjuangkan. Maukah kamu bergabung denganku? Bergabung bersama kelompok generasi muda ideologis yang menuntun umat ke jalan yang benar, sebab saat ini umat sedang tersesat di jalan rusak yang terkemas indah dari luar.

Wallahu a’lam bishawab. []

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor Narasiliterasi.id
Hafida N. Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Noktah Tak Bernilai
Next
Sekolah Tanpa Gedung, Potret Miris Pendidikan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Atien
Atien
16 minutes ago

Cerita yang menarik. Sangat Riley dengan fakta remaja saat ini. Barakallah ananda @dida.
Teruslah semangat untuk menuntut ilmu sembari berkarya.

Atien
Atien
13 minutes ago

Cerita remaja yang menarik. Sesuai dengan fakta dunia remaja hari ini. Barakallah ananda @dida.
Teruslah semangat dalam menuntut ilmu sembari berkarya

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram