Kehancuran Ekonomi Argentina di Balik Gemerlap Sepak Bola

Kehancuran Ekonomi Argentina di Balik Gemerlap Sepak Bola

Argentina merupakan refleksi sebuah negeri penganut sistem kapitalisme demokrasi yang perekonomiannya dibangun dengan utang luar negeri berbasis ribawi

Oleh. Erdiya Indrarini
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Argentina terjerembap ke dalam jurang ekonomi yang parah. Hal ini berbanding terbalik dengan kejayaannya di lapangan sepak bola. Argentina kini mengalami krisis ekonomi yang kritis. Tingkat kemiskinannya telah meningkat hingga 52 persen hanya di paruh pertama 2024. Menyikapi hal itu, Presiden Argentina Javier Milei yang belum genap setahun dilantik, memangkas anggaran pemerintah di beberapa pos belanja negara.

Seorang pekerja bernama Irma Casal juga mengkritik kepemimpinan Milei. Ia mengatakan bahwa harus berjuang keras demi bisa bertahan hidup di Argentina. Ia juga mengaku, lapangan pekerjaan dan penghasilan yang didapat, berkurang saat Milei berkuasa. Padahal, Casal yang telah berumur 53 tahun, dan tinggal di Buenos Aires itu sudah mengambil tiga pekerjaan sekaligus, termasuk mengais barang bekas di tempat sampah.

Juru Bicara Kepresidenan Manuel Adorni mengatakan bahwa hal ini merupakan kesalahan rezim sebelumnya. Ia menegaskan, pemerintahan sebelum Milei, telah meninggalkan masalah besar ekonomi. Segala upaya telah dilakukan agar krisis ekonomi berubah, tetapi kenyataannya tetap membawa Argentina ke jurang resesi. (cnnindonesia.com, 29-9-2024)

Potret Argentina

Argentina terletak di antara selatan dan tenggara benua Amerika Selatan, dan merupakan negara berbahasa Spanyol terbesar di dunia. Sebagaimana dikutip dari Wikipedia, kampung Lionel Messy ini meliputi wilayah seluas 2.780.400 kilometer persegi, dan memiliki jumlah penduduk 47.327.407 di tahun 2022. Negara terluas ke-2 di benua Amerika Selatan setelah Brasil, dan terluas ke-8 di dunia ini bertransaksi dengan mata uang peso. Argentina menerapkan sistem pemerintahan republik, demokratis, perwakilan, dan federasi yang terdesentralisasi, dan sejak tahun 1994 dibagi-bagi menjadi 23 provinsi,

Dulunya, Argentina menjadi negara yang ekonominya berkembang pesat di benua Amerika. Negara ini menjadi daya tarik investor dari Eropa karena wilayahnya luas, tanahnya subur, penduduknya banyak, dan sumber daya alamnya yang melimpah seperti gas alam, lithium, baja, tembaga dan lain-lain. Karena ini pula, populasinya pun meningkat tajam hingga empat kali lipat akibat kebanjiran imigran.

Pada tahun 1896, PDB (nominal per kapita) Argentina sangat tinggi melampaui Amerika Serikat, dan secara konsisten berada di sepuluh besar sebelum tahun 1920. Di tahun 1900-an, negara pencetak para pemain sepak bola internasional ini sempat menjadi negara paling kaya. Kemakmurannya terus melaju hampir tak tertandingi. Hal ini menyebabkan Argentina menjadi negara terkaya ketujuh di dunia.

Sebagai negara yang netral, saat perang dunia I justru diuntungkan karena bisa mengekspor berbagai komoditas pertanian kepada negara-negara yang pertaniannya hancur karena perang. Komoditas pertanian itu seperti daging, wol dan produk ternak, biji-bijian, telur, dan lain-lain. Saking makmurnya, banyak ahli ekonomi yang menilai bahwa Argentina sangat berpotensi menjadi negara super power.

Setelah perang dunia I berakhir, ekspor Argentina mulai lesu, karena negara lain mulai memproduksi kebutuhan pangannya sendiri. Ditambah lagi, setelah itu terjadi krisis ekonomi global pada 1928, sehingga kegiatan ekspor pun bertambah anjlok. Hal ini mengakibatkan banyak pengangguran dan kesengsaraan. Mulai saat itu, rakyat Argentina menyadari bahwa kemakmurannya sangat rapuh karena mengandalkan ekspor dan investasi asing.

Terperosok Utang Luar Negeri Berbasis Riba

Di tengah keterpurukan ekonomi dan kebingungan, masih menurut Wikipedia, pada tahun 1930 terjadi kudeta yang dipimpin oleh Jendral Jose Felix Uriburu yang menggulingkan kepemimpinan Hipolio Yrigoyen. Felix yang terkenal diktator melakukan pembatasan dan perdagangan internasional dan memperbanyak produk dalam negeri. Tarif impor pun dinaikkan hingga 67 persen, dan menganakemaskan BUMN yang ada. Sayangnya, BUMN terlalu manja dan kinerjanya amburadul, sehingga hasil produksi tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya. Hasil dari pajak juga tidak mencukupi. Akhirnya, utang luar negeri dengan mata uang asing terus dijadikan solusi.

Argentina yang terus berganti-ganti pemimpin hingga 30-an kali sejak 1946, nyatanya tidak mampu bangkit dari keterpurukan. Terlebih, sistem demokrasi yang dianut negeri itu menjadikan pemilihan pemimpin sangat menguras dompet negara. Lagi-lagi, semua dana itu diambil dari utang luar negeri, atau dari pemodal yang tentunya tidak gratis. Dalam waktu 6 tahun saja, tepatnya di tahun 1952 utang Argentina melompat tajam dari 72 juta USD menjadi 1,2 miliar USD.

Oleh karena itu, tahun 1975 mulai membuka pintu perdagangan dengan luar negeri, dan produk luar pun membanjiri. Namun, BUMN dalam negeri tidak mampu bersaing, pendapatan per kapita pun malah jatuh sampai 20 persen hingga 1990. Dalam situasi seperti ini, para politisi unjuk gigi, dan menawarkan janji-janji manis untuk bisa menjadi penguasa tertinggi alias presiden. Namun, keadaan makin terperosok karena kebijakan-kebijakan yang mereka keluarkan selalu blunder. Bahkan, sumber dananya setiap kebijakan mengandalkan utang luar negeri.

Akhirnya, tahun 2015 Argentina mengalami devisit ekonomi karena pemasukan dari pajak lebih sedikit dari pengeluaran, apalagi saat itu nilai dolar sangat tinggi. Hal ini menjadikan nilai peso terjun bebas, inflasi pun naik tak terkendali, harga barang melonjak tinggi, dan kesulitan ekonomi menjadi kesengsaraan masyarakatnya. Untuk mengatasi masalah ini, sebagaimana dikutip dari rmol.id, pada tahun 2018 mengutang lagi, bahkan secara brutal pinjam ke IMF dengan jumlah fantastis, yakni 50 miliar USD.

Sebenarnya, langkah ini ditentang oleh rakyatnya yang sudah jenuh dengan utang menggunung yang hanya membuat kehidupan mereka makin merana. Ternyata benar, sejak itu hingga saat ini, kampungnya Diego Maradona itu menjadi negeri yang sakit, dan gagal bayar utang. Saking bingungnya bagaimana mengentaskan krisis, ditambah lagi hantaman pendemi Covid-19, negeri Tango itu mencetak uang besar-besaran berharap bisa menjadi solusi. Namun, lagi-lagi berbagai solusi yang ditawarkan sistem kapitalisme demokrasi hanyalah ilusi semata.

Argentina, Refleksi Negeri Kapitalisme Demokrasi

Kini negeri pemenang Word Cup yang meraih gelar juara Piala Dunia FIFA 2024 ini, 57 persen masyarakatnya hidup di bawah garis kemiskinan. Perekonomiannya pun makin hancur dari tahun ke tahun karena menggunungnya beban utang. Inilah refleksi sebuah negeri penganut sistem kapitalisme demokrasi yang perekonomiannya dibangun dengan utang luar negeri berbasis ribawi. Pada umumnya krisis ekonomi sebuah negara memang diawali utang ribawi. Ini menunjukkan bahwa penerapan sistem ekonomi kapitalisme demokrasi yang ribawi hanya akan mengantarkan negara menuju jurang krisis. Padahal, Rasulullah saw. telah mengingatkan,

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلاَّ كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ

“Tidak ada seorang pun yang banyak melakukan riba, kecuali akhir dari perkara adalah harta menjadi sedikit.” (HR. Ibnu Majah)

Solusi Islam Mengatasi Krisis Ekonomi

Islam bukan sekadar agama, tetapi sebuah sistem yang memiliki aturan dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk aspek ekonomi. Dalam perekonomian Islam, pemasukan negara tidak mengandalkan pajak, apalagi dengan utang luar negeri yang pasti ribawi. Bagi sistem Islam di samping tidak dibolehkan, pendapatan dari dua sumber pajak dan utang luar negeri itu terlalu sedikit, sehingga tidak mungkin mampu menopang kehidupan rakyat. Selain itu, utang ribawi jelas diharamkan syariat. Apa pun yang dilarang Allah Swt., tentu tidak akan menyejahterakan dan melahirkan keadilan bagi umat.

Baca juga: Resolusi PBB, Solusi Konflik Palestina

Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam mengatur kepemilikan, yaitu kepemilikan Individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Dalam hal ini, yang boleh dipasarkan atau dijualbelikan adalah kepemilikan individu saja. Sebaliknya, kepemilikan umum dan negara dilarang ditransaksikan, tetapi hanya boleh dikelola yang hasilnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat, serta bisa diperoleh dengan mudah, bahkan gratis. Pengaturan yang seperti itu akan menghindarkan dari dominasi kuasa kepemilikan. Pengelolaan sumber daya alam seperti hasil tambang juga menjadi pendapatan terbesar yang diandalkan negara.

Selain itu, bank dan pasar bebas yang merupakan denyut nadi perekonomian kapitalisme yang berbasis ribawi harus diganti. Hal ini karena bank sarat dengan penggelembungan dana berbasis riba yang memicu inflasi. Sementara, inflasi merupakan indikasi bahwa tingkat kesejahteraan rakyat menurun. Bank dan pasar bebas inilah yang membuat si kaya makin kaya, sedangkan yang miskin kian tak berdaya.

Sistem Islam juga mengatur hukum lahan, bahwasanya dilarang menelantarkan lahan pertanian hingga tiga tahun. Jika ini terjadi, maka negara akan mengambilnya untuk diserahkan pada petani yang siap menggarap. Dampaknya, tidak akan terjadi feodalisme, bahwa ada yang menjadi tuan tanah, tetapi ada juga yang sepetak tanah untuk tempat tinggal pun tak punya.

Sistem ekonomi Islam juga mengatur hukum perdagangan. Bahwasanya tidak boleh ada unsur riba, penimbunan barang, perjudian, penipuan kualitas barang, dan lain-lain. Yang menjadi perhatian penting adalah negara harus menggunakan mata uang berbasis emas dan perak. Hal ini karena nilai emas dan perak tidak pernah berubah, juga kadar dan masanya. Oleh karena itu, mata uang ini tidak menimbulkan inflasi atau krisis sebagaimana jika menggunakan uang kertas yang bisa dicetak sesuai keinginan.
Selain itu, nilai tukar mata uang berstandar emas tidak akan terdampak atas permainan uang kertas mana pun seperti dolar AS maupun euro.

Demikianlah sistem Islam mengatasi kehancuran ekonomi sebuah negeri, yaitu kembalikan pada sistem aturan yang hakiki, yakni yang berasal dari Ilahi. Dengan demikian, Argentina telah mengajarkan pada kita bahwa jika sebuah negeri tidak menerapkan sistem ekonomi yang datang dari Sang Pencipta semesta, Allah Swt., maka sehebat-hebatnya negeri itu akan hancur baik cepat atau perlahan. Berkaca pada Argentina, meskipun gemerlap lapangan sepak bolanya, tetapi kehidupan rakyatnya hancur merana.

Wallahu a'lam bishawab.[]

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor Narasiliterasi.id
Erdiya Indrarini Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Resolusi PBB, Solusi Konflik Palestina?
Next
Pendidikan Tinggi Gratis, Jangan Setengah Hati!
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram