
Fenomena kodokushi sejatinya berasal dari akar masalah yakni sistem kapitalisme yang mengusung kebebasan dan memisahkan agama dari kehidupan yang akhirnya menggerogoti fitrah manusia.
Oleh. Nai Ummu Maryam
(Kontributor NarasiLiterasi.Id dan Aktivis Muslimah)
NarasiLiterasi.Id-Sungguh miris dan menyedihkan hidup di alam kapitalisme saat ini. Di tengah gagahnya kemajuan teknologi dan ekonomi, Jepang mengalami krisis mental yang mendalam. Fenomena kodokushi menghantui negara ini. Sebagaimana kita ketahui bersama istilah kodokushi adalah istilah Jepang yang diartikan sebagai "kematian sunyi" atau meninggal dalam kesendirian tanpa diketahui orang lain. Jasad yang telah terbujur kaku baru diketahui setelah tubuhnya mulai membusuk bahkan baru diketahui setelah berminggu-minggu.
Fenomena kodokushi biasanya terjadi pada mereka yang hidup dalam kesendirian, kesepian tanpa adanya keluarga, teman atau kontak sosial masyarakat yang rutin.
Lebih mirisnya, setiap tahun puluhan ribu orang di Jepang ditemukan meninggal di rumahnya sendiri dalam kondisi seperti ini. Sebagaimana dikutip dari beberapa portal berita di Jepang seperti Japan Forward, Kantor Pemeriksa Media Tokyo mengungkapkan bahwa penyebab kematian dari fenomena kodokhusi adalah karena bunuh diri.
Pada tahun 2024, jumlah kasus kodokushi mencapai 76.020 kasus. Angka ini terus mengalami kenaikan drastis 27.000 kasus dari tahun 2011. Sedihnya, kasus ini menjalar ke berbagai kalangan, mulai dari remaja, dewasa dan didominasi para lansia.
Krisis Mental dan Hilangnya Arah Tujuan Hidup
Menyoal kodokushi, fenomena ini menunjukkan krisis mental dan hilangnya arah tujuan hidup masyarakat Jepang yang terkungkung dalam alam kapitalisme. Beginilah hidup jika disandarkan pada aturan manusia. Di balik gemerlapnya teknologi, ekonomi, dan sigapnya pelayanan pemerintah Jepang, ternyata jiwa-jiwa manusia di Jepang tertekan dan merasa sunyi. Pergeseran nilai budaya, pergaulan sosial masyarakat yang cenderung individualisme serta sistem kehidupan yakni pemisahan agama dari kehidupan atau sekularisme, membuat banyak orang di Jepang kehilangan arah untuk melanjutkan kehidupan yang berarti.
Banyak orang di sana memutuskan untuk tidak menikah karena biaya hidup yang tinggi, bahkan ada pihak yang menganggap bahwa pernikahan akan menghambat karier dan kebebasan apalagi ketika sudah memiliki keturunan. Maraknya opini dan paham marriage is scary dan child free di kalangan generasi muda membuat Jepang harus menelan pil pahit kembali yakni depopulasi.
Pada tahun 2024, Jepang mengalami penyusutan penduduk atau depopulasi mencapai 908.000 jiwa. Sayangnya, penurunan jumlah penduduk ini merupakan angka terbesar sejak pencatatan tahun 1968 oleh pemerintahan Jepang. Depopulasi menurun akibat rendahnya angka kelahiran dan tingginya angka kematian. Parahnya lagi, depopulasi juga diakibatkan maraknya penyimpangan seksual yang melanda warga Jepang, seperti penikmat sex toys.
Bahkan penyimpangan seksual lainnya seperti memutuskan untuk menikah dengan boneka, robot, anime dan lain sebagainya. Di sisi lain warga di Jepang juga merasa tertekan dengan etos kerja yang tinggi sehingga sulit memilih pasangan, karena setiap orang disibukkan dengan karier yang tidak ada habisnya. Krisis mental melanda negeri ini karena pemahaman yang keliru terhadap kehidupan, pernikahan dan memiliki keturunan.
Islam Solusi Sempurna dan Paripurna
Dari Jepang kita belajar, bahwa ada hal yang paling mendasar untuk memperbaiki mental manusia yakni akidah, pemahaman, serta sistem kehidupan yang digunakan. Maka, untuk memperbaiki krisis mental manusia hari ini dapat dimulai dengan perbaikan akidah dan pemikiran atau pemahamannya terlebih dahulu. Sebagaimana kita ketahui bahwa di Jepang mayoritas agamanya adalah Shinto dan Budha. Namun, tidak sedikit juga yang memilih untuk menjadi ateis karena menganggap bahwa agama bukanlah solusi dari kehidupan.
Baca: bunuh diri makin ngeri
Sejatinya Islam adalah agama yang sangat sempurna dan paripurna dalam mengatur setiap detail kehidupan manusia yang tidak dimiliki oleh agama lainnya. Fenomena kodukushi adalah fenomena yang terjadi karena berbagai faktor kerusakan yang sistemis, maka untuk menyelesaikan permasalahan ini dibutuhkan solusi yang tersistematis pula. Islam adalah agama yang hadir sebagai petunjuk kehidupan agar para pemeluknya mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tujuan Hidup dalam Islam
Sebagai seorang muslim, syariat Islam memberikan informasi dan petunjuk bahwa kehidupan di dunia ini sifatnya hanya sementara. Kesibukan dan kenikmatan dunia yang telah diraih sejatinya adalah jalan untuk ketaatan kepada Sang Pencipta yakni Allah Taala. Dalam Islam, kewajiban bekerja bagi setiap laki-laki dewasa adalah wujud tanggung jawabnya kepada diri dan keluarganya.
Maka, di tengah-tengah rutinitas pekerjaan selalu ada waktu jeda untuk melaksanakan ibadah seperti salat. Salat adalah wujud bentuk ketaatan dan rasa syukur kepada Allah Taala. Ibadah sejatinya bertujuan mengisi jiwa-jiwa manusia yang sepi. Allah memanggil manusia di tengah kesibukannya agar mengerti apa tujuan hidup di dunia. Sementara harta yang diperoleh dari pekerjaan, Islam juga mengajarkan bagaimana bersedekah dan mengatur harta dengan benar.
Syariat Islam memandang fenomena kodokushi berakar dari pemahaman manusia yang keliru dalam menjalani kehidupan. Sistem kehidupan yakni kapitalisme dan sekularisme yang diterapkan pemerintah Jepang adalah akar masalah utamanya. Banyak orang di Jepang terlalu sibuk memikirkan pekerjaan dan karier hingga jiwanya kosong, rapuh, kehilangan arah hingga akhirnya berujung bunuh diri. Jangankan paham untuk beribadah, untuk beristirahat pun terkadang enggan mereka lakukan. Ibarat kata pepatah, mereka terlalu sibuk mengejar dunia yang tidak pernah ada habisnya. Merasakan lelah tetapi tidak memiliki tujuan akhir kehidupan.
Dalam Islam, manusia disadarkan bahwa kehidupan di dunia ini berasal dari Allah Taala, dan ketika di dunia segala perbuatannya bermuara pada ibadah. Begitu pun setelah kematian ada tujuan hidup yakni surga atau neraka. Maka, semua aktivitas yang dilakukan di dunia harus memiliki tolok ukur yakni berjalan sesuai dengan koridor syariat Islam. Berusaha untuk taat dengan ganjaran surga atau memilih maksiat yang berujung pada neraka. Sebagaimana firman Allah Taala yang termaktub dalam kalam mulia yakni Al-Qur'an,
"Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku." (TQS. Adz-Zariat: 56)
Keharaman Bunuh Diri
Tolok ukur perbuatan seperti halal dan haram adalah pilihan dalam melangkah. Dalam kehidupan, manusia akan diuji dengan berbagai macam ujian, ada kesedihan, kehilangan, kesendirian, kemiskinan, sakit, gelisah dan lain sebagainya. Ujian itu semua adalah bentuk kasih sayang Allah untuk menaikkan level manusia. Maka, dalam pandangan Islam diharamkan untuk berputus asa apalagi sampai melakukan aksi bunuh diri. Menyoal kembali fenomena kodokushi karena bunuh diri adalah bentuk kekeliruan dalam menyelesaikan permasalahan atau ujian hidup.
Dalam Islam, setiap ujian yang dilewati dengan ikhlas dan sabar maka akan meraih pahala yang besar di sisi Allah. Setiap masalah yang datang menandakan Allah memanggil hamba-Nya untuk mendekat dan mengadu kepada-Nya. Semua masalah pasti ada solusinya, setelah badai kesulitan selalu ada pelangi kemudahan yang akan menanti. Begitu juga Allah tidak pernah memberikan beban di luar batas kemampuan hamba-Nya.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan batas kesanggupannya…” (TQS. Al-Baqarah: 286)
Maka, beruntunglah kita menjadi seorang muslim yang beriman. Kita memercayai bahwa Allah selalu ada di setiap badai ujian. Seyogianya, kodokushi karena bunuh diri atau tekanan hidup bukanlah solusi, justru bunuh diri bentuk penghinaan kepada Allah Taala yang kelak tempatnya di neraka.
Tujuan Pernikahan
Faktor kesendirian dan kesepian di usia senja menyelimuti para lansia di Jepang. Ada di antara mereka sedari awal memilih untuk tidak menikah dan bagi yang sudah menikah tidak ingin memiliki keturunan. Tentu, paham seperti ini sangat keliru. Kita memahami bersama bahwa pernikahan adalah bagian dari menyempurnakan agama dan memiliki keturunan adalah bagian dari melangsungkan kehidupan Islam.
Sebagaimana dalam nasihat ulama yakni Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, “Tujuan utama dari pernikahan dalam Islam bukan semata pemenuhan naluri atau ikatan emosional saja, tetapi menjadikan rumah tangga sebagai sarana meraih rida Allah Taala, membentuk generasi beriman, dan menjaga keturunan dalam koridor syariat Islam.”
Jika memahami dengan benar makna serta tujuan dari pernikahan dan memiliki keturunan, tentu saja kasus kodokushi dan depopulasi di Jepang dapat ditekan. Di sisi lain, banyak orang tua yang tidak memahami apa tanggung jawab utamanya. Mereka berpikir bahwa memenuhi kebutuhan materi saja adalah bentuk menyenangkan hati keluarga atau sang anak. Padahal, sejatinya menjadi orang tua tidak hanya berperan memberikan nafkah lahir saja, menjadi orang tua juga harus memberikan nafkah batin yakni agama, agar setiap anak memiliki nafisiah yang kuat dan terhubung kepada Sang Pencipta. Penanaman akidah Islam dan diperkuat oleh sistem pendidikan Islam adalah kunci utama keberhasilan untuk melahirkan generasi yang berakhlak islami, sehingga tercermin darinya sebuah pemikiran, perkataan, hingga perbuatan yang bersandar pada ketaatan.
Di sisi lain, sebagai orang tua tidak boleh berhenti mendoakan kebaikan untuk anak cucunya kelak, serta selalu menjaga komunikasi dengan baik terhadap anak-anaknya ketika mereka sudah berumah tangga. Begitu halnya dengan peran anak, anak yang berakhlak Islam akan memahami bahwa kewajiban utamanya adalah berbakti kepada orang tua. Mengurusi orang tua dan memenuhi kebutuhannya di usia senja adalah bentuk ketaatan atas syariat Islam bukan semata-mata balas budi yang bersifat duniawi.
Khatimah
Berkaca dari Jepang, fenomena kodokushi sejatinya berasal dari akar masalah yakni sistem kapitalisme yang mengusung kebebasan dan memisahkan agama dari kehidupan yang akhirnya menggerogoti fitrah manusia. Maka, tidak bisa dimungkiri bahwa solusi yang paling dibutuhkan adalah mendakwahkan Islam di tengah-tengah umat. Aktivitas dakwah selain kewajiban bagi setiap muslim, dakwah juga dapat menghidupkan interaksi sosial yang benar di tengah-tengah umat. Rasa kepedulian yang tinggi kepada manusia akan menyingkirkan sifat individualisme dan kesepian.
Maka, butuh keseriusan bagi semua pihak untuk fokus pada perubahan sistem, yakni perubahan dari sistem kapitalisme ataupun komunisme menuju kepada Islam dalam bingkai negara. Karena itu, diperlukan peran dan tanggung jawab dari individu, masyarakat, hingga negara agar kasus-kasus seperti di Jepang tidak menjalar ke negeri kaum muslimin. Wallahu a’lam bishawab.[]
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com



















Ketidakpahaman akan tujuan hidup lalu realita yang menyesakkan dada, membuat manusia putus asa. Buat apa hidup jika tidak ada makna. Begitulah fenomena hari ini.
Krisis mental kerap terjadi dalam cengkraman kapitalisme. Memaknai hidup dengan memahami jati diri sebagai seorang muslimah yang ta'at terhadap aturan Allah adalah hal yang sangat diperlukan untuk menghadapi krisis mental tentunya dengan support sistem penguasa dalam bingkai sistem Islam.
[…] Baca juga: Kodokushi: Krisis Mental di Alam Kapitalisme […]