
Islam menegaskan bahwa kekuatan militer adalah amanah, bukan ladang bisnis. Senjata bukan alat eksploitasi, melainkan instrumen penjaga keadilan dan pelindung umat dari kezaliman.
Oleh. Diyani Aqorib
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)
NarasiLiterasi.Id-Perang merupakan kondisi yang sangat tidak diinginkan oleh siapa pun. Di satu sisi, perang melahirkan penderitaan, kesedihan, kematian, kelaparan, pengungsian massal, serta hancurnya tatanan kemanusiaan. Anak-anak kehilangan masa depan, perempuan kehilangan rasa aman, dan rakyat sipil menjadi korban paling nyata. Namun, di sisi lain, ada pihak-pihak yang justru berpesta di tengah tragedi tersebut. Mereka adalah para produsen senjata. Sungguh ironis dan mengerikan. Beginilah wajah asli kapitalisme.
Dilansir dari cnnindonesia.com (1-12-2025), sejumlah perusahaan produsen senjata justru meraup keuntungan besar-besaran di tengah konflik dan peperangan yang melanda berbagai wilayah dunia. Berdasarkan laporan AFP, 100 produsen senjata terbesar di dunia mencatatkan pemasukan hingga US$679 miliar atau setara Rp11.304 triliun pada tahun 2024.
Para peneliti mencatat bahwa perang di Ukraina dan agresi brutal di Jalur Gaza telah mendongkrak permintaan senjata secara masif. Meski demikian, kendala produksi masih menghambat pengiriman. Secara keseluruhan, pemasukan tahun 2024 meningkat 5,9 persen dibanding tahun sebelumnya. Bahkan dalam rentang 2015–2024, pendapatan 100 produsen senjata teratas melonjak hingga 26 persen, menurut data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI).
Peneliti SIPRI Jade Guiberteau Ricard mengungkapkan bahwa lonjakan keuntungan ini terutama didorong oleh kawasan Eropa, seiring meningkatnya persepsi ancaman dari Rusia akibat perang Ukraina. Permintaan datang tidak hanya dari Ukraina, tetapi juga dari negara-negara sekutunya yang mendukung secara militer. Selain itu, banyak negara Eropa tengah memperluas dan memodernisasi militernya, sehingga menciptakan pasar baru yang sangat menguntungkan bagi industri persenjataan.
Dari 100 perusahaan produsen senjata tersebut, 39 berasal dari Amerika Serikat, dengan tiga perusahaan teratas adalah Lockheed Martin, RTX (Raytheon Technologies), dan Northrop Grumman. Total pendapatan perusahaan-perusahaan senjata AS mencapai US$334 miliar pada 2024, hampir separuh dari total pendapatan global industri senjata. Sementara itu, 26 perusahaan Eropa mencatatkan pertumbuhan pendapatan agregat 13 persen, mencapai US$151 miliar. Bahkan perusahaan asal Ceko, Czechoslovak Group, mengalami lonjakan pendapatan fantastis sebesar 193 persen, menjadi US$3,6 miliar, kenaikan tertinggi diantara 100 perusahaan senjata teratas.
Fakta-fakta ini menyingkap realitas pahit bahwa perang bukan lagi semata konflik politik atau pertahanan negara, melainkan telah menjadi komoditas bisnis yang mendatangkan keuntungan luar biasa. Di bawah sistem kapitalisme, tragedi kemanusiaan diperlakukan sebagai peluang ekonomi. Nyawa manusia dinilai dengan kalkulasi untung-rugi, sementara perdamaian justru menjadi ancaman bagi keberlangsungan industri senjata.
Kekejaman Kapitalisme
Sebagai negara adidaya, Amerika Serikat tentu akan melakukan berbagai cara demi memastikan kepentingan nasionalnya tercapai, bahkan jika itu harus ditempuh melalui perang. Terlebih ketika suatu negara memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, Amerika dengan seluruh perangkat kebijakannya kerap berupaya menguasai negara tersebut. Jika upaya penundukan tidak berhasil, maka konflik pun diciptakan, baik konflik internal berupa perang saudara maupun konflik antarnegara sebagai pintu masuk bagi intervensi dan penguasaan.
Yang lebih keji, ketika konflik dan peperangan telah terjadi, Amerika Serikat justru tampil sebagai pemasok utama persenjataan. Tentu saja tidak secara cuma-cuma. Dari sinilah negara adidaya ini meraup keuntungan sebesar-besarnya melalui bisnis senjata perang. Darah dan nyawa manusia menjadi ladang cuan, sementara perang dibiarkan terus menyala demi menjaga roda industri militer tetap berputar.
Baca juga: gencatan senjata hanya tipu daya
Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa memang dikenal sebagai pengekspor senjata terbesar di dunia. Peran mereka dalam perdagangan senjata global kerap menuai kontroversi dan kritik tajam, terutama karena dampaknya yang destruktif terhadap konflik bersenjata dan krisis kemanusiaan di berbagai belahan dunia.
Secara dominasi pasar, Amerika Serikat menempati posisi teratas sebagai eksportir senjata global, dengan pangsa sekitar 43 persen dari total ekspor senjata dunia pada periode 2020–2024. Negara-negara Eropa seperti Prancis, Inggris, dan Jerman juga menjadi eksportir utama yang tak kalah agresif. Fakta ini menunjukkan bahwa industri persenjataan global dikuasai oleh segelintir negara maju yang sekaligus kerap memosisikan diri sebagai “penjaga perdamaian dunia”.
Ironisnya, di tengah eskalasi konflik dan pelanggaran kemanusiaan, suplai senjata justru terus mengalir. Sebagai contoh, Senat Amerika Serikat menolak resolusi untuk menghentikan penjualan senjata ke Israel, meskipun dunia internasional menyaksikan kekejaman yang mengerikan dan dinilai ilegal di Gaza. Di sisi lain, kawasan Eropa menjadi tujuan utama ekspor senjata AS, yang sebagian besar dipicu oleh meningkatnya permintaan akibat perang Ukraina–Rusia.
Di balik itu semua, penjualan senjata tidak semata-mata digerakkan oleh dalih keamanan, melainkan oleh motivasi ekonomi dan kepentingan politik. Industri pertahanan meraup keuntungan finansial yang sangat besar dari konflik berkepanjangan. Sementara itu, transfer senjata dijadikan instrumen kebijakan luar negeri untuk mempertahankan pengaruh global dan memperkuat aliansi keamanan, seperti komitmen Amerika Serikat terhadap NATO.
Tak mengherankan jika organisasi hak asasi manusia dan lembaga penelitian perdamaian berulang kali menyoroti dampak buruk perdagangan senjata ini. Penjualan persenjataan terbukti memperparah konflik, memperbesar korban sipil, memperdalam krisis kemanusiaan, serta meningkatkan ketidakstabilan global. Namun, selama konflik masih menguntungkan secara ekonomi dan strategis, suara-suara kemanusiaan kerap kalah oleh kepentingan kapital dan geopolitik.
Ironis memang, tetapi inilah wajah asli kapitalisme yang menjadikan penderitaan manusia sebagai komoditas dan menjadikan perang sebagai peluang bisnis yang menggiurkan. Inilah konsekuensi logis dari kapitalisme yang menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama, bukan keselamatan manusia. Selama perang menjanjikan keuntungan, maka konflik akan terus dipelihara, bahkan direkayasa. Negara-negara kuat berperan ganda, yakni berbicara soal perdamaian di satu sisi, tetapi menyuplai senjata di sisi lain.
Industri Persenjataan dalam Islam
Berbeda dengan sistem sekuler-kapitalistik, Islam memandang nyawa manusia sebagai sesuatu yang sangat mulia dan sakral.
Allah Swt. menegaskan dalam firman-Nya: "Barang siapa membunuh seorang manusia (bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi), maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia." (TQS. Al-Maidah: 32)
Ayat ini menegaskan bahwa perang dalam Islam sangat terukur. Tidak boleh dilakukan dengan kezaliman.
Perang dalam Islam bukanlah instrumen bisnis, apalagi sarana akumulasi keuntungan. Ia merupakan jalan terakhir yang ditempuh dengan aturan ketat demi menjaga keamanan, kedaulatan, dan tegaknya keadilan, bukan untuk memuaskan ambisi ekonomi atau politik segelintir pihak.
Dalam perspektif Islam, perang disyariatkan sebagai upaya membebaskan manusia dari sistem kufur dan kezaliman penguasa melalui konsep futuhat (pembukaan wilayah). Tujuannya bukan penjajahan, melainkan membebaskan manusia dari penghambaan kepada sistem-sistem zalim menuju penghambaan hanya kepada Allah Swt. Oleh karena itu, perang sama sekali bukan komoditas dan tidak boleh dijadikan sarana meraup keuntungan materi.
Terkait industri persenjataan, daulah Islam akan mengontrolnya secara ketat dan strategis. Pengembangan teknologi militer, termasuk persenjataan canggih, diarahkan semata-mata untuk melindungi umat dan menjaga keamanan negara, bukan untuk kepentingan dagang. Daulah tidak akan menjual senjata ke negara asing, terlebih kepada pihak yang memusuhi atau memerangi kaum muslimin.
Prinsip ini sekaligus menutup celah komersialisasi konflik dan perdagangan darah manusia.
Rasulullah saw. bersabda: "Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain." (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
Dengan pengaturan semacam ini, Islam menegaskan bahwa kekuatan militer adalah amanah, bukan ladang bisnis. Senjata bukan alat eksploitasi, melainkan instrumen penjaga keadilan dan pelindung umat dari kezaliman.
Sudah saatnya umat manusia mempertanyakan sistem yang membiarkan segelintir korporasi menjadi kaya raya di atas lautan darah dan air mata. Selama dunia masih tunduk pada kapitalisme, ironi semacam ini akan terus berulang. Perdamaian sejati tidak akan lahir dari industri senjata, melainkan dari sistem kehidupan yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, keadilan hakiki, dan kemuliaan nyawa manusia. Wallahu a'lam bishawab.[]
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com


















