Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena ketakwaan kepada Allah taala, kecuali Allah pasti akan memberikan sesuatu (sebagai pengganti, pen.) yang lebih baik darinya.” (HR. Ahmad no. 20739. Dinilai shahih oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth.)
Oleh. Ismawati
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Hidup di tengah ekonomi kapitalisme memang meniscayakan semangat bekerja bagi seorang pelajar yang baru lulus sekolah. Ya, itulah aku. Setelah lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pilihan bekerja adalah pilihan yang paling tepat, dibanding meneruskan study ke perguruan tinggi. Pertimbangan besar adalah karena lahir dengan kondisi ekonomi orang tua yang serba pas-pasan. Bisa menyelesaikan belajar sampai S3 (SD, SMP, dan SMK) sudah luar biasa bahagia rasanya. Alhasil, tawaran kerja apa saja diterima asal tidak melanggar hukum syarak.
Bahagia. Kata pertama saat menerima tawaran kerja di salah satu toko kelontong. Dengan gaji Rp1.000.000 per bulan sudah terhitung besar bagi lulusan SMA kala itu. Tanpa basa-basi, aku langsung diantar ayah untuk mengajukan lamaran. Yes, diterima. Namun, tantangan mulai ada ketika ditanya oleh pak bos “Kenapa anak Bapak memakai kerudung? Bisa nggak dilepas saja? Diriku cukup terkejut. Pasalnya, memang apa korelasi bekerja di toko kelontong dengan pakaian ini?
Lalu diriku menjawab “Maaf, Bapak. Bukankah kerudung itu kewajiban bagi seorang Muslim? Saya rasa Bapak tahu itu, karena Bapak juga seorang Muslim.” Seperti itulah jawaban dariku yang baru beberapa bulan mengikuti kajian rutin Islam. Semasa sekolah, Allah Swt. mempertemukanku dengan jemaah dakwah Islam yang membimbingku mengetahui Islam sampai kepada pemahaman yang benar. Belum banyak mafhum untuk menjelaskan lebih detil tentang pakaian wajib seorang muslimah ini.
Bukan lantas membenarkan perkataanku. Pak bos ini malah melontarkan beberapa pernyataan yang pada intinya adalah ingin menjadikanku meninggalkan kewajiban sebagai seorang muslimah. Pada akhirnya ditutup oleh pernyataan ayahku yang tidak bisa memaksa pilihan putrinya. Selagi yang dilakukannya benar, maka tidak ada hak orang tua untuk melarang. Terlebih, menggunakan kerudung bukan sejak satu atau dua hari lalu. Pak bos tak berkutik dan cukup mengiyakan apa yang dikatakan oleh ayah.
Mulai Ada Tantangan
Hanya saja, dua hari masuk kerja perdebatan soal kerudung dimulai lagi. Dengan dalih “rambut adalah mahkota” atau “budaya Indonesia itu kebaya dan konde” diucapkan untuk membuatku membukanya. Namun, aku tak menurutinya, kujelaskan semampuku berdasarkan apa yang aku pahami selama pembinaan. Sempat kuajukan resign jika memang tidak menerima karyawan berkerudung, pak bos pun menolak. Kurasa sudah cukup menyerah beliau dengan pilihanku.
Sekuatku berusaha untuk profesional dalam bekerja meski dengan pakaian syar’i yakni bergamis (jilbab) dan mengenakan kerudung menutup dada. Sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Swt. mengatur urusan berpakaian,
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu.” (TQS. Al-Ahzab : 59)
Menurut kamus Al-Muhith jilbab dimaknai sejenis mantel atau baju yang serupa dengan mantel menurut pendapat ulama tafsir, baju panjang (mula'ah) yang meliputi seluruh tubuh wanita. Sementara untuk kepala diwajibkan mengenakan kerudung yang menutupi kepala hingga ke dada.
Sebagaimana firman Allah Swt. “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…,” (TQS. An-Nur : 31)
Inilah alasan terkuatku untuk mengenakan pakaian sesuai syariat. Meskipun harus berhadapan dengan berkarung-karung beras yang kuangkat dari atas mobil saat barang belanjaan datang, atau mungkin karung-karung makanan ikan dan barang-barang lainnya. Jilbab dan kerudung ini tidak sedikitpun menggangguku dalam beraktivitas di toko ini. Sebab, rida Allah Swt. di atas segalanya. Meskipun amat kubutuhkan pekerjaan ini.
Hari demi hari pun berlalu, di saat itu ada satu titik kejenuhan yang menghampiri tatkala kesibukan diriku bekerja. Maklum, bekerja di sini tidak ada waktu libur. Hanya hari Ahad itu pun setengah hari, plus karena aku yang memintanya. Cukuplah untukku sekadar menunaikan kewajiban kajian pekanan bersama guru. Separuh waktunya aku kembali ke toko untuk bekerja. Meski aku sadar, bahwa di saat itulah rida pak bos tak kudapatkan.
Pernah suatu pagi, di saat aku berjibaku dengan pernak-pernik toko, aku melihat dua orang muslimah berpakaian syar’i sepertiku. Keliling di sekitar toko dengan berjalan kaki, menyebarkan selebaran dakwah, dan giat mengajak orang untuk mempelajari agamanya dengan benar. Setelah kulihat, mereka bukanlah pemuda. Usianya sudah lanjut, bahkan yang satunya sudah terlihat seperti nenek dengan cucu yang banyak. Cukup sering mereka berkeliling di perumahan sekitar toko.
Deg! Tiba-tiba hati kecil ini memberontak seolah berkata, “Ada apa, wahai dirimu, Ismawati! Engkau masih muda, energik, punya fisik yang jauh lebih sehat, punya pemikiran, daya pikir kreatif, dan kekuatan yang jauh lebih mumpuni. Tapi dirimu menghabiskan waktu tak ubahnya api yang melahap kayu bakar. Perlahan-lahan habis dan hanya menyisakan penyesalan. Sementara di hadapanmu perjuangan dakwah dilakukan oleh seorang lansia yang tidak menyia-nyiakan kesempatan berdakwah.”
Tak kuasa air mata pun terjatuh dan tersadar dari lamunan yang menjadi tamparan ini. Pada saat itu juga tekat kuat harus dilakukan untuk bisa keluar dari pekerjaan yang begitu menyita waktu ini. Terlebih, hukum bekerja bagi perempuan dalam Islam adalah mubah (boleh). Sementara dakwah adalah kewajiban yang diperintahkan oleh Allah Swt., harus kita jadikan prioritas dalam kehidupan kita. Mengingat, Allah Swt. telah membeli harta dan jiwa kita dengan surga yang telah Allah Swt. janjikan kepada kita. Nikmatnya jelas jauh berbeda dengan kenikmatan apa pun di dunia ini.
Saat itulah, diriku berdoa, memohon kepada Allah Swt. diberikan jalan dan kemudahan untuk kehidupan ini agar lebih mengutamakan dakwah. Allah Swt. mempertemukanku dengan dua orang muslimah yang kuceritakan sebelumnya. Saat ada kesempatan, kujelaskan semua kegundahanku bekerja di sini. Aku iri melihat kegigihan mereka berdakwah, di tengah kondisi usia yang sudah mulai senja. Mereka mulai memaklumi keluhanku ini dan berharap semoga ada jalan keluar yang terbaik.
Mulai Berpikir Perubahan
Beberapa waktu berlalu, salah seorang di antara mereka menawariku untuk mengajar anak usia dini di sekolah milik salah satu saudaranya. Gajinya jauh lebih kecil, 5x lipat dari gaji di toko. Ya, hanya Rp200 ribu per bulan saja. Namun, waktu lebih banyak untukku gunakan dalam berdakwah. Ada satu pesan yang paling kuingat sebagai keputusanku keluar dari pekerjaan di toko ini. “Jangan ragu untuk meninggalkan sesuatu karena Allah. Yakinlah Allah pasti akan menggantinya dengan yang lebih baik, di luar dugaan kita.”
Sejalan dengan hadis Nabi saw. Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena ketakwaan kepada Allah taala, kecuali Allah pasti akan memberikan sesuatu (sebagai pengganti, pen.) yang lebih baik darinya.” (HR. Ahmad no. 20739. Dinilai shahih oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth.)
Pilihan berat memang, antara kebutuhan dan respons orang tua. Namun, keyakinanku kuat dengan bagaimana aku ingin memprioritaskan hidup ini kepada Allah Swt. menjadikan sisa hidup ini bermanfaat untuk agama ini, dan menguatkan segenap daya upaya untuk menolong agama ini. Akhirnya keputusan resign kuambil saat delapan bulan bekerja. Pilihan yang cukup berat memang, keluar mengajar tanpa pengalaman dan gaji yang tidak lebih baik dari di toko.
Bismillahirrahmanirrahim. Hari terakhir kerja cukup terasa ada bisikan penyesalan dalam keputusan, tapi saat tersadar dalam lamunan diriku langsung beristigfar. Ya Allah, kuatkan hamba dan berikanku kebaikan atas pilihan ini. Alhamdulillah, setelah resign dari pekerjaan lama, memulai lembaran baru dengan mengajar anak usia dini. Waktu mengajar yang cukup singkat, hanya dari pukul 07.00-10.00 WIB.
Ah! Jiwaku bersemangat dan sekaligus lega. Tidak berkutat dengan pekerjaan yang membuat diriku terlena akan kewajiban berdakwah. Aku bisa menyebarluaskan agama ini, menemui orang-orang yang mungkin belum mengetahui Islam secara mendalam dalam kehidupannya. Mengingat, saat ini kita hidup di dalam sekularisme yang memisahkan kehidupan agama dari kehidupan. Banyak yang sekadar mengetahui agama sebatas ibadah ritual saja, sejauh itu nihil. Membaca kitab sucinya sendiri pun banyak yang belum tahu, saking jauhnya dari agama dan beragam kehidupan yang melenakan.
Meski dengan modal gaji Rp200 ribu per bulan, cukup-cukup saja untuk memenuhi kebutuhan dakwahku. Bedanya terasa, gaji besar tapi tak dapat menikmati hidup untuk meraih pundi-pundi pahala, dibanding gaji cukup kecil tapi bisa setidaknya bermanfaat untuk orang banyak. Tapi, yakinlah pada jalan baik yang dipilihkan Allah Swt. untuk kita. Setidaknya itu sudah menjadi penguat diri agar yakin dengan keputusan yang sudah kita ambil, sejalan dengan apa yang diperintahkan oleh-Nya.
Singkat cerita dalam perjalanan mengajar selama dua tahun, aku mendapatkan pelajaran berharga dari sekolah ini. Menghadapi puluhan murid dengan beragam karakter dan kepribadiannya. Di tahun ketiga mengajar, saya mendapat telepon dari seorang sahabat dakwah yang menginformasikan ada lowongan mengajar di tempat dia tinggal. Kesempatan emas menurutku, karena sekolah ini adalah sekolah yang baru dibentuk. Waktu mengajar juga tidak mengganggu waktu dakwah.
Setelah mengajukan lamaran, atas izin Allah aku diterima di sekolah tersebut. Masyaallah, saat sesi wawancara kerja disampaikan bahwa ternyata gaji mengajar di sekolah itu sama dengan gaji ketika aku bekerja di toko. Rasa syukur tak henti-hentinya aku ucapkan pada Allah Swt. Masyaallah, dulu dengan gaji Rp1 juta aku menghabiskan waktu seharian tanpa libur, sementara ini Allah Swt. beri dengan jam kerja yang singkat.
Pelajaran dari kisah ini adalah jangan pernah ragu meninggalkan hal yang mubah untuk sesuatu yang diwajibkan pada-Nya. Terlebih, bagi seorang muslimah, meskipun kita harus bertaruh dengan kesuksesan berkarier, jabatan tinggi, dan materi berlimpah. Utamakan dahulu kewajiban yang mampu menghantarkan kedekatan kita kepada Allah Swt., Allah Swt. Maha Mengetahui segala urusan hamba-Nya. Karena yang paling mulia di sisi Allah Swt. adalah orang yang bertakwa.[]
Wallahua’alam bisshawab.
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
Allah telah menjaga umat-Nya agar berhukum sesuai dengan atiran-Nya
Setiap perjalanan hijrah mesti ada ceritanya. Alang dan rintang jelas mengadang, namun ketika hati sudah terpaut dalam pada keimanan, tentu Allah is the priority
Masyaallah Tabarakallah. Kisah yang sarat makna, bagi siapa saja yang menapaki jalan kebenaran.
Dimana ada keinginan kuat untuk taat pada aturan Allah, disitulah Allah akan memberikan jalan meski jalannya berliku.
MasyaAllah, kisah yang luar biasa. Semoga bisa menjadi wasilah untuk lainnya berubah karena Allah.
MasyaAllah, barakalah mbak Ismawati
MasyaAllah, saat Allah yang dikejar dunia selalu akan turut mengikuti. Barakallah
Masyaallah, tabarakallah. Setiap orang punya kisahnya sendiri dalam berhijrah. Ya, anggap saja sebagai ujian keimanan. Semoga kita semua diistikamahkan di jalan dakwah ini.
alhamdulillah diteguhkan tetap berhijab ya Mbak..
Benar, jika kita berjuang untuk agama, maka segala sesuatu akan Allah mudahkan..