Diriwayatkan oleh Abu Hurairah: "Tidak ada balasan bagi seorang hamba-Ku yang beriman di waktu Aku mengambil nyawa orang yang dikasihinya di dunia, kemudian ia mengharapkan keridaan Allah (rela dan bersabar), melainkan orang itu akan mendapatkan surga.
Oleh. Iha Bunda Khansa
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sebelum berangkat ke rumah sakit, aku sempat memberikan beberapa suapan nasi padang rendang daging, ada tambahan burger dibagi empat potong. Alhamdulillah, mau makan. Tetapi masih tersisa dua potong burger.
"Ini untuk Bunda, ya,” pintanya.
Sering kali, apa pun yang ia makan selalu ingat bundanya, anak salihah tak pernah merepotkan, penurut, dan selalu menjaga auratnya.
Hujan cukup deras, suara petir menggelegar. Kupayungi suami yang memapah putriku masuk mobil. Di pangkuan ayahnya, tubuh yang lemah memandang ke arah depan dengan tatapan kosong. Kupalingkan wajahku dari kursi depan, mencuri pandang wajahnya " cantik, manis, salihah bunda. Insyaallah kamu kuat, sembuh sayang " batinku berkecamuk.
Tiga hari tiga malam berada di antara orang-orang yang masih berharap bersama orang yang dicintainya. Lorong rumah sakit menjadi saksi saat kami memutuskan 'bidadariku' mendapatkan perawatan yang maksimal.
Masih terbayang wajah sendu, jilbab ungu, dan kerudung hitam menutupi tubuhmu yang makin kurus. Tak mampu membayangkan hari-hari bersamamu terpisah oleh dinding rumah sakit, kau berada di ruangan yang tidak bisa aku menemanimu.
Hari- hari terasa panjang …
Detik-detik berharga, berharap dan terus bermohon pada Yang Maha Kuasa. Aku masih terbayang jelas, kau masih sadar hanya agak lemah. Keringat mengucur di pelipismu sejak alat-alat terpasang, selang infus, dan alat- alat lainnya. Peluh keringat terus mengucur, kau pegang erat tangan ayah, tak sadar bibirku melafazkan ayat cinta-Nya.
Perawat minta izin untuk memasang alat kateter, wajahmu pasrah hanya memandang ke atas langit-langit rumah sakit. Aku menutup gorden pembatas agar auratnya tidak terlihat. Sorban warna cokelat menutupi tubuhmu, karena aku lupa membawa selimut.
Aku dan suamiku tidak ada pilihan lain saat memutuskan setuju masuk ruang ICU, awalnya ragu . Ya, membayangkan anakku sendiri tidak boleh ditemani orang tua atau keluarganya. Tapi saat itu, kami harus memutuskan demi ikhtiar mendapatkan perawatan maksimal.
Saat memasuki ruang rontsen, tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya .
"Nak, sabar sayang , akan diperiksa dulu ya !” Kataku pelan.
Badanmu bertambah lemah, tapi masih sesekali menatap wajahku, saling memandang tanpa kata.
Di lorong rumah sakit, putriku yang tergeletak di atas brankar yang didorong petugas untuk dibawa ke lantai atas ruang ICU. Aku ikut mendorong sampai di depan pintu. Kusampaikan untuk terus berdoa, harus kuat dan bunda akan menemani. Saat itu suamiku masih di ruang lain, aku ditemani saudaraku.https://narasipost.com/sastra/03/2021/temani-aku-abi-aku-merindumu/
Entahlah, aku langsung mengambil handphone, dan mengabadikan saat ia masuk ke ruang ICU.
"Nak … Bunda menemani, tapi di luar ya? Insyaallah akan baik-baik saja.” Tanpa anggukan, matanya yang sendu, menatap wajahku. Entah apa yang akan disampaikan.
Beberapa menit berlalu, aku membayangkan bidadariku sendirian tanpa aku, yang selama ini kudampingi tak pernah jauh darinya. Selalu ada waktu dan kesempatan untuk putriku, kapan pun!
Sejak saat itu …
Apa yang harus aku lakukan? Di saat kondisi putri satu-satunya, bidadariku berada di ruangan yang steril, namun aku tidak bisa mendampingi. Aku dan suamiku berada di ruang tunggu di depan IGD bersama orang-orang yang menunggui ayah, anak, istri, ataupun saudaranya yang melawan rasa sakit.
Subhanallah, aku makin merasakan betapa berharganya nikmat sehat. Masih banyak di antara kita yang kadang lupa, di saat sehat lupa akan kenikmatan lain yang Allah berikan. Nikmat bersyukur tentu dengan terus berpegang pada aturan-Nya dan berupaya maksimal menjauhi segala bentuk kemaksiatan.
Nyatanya itu jarang disadari, saat kenikmatan dunia hadir menghampiri, justru setan pun berbondong-bondong terus membisikkan ke dada-dada manusia. Karena setan bukan dari jenis jin saja, tapi hadir dalam wujud manusia yang juga terus menggoda sesama manusia.
Dalam firman-Nya di surah An-Nas:
"… yang membisikkan dalam dada-dada manusia dari jenis jin dan manusia.”
Sungguh manusia begitu lemah dan khawatir. Hal itu yang aku dan suamiku alami di malam pertama. Dengan beralaskan tas dan selimut untuk mengganjal kepala, aku berusaha memejamkan mata, tapi tak mampu. Kami berdua hanya berharap ada keajaiban, menanti esok pagi ada kabar perkembangan terbaik bidadariku.
Apa yang harus aku lakukan?
Hanya memohon pada Zat Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Segalanya, Dia yang mampu menyembuhkan segala penyakit apa pun biidznillah.
Selain itu, aku sebagai manusia yang lemah dan serba kurang, memohon bantuan doa baik dari orang tua, saudara, sahabat di mana pun berada.
Berharap ada salah satu dari sekian doa-doa mereka yang dikabulkan.
Tidak sedikit chat di WhatsApp dan FB bermunculan mendoakan kesembuhan putriku dan memberikan semangat untuk bersabar. Maasyaallah. Bersyukurnya aku mempunyai sahabat-sahabat yang baik. Belum doa dari ibuku dan kerabat di kampung, itulah yang memberi semangat dan optimis putriku sehat kembali.
Tiada terputus lisanku memohon pada Sang Khalik yang menciptakan manusia dan alam semesta.
Ya Rabbi … dalam diamku …
"Aku mohon kepada Allah Yang Maha Agung, Tuhan yang mempunyai arsy yang besar, semoga Allah menyembuhkanmu.”
Mata terpejam tapi tak bisa tidur nyenyak. Di sebelah kiriku, seorang ibu dan anak kecil menunggu salah satu anaknya yang dirawat. Kami mempunyai harapan sama untuk orang-orang terkasih bisa berkumpul di rumah, sehat, ceria.
Semalam mondok di ruang tunggu rumah sakit terasa berjam-jam.
Esok hari, selera makanku hilang seketika. Ada beberapa sahabat sudah menengok dan berusaha menghiburku, membawakan makanan dan berbagai kue. Entahlah, pikiranku tak fokus. Putriku bidadariku terbaring di ruangan sendiri tidak ada yang menemani. Dada ini terus berdegup lambat, kadang kencang menanti kabar dari ruang ICU.
"Mbak, sarapan dulu. Ini sudah dibelikan bubur ayam. Biar Mbak sehat, ayo Mbak," Guru anakku semasa TK memaksaku makan.
Tapi aku hanya mengiyakan. Untuk menghormati, aku makan sedikit hanya dua suap. Tak bisa kuungkapkan perasaan seorang ibu menunggu perkembangan perawatan anaknya.
Belum juga ada kabar dari ruang ICU. Karena hari Minggu, dokter yang ada adalah dokter jaga. Sungguh, menunggu esok Senin terasa lama. Rupanya kabar sakitnya anakku sudah menyebar, tidak hentinya yang membesuk ingin melihat anakku. Karena ia di ruang ICU, pembesuk hanya bisa menemuiku. Mereka menghibur dan terus memberikan semangat dan optimisme bahwa putriku akan sehat kembali.
Orang tua dan saudara-saudaraku yang jauh di kampung, belum ada yang datang. Tapi tak hentinya tamu bergantian datang, walaupun aku menemuinya di ruang tunggu pasien yang sengaja disediakan dari rumah sakit, tepatnya depan ruang IGD.
Aku baru meneruskan tulisanku yang tertinggal, karena selalu ada derai air mata langsung membasahi pipiku. Seperti hari ini setahun yang lalu.
Aku masih berada di rumah sakit, masih menunggu kepastian datangnya dokter. Belum juga ketemu, padahal aku dan suami ingin langsung mendapatkan informasi perkembangan anakku.
Ya Rabbi …
Saat itu entah hatiku tak tenang. Membayangkan putriku dibantu alat ventilator, ingin rasanya aku berada di sampingnya, menemani. Tapi saat aku minta untuk melihat dari dekat, ada aturan yang tidak membolehkan keluarga masuk ruangan ICU.
Saat itu masih pukul 09.00 pagi.
Aku naik lift dan menemui perawat, tapi belum ada perkembangan kondisi putriku. Aku hanya berdoa memohon putriku sehat. Usaha maksimal untuk kesembuhan buah hati, putri satu-satunya yang menginjak remaja. Ia adalah teman curhatku, ya Allah. Tak mampu aku membayangkan sesuatu yang tidak kuinginkan.
Aku terus berharap, aku masih ingin bersamanya, suamiku juga kakak-kakaknya, berkumpul berlima. Membayangkan saat di rumah, aku masih mencoba membantu saat ke kamar mandi, tapi ia masih bisa sendiri.
"Biar, Bunda. Khansa masih kuat, masih bisa sendiri…", ucapnya lirih.
Aku menjaganya di depan kamar mandi, kubantu mengambilkan air untuk membasuh badannya, juga menyiram WC. Tak mungkin aku melupakannya, masa-masa indah bersamamu, Sayang.
Jelang sore, aku dan suamiku dipanggil ke ruang ICU. Mereka mengabarkan bahwa napas anakku sudah lemah, mereka minta izin untuk memasang alat picu jantung.
Ya Allah … anakku harus sembuh, apa pun yang diusahakan aku serahkan yang terbaik buat anakku. Aku masih berharap untuk kesembuhannya. Ingin rasanya aku berada di sampingnya, melihat putriku.
Kulangkahkan kakiku menuju masjid di rumah sakit, aku dan suamiku salat asar. Kubersujud, bermunajat hanya kepada Allah. Air mataku mengalir.
"Ya Allah, Jangan kau panggil dia saat ini. Biarkan aku dan keluarga tetap bersamanya. Izinkan kami bisa menemaninya sampai ia dewasa."
Membayangkan putriku duduk di kelas IX Madrasah Tsanawiyah, sebentar lagi ujian dan ia berniat masuk MAN (Madrasah Aliyah Negeri). Ia sudah janjian bersama para sahabat dalam kelompok kajian Islamnya.
Alhamdulillah tanpa disuruh putriku terus mengkaji Islam. Saat sakit pun masih hadir di majelis ilmu. Masih ingat ya Allah, pulang kajian hujan deras. Ia dengan sabar menunggu selesainya agendaku, sambil menunggu hujan reda.
****
Aku tersentak, di sebelahku duduk seorang ibu yang baru selesai salat. Aku memintanya untuk mendoakan putriku yang sedang berjuang di ruang ICU. Masih terus berharap doa-doa dari ibuku, familiku, juga sahabat -sahabatku.
Aku dan suamiku kembali ke ruang ICU. Aku hanya mampu berdiri di luar, dokter dan perawat masih terus mengupayakan lewat picu jantung. Masyaallah, suamiku berharap putriku sembuh dan melewati masa kritis. Aku menghubungi ruang ICU, memohon agar putriku didengarkan suaraku di dekat telinganya lewat voice note. Aku ingin memberikan semangat dan membacakan kalimat tayibah. Doa-doa terus kupanjatkan.
Salah satu permohonan doa yang kukirimkan lewat WAG:
"Mohon kirimkan doa untuk kesembuhan Sadariyah Khansa Rasyidah yang dirawat di ICU”
”Ya Allah, Tuhan manusia, sapulah penyakit pada Sadariyah Khansa Rasyidah. Di tangan-Mulah kesembuhan itu. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali Engkau," (Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H]).
Matahari hampir terbenam, suara azan magrib berkumandang. Aku dan suamiku bergegas untuk salat, aku di ruang tunggu, sementara suamiku di masjid. Kuambil air wudu dan langsung kutunaikan salat. Handphone-ku lowbat jadi aku cas dulu.
Selesai salat aku berdoa cukup lama. Aku masih terus memohon pada Allah. Dan lisanku membacakan doa dalam surah Al-Baqarah ayat 286,
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir."
Kupasrahkan putriku yang terbaik, aku saat itu betul-betul memasrahkan diri pada Ilahi Rabbi, Pencipta, Penguasa dan Pemilik alam semesta. Aku yakin Allah tidak akan mungkin memberikan ujian kepada hambanya di luar kemampuan hambanya, Allah Maha Tahu.
Kulipat sajadah dan kuambil handphone-ku, ternyata ada panggilan dari ruang ICU. Kujawab bahwa aku akan ke ruang ICU sekarang juga. Saat itu, aku ditemani salah satu ibu teman anakku yang sengaja datang, sambil memberikan kekuatan padaku agar bersabar.
"Kupasrahkan pada-Mu ya Allah !" kata batinku sambil berusaha menguatkan diriku sendiri Kutengok suamiku sudah ada di lantai atas. Kami siap mendengarkan apa yang akan disampaikan dokter jaga di ICU.
"Ibu, Bapak, anak ibu tidak bisa tertolong, sudah kembali pada pemiliknya pukul 18.40.”kata-kata dokter bagaikan dentuman mesiu yang mampu meruntuhkan kukuatan batinku.
Innalillahi wa Inna ilaihi raji'un
Spontan aku bertanya, siapa yang mentalkin? Seorang perawat menjawab bahwa dia yang mentalkin sampai putriku memalingkan wajahnya ke kanan.
Orang tua mana yang tidak sedih putri satu-satunya menghadap Ilahi Rabbi. Kami mencintainya, tapi Allah lebih mencintai putriku. Ini yang terbaik menurut Allah. Kami harus menerima kada Allah dengan ikhlas , sabar, dan Rida. Walaupun terasa berat, tapi teringat satu hadis tentang ikhlas, sabar, dan rida.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :
"Tidak ada balasan bagi seorang hamba-Ku yang beriman di waktu Aku mengambil nyawa orang yang dikasihinya di dunia, kemudian ia mengharapkan keridaan Allah ( rela dan bersabar), melainkan orang itu akan mendapatkan surga."
Ya Allah … aku pasrahkan pada-Mu. Kuserahkan putriku pada-Mu. Kelak kami bisa berkumpul di surga-Mu yang penuh kenikmatan. Aamiin
Hari ini setahun yang lalu, putriku bidadariku tak bersama kami lagi.
Sadariyah Khansa Rasyidah
Al Fatihah
Cianjur, 22 Agustus 2023
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
Sedih mb baca naskah in.i Membayangkan betapa orang kita yg sayangi meninggalkan kita utk selamanya. Semoga husnul khotimah dan surga tempat terindahmu nak.
Masyaallah, bisa membayangkan bagaimana sedih dan sakitnya ditinggal putri tercinta di usia yang masih sangat muda. Semoga Allah memberi tempat terbaik di surga-Nya untuk adinda Sadariyah, serta kesabaran untuk kedua orang tuanya.
Menangis saya membacanya ...
Dan setelah satu tahun atau bahkan tahun-tahun yang akan datang, nak Khansa pasti akan selalu ada di hati orang-orang yang menyayanginya. Semoga bisa berjumpa kembali di JannahNya. Aamiin.
Tidak mudah memang, ketika orang yang kita cintai pergi untuk selamanya. Namun yakinlah, ada rencana Allah Swt. yang lebih indah dari rencana kita.
Subhanallah, Allah bgt mencintaimu nak Sadariyah Khansa, sehingga memanggilmu begitu cepat.
Masyaa Allah..Allah sangat menyayangimu de Kzansa..sehingga Dia panggil engkau disaat masih suci dari dosa
Melepaskan orang tersayang untuk kembali pulang memang tidaklah mudah. Maka dari itu, Allah memberikan pahala yang berlipat bagi mereka yang bersabar. Peluk jauh untuk bunda Iha
Ya Allah Bunda ... ikut trenyuh bacanya. Semoga almarhumah berbahagia di sana. Aamiin
Ya Allah, semoga dikumpulkan lagi di surgaNya. Aamiiin ya Allah
Baca story bunda khansa benar-benar mengiris batinku. Air matapun tak kuasa mengalir juga.
Saya pun seorang ibu pastinya merasakan kepedihan yang sama. Kuat dan sabarkan hati bunda. Insyaallah Surga untuk putri mu, Khansa..aamiin
ini bekal persiapan untuk kami yang dititipi seorang anak.. jika tahun pertama kita masih bisa bersama dengan sang anak, mungkin di tahun tahun berikutnya tidak demikian..
tapi ingat kembali, bahwa mereka adalah milikNya, bebas mengambilnya kapan saja..
yang sabar ya Bunda.. semoga Allah Swt senantiasa menguatkan..
Sedih bacanya. Namun inilah takdir Allah. Di area yang menguasai kita, hanya mampu bersabar.