Kegagalan telah mengajarkanku untuk senantiasa memurnikan niat bahwa apa yang aku lakukan haruslah selalu karena Allah saja, jangan karena yang lain.
Oleh. Ghumaisha Gaza
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Bus Damri jurusan Tanjungsari-Kebon Kalapa siang itu cukup padat. Syukurlah aku masih mendapatkan kursi meskipun di barisan paling belakang. Hari itu, tanggal 31 Mei 2016 aku telah selesai mengikuti ujian SBMPTN di SMP Negeri 30 Bandung, Ruang 2 Sektor 03 Saintek 13, Jalan Sekejati No. 23, Bandung. Hari itu pula tepat satu tahun tanpa kuliah. Ya, aku lulus sekolah menengah tahun 2015, tetapi tidak lulus dalam seleksi SNMPTN. Rasa lelah berjibaku dengan pelajaran membuat aku mengambil keputusan untuk rehat sejenak, tidak memutuskan menempuh jalur lain pada tahun 2015. Aku memilih menghafal Al-Qur'an bersama para santri di sebuah pondok tahfiz daerah Tanjungsari, Sumedang. Sekaligus membantu wali asrama membina para santri di sana.
Di samping menghafal Al-Qur'an, aku tetap tanamkan keinginan untuk kuliah. Setahun itu pun aku menyiapkan ujian dengan latihan-latihan soal. Berdiskusi bersama seorang teman yang sama-sama memutuskan rehat satu tahun tanpa kuliah. Siang itu pada ujian SBMPTN aku memantapkan langkah lagi, dan tetap dengan keputusan tahun lalu. Aku kembali mengambil jurusan Matematika pada pilihan pertamaku. Fisika pada pilihan kedua dan Pendidikan Matematika di universitas berbeda pada pilihan ketiga. Satu tahun cukup untukku istirahat karena rindu berada dalam suasana belajar di kelas ternyata begitu menggebu-gebu. Hafalanku sementara harus terhenti pada juz 30 dan juz 1 (itu pun masih perlu pengulangan).
Kecintaan pada matematika membuatku sebagai lulusan SMK bersikeras memilih jurusan tersebut. Jika dipikirkan hari ini, sepertinya peluang bisa lulus memang kecil karena aku harus bersaing dengan anak-anak SMA. Tetapi saat itu aku benar-benar tidak memedulikannya. Meski pada kenyataannya aku pun telah menyiapkan alternatif lain jika aku memang akan gagal lagi di jurusan matematika. Bus yang padat penumpang itu terus melaju membawaku kembali ke Sumedang. Aku kian termenung. Aku ingin kuliah tahun 2016. Aku tak ingin menundanya lagi.https://narasipost.com/opini/09/2021/badai-putus-kuliah-porak-porandakan-impian-mahasiswa-sistem-pendidikan-islam-solusinya/
Dua minggu kemudian aku kembali ke Bandung. Kali ini aku mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (UM-PTKIN) di UIN Sunan Gunung Djati. Inilah alternatif yang coba aku lakukan. Aku tidak hanya memilih jurusan Saintek, tetapi memilih kelompok campuran. Pada pilihan pertama aku memilih Pendidikan Matematika, kemudian Bahasa dan Sastra Arab, sedangkan pilihan ketiga aku memilih Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Dua jurusan terakhir aku menganggapnya modal yang penting juga bagiku sebagai pengemban dakwah. Dalam pikirku saat itu, "Pokoknya tahun ini harus kuliah! Di jurusan dan universitas mana pun."
Menjadi Aktivis Dakwah Kampus
Selain kerinduan belajar di kelas, ada keinginan lain yang juga kian menguat. Aku sebagai pengemban dakwah yang "lahir" dari dakwah sekolah saat SMP, begitu mengharapkan menjadi seorang mahasiswa dan turut memanaskan dakwah kampus. Universitas Padjadjaran yang menjadi impian begitu memenuhi pikiranku saat itu.
Selain mencari informasi mengenai Unpad secara umum, aku pun mengumpulkan beberapa informasi mengenai dakwah di sana. Selalu senang berkenalan dengan teteh-teteh aktivis dakwah kampus, meraup informasi mengenai suasana kampus dari mereka. Aku juga sangat senang jika menghabiskan akhir pekan untuk pergi ke Jatinangor, ke dekat Unpad. Semangat untuk kuliah di sana terasa kian menyala. Setiap sudut Unpad rasanya pernah aku kelilingi, bahkan jauh sebelum kelulusan sekolah.
Entah mengapa setiap ada long march (aksi) yang diikuti berbagai elemen, sosok mahasiswa menjadi tampak keren sekali di mataku. Baik itu akhwatnya ataupun ikhwannya. Semangat mereka seperti api yang paling menyala di hadapanku yang masih remaja. Kecerdasan mereka seperti lampu yang paling terang. Itulah hal yang menjadikanku ingin memiliki predikat yang sama, yakni 'mahasiswa'.
Gagal untuk Kedua Kali
Aku tidak ingat persis tanggal pengumuman dua ujian yang telah aku ikuti itu. Tidak ada berkas atau screenshot layar ponsel yang aku simpan. Mungkin karena aku benar-benar ingin melupakannya. Kurang lebih sekitar akhir Juni atau awal Juli 2016, yang aku ingat aku pergi ke tempat menjemur pakaian yang ada di lantai atas asrama. Bersembunyi di sana dan menangis menerima kenyataan kalau aku kembali gagal masuk UNPAD. Matematikaku, dakwah kampusku, mengapa terasa sulit aku menggapaimu?
Akhirnya aku begitu berharap pada hasil ujian masuk UIN. Seingatku aku merasa bisa dalam menjawab soal-soal di UM-PTKIN. Namun, pil pahit itu harus aku telan lagi. Keterangan pada pengumuman hasil ujian menyatakan bahwa aku belum berhasil. Sementara itu, teman yang kita berjuang belajar bersama-sama, atas izin Allah diterima di dua universitas yang berbeda. Aku sebagai remaja saat itu merasa dipaksa untuk berlapang dada.
Beberapa hari setelah pengumuman, aku pulang sebentar ke rumah. Bertemu mamah dan bapak, menceritakan lebih detail apa yang telah aku lalui dalam upaya masuk universitas. Sekaligus aku meminta izin lagi, kalau aku akan mengikuti ujian mandiri ke UIN Sunan Gunung Djati. Namun, sebelum aku melakukan pendaftaran, bapak meminta untuk kali ini jangan mencoba, istirahat saja lagi. Mamah bilang khawatir aku capek. Aku termenung. Benarkah? Atau memang karena aku tidak layak? Aku tidak mampu? Bukankah aku ini anak kalian yang kerap mendapat ranking? Bahkan gemar memperebutkan gelar juara umum saat SMK?
Meski demikian, akhirnya aku kembali ke asrama dengan menuruti keinginan mamah dan bapak. Aku pun mencoba menghibur diri sendiri. Aku masih memiliki kesempatan untuk seleksi tahun 2017. Aku juga memiliki sahabat dekat, sahabat yang bersamanya aku hijrah pada jalan Islam kaffah. Karena kondisi keluarga dan sebagainya, ia sama-sama belum mendapatkan kesempatan kuliah. Setidaknya saat itu aku merasa tidak sendiri. Teteh-teteh pembina dakwah juga senantiasa hadir untuk menguatkan.
Allah Sang Pemilik Hati
Pada akhir Juli 2016, masih dalam suasana kegagalan kuliah, tanpa tanda-tanda, tanpa aba-aba, seseorang mengirimkan satu pesan WhatsApp kepadaku.
"Teh, kalau teteh ada rencana nikah dalam waktu dekat?"
Seperti sebuah gempa yang meluluhlantakkan sebuah bangunan, seperti itulah yang aku rasakan pada hatiku, bergetar hebat. Belum lagi pesan yang teramat singkat yang cukup sulit bagiku menafsirkannya. Memang bukan pertama kali seseorang tersebut menghubungiku. Aku telah menyimpan nomornya dan beberapa kali berkomunikasi untuk koordinasi urusan santri. Ya, pemilik nomor tersebut adalah guru bahasa Arab di pondok tahfiz tempat aku berasrama.
Aku yang masih terbakar semangat kuliah hanya menjawab, "Tidak ada. Target saya menikah usia minimal 23 tahun!"
Aku kira dengan menjawab seperti itu akan mendapatkan informasi lebih. Tentang apa maksudnya ia bertanya demikian? Kalaulah ada laki-laki yang sedang mencari calon istri, laki-laki yang manakah? Ia ataukah yang lain?
Alih-alih mendapatkan jawaban yang lebih jelas, ia justru hanya menjawab singkat bermakna, "Oke."
Beberapa waktu berikutnya, ketika ada kesempatan bertemu di sekolah, atau diharuskan menghadiri rapat guru dan kesiswaan yang mengundang tim wali asrama, ia tampak biasa saja. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Namun, hatiku terlanjur tak karuan. Padahal sudah sering pula aku ditawari ikhwan yang ingin menikah (mencari akhwat) oleh teteh-teteh pembina dakwah, aku pun selalu menolak dengan halus, dengan alasan aku akan kuliah dahulu. Dan setelahnya aku tidak merasakan penyesalan apa pun. Namun, kali ini rasanya teramat berbeda. Selama bulan Agustus 2016 aku benar-benar merasa tidak nyaman. Atau mungkin memang telah jatuh cinta.https://narasipost.com/motivasi/12/2022/lulus-sekolah-kuliah-atau-nikah/
Dengan mengumpulkan segenap keberanian serta minta diyakinkan oleh teteh-teteh pembina dakwah, akhirnya bulan September dengan jalan-Nya aku memutuskan melakukan taaruf dengan seseorang yang mengirimkan pesan itu. Bulan Oktober aku telah dikhitbah dan bertemu kedua orang tuanya di rumahku. Tanggal 3 Desember 2016, sehari setelah ia mengikuti aksi 212 di Jakarta, aku dan keluargaku mengunjungi rumahnya. Dan perjanjian agung itu terucap awal Januari 2017.
Tetap Berdakwah
Tahun 2017 fase baru pun dimulai. Aku yang terpaut usia lima tahun dengan suami mulai menjalani kehidupan baru sebagai seorang istri. Keinginan menghirup udara kampus lambat laun aku hapus dalam benakku. Meski ternyata keindahan suasana kampus seperti aku rasakan dari kisah suami yang merupakan lulusan Universitas Padjadjaran. Apalagi pada awal-awal pernikahan suami masih sering mengenakan jaket Gema Pembebasan. Aura mahasiswanya, aura aktivis dakwah kampusnya, seakan bersinar di mataku. Kadang aku suka berseloroh, "Gagal masuk Unpad, tetapi malah dapat lulusan Unpad!" Hehehe.
Dalam perjalanan pernikahan, segala kerisauan tidak sempat kuliah mulai menghilang. Suami mampu meyakinkanku bahwa kemuliaan manusia di hadapan Allah Swt. tidak ditentukan oleh harta, gelar akademik, kedudukan, jabatan, dan sebagainya. Namun, ditentukan oleh ketakwaannya, ketika seseorang makin menaati Allah Swt. untuk terus menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, maka saat itulah ia makin mulia di sisi Allah Swt.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”(QS. Al-Hujurat: 13).
Selain itu, mengenai kesuksesan dakwah, pada hakikatnya juga tidak terletak pada medan apa mereka berjuang. Setiap medan dakwah pasti memiliki tantangannya masing-masing. Baik medan dakwah kampus, masyarakat perkotaan, atau masyarakat pedesaan. Semua memiliki tantangannya masing-masing. Pengemban dakwah yang sukses adalah ia yang mampu menaklukkan setiap tantangan tersebut, di mana pun ia berada. Dan suami berharap, bagaimanapun latar belakangku, aku tetap menjadi pengemban dakwah yang tangguh. Menjadi istri yang juga kokoh mendukung dakwah suami. Bahkan pernah terucap kata darinya, "Harus siap jika 'diduakan' oleh dakwah."
Segala Hikmah
Enam tahun berlalu. Untuk sebuah bahtera, tentu perjalanan pernikahanku masih sangatlah singkat. Belum begitu luas lautan yang kami lalui. Belum seberapa badai yang kami rasakan. Namun, kita terus berharap semoga selalu bersama hingga ke surga-Nya.
Telah banyak hal yang harus aku syukuri hari ini. Dalam perjalanan pernikahan ini seakan Allah bukakan segala tabir-tabir hikmah kegagalanku dahulu. Bahwa tampak sekali, segala sesuatu yang terjadi di atas muka bumi ini memang sesuai dengan kehendak-Nya. Allah Swt lebih tahu apa yang dibutuhkan hamba-Nya. Allah Swt. Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Ternyata ketika gagal kuliah, itu memang bukan akhir dari segalanya. Apalagi akhir dari proses belajar. Sebagaimana hukumnya yang wajib, belajar atau menuntut ilmu nyatanya bisa dilakukan di mana pun, dalam kondisi apa pun. Kesempatan untuk kuliah S1 ataupun S2 ternyata hari ini tampak di depan mata meski aku telah menikah. Rumus-rumus matematika sebagiannya memang telah aku lupa, tetapi ternyata Allah Swt tunjukkan jalan lain yang lebih indah. Aku tak sekadar dibuat mencintai matematika, tetapi aku merasa diarahkan untuk benar-benar mencintai ilmu. Ilmu-Nya yang begitu luas, yang dengannya menjadikan kita bisa menikmati hidup kita lebih berwarna.
Aku merasa selalu dipertemukan dengan orang-orang yang gemar belajar, mencintai ilmu, dan senantiasa meningkatkan kapasitas diri. Baik dalam dakwah, rumah tangga, pendidikan anak, bahkan dalam hal menulis. Pada bulan Agustus tahun 2022, alhamdulilah, atas izin Allah aku juga bisa menjadi wisudawati pada program ummahat di Ma'had Khadimus Sunnah Bandung dengan nilai mumtaz. Pada tahun ini, masih di Ma'had yang sama, Allah berikan jalan untuk bisa mengikuti program Dirasah Hadits meski dimulai dari program bahasa Arab terlebih dahulu. Allah tunjukkan jalan untuk mengarungi samudra keindahan turats Islam. Begitulah Allah menyingkap tabir-Nya. Sangat indah.
Allah bukan tidak mendengar dan mengabulkan doa kita. Namun, Allah memang akan memberikannya kepada kita pada waktu terbaik bagi-Nya.
Yang terakhir, kegagalan telah mengajarkanku untuk senantiasa memurnikan niat bahwa apa yang aku lakukan haruslah selalu karena Allah saja, jangan karena yang lain.
Wallahua'lam bi al-shawab.
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
Wah, Bandung-Sumedang
Saya alumni UIN Bandung dan pernah ikut aksi selama jadi mahasiswi. Betul, rasanya kayak militan aja gtu, hidup terasa lebih semangat dengan terus bergerak.
Btw, keren ikut belajar dengan ustadz Yuana Tresna. Beliau juga dulu aktivis dakwah kampus dari UNPAD.
Barakallah ❤️
Wa fiik barakallah...
Kampus hanya wasilah. Menuntut ilmu bisa dimana saja apalagi dalam gerakan dakwah, selain tsaqofah dapat ilmu kehidipan
Iya ....
Masyaallah tabarakallah manusia punya rencana namun Allah sebaik2 pembuat rencana. Siapa yg bisa membaca takdir ke depan terpenting jalani hidup penuh optimis terus belajar dan dakwah.
Iya betul sekali mbak...
Tos Mba, kita sama-sama putus kuliah trus nikah. Hehe
Hehehe, iya mbak Mila... ❤️
Allah Maha Tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Belajar tak mesti di bangku kuliah..Semua ada hikmahnya.
Iya betul sekali teh...
Masyaallah, luar biasa perjalanan ukhti ini, semoga saya bisa mengambil hikmah,, barakallah
Wa fiik barakallah...
Barakallah mbak.. semoga semangat juangnya terus membara..
Aamiin ya rabbal 'alamiin...
Masyaallah, banyak manusia yang mungkin kecewa karena gagal. Tapi kita tdk tau bahwa Allah mungkin sedang menyiapkan yang lebih baik. Barakallah mbak ...
Iya mbak ...
Wa fiik barakallah ...
Barakallah, banyak hikmah diambil dari tulisannya. Memang terkadang kita menganggap bahwa kegagalan adalah akhir dari segalanya, tapi nyatanya tidak. Kita sering lupa bahwa Allah pembuat skenario terbaik.