Jalan Berliku

Jalan berliku

Aku percaya selama kita berusaha dan berdoa, Allah pasti akan memberikan jalan.

Oleh. Wiwik Hayaali
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Hujan lebat mengguyur rumah berdinding anyaman bambu. Di beberapa tempat, air mengalir dari atap rumahku. Namun, itu tidak menjadi masalah bagi kami, karena air yang menerobos masuk itu akan kembali ke lantai rumah yang beralaskan tanah. Sesekali kilatan cahaya dan suara petir ikut bersahutan. Suara angin yang menggoyangkan pepohonan turut meramaikan suasana pada malam itu.

Langkah kakiku yang hendak keluar dari kamar terhenti. Samar aku mendengar suara kedua orang tuaku sedang berbicara di ruang tamu. Mendengar namaku disebut, rasa penasaranku tak bisa ditekan lagi. Kuputuskan membuka sedikit pintu kamar agar bisa melihat dan mendengar suara mereka lebih jelas.

“Ratih ingin melanjutkan sekolahnya, Pak.” Kulihat ibu berusaha membujuk bapak agar aku bisa sekolah lagi.

“Ibu lebih tahu bagaimana kondisi keuangan kita,” jawab bapak, kemudian berjalan meninggalkan ruang tamu.

Aku terduduk lemas di balik pintu. Marah, sedih, kecewa, itu yang kurasakan. Impian untuk melanjutkan sekolah pupus sudah. Aku merasa mereka tidak menyayangiku. Kakak perempuanku bisa melanjutkan pendidikan sampai jenjang SMA dan diterima bekerja di salah satu pabrik tekstil yang cukup besar.

Sedangkan aku baru saja lulus SMP dengan nilai memuaskan, tetapi orang tuaku tidak mengizinkan aku sekolah lagi. Alasannya, karena faktor ekonomi.

Aku tahu, kondisi keuangan kami tidak mencukupi untuk membiayai sekolahku. Akan tetapi, bukankah orang tua harus mengusahakan pendidikan terbaik untuk anaknya. Apakah aku egois? Apakah aku salah jika menganggap mereka tidak adil padaku? Selama ini aku selalu menjadi anak penurut, malakukan apa pun yang kedua orang tuaku minta. Akan tetapi, apakah kali ini aku harus melakukan hal yang sama?

***

Kedua orang tuaku bekerja sebagai buruh tani. Mereka akan mendapatkan penghasilan lebih ketika musim panen dan musim tanam karena pada saat itu banyak petani yang mencari pekerja untuk menggarap sawahnya.

Sedangkan di luar kedua musim itu, kedua orang tuaku mengandalkan hasil panen dari sawah yang kami sewa yang tentu saja penghasilannya tak menentu.

Sejak kecil, aku sudah terbiasa hidup seadanya. Makan nasi jagung lauk sambal kelapa. Di sekolah pun aku tak pernah membawa uang saku. Ketika teman-temanku jajan di kantin, aku sudah terbiasa menjadi penonton. Melihat mereka makan makanan yang menurutku istimewa cukup membuatku kenyang dan tersenyum sendiri. Diam-diam aku berdoa dalam hati, kelak pasti bisa makan makanan istimewa seperti mereka.

Hampir tiap hari aku membawa bekal ke sekolah. Meskipun hanya nasi jagung dan sambal, membuatku sangat bersyukur karena aku tidak kelaparan.

Semenjak kakak perempuanku bekerja di luar kota, semua tugas rumah dibebankan padaku, kecuali memasak. Aktivitas sehari-hari hanya berkutat pada sekolah, belajar, dan menyelesaikan pekerjaan rumah. Aku hampir tidak punya waktu bermain dengan teman-teman di sekolah ataupun di rumah. Sedangkan kedua orang tuaku sibuk bekerja di sawah.

Aku tumbuh menjadi pribadi introver. Lebih banyak menyendiri menyelesaikan tugas dan kewajibanku sebagai anak, murid, serta hamba.
****

Setelah pembicaraan malam itu, aku lebih banyak diam dan menyendiri. Tugas yang diberikan kedua orang tuaku kuselesaikan tanpa protes seperti biasa. Waktu lebih banyak kugunakan untuk membaca buku, membereskan tugas, dan bermunajat. Aku masih sangat berharap agar bisa melanjutkan sekolah lagi.
****

Beberapa hari setelahnya, ibu mengajakku keluar.

“Nduk, ayo, ikut ibu! Pakai baju yang rapi. Atau pakai seragam SMP-mu aja, gak apa-apa. Sekalian bawa nilai sama ijazahmu,” ucap ibu saat aku baru selesai mencuci piring.

Aku menatap Ibu cukup lama. Antara percaya dan tidak, bukankah ini berarti ibu mau mendaftarkanku ke sekolah.

Ibu menepuk pelan pundakku sembari tersenyum. “Ayo, bersiap. Kok malah melamun.”

****

Aku sangat bahagia karena aku diterima di salah satu SMA favorit. Meskipun biayanya terbilang mahal, Ibu meyakinkanku untuk terus maju. Soal biaya, pasti Allah akan memberikan jalan, begitu kata beliau.

Jarak antara rumah ke sekolah sekitar 6-7 km. Awal-awal berangkat sekolah, aku berangkat menggunakan sepeda tua milik bapakku. Dua minggu kemudian, Bapak membelikanku sepeda merah yang ada keranjang di depannya. Lagi-lagi aku bersyukur karena Allah memberiku banyak kejutan dengan cara-Nya. Entah dari mana Bapak mendapatkan uang, yang aku tahu aku harus membuat bangga kedua orang tuaku dengan cara giat belajar.

Dengan penuh percaya diri aku memarkirkan sepedaku di antara ratusan motor yang terparkir di sekolah. Aku juga mengikuti organisasi ROHIS dan FOSI. Di situ aku belajar banyak hal tentang agama dan cara berorganisasi. Aku juga belajar bersosialisasi dengan teman-teman dari SMA lain ketika ada kegiatan bersama. Alhamdulillah semua berjalan baik dan aku lulus dengan nilai yang memuaskan.

Setelah lulus SMA kuputuskan merantau ke luar kota. Tujuan utamaku adalah melanjutkan pendidikan di bangku kuliah. Kali ini aku tidak ingin memberatkan kedua orang tua. Mau mendaftar kuliah langsung juga tidak mungkin, karena tak ada biaya.

Atas izin Allah aku diterima sebagai salah satu pendidik di sekolah PAUD meskipun hanya berijazah SMA. Aku sangat bahagia belajar dan bermain bersama anak-anak. Semangat untuk melanjutkan kuliah pun makin menggebu.

Satu tahun menabung, alhamdulillah pada tahun kedua aku memberanikan diri mendaftar kuliah di salah satu perguruan tinggi di Semarang. Hari-hariku makin sibuk. Pagi hingga siang aku mengajar, siang sampai malam aku kuliah, malam untuk mengerjakan tugas. Tidak ada waktu untuk bermain atau sekadar menongkrong bersama teman. Bisa dibilang aku mahasiswi kampung yang tidak gaul.

Empat tahun berlalu, atas izin Allah dan doa kedua orang tuaku, aku mendapatkan gelar sarjana pendidikan. Memang itu bukan hal yang istimewa, tetapi bagiku itu adalah hadiah luar biasa yang Allah berikan untukku.

Kedua orang tuaku sangat bersyukur dan bangga padaku. Begitu pula dengan keluarga besarku karena aku menjadi orang pertama yang bisa menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi.

Setelah lulus, aku mengajar di salah satu sekolah swasta di Semarang. Beberapa bulan kemudian masalah kembali datang. Di kampung halamanku, aku terkenal sebagai perawan tua. Banyak orang menggunjing, bahkan ada yang terang-terangan menyebutku kembang layu dan kelapa tua yang tak bersantan.

Aku hanya tersenyum dan tidak begitu menanggapi mereka. Ah, andai mereka paham bahwa tidak mudah untuk menjadi seorang istri dan ibu. Ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya, lalu bagaimana seorang ibu mendidik anak-anaknya kalau tidak memiliki ilmu? Berumah tangga adalah seni menerima kelebihan dan kekurangan, bersama membawa bahtera menuju rida-Nya. Lalu bagaimana ini bisa dilakukan tanpa bekal dan ilmu?

Berbeda dengan kedua orang tuaku, mereka tidak terima anaknya menjadi olok-olokan. Apalagi teman sebayaku banyak yang sudah menikah setelah lulus SMP. Bapak dan Ibu mencoba menjodohkanku dengan laki-laki baik menurut mereka. Aku berusaha meyakinkan mereka bahwa ketika sudah waktunya bertemu dengan jodohku, pasti akan ketemu.
****

Singkat cerita, aku menikah setelah proses taaruf selama tiga bulan. Jodohku ternyata seorang pendidik juga. Kami bersama-sama berjuang menyampaikan sedikit ilmu yang kami peroleh.

Aku percaya selama kita berusaha dan berdoa, Allah pasti akan memberikan jalan. Mungkin jalan yang Allah pilihkan banyak kerikil, batu, dan jurang, tetapi yakinlah Allah selalu bersama kita dan akan memberikan kejutan terbaik-Nya. Wallahua'lam bi al-shawab.[]

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor Narasiliterasi.id
Wiwik Hayaali Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Sang Perisai Membangunkan Palestina dari Mimpi Buruk
Next
Pajak dan Pertumbuhan Ekonomi: "Antara Mitos dan Realitas"
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

16 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Firda Umayah
Firda Umayah
1 year ago

Saya pun mengalami jalan berliku ketika menempuh dunia pendidikan. Jarak sekolah yang kurang lebih 10km juga saya tempuh dengan mengayuh sepeda. Barakallahu fiik untuk penulis

Wiwik Hayaali
Wiwik Hayaali
1 year ago
Reply to  Firda Umayah

Waafika Baraakallah, Mbak ❤️

Dia dwi arista
Dia dwi arista
1 year ago
Reply to  Firda Umayah

Sama mbak, jarak ke sekolah kurleb 10km. Jika aku pengin punya uang, ya akhirnya bersepeda ke sekolah. Hehe

Wiwik Hayaali
Wiwik Hayaali
1 year ago
Reply to  Dia dwi arista

Aku naik sepeda karena gak punya uang. Alhamdulillah, banyak hikmahnya

Mimy Muthamainnah
Mimy Muthamainnah
1 year ago

Masyaallah ketika manusia menyerahkan segala urusannya kepada Allah, maka Allah akan selalu bersamanya. Terharu.

Wiwik Hayaali
Wiwik Hayaali
1 year ago

MasyaAllah Alhamdulillah ❤️

Isty Da'iyah
Isty Da'iyah
1 year ago

Ya Allah, jadi teringat akan masa laluku. Jalan berliku untuk mengenyam sebuah pendidikan. Dengan keadaan orang tua yang tinggal di Desa, yang berprofesi sebagai petani. Mengharuskan diriku mulai SMP harus mengejar beasiswa untuk SPP.

Wiwik Hayaali
Wiwik Hayaali
1 year ago
Reply to  Isty Da'iyah

MasyaAllah, Alhamdulillah ❤️

Wd Mila
Wd Mila
1 year ago

MasyaaAllah,, baca kisah ini teringat saat masa2 perjuangan dulu saat masuk SMA Negeri. Biaya masuk sekolah memang mahal,, terutama untuk seragam sekolah, alat tulis, uang muka, dll yg lumayan menguras kantong bagi sebagian orang.

Wiwik Hayaali
Wiwik Hayaali
1 year ago
Reply to  Wd Mila

Bener sekali, Mbak. Dulu pendidikan dianggap tidak penting. Banyak anak tidak sekolah. Asalkan sudah bisa membaca itu sudah cukup. Yang paling penting anak bisa membantu orang tua bekerja. Lebih bersyukur lagi kalau anak gadis sudah ada yang meminang, karena dianggap beban keluarga, padahal masih belia.

Dia dwi arista
Dia dwi arista
1 year ago
Reply to  Wd Mila

Ih, gara2 ke SMA biaya daftarnya mahal, akhirnya aku milih SMK diluar Kota, karena gak ada uang pendaftaran. Wkwkwk
Sungguh hikmahnya banyak.

Wiwik Hayaali
Wiwik Hayaali
1 year ago
Reply to  Dia dwi arista

MasyaAllah Alhamdulillah ❤️

Sartinah
Sartinah
1 year ago

Masyaallah, setiap niat dan doa yang baik pasti akan diberi kemudahan oleh Allah ya. Banyak juga sih problem seperti ini terjadi di tengah masyarakat, khususnya di pelosok macam saya. Barakallah mbak ...

Wiwik Hayaali
Wiwik Hayaali
1 year ago
Reply to  Sartinah

❤️

Terima kasih Mbak.

Dia dwi arista
Dia dwi arista
1 year ago

Yassalam, Mbak.e kok ya ceritanya mirip kehidupanku. Gak ada disclaimer "cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan bla bla bla" pula. Wkwkwkw

Jd inget waktu smp, uang saku hanya cukup untuk naik angk, di sekolah waktu istirahat kugunakan ke perpustakaan, karena memang gak bisa beli jajajn atau makanan. Positifnya, aku menang penghargaan sebagai "pengunjung perpustakaan tersering, dan peminjam buku fiksi terbanyak"

Wiwik Hayaali
Wiwik Hayaali
1 year ago
Reply to  Dia dwi arista

Peluk jauh Mbak

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram