Pencitraan di Balik Kegaduhan

Sekularisme, memisahan agama dari kehidupan membuat manusia bebas tanpa aturan, maka tipu daya pencitraan sah-sah saja dilakukan.

Oleh. Nilma Fitri
(Kontributor NarasiLiterasi.id)

NarasiLiterasi.id-Antara realita dan imajinasi, pencitraan situasi bangsa yang masih sulit dipahami, menimbulkan kegaduhan dan penggiringan opini. Peringatan Darurat Garuda Biru menjadi tren, gambar garuda dengan latar biru viral di media sosial.

Tagar dan gambar Garuda Biru bertuliskan Peringatan Darurat disosialisasikan dalam rangka pengawalan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) jelang pilkada serentak 2024. Dua poin penting putusan MK yang dianulir Baleg DPR, disinyalir dapat meloloskan calon kepala daerah secara subjektif pada pilkada nanti.

Sontak saja, banyak pengamat politik, publik figur, akademisi hingga masyarakat umum ramai-ramai bersuara. Mereka memposting lambang garuda berlatar biru bertuliskan "Peringatan Darurat" di media sosial mereka sebagai makna kegeraman yang tak tertahankan.

Pengamat politik Ray Rangkuti mengungkap, DPR berupaya merevisi Undang-Undang Pilkada atas dasar kebutuhan adanya nepotisme politik, menggadaikan demokrasi hanya untuk kepentingan satu keluarga. (tribunnews.com, 22-08-2024)

Buzzer di Balik Pencitraan

Akan tetapi, peringatan darurat yang beredar di masyarakat mendapat respons balik dengan beredarnya unggahan "Indonesia Baik-baik Saja" menggunakan gambar latar yang sama, tetapi tulisannya saja yang berbeda.

Dikutip dari suara.com (23-08-2024), akun X @siimpersons mengungkap bahwa seruan tersebut diduga merupakan kampanye gerakan 'buzzer.' Setiap unggahan mereka di Instagram akan mendapat bayaran Rp10 juta, sementara postingan di TikTok mendapat Rp15 juta, sehingga total Rp25 juta untuk dua kali posting.

Tugas Buzzer

Pertanyaannya, siapakah 'buzzer' ini? Buzzer adalah orang yang bekerja mendengungkan (buzz) pesan atau pandangan tertentu mengenai persoalan, gagasan, atau merk, agar terlihat sealami mungkin.

Tugas mereka menggiring opini publik dengan pandangan sesuai dengan pesanan, juga demi pencitraan. Cara kerjanya menggunakan akun-akun bodong atau siluman (sockpuppet), bisa juga menggunakan akun-akun pemengaruh (influencer), bahkan keduanya. (Wikipedia.org)

Kondisi Masyarakat

Mirisnya, sebagian masyarakat mudah terpengaruh dan terkecoh dengan propaganda buzzer. Akibat kurangnya pemahaman terhadap dasar persoalan dan kesadaran politik yang rendah, menyebabkan masyarakat tidak mampu melihat realitas yang terjadi.

https://narasiliterasi.id/story/08/2024/kenapa-saya-harus-paham-politik/

Perseteruan opini di media sosial, dinilai sebagian masyarakat hanya perebutan kekuasaan saja. Sedangkan kenyataannya, hal ini yang akan memengaruhi roda pemerintahan dan keberlangsungan hidup rakyat.

Pencitraan Tanda Kegagalan

Saat ini, kondisi rakyat sedang tidak baik-baik saja. Kemiskinan melanda, korupsi dan nepotisme merajalela, kriminal dan kejahatan sulit diatasi. Parahnya lagi, kekayaan dan sumber daya alam dikelola semena-mena. Ironi rakyat jauh dari kata sejahtera. Ditambah lagi, kegaduhan panggung politik Pilkada 2024 memanas.

Namun, demi mempertahankan citra baik kinerja pemerintah, jasa buzzer pun dimanfaatkan. Opini pencitraan kinerja pemerintahan disebar walaupun fakta pencitraan hanyalah sebuah imajinasi yang jauh dari realitas. Inilah bukti bahwa negara telah gagal, melakukan tipu daya yang berbau dusta.

Tampak jelas wajah asli peta perpolitikan Indonesia di bawah sistem demokrasi saat ini. Sistem ini telah menjadikan Indonesia sebagai wahana transaksi kekuasaan para elite dan pemilik modal. Menjadikan negara sebagai objek ambisi keluarga dan kroni-kroninya.

Kekuasaan pun terpusat pada oligarki yang cengkeramannya mampu mengubrak-abrik kebijakan. Tidak hanya aspek ekonomi, tetapi juga pada aspek politik. Maka tidaklah heran, apabila kebijakan pilkada dapat berubah dalam sekejap demi melanggengkan kekuasaan.

Lantas, siapakah yang dapat dipercaya rakyat? Sementara sistem demokrasi telah melahirkan pemburu kursi dan banyak tipuan politisi.

Hal ini wajar, karena asas demokrasi adalah sekularisme. Pemisahan agama dari kehidupan membuat manusia bebas tanpa aturan, maka tipu daya pencitraan sah-sah saja dilakukan.

Islam Tidak Butuh Pencitraan

Lain halnya dengan Islam, politik dijalankan untuk mengurusi rakyat. Kekuasaan adalah menunaikan amanat dari pencipta manusia.Tidak butuh pencitraan dan tipu daya, karena pertanggungjawaban kelalaian langsung kepada-Nya. Rasulullah saw. bersabda dalam HR. Bukhari dan Muslim,

"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya."

Pemimpin yang amanah akan tampak dari ketaatannya menjalankan syariat. Setiap kebijakan yang ditetapkan dalam rangka menerapkan aturan hanya untuk kemaslahatan rakyat, bukan kepentingan pribadi ataupun oligarki.

Kebohongan dan tipu daya merupakan perbuatan yang dilarang Allah Swt., termasuk di dalamnya pencitraan. Karena pencitraan adalah bagian dari memoles opini bukan fakta sebenarnya. Amatlah buruk apabila pemimpin berdusta.

Hal ini tidak terjadi dalam kepemimpinan Islam, karena dalam diri mereka telah terpatri keimanan dan integritas tinggi kepada agama. Keterikatannya terhadap hukum syarak akan menjadikannya pemimpin yang jujur dan disenangi rakyat.

Dalam Islam, seorang pemimpin bertanggung jawab dalam perlindungan dan pembinaan rakyat. Agar terbentuk kesadaran politik dan pemikiran cemerlang, serta menjalankan amar makruf nahi mungkar, sehingga rakyat tak mudah dibohongi melalui pencitraan.

Sangat jelas perbedaan kepemimpinan Islam dan demokrasi. Kepemimpinan Islam berdiri demi kesejateraan rakyat. Akankah rakyat masih percaya dengan demokrasi?

Wallahu alam bissawab.[]

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Nilma Fitri Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Udara Jakarta Sudah Tidak Ramah
Next
Open Marriage, Say No!
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram