Digital overload lebih banyak dialami perempuan karena beban ganda yang harus dipikulnya akibat penerapan sistem kapitalisme.
Oleh. Mariyah Zawawi
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Saat ini, kita telah memasuki era Revolusi Industri 4.0. Berbagai pekerjaan dapat dilakukan dengan mudah karena bantuan teknologi. Namun, ada bahaya bernama digital overload di balik kemudahan-kemudahan itu. Kaum perempuan disebut lebih berisiko terkena bahaya ini.
Apa digital overload itu? Mengapa perempuan lebih berisiko terkena bahaya ini? Bagaimana Islam mengatasi masalah ini?
Apa Digital Overload Itu?
Digital overload adalah kondisi ketika seseorang terlalu banyak terpapar informasi digital. Digital overload dapat terjadi ketika seseorang terdorong untuk mengikuti perkembangan terkini sehingga membuatnya memproses informasi secara terus-menerus. Selain itu, ia juga berusaha untuk memberikan respons secepat mungkin jika ada pesan yang masuk.
Hal ini dapat berdampak buruk pada perkembangan mental seseorang hingga menyebabkan stres. Selain itu, paparan cahaya perangkat digital ini dapat mengganggu jam tidur alami sehingga menurunkan kualitas tidur. Akibatnya, kesehatan fisik pun terganggu. (jurnalposmedia.com, 10-03-2024)
Penyebab Digital Overload pada Perempuan
Perempuan dikatakan lebih rentan terkena digital overload. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perempuan mengalami hal ini.
Pertama, perempuan menggunakan perangkat digital untuk melakukan aktivitas yang bersifat rekreatif sekaligus menjalankan tugas-tugasnya. Hal ini membuat pekerjaan perempuan tidak terlihat atau diketahui orang lain (hidden labour).
Kedua, perempuan lebih fleksibel dalam bekerja karena ia dapat bekerja paruh waktu atau bekerja di rumah. Mereka melakukan hal ini agar dapat menjalankan kewajiban mengasuh anak. Dengan demikian, mereka dapat menyeimbangkan antara tanggung jawab keluarga dan pekerjaan. (bbc.com, 26-10-2024)
Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang mengungkap bahwa teknologi telah memperberat beban mental perempuan, terutama para ibu. Penelitian lintas negara itu dilakukan terhadap 6.600 orang tua yang memiliki setidaknya satu anak serta orang tua yang masih hidup. Penelitian yang dilakukan oleh Survei Sosial Eropa itu dilakukan di 29 negara.
Dari hasil penelitian itu ditemukan bahwa ada pembagian kerja berdasarkan gender dalam komunikasi digital yang berkaitan dengan pekerjaan dan kehidupan keluarga. Berdasarkan pengamatan para peneliti, laki-laki lebih banyak menggunakan teknologi di tempat kerja. Sementara itu, perempuan menggunakan teknologi di tempat kerja dan di rumah.
Penelitian itu juga mengungkapkan bahwa perempuan melakukan komunikasi digital 1,6 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki. Hal itu terjadi karena berbagai tugas perempuan di dunia nyata kini juga dilakukan di dunia digital. Misalnya, diskusi mengenai pengasuhan anak, kesehatan keluarga, serta informasi tentang pendidikan anak-anak saat ini lebih banyak dilakukan secara daring. Demikian pula, belanja kebutuhan dapur, pakaian, dan sebagainya dapat dilakukan secara digital.
Inilah yang menyebabkan perempuan lebih banyak terpapar beban ganda komunikasi digital. Hal ini diungkapkan oleh peneliti utama dari Lancaster University di Inggris Yang Hu dan peneliti dari University of British Columbia di Kanada Yue Qian. Menurut kedua peneliti tersebut, perempuan akan memiliki lebih banyak pekerjaan. Namun, ia tidak dapat fokus mengembangkan kariernya, meningkatnya stres, serta tingginya perasaan tidak puas terhadap hubungan.
Ketidaksetaraan Peran Domestik Perempuan dan Laki-laki
Para peneliti itu juga mengungkapkan adanya ketidaksetaraan antara peran laki-laki dan perempuan di rumah. Sosiolog di King’s College London Heejung Chung mengatakan bahwa perempuan yang bekerja di rumah mendapat tekanan untuk tetap mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah dan mengasuh anak. Sementara itu, ia juga harus menyelesaikan pekerjaannya. Sebaliknya, laki-laki tidak dituntut demikian, meskipun ia berada di rumah.
Hal ini terjadi karena adanya norma yang menyebutkan bahwa laki-laki adalah pencari nafkah. Norma ini membuat posisi laki-laki lebih terlindungi dalam lingkungan kerjanya. Sebaliknya, perempuan harus lebih terlibat dalam mengatur keluarga, bahkan saat ia menduduki posisi tinggi dengan gaji besar.
Fakta inilah yang disoroti oleh feminis Joan Acker. Banyaknya pekerjaan perempuan yang tidak tampak ini harus diperlihatkan untuk melawan ketidaksetaraan. Dengan demikian, kehidupan yang egaliter dapat benar-benar diwujudkan.
Untuk itu, Chung menyarankan agar dilakukan pembagian tugas dalam semua aspek komunikasi digital. Para ayah diharapkan dapat berperan lebih besar dalam mengurus anak. Misalnya, para ayah dapat dilibatkan dalam grup untuk orang tua sehingga dapat mengurangi beban teknologi perempuan. Dengan cara ini, digital overload pada perempuan dapat dihindari.
Peran Ganda Perempuan dalam Kapitalisme
Dalam sistem kapitalisme, perempuan dituntut melakukan peran ganda. Menurut Chung, ini merupakan kontradiksi dari kehidupan modern. Pada satu sisi, perempuan diharapkan bekerja. Namun, ia juga dianggap sebagai pengasuh utama anak-anaknya.
Baca: Sekularisme Petaka bagi Kehidupan Wanita
Peran ganda ini muncul karena adanya tuntutan kepada perempuan untuk menjadi sosok yang mandiri secara ekonomi. Perempuan disebut berdaya jika memiliki penghasilan sendiri. Hal ini akan membuat perempuan tidak akan diperlakukan seenaknya oleh laki-laki.
Sebaliknya, perempuan yang tidak memiliki penghasilan sendiri dianggap lemah karena bergantung kepada suami. Akibatnya, ia tidak dapat menentukan nasibnya sendiri. Ia harus tunduk kepada laki-laki, bahkan saat ia disakiti dan dizalimi.
Penghasil Uang
Konsep seperti ini seolah-olah membela hak perempuan. Namun, jika diperhatikan lebih dalam, konsep ini justru menempatkan perempuan pada posisi yang rendah. Konsep yang dilandasi oleh pemikiran kapitalisme ini menjadikan perempuan tak lebih dari penghasil uang. Mereka dieksploitasi tubuh serta kecantikannya untuk keuntungan para kapitalis.
Oleh karena itu, kapitalisme selalu mendorong perempuan untuk terus bekerja. Dalam sistem ini, rendahnya partisipasi perempuan di dunia kerja dipandang dapat mengurangi tingkat kemakmuran. Hal itu karena kemakmuran dalam sistem ini hanya diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB). Makin tinggi PDB, makin makmur suatu negara.
Pada 2017, angka partisipasi perempuan Indonesia di dunia kerja adalah 53%. Maknanya, satu dari dua orang perempuan usia kerja (15–64 tahun) tidak bekerja. Ekonom Australia Indonesia Partnership for Economic Governance (AIPEG) Ariane Utomo mengatakan bahwa jika angka partisipasi perempuan di dunia kerja dapat dinaikkan menjadi 59%, PDB Indonesia akan naik sebesar 123 miliar USD.
Itulah sebabnya, perempuan didorong agar terus bekerja dengan memberikan berbagai fasilitas dan kemudahan. Misalnya, diberikannya opsi pekerjaan paruh waktu. Selain itu, perusahaan juga menyediakan ruang khusus untuk menyusui serta. (bbc.com, 22-12-2017)
Berbagai kemudahan ini sebenarnya adalah racun yang disuntikkan ke dalam pemikiran kaum perempuan. Racun yang dibalut dengan madu bernama kemakmuran. Kemakmuran yang hakikatnya tidak pernah mereka dapatkan.
Pembagian Tugas dalam Islam
Hal ini sangat jauh berbeda dengan konsep Islam. Islam melindungi dan memuliakan perempuan dengan memberikan kewajiban sesuai dengan kodratnya. Islam telah menetapkan kewajiban perempuan sebagai ummun warabatul bait, yakni sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.Untuk itu, perempuan tidak diberi kewajiban mencari nafkah. Hal ini berlaku seumur hidupnya. Kewajiban itu dibebankan di atas pundak laki-laki yang menjadi walinya. Jika walinya tidak mampu, kewajiban itu beralih ke kerabatnya. Jika mereka juga tidak mampu, negara yang akan menanggungnya dengan dana dari baitulmal.
Meskipun demikian, Islam tidak melarang perempuan bekerja, selama mereka tidak melanggar syarak. Di antaranya adalah mereka harus mendapat izin dari wali. Selain itu, mereka tidak boleh menampakkan aurat serta melakukan tabaruj. Mereka juga harus menjaga interaksinya dengan lawan jenis dengan tidak melakukan ikhtilat serta khalwat.
Dalam urusan di rumah pun, Islam juga tidak membebankan semua pekerjaan kepada perempuan. Rasulullah saw. telah menetapkan bahwa pekerjaan yang di luar rumah merupakan kewajiban suami, sedangkan yang di dalam rumah merupakan kewajiban istri. Hal ini sesuai dengan HR. Ibnu Abi Syaibah.
قَضَى رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى اٍبْنَتِهِ فَاطِمَةَ بِخِدْمَةِ الْبَيْتِ وَعَلَى عَلِيٍّ مَا كَانَ خَارِجًا عَنِ الْبَيْتِ مِنْ عَمَلٍ
Artinya: “Rasulullah saw. telah menetapkan atas putri beliau, Fatimah untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di dalam rumah dan atas Ali mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di luar rumah.”
Pembagian pekerjaan ini akan mengurangi beban perempuan. Perempuan dapat melakukan aktivitas lainnya, seperti menuntut ilmu, berdakwah, atau bersosialisasi. Dengan demikian, perempuan akan tetap terjaga kesehatan mentalnya dan terhindar dari stres.
Khatimah
Demikianlah, tidak diwajibkannya mencari nafkah kepada perempuan menunjukkan perlindungan dan penjagaan Islam terhadap perempuan. Hal ini membuat beban hidup perempuan tidak seberat saat hidup dalam sistem kapitalisme. Adanya pembagian pekerjaan untuk laki-laki dan perempuan juga mengurangi beban pekerjaannya. Dengan demikian, perempuan tidak akan mengalami digital overload seperti yang terjadi saat ini.
Wallaahu a’lam bi ash-shawaab []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com