Subsidi BBM dan Listrik Jadi BLT, Solusikah?

subsidi BBM dan BLT

Sungguh miris, inilah realitas hidup dalam sistem demokrasi kapitalisme, rakyat dianggap sebagai beban. Subsidi pun dianggap beban yang akan memberatkan APBN.

Oleh. Rastias
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Pemerintah sedang mewacanakan perubahan skema subsidi BBM, LPG, dan listrik menjadi bantuan langsung tunai (BLT). Alasannya, karena sebagian subsidi diduga tidak tepat sasaran. Hal itu diketahui dari adanya laporan PLN, Pertamina, dan BPH Migas. (mediaindonesia.com, 4-11-2024)

Selain itu, perubahan skema subsidi energi tersebut dilakukan karena dana subsidi yang dikeluarkan pemerintah makin besar sehingga membebani APBN. Oleh karena itu, pemerintah mengambil kebijakan untuk memangkas subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp67,1 triliun pada 2025. Pemerintah juga memberi dorongan kepada konsumen supaya bijak dalam penggunaan BBM, terutama jenis Pertalite dan solar. (kontan.co.id, 28-5-2024)

Efek dari Pencabutan Subsidi

Wacana pemerintah mengubah subsidi menjadi bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat akan memberikan dampak yang luar biasa terhadap perekonomian nasional. Mungkin di satu sisi wacana ini bisa mengurangi kebocoran tidak tepat sasaran. Namun, kita harus memperhatikan dampak-dampak yang akan ditimbulkannya. Apa saja dampaknya?

Pertama, di sektor industri kenaikan BBM dan listrik akan membuat pengeluaran biaya produksi makin membengkak dan beban biaya makin bertambah. Oleh karena itu, PHK menjadi jalan satu-satunya untuk mengurangi beban pengeluaran.

Kedua, BBM di sektor pangan digunakan untuk mendistribusikan bahan-bahan pangan dari satu tempat ke tempat lain. Oleh karena itu, apabila BBM naik maka secara otomatis biaya transpor ikut naik dan berdampak pula pada naiknya bahan-bahan pangan.

Ketiga, LPG di sektor pangan berkaitan dengan produktivitas perekonomian. Contohnya, pelaku UMKM kuliner akan kecewa dengan pencabutan subsidi LPG karena makin membebani ongkos produksi. Selain itu, pencabutan subsidi LPG juga menyebabkan harga bahan pangan naik. Jika hal ini dibiarkan dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan inflasi.

Dari peningkatan inflasi ini akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat yang berujung pada menurunnya kesejahteraan masyarakat dan stabilitas perekonomian negara. Di sisi lain, kondisi masyarakat yang miskin dan ketimpangan ekonomi menyebabkan makin mewabahnya persoalan sosial dan kriminalitas di negeri ini.

Inilah dampak dari pencabutan subsidi BBM, LPG, dan listrik yang dirasakan oleh masyarakat. Walaupun ada kompensasi berupa BLT sebagai gantinya, tidak menyolusi. Kita bisa berkaca dari program BLT sebelumnya, seperti BLT BBM, BLT Program Keluarga Harapan (PKH), BLT UMKM, BLT dana desa, dan lainnya yang sudah penuh dengan polemik. Cara kerjanya yang rumit dan pendataan yang buruk menyebabkan penyaluran BLT salah sasaran.

Subsidi Dianggap Beban

Sungguh miris, inilah realitas hidup dalam sistem demokrasi kapitalisme, rakyat dianggap sebagai beban. Subsidi pun dianggap beban yang akan memberatkan APBN jika terus diberikan kepada rakyat. Hal ini menyebabkan APBN mengalami defisit. Namun, benarkah subsidi merupakan beban APBN?

Menkeu Sri Mulyani memaparkan APBN 2024, realisasi subsidi dan kompensasi energi hingga Oktober 2024 mencapai Rp327 triliun. Sementara itu, alokasi APBN untuk belanja negara untuk infrastruktur pada tahun ini sebesar Rp2.556,7 triliun. (cnbcindonesia.com, 8-11-2024)

Berdasarkan data di atas, jumlah subsidi sangat kecil dibanding dengan biaya pembangunan infrastruktur yang realitasnya bukan untuk rakyat. Oleh karena itu, lebih cocok menyebut beban APBN untuk oligarki, bukan subsidi.

Demokrasi Kapitalisme

Sungguh miris, Indonesia yang merupakan negara yang kaya sumber daya alam (SDA) berupa minyak dan gas (migas) dan penghasil nikel terbesar, yakni setara dengan 23 persen cadangan di dunia malah menjadi importir net BBM dan LPG.

Kekayaan alam yang dimiliki negeri ini pada dasarnya mampu memenuhi kebutuhan energi masyarakat. Sayangnya, tata kelola SDA masih bermasalah sehingga pemenuhan kebutuhan rakyat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Lihat saja 84 persen migas kini dikuasai asing. (antaranews.com, 29-5-2008) Sementara itu, nikel sekitar 90 persen ada dalam kontrol asing, terutama oleh perusahaan Cina. (cnbcindonesia.com, 5-12-2024)

Dari sini dapat disimpulkan, akar masalahnya adalah penerapan sistem demokrasi kapitalisme. Negara bukan lagi sebagai pengatur urusan rakyat. Hubungan antara penguasa dan rakyat bagaikan penjual dan pembeli yang hanya memikirkan untung atau rugi. Oleh karena itu, tidak heran kebijakannya selalu memihak pada korporasi.

Baca juga: retreat-pejabat-akankah-membawa-manfaat/

Aturan main sistem kapitalisme ini pula yang menjadikan APBN selalu defisit. Liberalisasi dalam kepemilikan membuat SDA yang melimpah yang seharusnya menjadi sumber APBN justru dikuasai swasta atau asing. Isu subsidi tidak tepat sasaran dan membebani APBN itu muncul dari paradigma tata kelola SDA yang berbasis kapitalistik.

Selama masih menggunakan sistem demokrasi kapitalisme maka subsidi akan selalu dipermasalahkan. Sementara itu, mereka gencar membangun infrastruktur megah yang tidak ada hubungannya dengan kemaslahatan masyarakat.

Mekanisme Islam

Berbeda dengan sistem Islam. Islam memiliki berbagai mekanisme yang tentunya menyejahterakan umat. Negara hadir sebagai periayah (pengurus) kebutuhan umat. Pelayanan negara yang diberikan kepada masyarakat akan rata, baik kaya maupun miskin. Dengan begitu, negara dengan senang hati memberikan subsidi, bahkan gratis kepada rakyatnya.

Dalam Islam, sumber daya alam (SDA) akan dikelola secara mandiri oleh negara dan hasilnya dikembalikan lagi kepada rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, yaitu negara memberikan subsidi BBM, LPG, listrik, dan sebagainya bahkan negara bisa memberikannya secara gratis. Negara hanya membebankan pada ongkos produksi.

Sementara itu, mekanisme secara tidak langsung, yaitu negara menjual hasil sumber daya alam seperti migas, nikel, dan sebagainya kepada industri atau ke luar negeri. Hasil penjualan tersebut akan dimasukkan ke pos kepemilikan umum. Namun, penjualan ini dengan syarat kebutuhan masyarakat sudah terpenuhi.

Dari dana pos umum tadi akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Alhasil semua masyarakat bisa hidup sejahtera.

Negara tidak akan memberi celah sedikit pun kepada swasta untuk menguasai sumber daya alam (SDA) yang berlimpah. Sebagaimana larangan Rasulullah saw. berikut, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah)

Oleh karena itu, menguasai sumber daya alam berupa migas dan nikel haram dikelola dan dimanfaatkan oleh swasta karena menyangkut kemaslahatan masyarakat.
Wallahualam bissawab.[]

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor Narasiliterasi.id
Rastias Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Judi, Harus Diberantas Secara Sistemis
Next
Sujud Terakhir Reina
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram