
Sebagai orang tua, kita dituntut untuk hangat dan akrab dalam berinteraksi. Orang tua terlarang menjadi “helikopter” yang terus mengitari, bahkan mengambil kendali atas hidup anak.
Oleh. Haifa Eimaan
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)
NarasiLiterasi.Id-Makin ke sini makin banyak saja model-model pengasuhan, ya, Bun? Kali ini kita akan berkenalan dengan satu model pengasuhan, helikopter parenting. Ada-ada saja namanya bukan? Bisa-bisanya model pengasuhan diberi nama seperti pesawat yang mirip capung raksasa melayang-layang di udara.
Sekelumit Kisah
Oke, Bun. Kita mulai dari ilustrasi dulu untuk memudahkan memahami pola asuh ala helikopter ini. Tersebutlah sebuah keluarga dengan satu orang anak berusia 18 tahun bernama Rinjani. Ia baru saja lulus SMA.
Sejak kecil, orang tuanya sangat terlibat dalam setiap aspek kehidupannya. Mulai bayi hingga balita, orang tuanya selalu mengawasi tumbuh kembangnya. Tatkala Rinjani memasuki usia sekolah, orang tuanya membuatkan jadwal kegiatannya, memilihkan teman-teman, bahkan membantu menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Meskipun niat orang tuanya baik, mereka tidak pernah memberikan Rinjani kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri atau menghadapi konsekuensi dari pilihannya.
Masalah muncul tatkala Rinjani harus mendaftar ke perguruan tinggi. Orang tuanya sangat menginginkan Rinjani bisa kuliah di jurusan kedokteran sebuah universitas top 3 di Indonesia, sedangkan ia inginnya di jurusan seni. Lagi-lagi orang tuanya menyiapkan segala hal agar anaknya diterima di kedokteran. Gadis itu tidak bisa menolak.
Setelah satu semester di kedokteran, Rinjani memutuskan untuk berhenti kuliah. Ia merasa putus asa dan tidak mampu menghadapi tekanan dari orang tuanya. Hari-harinya diliputi kecemasan yang parah dan rasa terasing dari teman-temannya. Ia tidak tahu bagaimana cara meminta bantuan atau mengungkapkan perasaannya. Dia merasa gagal, tidak hanya di mata orang tuanya, tetapi juga di matanya sendiri. Rinjani mengalami depresi dan kesulitan dalam membangun hubungan sosial karena merasa tidak memiliki identitas yang jelas.
Apa Itu Helikopter Parenting?
Setelah membaca ilustrasi di atas, niscaya sekarang sudah ada gambaran tentang helikopter parenting, ya, Bun? Istilah ini merujuk pada gaya pengasuhan di mana orang tua sangat terlibat dan cenderung mengawasi setiap aspek kehidupan anak-anak mereka. Carolyn Daitch, Ph.D, Direktur Pusat Perawatan Gangguan Kecemasan di Detroit mengatakan bahwa orang tua helikopter kerap mengambil banyak tanggung jawab atas pengalaman anak-anak mereka, baik keberhasilan maupun kegagalan mereka. (parent.com, 26-4-2024)
Kenapa diberi nama pengasuhan ala helikopter? Istilah ini diciptakan untuk menggambarkan orang tua yang selalu "terbang" di sekitar anak-anak mereka. Orang tua ini siap untuk mengambil alih atau campur tangan ketika sang anak ada masalah. Ciri khas dari gaya ini termasuk membuatkan jadwal kegiatan, memilihkan teman, bahkan membantu menyelesaikan pekerjaan rumah. Dalam banyak kasus, orang tua merasa bahwa intervensi mereka adalah cara terbaik untuk melindungi anak dari kegagalan dan risiko, padahal dampak dari gaya pengasuhan ini bisa jadi lebih kompleks daripada yang dibayangkan.
Mengapa Memilih Pengasuhan Helikopter?
Pola asuh ini dipilih orang tua dengan beberapa alasan umum berikut ini.
Pertama, takut akan konsekuensi yang mengerikan. Orang tua dibayangi ketakutan bila anaknya gagal dalam satu hal maka ia akan sedih berkepanjangan, stres, dan berdampak pada masa depannya. Oleh karena itu, orang tua mempersiapkan A–Z agar anaknya tidak mengalami kegagalan, kekecewaan, dan perasaan tidak senang lainnya.
Kedua, perasaan cemas. Ketika dunia ada dalam genggaman para kapitalis, persaingan bebas di berbagai sektor serupa momok bagi orang tua. Kekhawatiran tentang ekonomi, pasar kerja, dan dunia dapat mendorong orang tua untuk mengambil lebih banyak kendali atas kehidupan anak mereka. Orang tua siap mempertaruhkan apa saja demi anaknya bisa hidup nyaman di masa depan. Kadang, halal dan haram tidak lagi menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan sebab orang tua tidak ingin anaknya terluka dan kecewa.
Ketiga, kompensasi yang berlebihan. Orang tua yang masa kecilnya cenderung diabaikan atau tidak dicintai, cenderung akan merespons secara berlebihan terhadap anak-anak mereka. Para orang tua ini tidak ingin anak-anaknya merasa diabaikan dan tidak dicintai. Namun, perhatian dan kontrol yang diberikan cenderung berlebihan hingga menjadi toksik bagi sang anak.
Dampak Positif
Tidak dapat dimungkiri bahwa ada beberapa keuntungan dari pendekatan ini. Dengan kontrol ketat, anak-anak mungkin merasa lebih diperhatikan, lebih aman, dan terlindungi. Orang tua yang aktif mendukung pendidikan anak-anak mereka, tidak dimungkiri juga membantu meningkatkan prestasi akademik. Dalam beberapa situasi, dukungan yang kuat dari orang tua bisa memberikan dorongan yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu.
Dampak Negatif
Di sisi lain, helikopter parenting dapat menimbulkan beberapa dampak negatif jangka panjang.
Pertama, anak-anak kurang mandiri. Anak-anak yang tidak diberi kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri, mereka akan tergantung pada orang tuanya dalam banyak hal. Ketika dihadapkan pada tantangan atau situasi baru, mereka bisa merasa tidak percaya diri karena takut salah mengambil keputusan.
Kedua, tekanan untuk selalu berhasil dapat menyebabkan kecemasan dan stres yang tinggi. Tanpa sadar di benaknya sudah tertanam pemikiran bahwa mereka harus memenuhi ekspektasi tinggi orang tuanya. Walaupun “berdarah-darah”, mereka akan berusaha melakoninya.
Dalam kondisi semacam ini, kesehatan mental sang anak terancam, bahkan bisa berdampak buruk dalam jangka panjang. Depresi dan kecemasan yang berkepanjangan bisa menimpa sang anak.
Ketiga, keterampilan sosial yang terbatas. Dengan orang tua yang selalu mengawasi dan mengintervensi, anak-anak tidak belajar cara berinteraksi dengan optimal, tidak belajar menyelesaikan konflik, atau mengatasi kegagalan. Dampaknya, mereka gagap dalam berinteraksi. Akhirnya, mereka merasa tersingkirkan dari pergaulan dan merasa rendah diri.
Strategi Terhindar dari Helikopter Parenting
Untuk menghindari perangkap helikopter parenting, sejak awal kita harus memiliki arah yang jelas dan kuat dalam mendidik anak; tersemat cita-cita yang besar bagi diri anak untuk turut serta membangun peradaban Islam; dan kesediaan kita untuk terus belajar selama membersamai tumbuh kembang mereka. Kita juga harus sering mengevaluasi pola asuh yang sedang diterapkan. Apakah pola asuh kita sudah sesuai dengan arah yang akan dituju? Apakah kontrol yang dilakukan terhadap anak berasal dari kecemasan kita akan masa depan mereka atau benar-benar demi kepentingan anak?
Qaulan Syadidan
“Dan hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka, anak-anak yang lemah, anak-anak yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (qaulan syadidan).” (TQS. An-Nisa: 9)
Di ayat ini, Allah mengingatkan kita agar menjadi orang tua yang bertakwa dan mampu berkata dengan perkataan yang benar (qaulan syadidan). Dua hal ini menjadi “syarat” agar kita tidak meninggalkan generasi yang lemah. Kelemahan di sini bukan sekadar fisik, melainkan generasi yang rapuh keimanannya, lemah dalam kemampuan menghadapi tantangan hidup, dan tidak mampu berkontribusi positif bagi masyarakat.
Baca: Membangun Keluarga Muslim yang Produktif
Adapun frasa “hendaklah mereka mengucapkan perkataan dengan benar” memberikan panduan komunikasi pada kita. Qaulan Syadidan bermakna perkataan yang benar dan tepat. Benar ditinjau dari sisi syariat, sedangkan tepat dilihat dari cara penyampaiannya. Sebagai contoh, anak berusia 5 tahun dan 15 tahun saat menanyakan hukum makan sambil berdiri, jawaban bagi keduanya sama, yaitu makruh makan sambil berdiri. Akan tetapi, cara penyampaian pada keduanya pasti berbeda sesuai usia dan tingkat pemahamannya.
Sebagai orang tua, kita dituntut untuk hangat dan akrab dalam berinteraksi, berkomunikasi dengan penuh kasih sayang, tetapi tegas dalam menegakkan aturan yang telah disepakati. Kita juga harus mampu mengarahkan anak tanpa merendahkan atau mematahkan semangat mereka. Pola pengasuhan sebagaimana disebutkan di dalam surah An-Nisa ayat 9 ini akan makin optimal bila orang tua dan anak tinggal di lingkungan yang juga mendukung, yakni lingkungan yang berjalan sesuai syariat Islam.
Penutup
Orang tua wajib hadir dalam tumbuh kembang anak. Orang tua juga harus memastikan terpenuhinya hak dan kewajiban anak. Namun, kedua hal ini harus proporsional. Orang tua terlarang menjadi “helikopter” yang terus mengitari, bahkan mengambil kendali atas hidup anak. Penting untuk diingat bahwa setiap anak memerlukan ruang untuk tumbuh dan berkembang secara mandiri.
Di dalam surah An-Nisa ayat 9, ayat ini secara tidak langsung mengkritik pola pengasuhan yang salah, termasuk helikopter parenting. Mendidik anak bukan berarti mengekang atau mengontrol setiap aspek kehidupannya, melainkan menyiapkan anak agar menjadi generasi yang kokoh dari sisi keimanannya, kuat kepribadian Islamnya, dan senantiasa bertakwa pada Allah. Orang tua diperintahkan untuk mempersiapkan anak menghadapi tantangan, bukan melindungi mereka dari setiap kesulitan. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Menurut saya metode helikopter Parenting justru melemahkan mental anak