
Halal haram tidak dijadikan tolok ukur dalam kehidupan sehingga tak peduli apakah cara kelulusan yang diperoleh tak sesuai syariat, asal telah dinyatakan lulus, selesai masalah.
Oleh. Arda Sya'roni
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Beberapa hari lalu dunia pendidikan dihebohkan dengan pembatalan ijazah oleh Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom). Dikutip dari Liputan6.com (16-01-2025) Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Bandung membatalkan sebanyak 233 ijazah kelulusan mahasiswa lewat Surat Keputusan Ketua Stikom Bandung Nomor Surat 481/Skep-0/E/StikomXII/2024 tentang Pembatalan Lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Bandung Periode 2018—2023. Dengan demikian para alumni yang ditarik ijazahnya tersebut berpotensi kuliah kembali dalam rangka perbaikan.
Alasan penarikan menurut Ketua Stikom, Dedy Djamaluddin Malik dikutip dari Kompas.com (17-01-2025) dijelaskan bahwa hasil evaluasi dari Tim Evaluasi Kinerja Akademik (RlEKA) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) ditemukan beberapa hal yang tidak sesuai seperti nilai akademik dan syarat SKS yang berbeda antara data kampus dan Pangkalan Data Dikti. Selain ketidaksesuaian tersebut, ditemukan pula bahwa ijazah kelulusan tersebut tidak memiliki PIN atau Penomoran Ijazah Nasional serta belum dilakukannya tes plagiasi pada karya mahasiswanya.
Cara Lulus yang Tak Sesuai Syariat
Permasalahan ini diduga timbul karena adanya praktik jual beli nilai dari operator kampus tanpa sepengetahuan pihak kampus. Penarikan ijazah ini jelas menimbulkan konflik antara mahasiswa penerima ijazah dan pihak kampus. Bagaimana tidak, ijazah yang begitu diharapkan untuk mencari pekerjaan tidak dapat digunakan dan terpaksa harus mengulang sejumlah SKS yang dinyatakan kurang tersebut. Harapan segera bekerja pun pupus sudah. Mahasiswa sudah lulus, nyatanya ijazah ditarik kembali oleh kampus.
Terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah, kasus ini jelas menambah daftar panjang buruknya sistem pendidikan di Indonesia. Bila sistem pendidikan benar, tentulah kasus-kasus semacam ini tak akan timbul. Inilah potret pendidikan ala sistem kapitalis di mana pendidikan dijadikan sebagai komoditas dan mencari keuntungan semata.
Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan menjadikan sistem pendidikan bukan untuk mencetak generasi gemilang, melainkan hanya untuk mencetak uang sebanyak mungkin. Halal haram tidak dijadikan tolok ukur dalam kehidupan sehingga tak peduli apakah cara kelulusan yang diperoleh tak sesuai syariat, asal telah dinyatakan lulus, selesai masalah.
Baca juga: Kondisi Pendidikan Tinggi Kian Sulit
Kapitalisme hanya menjadikan penguasa sebagai regulator yang mengatur berdasarkan prinsip kemaslahatan subjektif. Penguasa hanya berpihak kepada oligarki dan pemilik modal sehingga wajar bila pendidik menjadi rentan unutuk dikapitalisasi. Wajar pula bila pada akhirnya muncul penyelewengan di semua unsur dan level baik penyelenggara pendidikan, pelaku pendidikan, objek pendidikan, bahkan negara sekalipun.
Penyelenggaraan Pendidikan Kewajiban Negara
Beda halnya pada Islam yang memandang pendidikan adalah kewajiban bagi setiap rakyat karena menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim. Oleh sebab itu pendidikan adalah kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi oleh negara. Negara akan memberikan kemudahan dalam memperoleh pendidikan bagi semua rakyatnya dan memberikan fasilitas yang dibutuhkan.
“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk suatu ilmu, maka Allah Swt. akan memudahkan jalan baginya menuju surga." (HR. Muslim)
Hadis ini menjadi dasar negara untuk menyediakan fasilitas pendidikan yang layak dan memudahkan pelayanan pendidikan bagi semua rakyat. Karenanya Islam akan memberlakukan pendidikan gratis bagi semua rakyatnya. Negara dalam hal ini memiliki sumber pendapatan dari banyak pintu, tak hanya mengandalkan pajak sebagaimana sistem kapitalis saat ini.
Islam menjadikan akidah Islam sebagai dasar dalam beraktivitas dalam kehidupan. Penguasa dalam Islam sadar sepenuhnya bahwa kebijakan yang diambil akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah. Oleh karena itu, penguasa dalam Islam akan menerapkan syariat Islam dalam kehidupan termasuk dalam sistem pendidikan.
Akidah Islam akan dijadikan dasar dalam sistem pendidikan sehingga kurikulum pendidikan akan dimulai dengan penguatan akidah serta memisahkan antara lelaki dan perempuan dalam kehidupan. Alhasil, setiap individu yang terkait dalam penyelenggaraan pendidikan akan taat pada syariat. Kualitas dan kredibilitas semua unsur dan level dalam institusi pendidikan pun akan didapatkan. Selain itu, negara juga akan menjamin dan mengawasi agar semua berjalan sesuai dengan syariat Allah.
Bila setiap individu telah mempunyai akidah yang kokoh, maka sudah pasti mempunyai rasa takut pada Allah sehingga mereka akan taat dan beraktivitas sesuai syariat. Tak ada lagi penyimpangan maupun kecurangan, termasuk pemikiran asalkan lulus dari jenjang pendidikan tanpa memandang halal haram prosesnya. Dengan demikian, proses pendidikan pastilah akan melahirkan generasi yang berkualitas dan berpikiran cemerlang, kebangkitan pun akan segera diraih. Wallahualam bissawab.[]
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kalau dipikir-dipikir, sistem pendidikan semakin diupgrade kok semakin ribet yaa...
[…] Baca juga: Kala Lulus Tak Berjalan Mulus […]
[…] Baca juga: Kala Lulus Tak Berjalan Mulus […]