Pesta Maksiat di Puncak Bukan Sekadar Salah Perilaku

Pesta maksiat di Puncak

Pesta sesama jenis di Puncak hanyalah satu gejala dari penyakit besar bernama sekularisme. Maka saatnya menolak sistem rusak, dan menyerukan kembalinya Islam sebagai aturan hidup yang menyelamatkan.

Oleh. Nettyhera
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.Id-Pesta sesama jenis di salah satu vila kawasan Puncak, Bogor, yang digerebek aparat beberapa waktu lalu, kembali mengguncang nurani publik. Fakta bahwa 75 orang diamankan dan 30 orang di antaranya reaktif HIV dan sifilis, jelas bukan sekadar aib lokal. Ini adalah potret terang benderang dari bobroknya tata sosial yang kita biarkan berjalan dalam sistem hari ini.

Tanggapan yang muncul nyaris seragam: kecaman, imbauan, desakan untuk memperkuat pembinaan moral, hingga wacana memperketat pengawasan vila-vila di kawasan Puncak. Namun, mari kita jujur: apakah ini cukup? Apakah penggerebekan demi penggerebekan akan mampu menghentikan tsunami kerusakan moral yang nyata di depan mata?

Inilah kesalahan pertama kita: sikap reaktif semata tanpa mau membedah akar masalah yang sebenarnya.

Sistem Membuka Ruang, Tetapi Kita Sibuk Memadamkan Api

Realitasnya, negeri ini tidak berdiri dalam kekosongan hukum. Justru ironi terbesar adalah ketika kita tahu bahwa regulasi yang ada di negeri ini secara terang-terangan memberikan ruang bagi penyimpangan seksual. Undang-undang, peraturan, dan berbagai kebijakan nasional dengan sadar mengadopsi prinsip-prinsip dari agenda internasional seperti SDGs (Sustainable Development Goals), CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), hingga berbagai resolusi PBB tentang gender equality dan sexual rights.

Lihat saja dalam tujuan SDGs poin ke-5 (Gender Equality) dan poin ke-10 (Reduced Inequalities), di mana secara halus tapi tegas, ada dorongan agar negara-negara anggota—termasuk Indonesia—menerima dan melindungi keberagaman gender dan orientasi seksual. Atas nama kesetaraan, diskriminasi berbasis gender dan orientasi seksual harus dihapuskan. Ini bukan sekadar narasi, tetapi sudah turun menjadi regulasi, program kerja kementerian, hingga kurikulum pendidikan.

Kita bisa melihat langsung, bagaimana Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sempat menuai polemik karena di dalamnya termuat pasal yang ditafsirkan memberikan perlindungan terhadap penyimpangan seksual. Atau bagaimana lembaga-lembaga negara menggandeng NGO pro-LGBT untuk melakukan edukasi dengan dalih pencegahan HIV. Ini semua bukan terjadi tanpa sebab. Ini adalah bagian dari agenda besar.

Konspirasi Global: Menghancurkan Moral untuk Melemahkan Umat

Agenda ini tidak lahir di ruang hampa. Sejak era Beijing Platform for Action 1995, kemudian diperkuat dalam forum-forum PBB, Barat dengan sadar mendorong normalisasi penyimpangan seksual ke seluruh dunia, termasuk negeri-negeri muslim. Mereka sadar bahwa kekuatan umat Islam bukan hanya pada sumber daya alam atau jumlah penduduknya, tetapi pada kekuatan moral dan institusi keluarga.

Maka tidak heran, isu gender, seksual, dan hak asasi menjadi senjata yang paling efektif untuk menghancurkan tatanan masyarakat Islam dari dalam. Ketika keluarga dirusak, moral generasi dihancurkan, dan identitas keagamaan dibuat kabur, maka kaum muslimin akan lemah tanpa perlu satu peluru pun ditembakkan.

Bahkan di berbagai forum internasional, negara-negara Barat tidak segan-segan mengikat bantuan finansial dengan syarat penerimaan terhadap nilai-nilai liberal ini. Program-program kesehatan, pendidikan, hingga pemberdayaan perempuan diselipkan agenda normalisasi LGBT dan gender fluid. Mereka sebut ini sebagai inclusivity, diversity, dan human rights. Padahal sejatinya ini adalah bom waktu kehancuran umat.

Baca juga: Merajalelanya Kasus LGBT

Salah Diagnosis, Salah Solusi

Lalu, kita dihadapkan pada pilihan solusi yang salah arah. Menyalahkan vila, menyalahkan kurangnya sosialisasi, atau menyalahkan aparat yang kurang patroli. Padahal jelas, masalahnya adalah pada sistem hukum, sistem sosial, dan sistem pendidikan yang justru memberi ruang bagi kemaksiatan berkembang.

Selama negara berdiri di atas asas sekularisme—memisahkan agama dari kehidupan—maka solusi yang lahir hanya bersifat tambal sulam. Penyimpangan tidak akan pernah selesai hanya dengan razia, penutupan vila, atau imbauan moral.

Bagaimana Islam Menyelesaikan?

Islam tidak hanya menawarkan solusi parsial, tapi solusi yang holistik, sistemis, dan ideologis. Dalam Islam, agama bukan hanya urusan privat, tetapi menjadi dasar dalam mengatur seluruh kehidupan.

Pertama, pencegahan dilakukan sejak akar. Negara Islam (Khilafah) memastikan pendidikan berbasis akidah Islam diterapkan sejak dini. Anak-anak diajarkan memahami identitas diri berdasarkan fitrah yang ditetapkan Allah, laki-laki dan perempuan. Pergaulan diatur. Batasan aurat, interaksi lawan jenis, dan larangan khalwat dijaga dengan ketat.

Kedua, media massa, hiburan, dan ruang publik dikontrol ketat agar tidak menjadi sarana penyebaran syahwat dan penyimpangan. Negara Islam tidak akan membiarkan film, tontonan, atau platform digital yang memfasilitasi konten-konten yang merusak akhlak.

Ketiga, negara menyediakan fasilitas halal untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia, yaitu dengan mempermudah pernikahan, menyediakan lapangan kerja yang layak, dan mendukung terbentuknya keluarga sakinah.

Keempat, jika pencegahan tidak memadai, maka sanksi tegas diberlakukan. Pelaku penyimpangan seksual seperti homoseksual, jika terbukti, dikenai hukum hudud sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah pelaku dan pasangannya.”
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah)

Bukan karena Islam kejam, tapi karena Islam memahami bahwa kerusakan moral adalah wabah yang lebih berbahaya dari penyakit mana pun.

Negara juga memiliki lembaga hisbah yang bertugas aktif mengawasi ruang publik. Mereka tidak menunggu viral atau laporan, tetapi aktif mencegah setiap potensi pelanggaran syariat.

Penutup

Pesta sesama jenis di Puncak hanyalah satu gejala dari penyakit besar bernama sekularisme. Selama kita bersikap reaktif tanpa mau membongkar akar masalah, selama kita tidak mau melepas ketergantungan pada agenda global seperti SDGs yang sarat racun, maka percayalah kerusakan moral hanya akan bertambah parah.

Saatnya kita berhenti salah diagnosis. Solusi bukan pada penguatan pengawasan vila atau sekedar penyuluhan. Solusi ada pada keberanian kembali menerapkan syariat Islam secara total dalam kehidupan—dalam naungan Khilafah Islamiah. Karena hanya dengan itu, kehormatan, kesehatan, dan masa depan generasi akan terlindungi.

“Dan barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”
(QS. Al-Maidah: 44)

Jika Anda setuju bahwa masa depan bangsa tak bisa disandarkan pada tambal sulam regulasi sekuler, maka kini saatnya kita bersuara. Menolak sistem rusak, dan menyerukan kembalinya Islam sebagai aturan hidup yang menyelamatkan. []

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Nettyhera Kontributor Narasiliterasi.Id
Previous
Refleksi Bulan Muharam atas Hilangnya Kemuliaan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram