Sekolah Rakyat: Harapan atau Ilusi Semu?

Sekolah Rakyat harapan atau ilusi semu

Sekolah Rakyat sebagai bentuk intervensi pendidikan, meskipun bernilai positif, bukanlah solusi utama dalam mengatasi kemiskinan.

Oleh. Susianti
Kontributor NarasiLiterasi.Id

NarasiLiterasi.Id-Kemiskinan adalah momok yang tak kunjung usai dan melilit jutaan jiwa dalam cengkeraman ketidakberdayaan. Berbagai upaya telah dicoba, dari program bantuan langsung hingga pemberdayaan ekonomi.

Salah satu upaya memutus rantai kemiskinan yang telah berlangsung dalam beberapa generasi, Presiden RI Prabowo Subianto meluncurkan program Sekolah Rakyat (SR) yang diamanahkan kepada Kemensos melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2025. Adapun Sekolah Rakyat hadir dengan tiga prinsip utama, yakni memuliakan wong cilik, menjangkau yang belum terjangkau, dan memungkinkan yang tidak mungkin (kilaskementerian.kompas.com, 21-07-2025)

Namun, apakah sekolah rakyat benar-benar merupakan cara yang tepat untuk mengentaskan kemiskinan, ataukah ia hanya menawarkan ilusi harapan semu?

Kemiskinan Struktural

Realita kemiskinan di Indonesia hari ini lebih dari sekadar soal kurangnya akses ke sekolah. Ini adalah kemiskinan struktural. Dalam kondisi ini, pendidikan memang penting, tetapi tidak cukup. Sekolah Rakyat hanya menyentuh salah satu sisi dari kompleksitas berbagai persoalan di negeri ini.

Apalagi di tengah realitas lapangan kerja yang makin sempit dan persaingan yang ketat, bahkan lulusan universitas sekalipun kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak.

Anak-anak keluarga miskin yang masuk Sekolah Rakyat tetap berisiko besar masuk dalam lingkaran pengangguran terselubung (underemployment) jika sistem ekonomi tidak menyediakan ruang bagi mereka. Pasca pandemi, maraknya PHK dan meningkatnya digitalisasi tanpa inklusi keterampilan membuat pasar kerja semakin tidak ramah bagi kelompok rentan.

Sekolah Rakyat tidak didesain untuk menjawab tantangan pasar kerja modern, terutama jika tidak diiringi dengan pelatihan keterampilan, pendampingan usaha, dan akses pada modal atau jaringan ekonomi produktif.

Kemiskinan yang mengakar bukanlah sekadar kegagalan teknis. Semua itu merupakan konsekuensi langsung dari penerapan sistem kapitalisme, yang menjadikan negara hanya sebagai regulator kepentingan oligarki, bukan sebagai pengurus urusan rakyat. Dalam sistem kapitalisme, peran negara ditekan seminimal mungkin agar mekanisme pasar bisa berjalan "bebas".

Peran Negara

Negara tidak lagi menjadi pengelola kekayaan milik umum demi kemaslahatan publik, melainkan bertransformasi menjadi penjamin stabilitas bagi para pemodal besar. Akibatnya, kekayaan hanya berputar di tangan segelintir elit, aset negara diprivatisasi, layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan menjadi komoditas yang hanya bisa diakses jika punya uang.

Dengan membiarkan tumbuhnya Sekolah Rakyat, negara secara tidak langsung mengakui bahwa sebagian warganya telah dikeluarkan dari sistem pendidikan formal. Negara hanya turun tangan saat warga tidak mampu masuk sekolah negeri atau swasta.

Padahal, tanggung jawab negara dalam UUD 1945 adalah menjamin pendidikan yang layak bagi semua, bukan sekadar menjadi fasilitator alternatif ketika rakyat terpinggirkan oleh sistem.

Hari ini masih banyak masalah pada sekolah negeri, baik terkait kualitas pendidikan maupun sarana dan prasarana yang belum memadai, kecukupan dan kualitas tenaga pendidik dan lain-lain. Tampaklah SR hanya sekadar solusi tambal sulam yang tidak menyelesaikan persoalan masyarakat. Juga kebijakan populis seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tidak menyentuh akar masalah.

Krisis yang terjadi hari ini bukan karena kurangnya program bantuan, tetapi karena sistem yang rusak di hulunya. Selama sistem kapitalisme tetap menjadi fondasi pengelolaan negara, maka rakyat kecil akan terus tertindas.

Baca juga: Pro Kontra Pembangunan Sekolah Rakyat

Paradigma Islam

Dalam pandangan Islam, kemiskinan bukan hanya masalah akses pendidikan, tetapi merupakan persoalan multidimensi. Kemiskinan berakar pada ketidakadilan sistemik, distribusi kekayaan yang timpang, serta lemahnya tanggung jawab sosial kolektif. Oleh karena itu, Sekolah Rakyat sebagai bentuk intervensi pendidikan, meskipun bernilai positif, bukanlah solusi utama dalam mengatasi kemiskinan menurut Islam.

Dalam Islam, negara sebagai pengurus rakyat, bukan pelayan pemilik modal. Negara yang akan mengelola kekayaan alam untuk rakyat, menjamin pendidikan dan kesehatan gratis. Selain itu menjamin pekerjaan dan penghidupan layak bagi semua warganya.

Tanpa perubahan sistem, Sekolah Rakyat hanya akan jadi perahu kecil dalam badai besar. Kita butuh arah baru. Sistem baru yang benar-benar menempatkan rakyat sebagai prioritas utama. Semua ini akan terwujud dengan penerapan syariat Islam secara kaffah.

Jadi, marilah bersama-sama kita upayakan dengan segenap perjuangan dan pengorbanan demi tegaknya Islam kaffah di bumi tercinta ini. Jika bukan kita saat ini yang memperjuangkan, maka siapa lagi? Wallahualam bissawab. []

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Susianti Kontributor NarasiLiterasi.Id
Previous
Sindikat Adopsi Ilegal Bukti Ketidakhadiran Negara
Next
Kurikulum Akidah Islam Mencetak Generasi Faqih Fiddin
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram