Sekolah Rakyat: Solusi Tambal Sulam Kapitalisme

Sekolah rakyat solusi tambal sulam

Sekolah Rakyat tampak menjanjikan di permukaan. Nyatanya pemerintah hanya mengurusi masyarakat miskin secara parsial, tanpa memperbaiki sistem pendidikan nasional secara menyeluruh.

Oleh. Dhini Sri Widia Mulyani
Kontributor NarasiLiterasi.Id

NarasiLiterasi.Id--Kemiskinan masih menjadi persoalan utama bangsa Indonesia. Data Kementerian Sosial mencatat bahwa angka putus sekolah di kalangan masyarakat miskin dan miskin ekstrem masih sangat tinggi. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab berlanjutnya kemiskinan antargenerasi. Menyikapi hal ini, pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto meluncurkan program Sekolah Rakyat (SR) sebagai solusi strategis untuk memutus mata rantai kemiskinan melalui jalur pendidikan.

Program ini ditujukan untuk anak-anak dari keluarga tidak mampu yang selama ini sulit mengakses pendidikan berkualitas. Pemerintah mengklaim bahwa Sekolah Rakyat hadir untuk mengisi kekosongan dan menjadi jalan keluar dari lingkaran kemiskinan. Menteri Sosial, Tri Rismaharini, mengklaim program ini bisa membantu anak-anak miskin untuk mengakses pendidikan yang akan mengantarkan mereka menjadi orang sukses (detik.com, 23-07-2025). Namun, apakah Sekolah Rakyat benar-benar merupakan solusi yang menyentuh akar persoalan?

Menuai Banyak Kritik

Alih-alih menjadi solusi menyeluruh, implementasi SR justru menuai berbagai kritik dan menimbulkan persoalan baru. Salah satunya adalah pengambilalihan fasilitas pendidikan yang telah ada. Di Bandung, Gedung SLBN A Pajajaran yang khusus menangani anak-anak dengan disabilitas netra justru diambil alih untuk dijadikan Sekolah Rakyat, sehingga proses belajar siswa terganggu (pikiran-rakyat.com, 23-07-2025).

Di sisi lain, pendidikan formal pun belum dapat menjangkau semua kalangan. Banyak sekolah negeri kekurangan guru, sarana prasarana minim, serta kurikulum yang kaku dan kurang adaptif dengan kebutuhan hidup peserta didik. Pendidikan nonformal, meski cukup berkembang melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), kursus, dan pelatihan masyarakat, belum sepenuhnya didukung dengan sistem pembiayaan dan pengakuan yang memadai. Pemerintah cenderung fokus pada pendidikan formal, sementara pendidikan nonformal yang fleksibel dan berbasis masyarakat hanya jadi pelengkap.

Kritik lainnya datang dari sisi substansi. SR tampaknya hanya menjawab persoalan akses, bukan kualitas pendidikan. Padahal, sekolah-sekolah negeri pun saat ini masih menghadapi berbagai persoalan, seperti minimnya sarana prasarana, kurangnya tenaga pendidik berkualitas, serta kurikulum yang belum menyentuh keterampilan hidup dan kesiapan kerja.
Lebih jauh, kemiskinan tidak bisa diatasi hanya dengan membuka akses pendidikan. Akar dari kemiskinan saat ini adalah kemiskinan struktural, akibat diterapkannya sistem kapitalisme yang melahirkan ketimpangan ekonomi, monopoli sumber daya oleh segelintir elit, dan minimnya perlindungan negara terhadap rakyat kecil.

Selain itu, pendidikan formal pun belum dapat menjangkau semua kalangan. Banyak sekolah negeri kekurangan guru, sarana prasarana minim, serta kurikulum yang kaku, dan kurang adaptif dengan kebutuhan hidup peserta didik. Pendidikan nonformal, meski cukup berkembang melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), kursus, dan pelatihan masyarakat. Namun, belum sepenuhnya didukung dengan sistem pembiayaan dan pengakuan yang memadai. Pemerintah cenderung fokus pada pendidikan formal, sementara pendidikan nonformal yang fleksibel dan berbasis masyarakat hanya jadi pelengkap.

Sekolah Rakyat: Solusi Populis yang Tambal Sulam

Program Sekolah Rakyat bisa dikatakan sebagai kebijakan populis yang bersifat tambal sulam. Program ini tampak menjanjikan di permukaan, tetapi tidak menyentuh akar persoalan. Pemerintah hanya mengurusi masyarakat miskin secara parsial, tanpa memperbaiki sistem pendidikan nasional secara menyeluruh.
Di sisi lain, angka pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK) masih tinggi, dan lapangan kerja baru tidak banyak tersedia. Maka, meskipun anak-anak dari keluarga miskin dapat mengakses pendidikan melalui SR, tidak ada jaminan mereka akan memperoleh pekerjaan setelah lulus. Ini membuktikan bahwa pendidikan tanpa dukungan sistem ekonomi-politik yang berpihak kepada rakyat hanya akan menghasilkan “pengangguran terdidik”.

Baca juga: Pro Kontra Pembangunan Sekolah Rakyat

Islam Menawarkan Solusi Hakiki

Berbeda dengan kapitalisme yang menjadikan negara sekadar regulator bagi oligarki, Islam memposisikan negara sebagai ra’in (pengurus urusan rakyat) dan junnah (pelindung rakyat). Rasulullah ﷺ bersabda:
"Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam sistem Islam, pendidikan adalah hak seluruh rakyat, tanpa melihat status ekonomi mereka. Negara bertanggung jawab menyediakan pendidikan berkualitas secara gratis untuk seluruh jenjang, tanpa diskriminasi. Allah Swt. berfirman:
Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Lebih dari itu, Islam menjadikan pendidikan sebagai sarana membentuk kepribadian Islam dan membekali rakyat dengan keterampilan hidup, bukan sekadar pencetak tenaga kerja bagi pasar. Dalam sistem Khilafah Islam, negara akan menjamin ketersediaan guru, sarana dan prasarana yang memadai, serta kurikulum berbasis akidah Islam yang terpadu.

Pendanaan pendidikan dalam Islam bukan berasal dari utang luar negeri atau investasi asing, melainkan dari sumber-sumber pemasukan negara yang sah seperti fai, kharaj, ghanimah, zakat, jizyah, dan kepemilikan umum seperti hasil tambang, minyak, dan gas. Dengan struktur ekonomi Islam yang kokoh, negara mampu menyediakan pelayanan pendidikan dan kesehatan terbaik untuk rakyat secara merata dan berkelanjutan.

Selain itu, Islam juga menjamin kesejahteraan dan lapangan kerja bagi rakyatnya. Islam tidak menyerahkan urusan ekonomi kepada mekanisme pasar bebas seperti dalam kapitalisme. Negara bertanggung jawab memastikan distribusi kekayaan yang adil dan membuka akses terhadap kepemilikan lahan, modal, serta teknologi bagi seluruh warga negara.

Kebutuhan akan Sistem Alternatif yang Menyeluruh.

Realitas saat ini menunjukkan bahwa selama sistem kapitalisme tetap digunakan sebagai dasar kebijakan. Maka setiap program yang diluncurkan hanya akan menjadi tambalan sementara. Kemiskinan tetap akan beranak-pinak, dan rakyat hanya menjadi objek belas kasihan negara, bukan subjek utama pembangunan.

Oleh karena itu, solusi hakiki terhadap problem kemiskinan dan kebodohan adalah perubahan sistemik, bukan sekadar program insidental. Hanya dengan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam institusi negara, semua persoalan mendasar seperti pendidikan, pengangguran, dan ketimpangan sosial dapat diatasi dari akarnya.

Sekolah Rakyat mungkin terlihat sebagai bentuk kepedulian negara terhadap rakyat miskin. Namun, tanpa perubahan sistemik, SR hanya akan menjadi solusi parsial yang menambah daftar panjang kebijakan tambal sulam. Sementara kemiskinan dan ketimpangan akan tetap bercokol selama negara tidak menjalankan peran sejatinya.
Kini saatnya kita berpikir ulang, apakah kita hanya butuh program jangka pendek seperti SR, atau kita siap memperjuangkan sistem Islam yang menjamin pendidikan, kesejahteraan, dan keadilan secara menyeluruh?

Wallahualam bissawab. []

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Dhini Sri Widia Mulyani Kontributor Narasiliterasi.id dan Pegiat Literasi Kabupaten Bandung
Previous
Palestina Butuh Khilafah, Bukan Retorika Kemanusiaan
Next
Ada Apa dengan Kurikulum Cinta?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram