
Kelangkaan energi telah menjadi masalah di dunia saat ini, diikuti dengan kerusakan lingkungan akibat sistem kapitalisme membolehkan siapa saja mengeksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran demi memperoleh materi sebanyaknya.
Oleh. Puput Ariantika, S.T.
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)
NarasiLiterasi.Id--Beberapa waktu lalu Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyampaikan tentang proyek etanol 10 persen (E10). Proyek ini telah disetujui oleh presiden dan akan segera dimulai. Proyek ini juga merupakan lanjutan dari proyek energi bersih sebelumnya, proyek biodiesel. (Liputan6.com, 7-10-2025)
Sebenarnya proyek E10 dilaksanakan dengan tujuan agar Indonesia bisa mengurangi impor BBM, menjadikan minyak bersih, serta menjaga lingkungan. Selain itu, proyek ini juga diharapkan mampu membuat Indonesia lebih mandiri dari sisi pemenuhan energi. Karena diketahui bersama besarnya kebutuhan BBM dalam negeri masih sangat bergantung pada impor, yakni sebesar 1,6 juta barel per hari.
Proyek Berkiblat ke Barat
Penggunaan etanol sebagai campuran BBM bukanlah hal baru. Hal ini telah dipraktikkan oleh negara-negara Barat. Mereka bukan hanya mencampurkan 10 persen, tetapi sudah mencapai 85 persen etanol untuk jenis kendaraan tertentu. Salah satunya Brasil yang berhasil menerapkan E27 sekaligus menjadi negara pelopor yang melakukan pencampuran bensin dengan etanol. Tak kalah dari. itu, India juga merencanakan penggunaan E20 pada tahun 2030 mendatang demi terwujudnya transportasi rendah karbon.
Keberhasilan negara-negara itu menjadi kiblat pemerintah Indonesia untuk melakukan pencampuran bensin dengan etanol 10 persen. Namun, penerapan E10 ini tidaklah mudah,mengingat harga etanol juga tidak murah dan jika ingin digunakan sebagai campuran BBM, butuh etanol dalam jumlah yang besar. Dari sini bisa dilihat, apakah benar kebijakan ini merupakan langkah untuk mengurangi impor dan menuju energi bersih? Atau hanya basa-basi penguasa demi proyek lain yang ada dibaliknya?
Basa-basi Pengurangan Impor
Sumber etanol yang akan digunakan untuk campuran BBM berasal dari tebu dan singkong. Kebijakan ini dinilai akan mengurangi impor, menekankan emisi kendaraan, mendorong investasi energi terbarukan, serta membantu petani tebu dan singkong mendongkrak perekonomian mereka. Namun, perlu diingat, ada banyak tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah dalam melaksanakan kebijakan E10, di antaranya:
Pertama, keran impor tidak bisa dikurangi.
Secara teori, keran impor bisa dihentikan, tetapi secara praktiknya tidak bisa dihentikan. Butuh waktu yang lama dan kemandirian negara agar bisa menghentikan keran impor BBM. Apalagi kebutuhan BBM Indonesia bisa mencapai 1,3-1,6 juta barel per hari, sedangkan Indonesia hanya mampu memproduksi BBM mentah sebanyak 600-700 ribu barel per hari. Artinya, jumlah BBM masih kurang sekitar 700-900 ribu barel per hari. Kekurangan inilah yang dipenuhi dengan impor.
Kedua, ketersediaan bahan baku etanol.
Jika E10 diterapkan, pemerintah membutuhkan kurang lebih 890 ribu kiloliter etanol per tahun, sedangkan produksi etanol dalam negeri hanya sebesar 60 ribu kiloliter per tahun. Ada banyak lagi jumlah etanol yang harus dipenuhi oleh pemerintah demi tercapainya tujuan penggunaan E10. Kekurangan bahan baku ini yang menjadi perhatian khusus pemerintah untuk dipenuhi. Langkah yang dipilih adalah membangun pabrik etanol dengan bahan baku tebu dan singkong yang telah dilaksanakan sebelumnya. Berharap tahun 2026 kebijakan E10 bisa dilaksanakan.
Ketiga, infrastruktur distribusi dan biaya produksi.
Tantangan lain muncul dari infrastruktur distribusi dan biaya produksi. Mengingat pemerintah menargetkan produksi etanol berasal dari tebu Papua. Butuh biaya yang cukup besar untuk merealisasikan proyek E10 agar bisa didistribusikan ke seluruh Indonesia.
Keempat, dampak harga BBM.
Harga etanol lebih mahal dibanding harga impor BBM secara langsung. Jika produksi etanol rendah, maka harga BBM bisa naik. Sebaliknya, apabila produksi etanol dalam jumlah yang sangat besar, kemungkinan bisa menekan biaya produksi etanol sehingga tidak mempengaruhi harga BBM.
Kelima, konflik kebutuhan pangan dan energi.
Kebijakan E10 akan direalisasikan dengan menggunakan etanol berbahan baku tebu dan singkong. Kedua bahan ini merupakan bahan pangan yang jika digunakan untuk memproduksi etanol dalam jumlah besar, tentu akan mengganggu keseimbangan pangan.
Tantangan besar ini harus dihadapi oleh pemerintah demi kebijakan E10. Walaupun secara teori sangat mungkin untuk dilakukan, tetapi pemerintah harus siap mengucurkan banyak dana untuk merealisasikannya. Jika tidak, kebijakan itu berpotensi berhenti di wacana saja.
Baca juga: Minyak Oplosan Menyapa, Bumi Kehilangan Berkah
Kepentingan Proyek E10
Setiap kebijakan dalam negara kapitalisme tak terlepas dari yang namanya kepentingan, baik dari penguasa sekaligus pengusaha atau kepentingan dari pengusaha yang dekat dengan penguasa. Begitu pun kebijakan E10 yang akan dilaksanakan pada tahun 2026. Sebagaimana diketahui bahan baku yang digunakan untuk memproduksi etanol untuk pencampuran BBM bersumber dari tebu dan singkong, tetapi tebu lebih utama menjadi fokus sebagai bahan baku. Hal ini terlihat dari rencana pemerintah yang akan menjadikan proyek tebu di Papua sebagai sumber bahan baku utama pembuatan etanol.
Secara teknologi, pengolahan tebu bisa dilakukan secara langsung, yakni menjadi produk gula dan etanol. Teknologi yang digunakan juga tidak sederhana karena membutuhkan dua proses produksi sekaligus. Dalam hal ini menggabungkan dua pabrik menjadi satu, tetapi pemerintah Indonesia tidak siap dari segi apa pun untuk melaksanakannya kedua proses produksi ini secara langsung. Butuh biaya yang sangat besar, kesiapan yang matang dari semua pihak, termasuk pakar, dan tenaga teknik. Jadi, yang bisa direalisasikan saat ini adalah memproduksi salah satu produk saja.
Sebelumnya, tujuan proyek tebu di Papua dilakukan demi mewujudkan swasembada gula di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, tujuan beralih menjadi produksi etanol demi pengurangan impor. Pemerintah menilai proyek etanol lebih menguntungkan secara global dari pada gula. Pemerintah bisa menghemat devisa impor BBM dan mendapatkan nilai tambah di mata dunia karena bisa ekspor energi hijau. Ditambah lagi, proyek tebu Papua diperkirakan panen pada tahun 2026. Jadi, sangat pas dengan rencana pemerintah untuk melaksanakan kebijakan E10.
Para investor juga lebih tertarik berinvestasi di bidang bioetanol dibandingkan gula. Selain pasar gula yang sudah dikendalikan oleh para importir besar, politik pangan juga sering tumpang tindih. İtulah sebabnya investasi di bidang energi lebih menjanjikan.
Indonesia tidak Siap
Pabrik gula di Indonesia adalah pabrik gula tua yang beroperasi menggunakan teknologi kolonial, sehingga tidak mampu diintegrasikan dengan unit etanol. Butuh pabrik gula baru dengan metode modern agar bisa memproduksi gula dan etanol secara bersamaan. Pilihan lain, pemerintah bisa membangun pabrik baru untuk memproduksi etanol saja. Jika kedua jenis pabrik terpisah, tentu membutuhkan bahan baku yang sangat banyak. Tebu sebagai bahan baku utama akan diperebutkan. Alhasil, tidak ada satu pun program yang terlaksana secara maksimal.
Solusi lain untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, pemerintah merencanakan pembukaan lahan baru. Tentu, ini akan merambah lahan hutan yang lebih besar lagi, maka isu lingkungan akan menjadi masalah utama. Kebijakan yang harusnya menjadi solusi malah menimbulkan masalah baru bagi alam.
Selain tidak siap dari sisi pemenuhan bahan baku, Indonesia juga tidak siap dari sisi kendaraan. Banyak kendaraan bermotor milik rakyat masih menggunakan mesin yang tidak tahan terhadap korosi. Di mana etanol bersifat higroskopis yang bisa menyebabkan endapan air di dalam tangkikendaraan. Akibatnya, banyak kendaraan yang akan rusak. Jika pemerintah tetap bersikeras menerapkan E10 tanpa diikuti kebijakan lain yang saling berhubungan, ini akan menimbulkan permasalahan yang lebih menyengsarakan rakyat. Jadi, muncul pertanyaan di benak kita, sebenarnya untuk siapa kebijakan E10 itu dilaksanakan? Dan klaim pengurangan impor melalui E10 masih sulit tercapai tanpa kesiapan utuh secara nasional.
Pemenuhan Energi Dalam Islam
Kelangkaan energi telah menjadi masalah di dunia saat ini, diikuti dengan kerusakan lingkungan. Semua ini terjadi karena sistem kapitalisme membolehkan siapa saja mengeksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran demi memperoleh materi sebanyak-banyaknya. Setelah semuanya mengalami kerusakan, barulah mulai berpikir untuk memperbaiki lingkungan dengan beralih menggunakan energi yang ramah lingkungan, salah satunya adalah penggunaan etanol. Kondisi ini jelas menunjukkan kegagalan sistem kapitalisme dalam menjaga keseimbangan alam. Oleh karena itu, Islam menawarkan solusi yang khas dalam pengelolaan energi.
Dalam Islam sumber daya alam akan digunakan sesuai kebutuhan. Alam tidak akan dieksploitasi secara besar-besaran demi keuntungan segelintir orang. Mengingat dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk mengelola sumber daya alam, bukan pihak swasta apalagi diserahkan kepada pihak asing. Islam juga menetapkan bahwa sumber daya alam adalah harta milik umum yang hasil pengelolaannya akan dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat.
Jika terjadi kelangkaan sumber daya alam, seperti minyak bumi, Islam akan menyelesaikan masalah sesegera mungkin dengan mengadakan energi terbarukan sebagai energi pengganti. Namun, dalam proses pembuatan energi terbarukan, tentu tidak akan menimbulkan masalah baru. Negara akan berdiskusi dengan para ahli yang benar-benar paham tentang energi terbarukan. Negara juga akan siap memfasilitasi terkait kebijakan energi terbarukan tersebut tanpa harus menyerahkannya pada pihak investor. Hal yang paling diutamakan dalam Islam adalah segala penelitian yang dilakukan semata-mata demi kesejahteraan rakyat, bukan pengusaha atau pun penguasa.
Sebagaimana sejarah telah mencatat, banyaknya penemuan kaum muslim yang semuanya membawa kemaslahatan bagi umat terdahulu dan umat di masa sekarang. Misal, penemuan konsep pesawat terbang oleh Abbas Ibnu Firnas pada 875 M telah menjadikan dunia mudah dijelajahi. Penemuan optik oleh Ibnu Al-Haitam yang menjadi cikal bakalnya kamera di dunia modern saat ini.
Khatimah
Kelangkaan BBM terjadi karena keserakahan manusia yang hidup dalam kapitalisme hari ini. Hal ini telah diingatkan Allah dalam firman-Nya, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS. Ar-Rum: 41)
Berdasarkan ayat itu, kaum muslim seharusnya menyadari agar kembali kepada aturan Allah Swt., yaitu Islam. Hanya Islam yang mampu menjamin keseimbangan alam dan kesejahteraan masyarakat bumi. Namun, Islam akan tampak jika diterapkan dalam sebuah konstitusi bernama Khilafah Islamiah. Hanya dengan penerapan Islam secara keseluruhan, pengelolaan energi akan benar-benar berpihak kepada rakyat dan menjaga kelestarian alam. Wallahu a'lam bishawab.[]
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com



















Seperti Jaka Sembung lagi pusing kalau mengikuti kebijakan negara. Mimpi banyak tapi keteteran di sana sini. Terus tidak punya duitnya. Repot jadinya..