Ketika kita sudah berikhtiar mengikuti kebiasaan Rasul tapi masih sakit itu karena qadha Allah yang berlaku.
Oleh. Ni’matul Afiah Ummu Fatiya
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Kontributor Narasiliterasi.id-“Iya, Mas, kalau kebiasaan mandi sebelum Subuh yang Mas Ami lakukan itu sudah bagus, mengikuti Rasulullah, insyaalah itu jadi pahala. Namun, kalau Mas Ami sakit itu sudah qadha Allah, manusia hanya bisa ikhtiar tapi Allahlah yang menetapkan. Bukankah Allah telah berfirman dalam Al-Qur'an surah Al-Hadid ayat 22, “ Tiada suatu bencana yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan Dia telah menulis dalam kitab (lauhulmahfuz) sebelum Kami menciptakannya,” ujarku mencoba menjelaskan supaya dia paham.
Rabu, 10 Agustus 2022
Obrolan dengan Mas Ami
Hari ini aku mengisi kajian ibu-ibu di sekitar rumah, membahas tema tentang ikhtiar manusia dan qadha Allah. Setelah anak-anak beranjak remaja aku memang lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengajar ibu-ibu dan anak-anak mengaji. Anak pertamaku laki-laki, kini duduk di kelas 8 dan anak kedua perempuan duduk di kelas 7. Keduanya sekolah plus mondok di tempat yang sama. Sementara anak ketiga juga laki-laki masih duduk di bangku SD. Beberapa hari sebelumnya, tepatnya Minggu siang anak pertamaku, sebut saja Mas Ami, tiba-tiba meneleponku lewat HP kakak kelasnya. Sejak naik kelas 8 memang ada aturan tidak boleh ada peneleponan lewat HP ustaz kamarnya. Jadi kami tidak pernah lagi berkomunikasi.
“Assalamualaikum, Umi, bagaimana kabarnya?”
“Waalaikumussalam. Alhamdulillah sehat. Mas Ami sehat juga, 'kan?”
“Alhamdulillah, Umi, Mas Ami sehat. Mas Ami selalu ngikutin apa yang Umi bilang, misalnya mandi pagi sebagai ikhtiar tetap sehat, tapi sekarang Mas Ami lagi gak mood makan.” Begitu ucapnya di seberang telepon.
“Kenapa, Mas?” tanyaku mulai ada rasa khawatir. "Makan yang banyak, ya, supaya sehat, kuat, dan bisa beraktivitas lagi. Kita, 'kan diperintahkan Allah untuk berikhtiar sesuai kemampuan. Nanti kalau malas makan gampang sakit,” lanjutku menasihati.
Kabar dari Pondok
Sampai di situ obrolan kami berhenti dan tidak ada kabar selanjutnya dari pondok sampai hari Rabu siang itu. Begitu selesai kajian, sekitar pukul 11.30 aku tiba di rumah. Setelah masuk rumah aku langsung meraih HP yang sedang di-charge. Layar HP seketika menyala begitu aku pencet tombol di bagian samping, sederet notifikasi pesan WA bermunculan. Netraku seketika menangkap satu chat yang menarik perhatianku. Sebuah pesan dari ustaz di pondok anakku. Tanpa pikir panjang langsung saja aku buka chat-nya.
“Assalamualaikum. Ummu, afwan mau mengabarkan ananda Fahmi sakit dan sudah dibawa ke klinik, tapi menurut dokter yang memeriksanya terinfeksi virus. Maka disarankan untuk dirawat di rumah supaya tidak menularkan kepada santri lain.”
“Bisakah dijemput hari ini?”
Deg. Langsung perasaanku tidak karuan, antara sedih karena mendapat kabar seperti itu dan bingung karena suami posisinya sedang tidak ada di rumah, bahkan di luar kota, di Subang. Padahal kemarin Minggu saat menelepon, anakku menyampaikan rencananya ingin pulang dulu hari Senin. Namun entah kenapa tidak jadi.
“Waalaikumussalam. Ustaz, iya tapi maaf kami tidak bisa menjemput hari ini karena Abinya Fahmi sedang berada di Subang, kemungkinan besok pagi baru bisa jemput,” balasku.
Qadha Allah Menguji Keimanan
Sejenak kuletakkan ponsel, kucoba menarik napas panjang. Ada sedikit lega setelah kukeluarkan napas dengan perlahan. Teringat satu bulan yang lalu, saat itu di grup wali santri heboh karena ada beberapa anak santri yang tidak kebagian makan katanya. Banyak komentar bermunculan yang sebagian besar menyalahkan pondok, kalau anak sakit gara-gara tidak makan bagaimana. Bahkan ada yang langsung ingin memindahkan sekolah anaknya. Sementara aku hanya diam menyimak, tidak ikut berkomentar khawatir salah.
Sebenarnya dalam hati ingin ikut berkomentar bahwa ketika sudah menyerahkan anak kita ke pondok maka kita harus percaya sepenuhnya ke pondok. Pondok pasti sudah melakukan upaya terbaik untuk para santrinya. Manusia hanya berikhtiar, selebihnya serahkan kepada qadha Allah.Tapi tentu saja hal itu hanya aku utarakan kepada suami. Kami memang sependapat, sudah berazam menyerahkan semua penjagaan dan perlindungan anakku kepada Allah. Apa pun yang terjadi sudah qadha Allah. Dan mungkin Allah ingin menguji keimanan kami.
Pikiranku terus melayang, selama satu tahun di pondok anakku memang belum pernah sakit. Selama ini ia memang selalu melakukan apa yang aku nasihatkan termasuk mandi pagi sebelum subuh, sebagai ikhtiar mengikuti sunah Rasul. Jadi inilah kabar pertama dari pondok bahwa anakku sakit dan hal ini cukup membuat hatiku ketar-ketir meski berusaha tenang.
Qadha Allah Pasti Terbaik
‘Apa aku jemput sendiri saja, ya,' gumamku dalam hati.
Namun, kalau aku nekat menjemput sendiri naik motor, perjalanan Tangerang-Bogor bukanlah jarak yang dekat untuk ditempuh. Kalau mau minta tolong, minta tolong siapa. Antara sedih dan bingung harus bersikap karena saat itu aku tidak punya uang kecuali untuk makan sehari-hari. Sewaktu suami mau berangkat ke Subang, ia memang tidak memberi uang. Suamiku hanya meninggalkan sisa dagangan berupa telur dan minyak. Maka aku berpikir untuk membuat donat dan menitipkan di warung–warung supaya bisa bertahan hidup. Setelah dipertimbangkan masak-masak keputusan akhirnya bahwa aku harus menelepon suami. Aku akan mengabarkan kalau anak sakit dan harus segera dijemput, meski terbayang olehku suami pasti juga bingung karena pasti tidak punya uang juga.
Tepat jam 12 malam suami tiba di rumah.
“Bi, kok jalan kaki?” tanyaku heran karena tidak mendengar bunyi kendaraan berhenti.
“Iya, duitnya habis, jadi jalan kaki dari Oja. Tadi pinjam Aang Rp150 ribu pas buat ongkos sampai Oja,” jawabnya jujur.
Sreset… seperti ada yang menggores di dalam hatiku, meski entah di sudut yang mana, tetapi terasa perihnya. 'Ingat qadha Allah, apa pun itu, pasti terbaik untuk hamba-Nya,' ucapku dalam hati.
“Ya sudah kita tidur saja besok habis Subuh ke Bogor.”
“Ada makanan tidak? Laper …” tanya suami sambil mengelus perut pertanda memang sedang lapar.
“Oh, iya ada tapi hanya nasi, lauknya habis,” jawabku.
Bergegas aku ke dapur mengambil sepiring nasi tanpa lauk dan menyodorkannya ke hadapan suami yang langsung memakannya.
Berjumpa dengan Ananda
Keesokan harinya, selesai salat Subuh kami berangkat ke Bogor dengan mengendarai motor. Alhamdulillah jalanan masih sepi sehingga kami sampai di pondok sekitar pukul 07.30. Perjalanan Tangerang-Bogor hanya memakan waktu 2 jam kalau lancar.
Setelah menemui satpam dan mengutarakan maksud kedatangan kami, kami dipersilakan menunggu di teras masjid. Sambil menunggu anakku keluar, aku pun pergi ke tempat akhwat dulu untuk menemui adiknya yang baru sebulan di pondok. Aturannya sih anakku belum boleh dijenguk karena belum 40 hari. Itu adalah aturan umum hampir di setiap pondok. Ketika memondokkan anak, maka belum boleh dihubungi atau dijenguk kecuali setelah 40 hari. Itu sebagai ikhtiar untuk membentuk kebiasaan baru atau menyesuaikan diri dengan lingkungan pondok.
Tidak lama menunggu, kulihat seorang gadis remaja berjalan menuruni anak tangga dengan perlahan. Wajahnya menyiratkan kesedihan. Segera kuraih tangannya dan kami pun berpelukan melepaskan kerinduan.
“Umi …” ucapnya lirih. Dari nada suaranya, aku tahu ia berusaha menahan tangis.
“Sabar, ya. Iya (panggilan kesayangannya) harus kuat, biar jadi anak salihah,” ucapku sambil mengelus bahunya. Sementara Fatiya hanya diam sambil berlinang air mata.
Setelah memberi sedikit nasihat dan motivasi serta mengabarkan kalau kakaknya sakit, aku pun kembali ke tempat ikhwan. Di teras masjid, Mas Ami sudah bersiap-siap. Tubuhnya yang kurus berbalut kaos dan jaket abu-abu. Segera kuraih tubuhnya, kupeluk, dan tidak terasa air mata menetes menyaksikan kondisinya. kulitnya menghitam mungkin pengaruh panas badannya. Bahkan kulit di area wajah, bibir, sampai telinga mengelupas.Setelah pamit dengan ustaz kamarnya, kami pun pergi meninggalkan pondok tanpa menemui adiknya lagi.
Cerita Mas Ami
Sepanjang perjalanan meski sedang sakit Mas Ami terus bercerita tentang kegiatannya selama di pondok sampai bagaimana dia sakit. Menurut cerita dia, ustaz kamar yang sekarang orangnya cuek, kurang perhatian, tidak seperti yang sebelumnya. Memang yang kurasakan juga begitu. Kalau dulu ustaznya sering mengabarkan kondisi anak-anak, kegiatan mereka, tetapi kalau yang sekarang hampir tidak pernah. Bahkan anakku sakit pun justru ustaznya yang dulu yang peduli. Beliau mendatangi dan menanyakan kenapa Ami. Dan akhirnya Ami pun dibawa ke klinik oleh ustaz kamarnya setelah diberitahu kondisinya yang sakit.
Padahal anakku sudah bilang beberapa waktu sebelumnya kalau dia sedang sakit bahkan sampai mengutip hadis. “Ustaz, katanya umat Islam itu bersaudara, ketika yang satu sakit yang lain ikut merasakan sakit,” ujarnya. Mungkin karena saking tidak pekanya sang ustaz.
Begitu banyak cerita yang mengalir dari mulutnya seperti ingin menumpahkan semua yang ia simpan selama ini. Memang itulah Ami, selalu ada kisah yang ia ceritakan kalau sudah bertemu Uminya. Apalagi sudah sebulan tidak bertemu. Aku mendengarkan setiap detail ceritanya sambil memeluk tubuhnya. Ada rasa pilu menyeruak melihat kondisinya. Kuusap-usap bagian belakang kepalanya sambil sesekali aku ciumi.
“Umi, waktu itu 'kan Ustaz Adjih nyuruh kami menulis hobi masing-masing terus dikumpulin, nah, Mas Ami nulis hobinya main game. Kata ustaznya gak pa pa tulis saja, gak bakal dibocorin ke santri yang lain. Pas di kelas dibahas tuh hobi para santri tanpa menyebut namanya. Ada yang hobi baca buku, main bola, menggambar dan lain-lain. Eh ternyata ustaznya keceplosan, kalau ada juga santri yang hobinya main game, misalnya Fahmi,” tuturnya
"Sontak seluruh santri pada teriak 'Huuu' sambil nengok semua ke arah Mas Ami, 'kan jadi malu," lanjutnya.
"Merasa keceplosan terus ustaznya bilang, 'Eh tapi meskipun hobinya main game, tapi Fahmi juga termasuk yang 3 besar lho dalam hal pelajaran'."
Tidak Ada Kekhawatiran
Sampai perbatasan Bogor-Tangerang kami berhenti di warung makan. Selain karena lelah, kasihan juga pasti anakku lapar. Aku pesan nasi plus sayur bayam. Aku suapi dia sampai separuh nasi habis. Sisanya aku habiskan, sayang kalau mau buang-buang makanan.
Tidak berlama-lama di situ, kami segera beranjak melanjutkan perjalanan lagi. Sebelum sampai rumah, kami mampir dulu di Masjid Sepatan yang baru belakangan ini aku ketahui namanya Masjid Al Wustha, kami melaksanakan salat Zuhur. Sampai sekarang, setiap melintasi masjid itu pikiranku selalu terbayang akan sosok Ami. Rupanya itulah terakhir kami singgah di masjid itu bersamanya. Biasanya kami memang sering singgah di masjid itu kalau pas bertepatan waktunya salat, atau di masjid perbatasan Cadas Kotabumi.
Menjelang Asar akhirnya kami sampai juga di rumah setelah meletakkan bawaan berupa baju-baju kotor dan selimut, aku segera ke dapur. Alhamdulillah masih ada stok tepung beras dan gula aren. Kubuatlah bubur sumsum untuk Ami. Tidak lupa aku juga memasak air untuk mandi.
Selesai salat Asar aku menyuapinya dengan bubur sumsum yang tadi dibuat. Setelah minum obat yang diberi dari klinik, aku biarkan dia agar bisa beristirahat. Seperti biasa habis asar aku ke musala untuk mengajar anak-anak mengaji. Malamnya pun, bakda Magrib aku masih mengajar ngaji privat. Tidak ada kekhawatiran dalam hatiku karena merasa kalau Mas Ami sudah makan dan minum obat.
Ngelantur
Begitu pulang dari mengajar les, baru kubuka pintu, suami sudah memberondongku dengan kata-kata.
“Mi, masa tadi Ami ngomong sendiri di kamar, kayak orang lagi ngobrol sama temennya.”
Tanpa menimpali ucapan suami, aku langsung menuju kamar depan melihat kondisi Ami. Kulihat dia terduduk tetapi seluruh tubuhnya ditutupi selimut dari ujung kaki sampai ujung kepala. Segera kusibakkan selimut. Ada rasa takut kalau melihat orang selimutan rapat begitu, jadi terbayang orang meninggal.
“Mas, kenapa ditutupi begitu?”
“Mas Ami lebih nyaman kalau kayak gini, Mi.”
“Kata Abi tadi Mas Ami ngomong sendiri, emang iya?” selidikku.
“Tadi ada temen Mas Ami, Faris datang ke sini.”
“Faris… mana?” tanyaku keheranan sambil melihat sekeliling.
“Iya, 'kan Mas Ami bisa ngomong jarak jauh, Mi, bisa denger apa yang diucapin temen Mas Ami. Nih, sekarang mereka lagi ngomongin Mas Ami.”
“Waduh, tambah ngelantur aja nih,” pikirku.
“Emang ngomongin apa?" lanjutku masih penasaran.
“Mas Ami 'kan punya alat yang dipasang di sini ama di sini,” jawabnya seraya menunjuk ke beberapa bagian tubuhnya seperti lengan, telinga dan kakinya.
Adu Mulut
Tidak melanjutkan pembicaraan lagi, aku buru-buru balik lagi menemui suami di kamar tengah.
“Bi, kayaknya Ami harus dibawa ke puskesmas besok, sekalian tanyain ke dokter yang dulu meriksa dan ngasih obat, khawatir gara-gara obat itu Ami jadi begini.”
Sempat terjadi sedikit adu mulut aku dan suami ketika aku katakan bahwa besok Abi saja yang menemani Ami berobat, aku lelah banget. Tetapi suami malah bilang, “Sama Umi aja.“
Tentu saja ucapannya itu membuat emosiku naik. Kadang ketika badan sudah lelah memang emosi jadi tidak terkontrol. Tidak jarang akhirnya sampai mengungkit-ungkit kekurangan bahkan kesalahan pasangan. Padahal sudah sepuluh tahun yang lalu. Itulah uniknya wanita, multitalenta dan ahli sejarah yang luar biasa, halus perasaannya. Namun, kalau sudah terusik bagai membangunkan macan tidur. Bahkan Rasulullah sampai-sampai berwasiat tentang wanita menjelang ajal beliau.
Malam itu aku tidur di kamar depan menemani Ami. Sepanjang malam meskipun aku tidur tetapi masih dapat kudengar dia terus saja bicara sendiri, hampir tidak tidur sama sekali.
Sebelum azan Subuh berkumandang, aku sudah bangun, menyiapkan sarapan seperti biasa. Hari ini aku tidak mengantar Hasan, anak bungsu kami ke sekolah karena motornya akan dipakai ke puskesmas berobat. Selesai sarapan, aku mengantar Ami ke teras. Di depan rumah tampak abinya sudah siap duduk di atas motor.
Sekitar jam sebelas siang mereka sudah pulang dari puskesmas. Belum sempat aku tanya abinya anak-anak, ia sudah berkata lebih dulu. Ia mengabarkan kalau Ami harus dirawat. Deg ... spontan muncul perasaan tidak karuan dari dalam.
“Mi, siapin berkas-berkas, tadi suruh cek darah dan hasilnya katanya DBD, jadi Ami harus dirawat di RS. Ini dikasih surat rujukan.
“Terus, yang obat itu gimana?”
“Gak pa pa suruh dilanjut katanya.”
“Ya sudah, siapin aja dulu semuanya. Nanti habis salat Jumat langsung ke RS.”
Menulis Surat
Karena waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 dan sudah terdengar suara marbot memberikan pengumuman-pengumuman sebelum pelaksanaan salat Jumat, suami segera mandi lalu berangkat ke masjid untuk Jumatan. Sementara Ami aku suruh salat di rumah saja karena kondisinya makin lemah. Segera kusiapkan berkas-berkas yng mungkin diperlukan terutama KK dan KTP.
“Umi, Mas Ami mau nulis surat.” Tiba-tiba Ami menghampiriku yang masih menyiapkan berkas.
“Nulis surat buat siapa?” tanyaku heran.
“Buat teman Mas Ami. Mas Ami mau minta maaf ke teman-teman kalau ada makanan subhat yang Mas Ami makan. Terus Mas Ami juga suka becandain Furqan. Terus mau minta maaf ke Ustaz Adjih, waktu itu Mas Ami disuruh azan tapi azannya jelek, mau minta maaf dan keridaan ke para ustaz dan Pak Kyai,” katanya.
Aku hanya terdiam tanpa menanggapi sepatah kata pun. Namun segera kuambil note book dan pulpen, lalu aku masukkan ke dalam tas bersama berkas yang lain.
Sakit Itu Qadha Allah, Nak
“Umi, padahal Mas Ami tiap hari sudah bangun jam 3 pagi terus mandi tapi kok masih sakit ya?” tanyanya lagi seperti sebuah protes atas apa yang menimpanya.
Aku sebagai ibunya memang sering menasihati dia. Meski dia anak yang penurut, tetapi sangat kritis. Cara berpikirnya masih melihat fakta apa yang bisa dia indera, itu yang dia simpulkan.
Aku memang pernah mengatakan padanya kalau Rasulullah itu jarang sakit karena Rasulullah punya kebiasaan baik, salah satunya selalu mandi pagi sebelum Subuh. Nah, maka ketika anakku akan mondok dia praktikkan itu. Ini sengaja aku lakukan untuk mengajari bahwa sebagai hamba kewajiban kita adalah menyempurnakan ikhtiar, selebihnya kembalikan pada qadha Allah.
Baca : Pengaruh Kebiasaan dalam Kehidupan
“Iya, Mas, kalau kebiasaan mandi sebelum subuh yang Mas Ami lakukan itu sudah bagus, mengikuti Rasulullah, insyaallah itu jadi pahala. tapi kalau Mas Ami sakit itu sudah qadha Allah, manusia hanya bisa ikhtiar tapi Allahlah yang menetapkan. Bukankah Allah telah berfirman dalam http://Quran surah al hadid ayat 22, “Tiada suatu bencana yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan Dia telah menulis dalam kitab (lauhulmahfuz) sebelum Kami menciptakannya,” ujarku mencoba menjelaskan supaya dia paham.
Tidak lama kemudian Abi pulang dari masjid, tanpa ini itu langsung kami bertiga naik motor. Mas Ami kami apit di tengah. Sementara Hasan, adiknya kami tinggalkan di rumah sendirian. Tujuan kami adalah ke RSUD Tangerang.
'Manusia wajib berikhtiar dan qadha Allah saja yang berlaku.' Aku pun bersenandika. []