Kasus KDRT Beruntun, Islam Jadi Penuntun

KDRT seringkali terkait dengan masalah ekonomi yang menimbulkan stres dalam keluarga. Selain itu, kurangnya pemahaman agama dan budaya patriarki yang keliru.

Oleh. Rukmini
Kontributor NarasiLiterasi.Id

NarasiLiterasi.Id--Polisi akhirnya mengungkap kasus pembunuhan wanita yang jasadnya ditemukan hangus terbakar di wilayah Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang. Pelaku pembunuhan adalah FA (54), suami siri korban. Korban, Ponimah (42) dilaporkan hilang oleh keluarganya sejak 8 Oktober 2025, dan terakhir terlihat bersama pelaku di rumah. Jasad korban ditemukan setelah warga curiga melihat gundukan tanah tak biasa di lahan tebu.

Polisi menangkap FA kurang dari 24 jam setelah penemuan jasad, dan menemukan barang bukti seperti truk kuning, balok kayu, handuk merah, dan pakaian korban. FA mengaku telah menganiaya korban sebelum membakar jasadnya untuk menghilangkan jejak. Polisi masih menyelidiki kasus ini dan menjerat pelaku dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. (beritasatu.com, 16-10-2025)

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi masalah serius yang memerlukan perhatian besar. Angka kekerasan yang terus meningkat menunjukkan bahwa perlindungan hak-hak perempuan di Indonesia masih jauh dari harapan. Dampak dari KDRT sangat signifikan, terutama bagi perempuan dan anak-anak yang menjadi korban, yang dapat mengalami trauma fisik dan psikologis jangka panjang yang mempengaruhi kualitas hidup mereka.

Faktor Penyebab KDRT

Beberapa faktor utama yang menyebabkan KDRT antara lain masalah ekonomi, kurangnya pemahaman tentang nilai-nilai agama, dan budaya patriarki yang keliru. Krisis ekonomi dapat meningkatkan tekanan dan konflik dalam keluarga, yang berpotensi memicu kekerasan. Selain itu, kurangnya pemahaman tentang ajaran agama yang benar dapat menyebabkan perilaku kekerasan. Budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai penguasa dan perempuan sebagai pihak yang lebih lemah juga berkontribusi pada kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.

Kasus KDRT yang dialami oleh Ponimah menjadi sorotan publik dan menambah daftar panjang kasus kekerasan dalam rumah tangga. Kasus ini tidak hanya mencuat karena status sosial pelaku, tetapi juga karena menunjukkan bahwa KDRT dapat menimpa siapa saja, tanpa memandang latar belakang atau status sosial. Hal ini makin menekankan pentingnya reformasi dalam pendekatan pencegahan dan penanganan KDRT secara efektif. Dengan demikian, kita dapat meningkatkan kesadaran dan respons yang tepat untuk melindungi korban dan mencegah kasus serupa terjadi di masa depan.

Kegagalan Sistem Kapitalisme

Penyebab KDRT seringkali terkait dengan masalah ekonomi yang menimbulkan stres dalam keluarga. Selain itu, kurangnya pemahaman agama dan budaya patriarki yang keliru juga berperan penting. Sistem kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari dapat menyebabkan masyarakat hanya menganggap agama sebagai urusan ibadah saja, bukan sebagai pedoman hidup. Hal ini dapat memicu perilaku kekerasan dalam rumah tangga.

Kasus KDRT yang terus berulang menunjukkan kegagalan sistem kapitalisme dalam menyelesaikan masalah ini secara tuntas. Sistem hukum sekuler seringkali tidak efektif dalam memberikan perlindungan dan keadilan bagi korban, karena proses hukum yang rumit dan penegakan hukum yang tidak konsisten. Akibatnya, korban enggan melaporkan kekerasan yang mereka alami.

Program-program pemerintah dan lembaga sosial seringkali tidak efektif dalam menyelesaikan masalah KDRT karena hanya bersifat reaktif dan tidak preventif. Hal ini menyebabkan akar masalah kekerasan tidak teratasi. Dukungan psikologis dan perlindungan hukum yang diberikan juga seringkali tidak cukup untuk memulihkan kondisi korban atau mencegah kekerasan berulang. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendekatan yang lebih komprehensif dan holistik untuk menangani masalah KDRT.

Baca juga: Parental Abduction dan Pengasuhan Anak dalam Islam

Sistem Islam Solusi Hakiki Menangani KDRT

Islam menawarkan solusi komprehensif untuk mengatasi masalah KDRT dengan prinsip-prinsip yang jelas dan tegas. Dalam Islam, kekerasan dalam rumah tangga dilarang keras dan dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan dan kasih sayang yang seharusnya menjadi landasan hubungan suami-istri. Al-Qur'an secara spesifik melarang segala bentuk kekerasan terhadap istri, seperti yang tertuang dalam QS. Al-Baqarah: 231. Dengan demikian, Islam memberikan pedoman yang jelas tentang bagaimana seharusnya suami-istri berinteraksi dan menyelesaikan konflik dengan cara yang damai dan penuh kasih sayang.

Islam menekankan pentingnya ketakwaan dan akhlak mulia dalam membentuk pribadi yang mampu mencegah KDRT. Dengan ketakwaan, individu termotivasi untuk bertindak sesuai dengan ajaran Allah, sementara akhlak mulia, seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, mengajarkan sikap hormat dan kasih sayang dalam keluarga. Nabi Muhammad saw bersabda, "Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya kepada istri-istrinya." (HR. Tirmidzi).

Dalam sistem pemerintahan Islam, negara memiliki peran penting sebagai penegak keadilan dan pelindung hak-hak warga, termasuk perempuan dan anak-anak. Negara bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang aman dan adil, serta memastikan bahwa hak-hak setiap individu, terutama yang rentan, terlindungi. Dengan prinsip-prinsip Islam yang jelas, masyarakat dapat menciptakan keluarga yang harmonis dan mencegah KDRT melalui pendidikan, penegakan hukum yang adil, dan pembinaan akhlak yang baik.

Pendidikan Islam memegang peranan penting dalam membina keluarga yang saling menghormati dan penuh kasih sayang. Melalui pendidikan agama, individu diajarkan nilai-nilai akhlak yang luhur dan tanggung jawab dalam berinteraksi dengan anggota keluarga. Dengan demikian, Islam menawarkan pendekatan komprehensif untuk menciptakan keluarga yang harmonis dan mencegah kekerasan.

Dalam Hadis, Nabi Muhammad saw. menekankan bahwa kekerasan terhadap istri tidak dapat dibenarkan dan pelaku harus menghadapi konsekuensi hukum. Hal ini berfungsi sebagai pencegah dan memberikan perlindungan bagi korban. Islam juga menyediakan jaminan sosial yang kuat untuk melindungi perempuan dan anak-anak dari kekerasan dan ketidakadilan, seperti hak-hak nafkah, perlindungan hukum, dan dukungan komunitas.

Khatimah

Negara Islam bertanggung jawab untuk memastikan bahwa hak-hak ini terlindungi dengan baik, menciptakan lingkungan yang aman dan adil bagi semua individu. Dengan demikian, Islam berkomitmen untuk menciptakan masyarakat yang adil dan penuh kasih sayang.
Wallahualam bissawab.

Ayah Tak Sekadar Tulang Punggung

Ayah berperan tak hanya sekadar sebagai tulang punggung, melainkan juga sebagai pengayom dan pendidik keluarga.


Oleh Arda Sya'roni
Kontributor NarasiLiterasi.Id

NarasiLiterasi.Id--Di era yang konon makin canggih dan modern, mengapa justru makin ramai berita tentang kenakalan remaja. Entah itu tawuran, perundungan, pergaulan bebas, penyimpangan seksual, narkoba hingga pembunuhan. Usut punya usut ternyata ini disebabkan oleh ketidakhadiran ayah dalam kehidupan anak atau dikenal dengan istilah fatherless. Padahal sosok ayah berperan tak hanya sekadar sebagai tulang punggung, melainkan juga sebagai pengayom dan pendidik keluarga.

Ayah mungkin ada, tetapi tidak memainkan perannya dengan baik. Ayah hanya sebagai sumber uang atau hanya sebagai raja yang bertahta dengan titahnya, atau bahkan hanya sebagai eksekutor yang kerap memberi hukuman. Beberapa bahkan menganggap kehadiran ayah di rumah justru sebagai momok yang menghantui, bukan sebagai pribadi yang merangkul dengan kasih.

Dikutip dari Kompas.id, 10-10-2025, dari hasil survei kualitatif pada 16 psikolog klinis di 16 kota di Indonesia, dampak fatherless yang terjadi adalah rasa minder dan emosi/mental yang labil. Hal ini disebut masing-masing oleh sembilan psikolog. Adapun tujuh psikolog menjawab kenakalan remaja. Lima psikolog menyebut sulit berinteraksi sosial dan empat menjawab motivasi akademik rendah sebagai dampak berikutnya.

Akar Penyebab Fatherless

Jika ditelusuri lebih dalam, fatherless di Indonesia berakar dari dua faktor utama, yaitu budaya patriarki dan tekanan ekonomi. Budaya patriarki masih mendominasi masyarakat saat ini. Lelaki dianggap sebagai seorang raja yang bertahta dalam kerajaan yang bernama rumah tangga. Segala titah sang raja wajib didengar dan dilaksanakan, tanpa tapi tanpa nanti. Semua harus tunduk pada titah sang raja. Urusan rumah tangga dan anak tentu bukan urusan raja.

Dalam sisi tekanan ekonomi, sistem kapitalis sekuler yang diterapkan saat ini, tekanan ekonomi adalah sebuah keniscayaan. Kapitalisme yang hanya mendasarkan segala sesuatu pada materi, niscaya menjadikan para ayah hanya disibukkan oleh mencari nafkah. Apalagi di era yang makin sulit saat ini. Biaya pendidikan yang cukup mencekik leher, sembako dan migas yang makin merangkak naik. Belum lagi biaya kesehatan yang justru makin membuat napas kembang kempis. Tentu hal-hal ini membuat para ayah sibuk memutar otak untuk memenuhinya. Ayah terpaksa pergi pagi pulang malam, merantau jauh dari istri dan anak. Bahkan berani ambil jalan pintas dengan berkutat pada yang haram.

Belakangan ramai curhatan di sosial media mengenai kondisi fatherless ini. Respon pun banyak diberikan baik dari mereka para korban fatherless, maupun tanggapan pandangan dari para ahli. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena fatherless ini sudah demikian maraknya.

Fenomena fatherless yang makin marak ini tidak lahir dari ruang hampa, melainkan buah dari penerapan sistem kapitalis sekuler. Jutaan anak mengalami fatherless sebab ketiadaan ayah baik secara biologis maupun psikis. Kehamilan di luar nikah juga menambah daftar panjang fatherless.

Selain itu pemahaman umat saat ini yang jauh dari Islam kaffah menjadikan para ayah ini tidak memahami perannya sebagai qawwam. Para ayah lebih memilih waktu senggangnya untuk melaksanakan hobby, hangout bersama teman, atau bermesraan dengan gawainya daripada membersamai istri dan anaknya.

Tak Ada Fatherless dalam Islam

Dalam pandangan Islam, ayah dan ibu sama-sama memiliki peranan penting dalam keluarga. Ada sebuah ungkapan Arab yang menyatakan, "Al ummu madrasatul 'ulaa wal abu mudiruha", artinya ibu adalah sekolah pertama dan ayah adalah kepala sekolahnya. Dalam Hal ini, ibu berperan sebagai pengasuh, pendidik dan pengatur rumah tangga. Sedangkan ayah adalah sebagai pembuat kurikulum, ke mana pendidikan diarahkan dan ditekankan.

Untuk menunjang keberlangsungan peran kedua orang tua ini, negara dalam Islam turut memfasilitasi dengan mendukung para ayah memperoleh pekerjaan dengan upah layak. Memberi jaminan pemenuhan kebutuhan primer keluarga, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, sandang, pangan, papan. Selain itu juga mengendalikan harga bahan pangan agar terjangkau oleh semua kalangan. Dengan demikian, ayah mempunyai banyak waktu untuk membersamai anaknya.

Baca juga: Negara Meriayah SDA, Pajak tidak Dibutuhkan

Dalil dalam Al-Qur'an

Tak hanya itu, Islam juga mengatur jalur perwalian yang akan menjamin setiap anak memiliki figur ayah, meski mungkin sang ayah telah wafat. Islam memandang peran ayah sangat berpengaruh dalam tingkat IQ (Intellegence Quotient), EQ (Emotional Quotient), dan SQ (Spritual Quotient) anak. Kelak di akherat seorang ayah akan sangat disibukkan oleh pertanggungjawaban atas istri dan anak-anaknya, seperti yang termaktub dalam QS. At Tahrim: 6, "Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan"

Adapun dalam Al-Qur'an juga terdapat 14 ayat yang menyatakan percakapan ayah dan anak, yaitu diantaranya adalah percakapan antara Nabi Ibrahim dan ayahnya (QS. Al Baqarah: 130-133; QS. Al An'am: 74; QS. Maryam: 41-48), Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail (QS. Shaffat:102) , Nabi Hud dan anaknya (QS. Hud: 42-43), Nabi Yakub dan Nabi Yusuf (QS Yusuf: 4-5, 99-100), Nabi Yakub dan anaknya (QS. Yusuf: 11-14, 16-18, 63-67, 81-87, 94-98), Luqman dan anaknya (QS. Luqman 13-19), Syekh Madyan dan anak perempuannya (QS. Qashash: 26).

Sedangkan percakapan ibu dan anak hanya ada di 2 ayat, yaitu percakapan Maryam dan janin Nabi Isa (QS. Maryam: 23-26), serta percakapan ibu Nabi Musa dan anak perempuannya (QS. Al Qashash:11). Untuk percakapan kedua orang tua dan anak hanya ada 1 ayat, yaitu terdapat di QS. Al Ahqaf: 17, dialog kedua orang tua dan anak (tanpa sebut nama).

Khatimah

Dari dominasi percakapan antara ayah dan anak, serta antara ibu dan anak yang terdapat dalam Al-Qur'an, ini menandakan bahwa Allah memerintahkan seorang ayah lebih banyak diskusi dan membersamai anak daripada seorang ibu. Maka, apabila seruan Allah ini telah mengkristal dan dilakukan baik oleh individu, masyarakat maupun negara dengan aturan syariatnya, jelas bahwa fatherless takan pernah ada dalam kehidupan negara yang berideologi Islam. Wallahualam bissawab. []

‎Generasi Emas, Tercipta dari Sistem Mulia

Guru merupakan orang tua kedua siswa di sekolah. Mereka diberi kepercayaan untuk mendidik, membina, dan memberi keteladanan pada generasi muda.

Oleh. Riani Andriyantih, A. Md.
Kontributor NarasiLiterasi.Id

NarasiLiterasi.Id--‎Terpujilah wahai engkau Ibu Bapak Guru.
‎Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku.

Penggalan lirik lagu Hymne Guru tersebut mengingatkan akan begitu besarnya jasa para guru. Ironisnya, kini guru berada pada posisi yang serba salah. Satu sisi, profesi guru merupakan profesi yang mulia. Sisi yang lain, profesi guru sering dipandang sebelah mata. Mirisnya, guru pun tak jarang bersentuhan dengan pidana akibat dipandang salah mendidik siswanya dengan cara keras.

Tugas guru pun bertambah berat dengan segunung administrasi yang kerap tidak sejalan dengan harapan. Beban mendidikan siswa yang sudah berat makin berat akibat kurang sejahtera. Padahal, sekolah berperan penting dalam mencetak generasi bangsa dan membantu orang tua mendidik anak-anaknya. Sebab, tersimpan harapan agar anak-anaknya kelak meraih kesuksesan. Namun, bagaiman masa depan generasi dapat gemilang jika nasib guru dibelenggu berbagai persoalan?

Peran Guru, Orang Tua, dan Anak-anak

Guru merupakan orang tua kedua bagi para siswa di sekolah. Mereka diberi kepercayaan untuk mendidik, membina, dan memberi keteladanan bagi murid yang dititipkan oleh para orang tua.
‎Sayangnya, kondisi hari ini guru disibukkan dengan berbagai tugas administratif yang menguras energi dan waktu sehingga bertambah berat tanggung jawab yang harus dipikul.

Orang tua, mereka yang dianugerahi oleh Allah Swt. anak yang dengan anugerah tersebut sepaket dengan amanah untuk merawat, mengasuh, membina, serta memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Sehingga setiap tindak tanduk anaknya menjadi tanggung jawabnya di hadapan Allah Swt.

Anak-anak, mereka yang dengan fitrahnya belum dibebani hukum (mumayiz), maka menjadi tanggung jawab orang tua dalam pengasuhannya. Jika ia sebagai siswa yang dititipkan oleh orang tuanya maka ia merelakan dirinya mengikuti aturan yang berlaku di sekolah dengan segala proses pembinaan yang diberikan. Jika ia sudah berusia balig, maka seharusnya telah mampu membedakan mana perkara yang baik dan mana perkara yang buruk.

Gempuran Liberalisasi Pergaulan

Anak-anak dan remaja kini tengah berada dalam dekapan liberalisasi pergaulan, yang menjadikan kebebasan sebagai pilar dalam bertindak, berperilaku, dan berbuat sesuka hati dengan mengedepankan nafsu. Sehingga sering kali menganggap setiap aturan yang dibuat adalah bentuk pengekangan, pelanggaran HAM, dan pembatasan ekspresi diri.

Perlu disadari bahwa liberalisasi pergaulan yang menjangkiti generasi muda hari ini merupakan buah penerapan sistem sekuler yang memisahkan aturan agama dari kehidupan. Sehingga setiap diri merasa berhak untuk menentukan arah hidupnya masing-masing sesuai keinginan dan nafsu.

‎Sedih sekaligus ironis melihat bagaimana nilai-nilai kebaikan perlahan hilang pada diri generasi muda. Padahal, seharusnya setiap diri menyadari akan hisab dari setiap amal yang diperbuat.

Sistem liberal menjadikan generasi hari ini kehilangan arah tujuan hidup yang sesungguhnya. Mereka disibukkan pada hausnya validasi, eksistensi diri, gaya hidup hedonis yang makin menjauhkan mereka dari tujuan penciptaan sekaligus posisi sebagai khoiru ummah.

Sebagai contoh, adab murid terhadap guru. Sungguh tidaklah berarti setiap ilmu tanpa disandarkan pada adab. Itulah mengapa posisi adab lebih tinggi dari ilmu dan amal. Karena dengan adanya adab, orang yang berilmu akan makin tawaduk, makin baik akhlaknya, dan mendatangkan kebaikan.

Sejatinya, ilmu tanpa adab akan mendatangkan bencana, tanpa tujuan yang jelas, dan ketidakberkahan. Demikian pula dengan amal, seseorang yang beramal tanpa berilmu hanya akan mendatangkan kesia-siaan dan keburukan bahkan dapat menjerumuskannya kepada dosa. Maka tanda berhasilnya ilmu, yaitu bertambah rasa takutnya kepada Zat Yang Maha Pencipta, Allah Swt.

Baca juga: Solusi Problem Mental Generasi

Sistem Pendidikan dalam Islam

Sistem pendidikan dalam Islam bertujuan mencetak generasi yang beriman dan bertakwa yang memiliki kepribadian islami, yakni pribadi yang memiliki pola sikap dan pola pikir sesuai dengan syariat Islam. Sehingga setiap aktivitasnya senantiasa diiringi kesadaran bahwa dirinya sebagai hamba Allah yang diciptakan semata-mata untuk menjadi umat terbaik. Hamba yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berakhlak mulia serta mampu menjadi khalifatul ardh dan sebaik-baik umat yang dapat memberikan banyak manfaat. Dengan begitu, mereka bangga dengan identitasnya sebagai seorang muslim.

Untuk mewujudkan sistem pendidikan Islam, negara harus menjalankan perannya sebagai pengurus (raa'in) urasan umat. Salah satu perannya, yakni sebagai penjaga akidah dan pemberi keteladanan. Lemahnya negara dalam menjalankan fungsinya sebagai raa’in menjadikan berbagai macam kerusakan moral dan akhlak terjadi di kalangan generasi muda.

Peran media sosial yang begitu masif tanpa pengawasan memberi ruang bagi para generasi muda untuk mengikuti segala bentuk tren yang terjadi tanpa menimbang halal dan haram. Oleh karena itu, penting merancang kurikulum pendidikan berlandaskan akidah Islam. Sehingga lahir generasi unggul demi kemaslahatan umat.

Dengan berbagai kerusakan moral dan akhlak yang menimpa generasi, sejatinya dibutuhkan upaya serius untuk mengembalikan fitrah kebaikan yang ada pada diri generasi. Perubahan fundamental hanya mungkin terwujud dalam sistem Islam yang akan memberi teladan kebaikan dari semua pilar, baik individu, masyarakat, maupun negara.

Karena generasi muda hari ini adalah pemimpin di masa depan. Kemuliaan Islam dapat diraih melalui generasi-generasi terbaik yang bertakwa, cerdas, dan fakih dalam agama. Sehingga mampu mengguncang dunia dengan ilmu, cinta, dan cita-cita yang mulia sebagai khoiru ummah. Wallahualam bissawab. []

Polemik MBG Kapan Berakhir?

‎Segudang problematika dalam program MBG sepatutnya membuat kita berbenah. Layakkah program ini tetap menjadi program prioritas di tengah pelaksanaan yang karut-marut dan menimbulkan banyak permasalahan baru?

Oleh. Riani Andriyantih, A.Md.
Kontributor NarasiLiterasi.Id

NarasiLiterasi.Id--Program unggulan Presiden Prabowo Subianto, yakni Makan Bergizi Gratis (MBG) yang beroperasi sejak Januari 2025, hingga hari ini masih saja menuai polemik. Bahkan sejak awal pelaksanaannya program ini banyak mendapat sorotan dari berbagai pihak.

Menjadi rahasia umum bahwa dana yang digelontorkan untuk menjalankan program MBG ini cukuplah fantastis. Pembiayaannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tujuh puluh persen pendapatannya diperoleh dari pajak. Program ini telah sukses memangkas anggaran sektor-sektor penting seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, dan lain sebagainya.

Ironisnya, tidak hanya memangkas anggaran banyak sektor, tetapi program ini juga mengakibatkan keracunan massal di beberapa daerah di Indonesia. Menurut catatan JPPI, jumlah korban keracunan akibat proyek MBG telah mencapai 11.566 orang dengan tingkat penyebaran kasus di berbagai provinsi yang makin luas dan tidak terkendali hingga tercatat sebagai kejadian luar biasa (KLB). (tempo.co, 13-10-2025).

‎Korban terbanyak tercatat di Jawa Barat sebanyak 4.125 orang, Jawa Tengah sebanyak 1.666 orang, Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 1.053 orang, Jawa Timur 950 orang, dan Nusa Tenggara Timur sebanyak 800 orang. Makin bertambahnya kasus dan korban keracunan program MBG ini dapat disimpulkan bahwa negara gagal melindungi rakyat.

Polemik MBG

Makanan bergizi gratis yang lahir karena dilatarbelakangi tingginya angka gizi buruk di negeri ini nyatanya tidak mampu menjadi solusi tuntas. Sebaliknya, justru mendatangkan petaka yang lebih besar karena dilaksanakan tanpa perencanaan yang jelas dan terkesan memaksakan.

Lebih menyedihkannya lagi, makanan yang katanya bergizi ternyata banyak menu tidak bergizi yang disajikan. Hal ini pun menjadi kritik keras para ahli gizi salah satunya datang dari dr. Tan Shot Yen. Menurutnya, menu ultra processed food (UPF) seperti burger, spaghetti, bakmi gacoan, biskuit kemasan, susu kotak, dan masih banyak menu lainnya yang tidak memenuhi standar gizi. (detiknews.com, 26-09-2025). Didapati pula kondisi makanan yang tidak layak makan, berulat, berjamur, hingga basi.

Program ini juga mengorbankan sektor-sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan. Padahal kita ketahui bersama masih banyak anak-anak bangsa yang tidak mendapatkan pendidikan gratis dengan kualitas serta sarana dan prasarana yang layak. Kemudahan akses pendidikan bagi seluruh anak bangsa ini jelas sangat penting agar terlahir generasi unggul yang menguasai IPTEK dan berkepribadian mulia.

Tampaknya, negara perlu berbenah untuk mewujudkan generasi emas.
‎Jika negara rela mengorbankan anggaran pendidikan untuk mendukung program prioritas MBG yang masih prematur maka cita-cita itu sulit tercapai.

Terlebih lagi, pemangkasan juga terjadi di bidang kesehatan, sedangkan sejatinya kesehatan merupakan hak bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Jangan sampai pemangkasan anggaran di sektor ini justru menambah derita panjang yang melahirkan istilah orang miskin dilarang sakit.

Segudang problematika dalam program MBG sepatutnya membuat kita berbenah. Layakkah program ini tetap menjadi program prioritas di tengah pelaksanaan yang karut-marut dan menimbulkan banyak permasalahan baru? Di sisi lain, program ini juga berpotensi membuka lahan korupsi baru dan menguntungkan para pemilik modal.

Akar Masalah

Sulitnya masyarakat memenuhi kebutuhan gizi bagi keluarganya berawal dari kondisi perekonomian. Jika bicara perbaikan gizi, tentu kita bicara tentang perekonomian masyarakat. Tidak ada satu pun masyarakat yang ingin hidup di garis kemiskinan. Hanya saja, kondisi memaksa mereka berada pada situasi ekonomi yang sulit. Masyarakat dihadapkan pada kenyataan pendapatan yang rendah, pengangguran yang tinggi, dan mahalnya harga-harga kebutuhan pokok. Hal ini menjadikan masyarakat fokus pada bagaimana membuat perut kenyang agar dapat bertahan hidup tanpa memperhatikan nilai gizi.

‎Kondisi stunting juga tidak akan terselesaikan jika hanya mengandalkan program MBG karena semua berawal dari dapur dan rumah mereka sendiri yang sejak awal tidak mampu menyediakan makanan bergizi bagi keluarga karena keterbatasan ekonomi. Masyarakat dimiskinkan secara sistemik dengan berbagai kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.

Baca juga: Di Balik Keracunan Program MBG

Cara Islam Mengakhiri Polemik MBG

Jika kondisi perekonomian masyarakat meningkat dan baik maka sudah pasti mereka akan mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, baik dari segi sandang, pangan, maupun papan. Maka dibutuhkan keseriusan dari negara untuk mampu mengurai problematika yang ada di tengah masyarakat.

Negara sudah seharusnya hadir sebagai pelayan masyarakat dengan memberikan layanan terbaik dan keberpihakannya kepada masyarakat dengan mengurus segala hal yang menjadi hak warga negaranya agar mampu hidup sejahtera.

Menjadi kewajiban negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan dengan upah yang layak, terutama untuk laki-laki. Sehingga para laki-laki dapat memberikan nafkah yang layak untuk keluarganya.

Negara juga hadir dalam menjaga kestabilan harga kebutuhan pokok, dengan harga yang murah dan terjangkau sehingga semua kalangan masyarakat dapat membeli dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Di sisi lain, pendidikan dan kesehatan yang berkualitas juga selayaknya menjadi hak masyarakat yang dijamin oleh negara.

Sesungguhnya, problematika yang menimpa rakyat saat ini merupakan buah pahit sistem kapitalisme sekuler. Sistem yang mencampakkan hukum Allah sebagai landasan dalam berpikir dan bertindak. Sehingga kebijakan yang lahir mengedepankan hawa nafsu tanpa menimbang kemudaratan yang akan diterima.

Selayaknya kita menyadari bahwa segala permasalahan yang terjadi hanya dapat terselesaikan jika kita memahami posisi kita sebagai hamba yang tidak layak menandingi aturan Sang Pencipta. Alhasil, kesejahteraan dan keadilan hanya mampu terwujud jika kita kembali pada syariat Islam yang akan membawa kepada jalan keselamatan dan memberi rahmat bagi semesta alam. Wallahualam bissawab. []

Filisida Maternal Indikator Rusaknya Negara

Dengan memberikan pelayanan kesehatan jasmani dan mental yang memadai, diharapkan para ibu bisa melaksanakan perannya dengan baik sehingga filisida maternal bisa dihindari.

Oleh. R. Raraswati
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)

NarasiLiterasi.Id--Filisida maternal kembali terjadi di bulan ini. Kompas.com, 10 Oktober 2025 mengabarkan seorang ibu warga Desa Parigi, Kecamatan Daha Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan yang gantung diri bersama balitanya. Kepala Kepolisian Resor HSS, AKBP Yakin Rusdi, menyampaikan korban berinisial M (35) bersama balitanya MR (1,8) diduga mengalami depresi sehingga bertekad membunuh balitanya, kemudian membunuh dirinya sendiri.

Pada bulan sebelumnya ditemukan kasus seorang ibu berinisial EN (34) meninggal karena gantung diri setelah meracuni anak kandungnya berusia 9 tahun dan 11 bulan sampai meninggal di sebuah rumah kontrakan di Banjaran, Kabupaten Bandung, Jumat (5-9-2025). (Republika online, 8-9-2025)

Tentu hal ini menjadi alarm bagi pemerintah karena sejatinya wanita adalah tiang negara. Wanita memiliki peran penting dalam keberlangsungan suatu negara. Jika filisida maternal (ibu membunuh anak kandung) sering terjadi, maka itu adalah indikator rusaknya sistem negara tersebut.

Filisida Maternal

Menurut Wikipedia, kata filisida sebenarnya berasal dari bahasa Latin, yaitu filius dan filia yang artinya putra dan putri serta sufiks-sida yang berarti membunuh. Sedangkan kata maternal bisa diartikan ibu. Maka, filisida maternal bisa diartikan pembunuhan anak oleh seorang ibu. Secara akal sehat, sepertinya tidak mungkin seorang ibu membunuh anak kandungnya sendiri. Namun, ternyata hal ini telah terjadi sejak lama.

Rantai Penyebab Filisida Maternal

Kasus-kasus filisida di atas bukan sekadar permasalahan personal. Ada faktor pemicu yang saling berkaitan.
Pertama, faktor ekonomi. Di Indonesia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan LIPI (2024) menunjukkan adanya korelasi data yang signifikan antara kemiskinan, PHK massal, dan peningkatan jumlah gangguan kesehatan mental pada ibu pasca-persalinan. Hal tersebut ternyata juga berkaitan dengan pinjaman online (pinjol), kekerasan dalam rumah tangga, dan tindak kekerasan terhadap anak. Kemiskinan, PHK, dan utang menjadi pemicu stres bahkan depresi pada ibu. Akhirnya, tidak sedikit ibu yang bunuh diri.

Kedua, faktor sosial. Angka perceraian yang tinggi, lemahnya peran keluarga besar, dukungan sosial yang rendah menjadi faktor yang membuat ibu stres kronis hingga mengalami gangguan mental. Dalam masyarakat sekuler, masyarakat berkarakter individualis sehingga hubungan sosial terlihat kering. Prinsip “hidup urus masing-masing” menjadi slogan tak tertulis, sehingga masalah seorang ibu dianggap bukan urusan orang lain. Akibatnya, seseorang yang kelelahan, mengalami tekanan ekonomi, atau masalah rumah tangga, merasa sendiri, terisolasi, dan seakan tidak punya solusi.

Seringkali lingkungan menambah tekanan dengan menghakimi, bukan mendampingi. Dampaknya, ibu yang bermasalah memilih menyembunyikan beban sampai menumpuk hingga menjadi ledakan emosi.

Ketiga, faktor psikologis. Banyak kasus filisida maternal berawal dari kondisi kejiwaan ibu yang rapuh. Sejatinya ibu memiliki dorongan alami dalam melindungi anak. Maka, ibu yang justru menyakiti atau membunuh anaknya sendiri, menandakan ada gangguan psikologi yang dialami.

Baca juga: Filisida Maternal dalam Genggaman Kapitalisme

Peran Ibu dalam Sistem Kapitalisme-Sekuler

Sistem sekularisme menepis nilai spiritual peran keibuan. Sedangkan kapitalisme menjadikan perempuan khususnya ibu menjalani standar ganda yaitu produktif secara ekonomi dan sempurna secara domestik. Sistem ini tidak bisa menjalankan fungsi negara sebagai pengurus rakyat.

Dalam sistem kapitalisme, wanita dianggap sebagai objek konsumsi sekaligus sumber produktivitas ekonomi. Peran ibu direduksi sebagai beban finansial, bukan kehormatan spiritual. Sistem kapitalisme membangun narasi bahwa seorang ibu akan menjadi ideal jika sukses secara ekonomi sekaligus domestik. Sungguh, sebuah standar yang justru menyebabkan stres dan krisis identitas. Mirisnya, negara justru abai dalam hal ini. Negara tidak memberikan jaminan sosial dan layanan kesehatan mental yang memadai.

Islam Menjaga Ibu dan Anak

Islam merupakan agama sekaligus ideologi yang menetapkan kewajiban bagi negara untuk melindungi dan menjamin kehidupan seluruh warganya, termasuk memberikan pelayanan kesehatan. Tidak hanya kesehatan fisik, negara juga akan memperhatikan kesehatan mental rakyatnya, terutama pada ibu pasca melahirkan. Pemerintah dalam Islam sangat menjaga kesehatan ibu, karena baik buruknya negara sesuai keadaan wanitanya (ibu).

Sementara itu, anak dalam pandangan Islam adalah amanah dan karunia Allah. Anak bukan sekadar tanggungan hidup, sehingga Islam mengikis pandangan materialistis yang sering menjadi penyebab gangguan mental ibu. Maka, Islam melarang ibu membunuh buah hatinya, karena sesungguhnya setiap anak telah Allah jamin rezekinya.

Hal ini telah Allah sampaikan dalam firman-Nya, artinya:
Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena kefakiran. Kami yang memberi rezeki kepada kamu dan mereka.” (QS. At-Takwir [81]: 8-9)

Dari ayat di atas, menunjukkan peran ibu dan keberadaan anak sangat dijaga oleh pemerintah, karena kewarasan seorang ibu menjadi cermin atau indikator baik-buruknya negara. Dengan memberikan pelayanan kesehatan jasmani dan mental yang memadai, diharapkan para ibu bisa melaksanakan perannya dengan baik sehingga filisida maternal bisa dihindari. Wallahualam bissawab.[]

Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam

Hidup sejahtera bukan hanya tentang memiliki materi yang cukup, tetapi tentang hidup dengan tenang, bermartabat, dan terhindar dari keputusasaan.

Oleh. Susi Rahma S.Pd.
Kontributor NarasiLiterasi.Id

NarasiLiterasi.Id--Majelis Taklim Lentera Quran kembali digelar pada tanggal 5 Oktober 2025, bertempat di masjid Raya Bandung, jalan Lengkong Bandung dengan pembicara Ustazah Unung Kurniati S.S. Majelis taklim kali ini mengangkat tema 'Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam' (Tadabbur QS. An-Nisa’ [4]: Ayat 29). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu."
(QS. An-Nisa [4]: 29)

Ayat ini memberikan peringatan keras kepada kaum beriman agar tidak terjerumus dalam praktik-praktik ekonomi yang batil, seperti penipuan, korupsi, riba, dan bentuk-bentuk pengambilan harta yang tidak sah lainnya. Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa Allah melarang keras kaum Muslim untuk memakan harta sesama mereka secara tidak benar, dan sebaliknya, mendorong agar segala bentuk transaksi ekonomi dilakukan dengan prinsip saling ridha (kerelaan bersama). Ayat ini juga menegaskan larangan untuk membunuh diri sendiri, sebuah peringatan yang sangat relevan dalam konteks kehidupan modern saat ini, di mana tekanan hidup sering kali membuat manusia kehilangan harapan.

Fenomena Bunuh Diri karena Masalah Ekonomi

Sayangnya, nilai-nilai luhur dari ayat ini belum sepenuhnya menjadi panduan hidup di tengah masyarakat. Salah satu contoh nyata adalah kasus tragis yang terjadi di Banjaran, di mana seorang ibu nekat membunuh anaknya lalu mengakhiri hidupnya sendiri karena terlilit utang pinjaman online (pinjol). Peristiwa ini bukanlah kasus tunggal. Data dari Pusat Psikologi Nasional Bareskrim Polri mencatat bahwa sepanjang Januari hingga Agustus 2024 terjadi 849 kasus bunuh diri di Indonesia, dan 32% di antaranya dilatarbelakangi oleh tekanan ekonomi.

Angka-angka ini menunjukkan bahwa kemiskinan dan kesulitan ekonomi dapat menjadi pemicu utama seseorang kehilangan harapan dan melakukan tindakan nekat. Dalam banyak kasus, masalah ekonomi bukan hanya menimpa individu, tetapi juga berimbas pada anak-anak, keluarga, dan komunitas sekitar. Inilah yang menjadi ironi besar di negeri yang kaya akan sumber daya alam, namun masih banyak rakyatnya yang hidup dalam tekanan ekonomi yang mencekik.

Baca juga: Filisida Maternal dalam Genggaman Kapitalisme

Akar Permasalahan: Sistem Sekuler Kapitalistik

Salah satu akar utama dari permasalahan ini adalah diterapkannya sistem kehidupan sekuler dan kapitalistik yang menempatkan kekayaan dan materi sebagai tujuan utama hidup. Sistem ini menciptakan manusia-manusia yang rapuh secara spiritual, egois dalam bersosialisasi, dan penuh tekanan dalam menghadapi kehidupan.

Sistem ini juga melahirkan kebijakan-kebijakan yang membuka lebar pintu bagi penguasaan harta secara batil. Pinjaman online berbunga tinggi, judi online, dan bisnis-bisnis haram lainnya tumbuh subur tanpa kendali negara. Harta terus terkonsentrasi di tangan segelintir orang, sementara mayoritas masyarakat berjuang untuk bertahan hidup.

Padahal, Allah dengan jelas telah melarang praktik-praktik ekonomi yang batil. Dan ketika individu tidak memiliki pegangan keimanan yang kuat serta masyarakat kehilangan kepedulian terhadap sesamanya, maka penderitaan individu semakin dalam tanpa ada tangan yang menolong.

Pandangan Islam terhadap Bunuh Diri dan Takut Miskin

Dalam Islam, tindakan bunuh diri maupun membunuh anak karena takut miskin adalah perbuatan yang sangat dilarang. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Isra’ ayat 31:

"Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu…"

Bunuh diri atau membunuh karena tekanan ekonomi adalah bentuk keputusasaan terhadap rahmat Allah. Ini adalah bentuk kelemahan iman yang sangat disayangkan. Padahal, Islam telah menawarkan solusi konkret dan sistematis untuk menciptakan kehidupan yang sejahtera dan bermartabat, baik untuk individu, masyarakat, maupun negara.

Solusi Islam: Membangun Tiga Pilar Kehidupan Sejahtera

Islam membangun kehidupan yang sejahtera dengan membentuk tiga pilar utama:

Pertama, individu yang kuat keimanannya.

Islam menanamkan akidah yang kuat bahwa rezeki berasal dari Allah, bukan dari manusia atau sistem buatan manusia. Dengan keimanan ini, seorang Muslim akan selalu bersabar, bertawakal, dan optimis dalam menghadapi kesulitan hidup. Ia tidak mudah putus asa, apalagi sampai mengakhiri hidupnya karena masalah dunia.

Kedua, masyarakat yang peduli dan peka

Islam mendorong terciptanya masyarakat yang peduli terhadap kondisi sosial di sekitarnya. Dalam hadis disebutkan:

Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketika tetangga melihat tetangganya kesulitan, mereka tidak tinggal diam. Ada gotong royong, solidaritas, dan empati. Masyarakat seperti inilah yang menjauhkan anggotanya dari keputusasaan.

Ketiga, negara yang menjamin kesejahteraan rakyat.

Negara dalam sistem Islam (Khilafah) bertanggung jawab langsung terhadap kesejahteraan rakyat. Negara tidak hanya berperan sebagai regulator, tetapi penjamin langsung terhadap kebutuhan dasar rakyat, seperti:

Membuka lapangan kerja dan memberikan akses modal/lahan. Menjamin pendidikan, kesehatan (termasuk kesehatan jiwa), dan keamanan. Membantu mereka yang tidak mampu bekerja karena usia, sakit, atau kondisi tertentu

Semua ini bisa dilakukan karena Islam memiliki sistem keuangan negara (baitulmal) yang mandiri dan cukup, bersumber dari zakat, kharaj, fai, ghanimah, dan pengelolaan sumber daya alam yang haram diswastakan.

Menutup Jalan-Jalan Ekonomi Batil

Islam secara tegas melarang praktik-praktik yang menyengsarakan rakyat seperti riba (termasuk pinjol), perjudian, dan transaksi yang tidak jelas (gharar). Negara bertugas menutup semua akses ini dan mengedukasi masyarakat tentang bahaya serta keharamannya. Inilah bentuk kasih sayang Islam terhadap manusia, sebagaimana penutup surah an-Nisa ayat 29 yang menyebut:

"Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu."

Penutup

Hidup sejahtera bukan hanya tentang memiliki materi yang cukup, tetapi tentang hidup dengan tenang, bermartabat, dan terhindar dari keputusasaan. Semua itu hanya bisa dicapai jika manusia kembali kepada aturan hidup yang diturunkan oleh Allah, yaitu Islam.

Tadabbur QS. An-Nisa’ ayat 29 mengingatkan kita untuk menjauhi jalan-jalan yang batil dalam mencari harta, dan menjauhkan diri dari keputusasaan dalam menghadapi hidup. Dalam naungan sistem Islam yang kaffah, kesejahteraan bukan sekadar impian, tapi kenyataan yang pernah terwujud dan bisa terulang kembali.

Semoga kita termasuk orang-orang yang kembali kepada aturan Allah dan menjadi bagian dari perubahan menuju kehidupan yang lebih baik, dalam naungan rahmat dan kasih sayang-Nya. Aamiin. []

Pemuda Pemegang Kompas Peradaban

Pemuda adalah penerus estafet sejarah yang akan menentukan ke mana arah suatu negeri akan dibawa.

Oleh. Aurum
Kontributor NarasiLiterasi.Id

NarasiLiterasi.Id--Sebanyak 295 anak muda ditetapkan sebagai tersangka kerusuhan. Buntut dari aksi besar-besaran yang diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat pada Agustus lalu dalam menuntut keadilan dan kesewenang-wenangan para pemangku kebijakan.

Ketua Komnas HAM menuntut agar kepolisian mengkaji ulang keputusan tersebut. Ia mengatakan, "Karena kalau tidak (sesuai dengan SPPA), itu nanti bisa terjadi potensi atau risiko pelanggaran HAM dalam proses pendekatan hukum" ucapnya. (kompas.com, Jumat, 29-09-2025)

Gen Z Melek Politik

Gen Z adalah sebutan yang diberikan bagi anak yang lahir antara 1997 hingga 2012. Mereka berada dalam usia produktif dengan semangat juang, kritis, serta idealisme yang kuat pada era ini. Bukan hanya itu, Gen Z juga pemegang tongkat estafet peradaban.

Meski diframing generasi yang acuh, Gen Z mampu membuktikan bahwa merek bisa peduli dan berkontribusi bagi bangsanya. Hal ini terbukti dari aksi besar pada Agustus lalu yang didominasi oleh Gen Z. Mereka mulai sadar politik, merasa bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja, dan menuntut perubahan.

Di tengah semangat kepedulian terhadap isu-isu yang terjadi, baik sosial, kemanusian, lingkungan, atau politik, justru semangat dan kepedulianya dikerdilkan dan dikriminalisasi. Bahkan cap biang anarkis tak luput disematkan kepadanya. Hal tersebut tidak lain untuk membungkam suara kritis terhadap para penguasa, pemangku kebijakan yang sewenang-wenang dan minim empati.

Seolah berbanding terbalik dengan slogan-slogan yang sering terdengar. Bahwa dalam alam demokrasi setiap warga dijamin kebebasannya dalam menyampaikan pendapat dan diberikan kebebasan dalam mengekspresikannya.

Benarkah Demokrasi Kapitalisme Memberi Ruang Bagi yang Berbeda Pandangan?

Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan di mana kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Dengan prinsip bahwa rakyat memiliki kekuasaan menentukan arah kebijakan dalam pemerintahan. Selain itu dalam demokrasi rakyat juga dilibatkan dalam proses politik dan hak-hak individunya dijamin baik dalam berpendapat maupun berserikat.

Dari definisi di atas dapat kita artikan bahwa kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Kekuasaan ini diwakilkan oleh sebagian rakyat yang terpilih dari hasil pemilu yang didanai oleh para kapitalis, pemilik modal yang memiliki kepentingan. Sehingga sistem ini menjadi rusak sejak awal karena meletakkan kedaulatan tertinggi pada manusia yang lemah, terbatas, mudah berubah, serta memiliki nafsu.

Di samping itu, setiap kebijakan tidak akan pernah murni menyuarakan dan mewakili suara rakyat secara keseluruhan. Sebab, adanya politik transaksional membuat setiap kebijakan akan condong pada para pengusaha dan penguasa yang ada di lingkaran tersebut.

Suara rakyat, khususnya rakyat kecil hanya dijadikan toping. Hal ini karena sifat rakus dan congkaknya para penguasa dan pengusaha tersebut dalam mengeruk sebanyak-banyaknya potensi yang ada dalam suatu negeri tanpa memedulikan nasib rakyat dan lingkungan.

Di alam demokrasi kapitalisme, penguasa bergandengan tangan mesra dengan para pengusaha. Maka ketika ada dari rakyat yang menyuarakan kritik dan ketidak setujuan terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan akan dibungkam dengan segala cara. Hal ini dianggap sebagai bentuk rongrongan terhadap kekuasaan mereka.

Demokrasi kapitalisme hanya memberi ruang bagi mereka yang sejalan dengan kepentingannya. Sehingga rasa adil dalam demokrasi kapitalisme hanya ilusi.

Baca juga: Mendidik Generasi AI

Islam dalam Melihat Pemuda

Dalam pandangan Islam, pemuda bukan sekadar kelompok usia muda, melainkan pemegang kompas peradaban. Mereka adalah penerus estafet sejarah yang akan menentukan ke mana arah suatu negeri akan dibawa. Sepanjang sejarah, banyak perubahan besar justru lahir dari tangan para pemuda yang berani berpikir dan bertindak untuk kebenaran.

Al-Qur’an bahkan mengabadikan kisah para pemuda beriman dalam surah Al-Kahfi:
''Kami Menceritakan kepadamu (Nabi Muhammad) kisah mereka dengan sebenernya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan kami menambahkan petunjuk kepada mereka." (QS. Al Kahfi:13)

Ayat ini merujuk pada kisah Ashabul Kahfi, sekelompok pemuda yang teguh dalam keimanan dan ketaatannya kepada Allah Swt. Di tengah tekanan penguasa zalim pada masa itu mereka memilih bersembunyi demi menjaga akidah, bukan karena takut, tetapi karena ingin mempertahankan kebenaran di tengah gelombang kebatilan.

Kisah ini menjadi bukti kuat bahwa pemuda memiliki peran sentral dalam perubahan dan kebangkitan peradaban. Dari ayat tersebut pula kita belajar bahwa amar ma’ruf nahi munkar, menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran adalah kewajiban setiap muslim, termasuk pemuda.

Menasehati penguasa yang zalim dengan cara yang bijak adalah bagian dari tanggung jawab keimanan. Dalam sejarah Islam, kita menemukan banyak contoh ketika para ulama, sahabat, dan pemuda berani menyampaikan kebenaran di hadapan pemimpin. Dan menariknya, pemerintahan Islam pada masa itu terbuka terhadap kritik dan nasihat rakyatnya.

Para pemimpin bukan hanya mendengarkan, tetapi juga mempertimbangkan masukan tersebut untuk memperbaiki kebijakan. Sebab, setiap keputusan diambil berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Islam juga menaruh perhatian besar pada pendidikan pemuda. Tujuan pendidikan dalam sistem Islam adalah membentuk generasi yang beriman, berakhlak, dan kuat secara mental maupun spiritual. Pendidikan berbasis akidah Islam akan melahirkan pemuda yang memiliki kesadaran politik tinggi bukan sekadar memahami urusan dunia. Namun, menyadari tanggung jawabnya sebagai hamba Allah dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Khatimah

Dengan diterapkannya Islam dalam institusi negara, akan lahir generasi emas pemuda yang tangguh, cerdas, berani, dan berjiwa rahmah. Generasi ini bukan hanya membawa perubahan, tetapi juga menghadirkan kedamaian bagi umat manusia. Inilah wujud nyata dari Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Agama yang membawa cahaya dan kasih sayang bagi seluruh alam. Wallahualam bissawab. []

Gedung Ponpes Ambruk, Cermin Buruk Fasilitas Pendidikan

Negara berlepas tangan dan membiarkan lembaga pendidikan mengupayakan pemenuhan fasilitas pendidikannya secara mandiri.

Oleh. Khusnul Khotimah, SP
Kontributor NarasiLiterasi.Id

NarasiLiterasi.Id--Kejadian ambruknya gedung musala Ponpes Al-Khoziny beberapa waktu lalu menyisakan duka mendalam bagi keluarga korban maupun dunia pendidikan Islam. Di tengah semangat membangun fasilitas pendidikan, gedung musala yang masih dalam proses pembangunan tingkat 3 dan 4 tersebut ternyata tetap digunakan untuk aktivitas ibadah para santri di lantai 2. Dan pada akhirnya terjadi kejadian ambruknya gedung dengan memakan banyak korban yang sedang malaksanakan salat asar berjamaah.

Data terakhir menyebutkan bahwa jumlah total korban sebanyak 104 yang selamat dan 67 korban meninggal termasuk potongan-potongan tubuh.

Para pakar konstruksi menilai bahwa ambruknya gedung tersebut disebabkan karena kondisi gedung yang gagal kontruksi dan lemahnya pengawasan. Bangunan tidak mampu menyangga bangunan di tingkat atasnya, sehingga menyebabkan ambruk. Kondisi ini dinilai terjadi karena keterbatasan dana dan sarana prasarana pendidikan di pesantren. Sehingga bangunan tersebut tetap digunakan untuk ibadah walaupun sedang dalam proses pembangunan. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi santri karena resiko yang sangat besar dan terbukti dengan kejadian ambruknya gedung tersebut. (detikjatim.com, 29-9-2025)

Abainya Peran Negara

Minimnya fasilitas pendidikan sebenarnya banyak terjadi tidak hanya di lembaga pesantren. Namun, juga di sekolah-sekolah lainnya, baik negeri maupun swasta. Kejadian ambruknya bangunan sekolah ataupun fasilitas pendidikan lainnya sudah sering terjadi dan umumnya memakan korban, baik korban luka maupun korban jiwa.

Hal ini mencerminkan buruknya perhatian pemerintah terhadap pemenuhan fasilitas pendidikan di negeri ini. Seringkali negara berlepas tangan dan membiarkan lembaga pendidikan mengupayakan pemenuhan fasilitas pendidikannya secara mandiri. Sehingga orang tua yang dibebani dengan iuran pembangunan. Bahkan lembaga pendidikan harus bersusah payah mencari donatur untuk menggalang dana pembangunan fasilitas pendidikan.

Penerapan sistem kapitalis sekular menjadi faktor utama tidak terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat. Pendidikan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia yang seharusnya dipenuhi oleh pemerintah.

Dalam sistem kapitalisme, negara hanya berfungsi sebagai regulator, buka pemeran utama dalam melayani kebutuhan rakyat. Sehingga wajar jika hanya sebagian saja masalah pendidikan yang diperhatikan oleh pemerintah, selebihnya masyarakat dibiarkan memenuhi sendiri kebutuhan pendidikan.

Biaya Pendidikan

Besarnya biaya pembangunan fasilitas pendidikan yang seharusnya dibiayai oleh negara, menjadi beralih ke lembaga dan masyarakat. Hal ini menyebabkan ironi di tengah-tengah masyarakat. Dengan segala keterbatasan, lembaga berupaya memenuhi fasilitas yang pada akhirnya kurang memperhatikan keselamatan dan keamanan.

Dengan kejadian ini, seharusnya menjadikan bahan evaluasi bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan lagi masalah fasilitas pendidikan terutama pemenuhan fasilitas gedung agar mencukupi kebutuhan dan aman bagi peserta didik. Saat ini sudah ada pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh pemerintah. Mulai saat ini pemerintah akan mendata bangunan-bangunan pesantren yang sudah tua dan yang dianggap rawan. Negara akan berupaya membantu membangun kembali gedung- gedung tersebut dari dana APBN dengan melibatkan kementrian Agama dan kementrian PU.

Wacana ini tentu disambut dengan baik oleh masyarakat. Namun, buru-buru ada koreksi bahwa pembangunan dengan biaya APBN masih akan dikaji lagi belum menjadi keputusan final.

Dari pernyataan-pernyataan tersebut, menunjukkan bahwa memang pemerintah belum sepenuh hati menganggarkan APBN untuk kebutuhan pendidikan terutama di pesantren. Seperti yang sudah terjadi selama ini, dunia pendidikan Islam terutama pesantren masih terpinggirkan dari perhatian serius pemerintah.

Baca juga: Komersialisasi Pendidikan

Islam Menjamin Bidang Pendidikan

Islam mengatur semua bidang kehidupan manusia secara sempurna dan menyeluruh (kaffah).

Dalam bidang pendidikan, Islam berpandangan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. Untuk itu negara berkewajiban untuk memenuhi semua sarana prasarana dan segala hal yang berkaitan dengan dunia pendidikan.

Negara akan mengalokasikan dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan sehingga bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat. Tidak ada perbedaan antara sekolah negeri atau swasta, sekolah umum maupun sekolah berbasis agama. Semua menjadi tanggung jawab negara. Tidak ada yang satu lebih diprioritaskan dan yang lain dinomorduakan. Semua mendapatkan perhatian penuh karena menjadi tanggung jawab pemerintah, yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah Swt.

Sebagaimana sabda Rasulullah saw yang artinya, "Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat. Dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya." (HR. Al-Bukhori)

Negara dalam Islam mempunyai pendapatan/pemasukan dana dari banyak sumber. Negara tidak mengandalkan pemasukan dari pajak, seperti yang terjadi pada negara yang menganut sistem kapitalisme.

Pemasukan negara ini dari pengelolaan sumber daya alam yang merupakan hak milik rakyat dan wajib dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat. Negara juga mendapatkan pemasukan dari harta ghanimah, fa'i, jizyah, khoroj dan zakat. Semua sumber pemasukan itu akan dikumpulkan di baitulmal dan akan didistribusikan untuk semua kebutuhan rakyat secara sentralisasi.

Dengan sistem pengelolaan dana terpusat, maka seluruh kebutuhan rakyat akan terpantau oleh negara, sehingga negara akan mampu membuat skala prioritas untuk memenuhi kebutuhan rakyat di segala bidang yang menjadi tanggung jawab negara.

Khatimah

Penerapan Islam secara kaffah di bawah pimpinan seorang khalifah akan mampu mengurus urusan umat dengan optimal. Semua ini akan bisa terwujud karena pemimpin dalam Islam akan menjalankan perannya sebagai pengurus urusan rakyat. Baginya jabatan adalah amanah yang merupakan tanggung jawab yang besar dihadapan Allah Swt.

Dengan sistem aturan Islam yang sempurna dan diridai oleh Allah Swt., insya Allah kehidupan umat Islam akan dipenuhi dengan kebaikan dan keberkahan.

Wallahualam bissawab. []

Dualisme Nilai Demokrasi, Kritis Dilabeli Anarkis

Demokrasi yang sarat ilusi. Berbanding terbalik antara teori dan fakta yang ada. Semua bisa dimanipulasi, tergantung situasi dan kondisi.

Oleh. Ni'matul Afiah Ummu Fatiya
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)

NarasiLiterasi.Id--Sungguh aneh dengan sistem demokrasi. Katanya suara rakyat adalah suara Tuhan, suara terbanyak yang jadi pemenang. Namun, mengapa ketika mayoritas masyarakat bersuara menyampaikan keluh kesah, menuntut keadilan dan memberikan masukan kepada pemerintah justru malah dikriminalisasi?

Seperti yang dikutip dari tempo.com pada Rabu, (24-9-2025) lalu, Komjen Syahardiantono, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri mengumumkan bahwa pihaknya telah menangkap 595 orang. Sejumlah 295 di antaranya adalah anak-anak. Mereka semua ditangkap dengan alasan sebagai pelaku kerusuhan pada peristiwa demonstrasi yang terjadi dari tanggal 25 sampai 31 Agustus 2025 lalu.

Terlepas dari adanya isu bahwa demonstrasi Agustus lalu ditunggangi oleh pihak tertentu. Namun, kasus penangkapan itu makin menguatkan sinyal bahwa rezim yang berkuasa saat ini bukan rezim yang menjalankan demokrasi secara murni, melainkan rezim yang represif anti kritik.

Hal itu diperkuat oleh Komisioner KPAI Aris Adi Leksono. Ia menyatakan bahwa penetapan 295 anak sebagai tersangka dalam kerusuhan pada akhir Agustus 2025, tidak memenuhi standar perlakuan terhadap anak. Tidak sesuai dengan UU Peradilan Anak, seperti adanya ancaman dikeluarkan dari sekolah. kompas.com, Jum'at (26-9-2025).

Pemicu Demonstrasi

Sebagaimana diketahui, demonstrasi yang digelar pada Agustus lalu pada awalnya berjalan dengan tertib. Massa yang berkumpul di depan gedung DPR adalah perwakilan dari mereka yang merasa selama ini telah terzalimi dengan penerapan sistem yang ada. Yang paling menonjol adalah adanya kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sangat signifikan di beberapa daerah. Hal ini memicu kemarahan publik.

Ditambah lagi, di saat yang sama justru pemerintah mengumumkan kenaikan tunjangan anggota DPR dengan jumlah yang cukup fantastis yang disambut dengan sukaria oleh para dewan. Bahkan beberapa oknum pejabat kerap memamerkan gaya hidup hedon di tengah kondisi masyarakat yang terpuruk karena banyaknya PHK, pengangguran di mana-mana, serta daya beli masyarakat yang merosot tajam. Mereka seperti tidak memiliki empati sama sekali terhadap kondisi masyarakat saat ini.

Demonstrasi yang mulanya berjalan damai, berubah menjadi ricuh setelah nasib nahas menimpa salah satu driver ojol. Affan Kurniawan, yang saat itu tengah mengantar pesanan terlindas oleh kendaraan taktis Barracuda kepolisian. Hal ini memicu kemarahan masyarakat makin meningkat, titik -titik aksi pun meluas.

Demokrasi Sarat Ilusi

Sesungguhnya, apa yang terjadi pada Agustus lalu hanyalah sebagian kecil dari luapan kekesalan dan kekecewaan massa. Sistem demokrasi kapitalis yang selama ini diterapkan telah mengakibatkan kerusakan luar biasa di berbagai bidang yang ada.

Maka, sebagai manusia normal yang diberi akal pasti bisa merasakan dampak kerusakannya. Tak terkecuali Gen Z, kesadaran mereka mulai terbuka. Mereka bisa merasakan ketidakadilan yang selama ini menimpa, sehingga mereka bangkit menuntut adanya perubahan.

Namun sayang, kesadaran politik yang muncul justru dikriminalisasi, ditunggangi oleh pihak yang punya kepentingan, baik kepentingan pribadi atau kelompok. Akhirnya perjuangan Gen Z ini berbelok arah, melenceng dari tujuan semula. Para aktivis yang kritis ini akhirnya ditangkap dan dikriminalisasi dengan tuduhan melakukan tindakan anarkis. Padahal sejatinya, ini adalah salah satu ciri dari rezim represif. Pejabat menggunakan aparat sebagai alat untuk membungkam suara rakyat, suara yang tidak sejalan dengan para konglomerat.

Inilah watak dasar demokrasi kapitalis. Demokrasi yang sarat ilusi. Berbanding terbalik antara teori dan fakta yang ada. Semua bisa dimanipulasi, tergantung situasi dan kondisi. Suara rakyat tidak lagi bermanfaat, meskipun benar. Sementara, suara konglomerat itu yang diyakini sebagai mandat, meskipun salah.

Baca juga: Politik Dinasti dan Demokrasi

Pemuda dalam Islam

Islam memandang pemuda dengan pandangan yang unik dan khas. Pemuda adalah tonggak perubahan. Di tangan mereka ditentukan nasib suatu bangsa. Maka penting untuk menanamkan pemahaman yang benar terkait dengan politik dan arah perubahan.

Dalam sistem demokrasi, aksi demonstrasi dijadikan sebagai alat untuk menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah. Namun, pada faktanya demonstrasi yang dilakukan tidak mampu mengubah keadaan secara signifikan. Maka yang diperlukan bukan sekadar perubahan rezim, melainkan perubahan sistem yang ada secara keseluruhan.

Di sisi lain, Islam telah mengajarkan amar makruf nahi munkar, termasuk menasehati penguasa sebagai kewajiban. Maka ketika ada pejabat atau penguasa yang melakukan kesalahan atau tindakan yang melanggar hukum syarak harus diingatkan dengan cara yang baik, sesuai tuntunan syariat, bukan dengan melakukan aksi demonstrasi yang akhirnya dikriminalisasi seperti saat ini.

Bahkan dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. mengatakan bahwa menasehati penguasa yang zalim termasuk ke dalam jihad yang paling utama.

Maka hendaknya para pemuda dibekali dengan pendidikan akidah yang kuat sejak dini. Penanaman akidah yang benar inilah yang akan menjadikan anak-anak memiliki pola pikir dan pola sikap Islam. Dan ketika muncul kesadaran politiknya saat dewasa, maka kesadaran politiknya itu akan terarah, lalu ia gunakan untuk berjuang demi mencari rida Allah Swt. Bukan sekadar meluapkan emosi yang berakhir dengan tindakan anarki.
Wallahualam bissawab.[]

Program MBG Menguntungkan atau Merugikan?

Program MBG sebenarnya sedang mengonfirmasi kegagalan negara dalam menjamin pemenuhan gizi rakyatnya.

Oleh. Sri Haryati
Kontributor NarasiLiterasi.Id

NarasiLiterasi.Id--Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu program andalan Presiden Prabowo Subianto yang digadang-gadang mampu memberi banyak keuntungan dan memberikan dampak signifikan bagi perekonomian masyarakat. Hal ini diperkuat oleh Bupati Bandung, Dadang Supriatna yang menyebut program MBG tidak hanya meningkatkan kualitas gizi, tetapi juga mampu menekan angka pengangguran secara bertahap.

Dadang menjelaskan, ribuan tenaga kerja baru akan terserap melalui program MBG yang terintegrasi dengan dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Menurutnya keberadaan MBG juga memberikan efek luas pada sektor pertanian, perikanan, dan peternakan di tingkat lokal. (koran-gala.id, 1-10-2025)

Tidak dimungkiri dengan adanya program MBG setidaknya mampu menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka pengangguran. Namun, sangat disayangkan pemerintah hanya melihat dari sisi kemanfaatan secara parsial saja, tetapi akibat buruknya tidak diperhatikan dan cenderung dianggap sepele. Padahal akibat buruk program MBG salah satunya keracunan sampai ada yang meninggal, bahkan menjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) dan masih terjadi sampai saat ini.

Sisi Negatif Program MBG

Menelan Biaya yang Sangat Besar

Untuk mendanai program MBG dalam APBN 2025, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp71 triliun. Dengan target 19,47 juta penerima manfaat, yang menyasar peserta didik mulai dari jenjang PAUD hingga SMA/sederajat, balita, ibu hamil, dan ibu menyusui.

Sungguh menelan biaya yang sangat fantastis, dan pastinya rawan dikorupsi. Padahal dana tersebut diperoleh dari berbagai macam pungutan pajak yang dibebankan kepada masyarakat.

Biaya Makin Besar karena Keracunan

Banyaknya siswa yang keracunan menyebabkan biaya makin besar karena semua pembiayaan ditanggung pemerintah. Dalam catatan JPPI hingga 21 September 2025 terdapat 6.452 kasus keracunan MBG. Kasus terbanyak (2.012 kasus) terjadi di Jawa Barat, DIY (1.047 kasus), Jawa Tengah (722 kasus), Bengkulu (539 kasus), dan Sulawesi Tengah (446 kasus). Serta baru-baru ini di Kecamatan Cipongor, Kabupaten Bandung Barat terjadi kasus keracunan yang menelan korban lebih dari 1.000 orang dan ditetapkan menjadi KLB (Kejadian Luar Biasa). Lonjakan ini membuktikan kegagalan sistemik MBG dalam menjamin keamanan pangan anak.

Sarat Praktik Korupsi

Program MBG rawan menjadi bancakan politik. Pemilihan mitra dapur bermasalah, konflik kepentingan kental, dan SPPG di banyak daerah tidak menerima pembayaran tepat waktu.

Dengan anggaran yang sangat besar, program MBG menjadi potensi korupsi baru. Praktik korupsi tersebut tidak hanya berpotensi menurunkan kualitas menu yang diberikan, juga menimbulkan potensi kerugian (potential lost).

Mengingat besarnya nilai akumulatif pemotongan yang terjadi secara masif dan sistemis. Dampaknya, penerima manfaat dipaksa mengonsumsi makanan basi, tidak layak konsumsi, bahkan minim karena dikorupsi.

Merusak Ekosistem Sekolah dan Komunitas

MBG mengacaukan ekosistem sekolah, karena pendidik terbebani tugas tambahan mengelola distribusi makanan, mencatat alergi siswa, hingga menangani keracunan. Kantin sekolah mengalami kerugian karena kehilangan pendapatan, dan komunitas/orang tua tersisih dari pemenuhan gizi anak.

Jauh dari Prinsip Kedaulatan Pangan

Program MBG belum sepenuhnya mencerminkan prinsip kedaulatan pangan nasional. Fakta yang terjadi di lapangan menunjukan bahwa, menu MBG masih menggunakan Ultra Processed Food yang tidak sesuai dengan prinsip gizi seimbang. Belum berfokus pada pemanfaatan dan pemberdayaan pangan lokal dan kesejahteraan petani serta pelaku UMKM lokal.

Jauh dari Ideal

Pelaksanaan MBG masih jauh dari kata ideal, sehingga butuh evaluasi ulang dan harus dihentikan. Sebagaimana disampaikan oleh pengamat kebijakan publik Kanti Rahmilah, M.Si., bahwa kebijakan populis ini sudah saatnya dihentikan karena gagal mencapai tujuan. Hal itu disampaikan kepada MNews, Ahad (28-9-2025). Beliau menuturkan, jika ketiga tujuan MBG dievaluasi, di antaranya memenuhi gizi seimbang, meningkatkan prestasi, dan menggerakan ekonomi, maka semuanya gagal. Buktinya ribuan anak malah keracunan.

Dengan program MBG sejatinya prestasi anak tidak dapat ditingkatkan, sebab proses belajar mengajar justru terganggu dengan sibuknya para pendidik dalam mengatur distribusi MBG. Begitupun dengan tujuan menggerakkan ekonomi, program MBG tidak bisa menggerakkan ekonomi masyarakat lokal. Hal ini nampak pada Investigasi Tempo dalam acara Bocor Alus (19-4-2025) yang menemukan bahwa, mayoritas yayasan yang melakukan MoU dengan BGN merupakan kroni penguasa. Artinya peningkatan ekonomi hanya berputar pada segelintir orang, bukan pada masyarakat lokal.

Baca juga: Ironi Tragedi Keracunan Massal MBG

MBG Bukan Solusi

MBG bukan solusi fundamental untuk mengatasi gizi buruk dan stunting. Jika pemerintah ingin mengurangi dan menyelesaikan persoalan gizi buruk dan stunting, seharusnya negara mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Ketika negara menjamin setiap kepala keluarga memiliki pekerjaan dan penghasilan yang layak, maka mereka mampu memenuhi gizi keluarganya.

Program MBG sebenarnya sedang mengonfirmasi kegagalan negara dalam menjamin pemenuhan gizi rakyatnya. Dengan banyaknya korban keracunan hingga mengakibatkan korban meninggal, bukankah rakyat yang dikorbankan dan menanggung kerugian. Bagaimana dampak psikologis anak-anak dan keluarga yang menjadi korban keracunan, apakah negara memperhitungkannya dengan matang?

Program yang diterapkan pemerintah selama ini bukan untuk kemaslahatan umat melainkan pencitraan semata. Dalam sistem politik demokrasi hal itu menjadi suatu keniscayaan, sebab penguasa hanya fokus pada pencitraan daripada memenuhi kebutuhan rakyat. Peran negara hanya sebagai regulator bagi korporasi. Kemaslahatan rakyat tidak pernah menjadi prioritas utama, penguasa hanya sibuk membuat aturan dan kebijakan yang menguntungkan korporasi dan kelanggengan kekuasaan mereka saja.

Sistem Islam Menjamin Pelayanan kepada Rakyat

Islam bukan sekadar agama yang mengatur ibadah saja, melainkan sebuah mabda (ideologi) yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Penguasa dalam Islam diperintahkan Allah Taala untuk mengurus rakyat dengan penuh amanah dan tanggung jawab, sesuai dengan aturan-aturan syariat.

Sistem Islam memiliki mekanisme untuk memenuhi gizi rakyat. Di antaranya : Pertama, terjaminnya kebutuhan primer setiap individu secara layak. Negara wajib memberikan kemudahan bagi rakyat dalam mengakses kebutuhan primer dan menyediakan pangan dengan harga murah.

Kedua, negara wajib membuka lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Dengan tersedianya lapangan pekerjaan bagi orang tua, maka setiap keluarga akan mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarganya. Meskipun negara memberikan makan bergizi di sekolah, anak-anak tetap mendapatkan makan bergizi seimbang di rumahnya.

Ketiga, sistem politik Islam tidak akan melahirkan penguasa populis. Penguasa dalam sistem Islam berfungsi sebagai raa’in, yaitu mengurus dan melayani segala kebutuhan masyarakat dengan amanah. Mereka memahami bahwa setiap perbuatan dan kepemimpinan mereka akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Kepentingan umat menjadi prioritas utama, sehingga seluruh program-program dan kebijakannya akan direncanakan dan dipersiapkan secara matang serta diawasi secara menyeluruh.

Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Setiap kalian adalah pemimpin dan tiap-tiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.“ (HR. Bukhari)

Khatimah

Dengan penerapan sistem Islam, setiap keluarga dapat menjamin kesejahteraan pangan dan gizi keluargannya. Negara akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi penanggung nafkah, sehingga rakyat tidak akan pusing memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan ekonomi dan pemenuhan gizi keluarganya. Sungguh, kesejahteraan, keadilan, dan keberkahan benar-benar nyata dalam sistem Islam. Wallahualam bissawab. []

Manuver Politik Barat Atas Tanah Palestina

Palestina dan umat Islam dipaksa untuk mengakui keberadaan dan kedaulatan negara Israel. Ini adalah sebuah kemenangan besar bagi pencuri sekaligus penjajah.

Oleh. Kurnia Dewi
Kontributor NarasiLiterasi.Id

NarasiLiterasi.Id--Kelompok dakwah pembebas mengitari Palestina. Mereka berdiri di negeri-negeri kaum muslim seperti Suriah, Mesir, Lebanon, Yordania, dan Gaza sendiri sebagai ancaman bagi Zionis yang sedang melakukan genosida di Gaza-Palestina, jantung Timur Tengah. Atas dasar radar inilah Barat membentengi kepentingan mereka di Palestina menggunakan manuver politik yang didalangi oleh Trump dan sekutu laknatullah dengan memproklamirkan 20 poin rencana perdamaian dengan nama Comprehensive Plan to End the Gaza Conflict. (kompas.tv, 30-9-2025)

Untuk Kepentingan Siapa?

Tujuan dari 20 poin ini mengacu pada two states solution.

Pertama, mengakui kedaulatan Israel.

Palestina dan umat Islam dipaksa untuk mengakui keberadaan dan kedaulatan negara Israel. Ini adalah sebuah kemenangan besar bagi pencuri sekaligus penjajah. Maka two states solution dinilai amat menguntungkan bagi pelaku pencaplokan tanah umat Islam di Palestina yaitu Zionis. Barat juga tidak ketinggalan diuntungkan rencana ini. Keberadaan negara Zionis di Timur Tengah merupakan upaya Barat untuk menancapkan pisau di jantung Islam. Israel dijadikan Barat sebagai pangkalan militer raksasa yang berguna untuk memata-matai dan menghalau ancaman potensi nuklir dari negeri Syam dengan motif War on Terrorism.

Barat tidak akan membiarkan negeri kaum muslim untuk memiliki senjata kuat yang berpotensi mengalahkan mereka. Barat juga mengupayakan untuk membuat pemerintah transisi di Palestina di bawah pengawasan Dewan Perdamaian Internasional yang diketuai oleh Trump. Sehingga terwujud Palestina di bawah kekuasaan Barat. Penghancuran syariat Islam dari dalam dapat dilakukan melalui kebijakan sekuler dan sesat khas mereka.

"'Jika penduduk Syam rusak agamanya, maka tidak tersisa kebaikan di tengah kalian. Keistimewaan Negeri Syam lainnya karena negeri tersebut dinaungi sayap malaikat rahmat dan merupakan pusat negeri Islam pada akhir zaman.” (HR at-Tirmidzi)

Kedua, membungkam upaya jihad.

Pengakuan dua negara seolah-olah memberikan angin segar bagi kebebasan Palestina. Sehingga umat Islam tidak perlu lagi memusatkan pikiran dan perhatian untuk menyuarakan jihad demi membebaskannya. Jihad yang dilancarkan saat ini sedikit banyak telah membuat Barat kuwalahan meski belum berhasil dimenangkan. Namun, setidaknya perjuangan para jihadis telah membentuk opini dunia akan kekejian Zionis dan anteknya.

Opini ini berhasil mengubah arah pandang perpolitikan banyak negara di dunia untuk bekerja sama dengan Zionis karena masifnya penolakan dari masyarakat yang sadar. Meskipun di bawah meja para pemimpin negara-negara di dunia sedang berkhianat pada perjuangan mereka dengan menyepakati opsi two states solution.

Umat Islam Wajib Menolak Solusi Dua Negara

Kewajiban umat Islam untuk menolak two states solution didasari pada fakta bahwa Syam termasuk Palestina secara utuh adalah tanah kharaj milik mereka. Syam adalah tanah yang diberkahi Allah untuk umat Islam dan menjadi benteng terakhir pada perang besar akhir zaman.

Ketika terjadi fitnah, iman akan berada di Syam.” (HR Ahmad)

Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menang dalam memperjuangkan kebenaran. Tidak akan membahayakan mereka orang yang menelantarkan mereka hingga datang keputusan Allah, dan mereka tetap demikian adanya.” Para sahabat bertanya: “Di manakah mereka?” Beliau menjawab: “Di Baitul Maqdis dan sekitar Baitul Maqdis.” (HR Ahmad)

Baca juga: Dilema Resolusi Palestina

Jihad di Bawah Lindungan Sistem Islam

Jihad fii sabilillah adalah kewajiban bagi umat Islam. Tujuannya adalah untuk membela dan menjunjung tinggi agama Allah Ta'ala. Pengaturan jihad tertuang dalam syariat Islam. Yang perlu dipahami bahwa jihad tidak akan pernah berhasil tanpa ada naungan dari negara yang menerapkan sistem Islam secara mutlak. Karena kedudukan negara yang menerapkan sistem Islam (khilafah) adalah sebagai susunan pemerintahan yang mengatur terpenuhinya segala kebutuhan menunaikan perintah Allah termasuk jihad.

Jihad menempatkan negara sebagai aktor. Negara wajib mengadakan persiapan matang berupa strategi, persenjataan, industri militer, tentara yang kuat, dan sumber daya yang memadai. Sehingga jihad tidak bisa dilakukan oleh sekelompok orang atau golongan semata.

Sebagaimana Allah tidak pernah memerintahkan Rasulullah untuk mengangkat pedang untuk membebaskan negeri-negeri sebelum beliau mendirikan negara Islam di Madinah. Sedangkan apa yang terjadi di Palestina saat ini adalah peperangan sekelompok pejuang melawan negara-negara kafir yang bersekutu.

Pernahkah kita berpikir mengapa yang berperang melawan Hamas bukan kelompok kafir saja? Mengapa harus negara kafir yang turun tangan? Karena mereka sadar bahwa kepentingan perang adalah urusan negara. Sedangkan saat ini umat Islam tidak memiliki negara yang menaungi mereka menggunakan sistem Islam yang menyeluruh sebagaimana negara yang pernah didirikan oleh Rasulullah sehingga harus berjuang sendiri-sendiri.

Khatimah

Oleh karena itu, umat Islam harus segera sadar dan bangun dari pemikiran nasionalisme yang membuat umat tersekat-sekat dengan konsep negara kebangsaan. Allah menciptakan manusia dengan kebangsaan yang berbeda-beda dengan tujuan saling mengenal, bukan untuk bersikap individual. Umat Islam di seluruh dunia adalah saudara dan harus bersatu dalam naungan sebuah negara agar dapat menunaikan seluruh kewajiban ibadah termasuk berjihad di jalan Allah.

Dengan demikian Palestina bisa segera merdeka sebagaimana pernah dibebaskan oleh khalifah Umar bin Khattab dari cengkeraman Bizantium pada 637 Masehi dan Shalahuddin al-Ayyubi dari tentara Salib pada tahun 1187 Masehi. Wallahualam bissawab. []

Derita Gaza: Urgensi Kepemimpinan Islam

Derita Gaza saat ini menegaskan bahwa perlunya solusi mendasar yang bersifat syar‘i. Islam mengajarkan bahwa penjajahan hanya dapat dihentikan melalui penerapan hukum Allah secara menyeluruh (kaffah).‎

Oleh. Sri Yana, S.Pd.I.
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)


‎NarasiLiterasi.Id--Serangan militer Zionis terhadap Gaza makin hari makin membabi buta. Wilayah yang sejak lama mengalami blokade oleh Zionis Yahudi itu terus dihujani roket dan peluru. Serangan militer tersebut tidak hanya menimpa warga sipil, tetapi juga para jurnalis yang tengah menjalankan tugas peliputan. Banyak jurnalis dilaporkan gugur dalam serangan tersebut.

Sebagaimana dilansir bbc.com, 26-8-2025 bahwa setidaknya 20 orang, termasuk lima jurnalis yang bekerja di media internasional, tewas terbunuh dalam serangan ganda Israel di Rumah Sakit Nasser yang berlokasi di Khan Younis, Gaza bagian selatan, wilayah yang dikuasai oleh Hamas menurut Kementerian Kesehatan.

Para jurnalis tersebut bekerja untuk kantor berita internasional seperti Associated Press, Reuters, Al Jazeera, dan Middle East Eye, seperti dikonfirmasi oleh media-media tersebut.

Pelaparan Sistemis

Karena ‎blokade dan gempuran yang berkepanjangan tak ayal menyebabkan krisis pangan akut. Pelaparan sistematis pun tengah melanda Gaza akibat blokade yang dilakukan oleh Zionis Yahudi. Sejumlah negara dilaporkan turut berupaya menyalurkan bantuan berupa bahan makanan dan kebutuhan pokok lainnya untuk mengatasi tragedi pelaparan di Gaza.

‎Ironisnya, di tengah hujan rudal yang meluluhlantakkan Gaza, negara-negara Arab cenderung diam. Padahal, sebagai tetangga Palestina dan saudara seiman, seharusnya mereka menjadi pihak yang paling lantang bersuara dan bergerak membela. Sayangnya, dukungan nyata dari para pemimpin Arab justru nyaris tak terdengar.

‎Upaya penyaluran bantuan yang telah dilakukan pun belum sepenuhnya efektif. Misalnya, distribusi bantuan melalui udara oleh Yayasan Kemanusiaan Gaza (THF) dinilai tidak memadai karena berpotensi membahayakan keselamatan warga. Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, bahkan dikabarkan berencana mengambil alih pendistribusian bantuan tersebut. Beberapa negara Teluk, seperti Qatar, juga disebut akan memberikan dukungan dana. (tried.co.id, 2-9-2025)

Gaza Sumud Flotilla

Meski bantuan terus mengalir, berbagai langkah kemanusiaan ini belum mampu menghentikan kejahatan Zionis. Salah satu contoh adalah Gaza Sumud Flotilla, yakni sebuah misi kemanusiaan yang melibatkan aktivis, jurnalis, tenaga medis, politisi, hingga figur publik dari 44 negara. Lebih dari 50 kapal dan ratusan relawan bergabung untuk menerobos blokade yang selama ini menghambat arus barang dan manusia. Kendati demikian, misi ini tetap belum cukup untuk menuntaskan penderitaan rakyat Gaza.

‎Derita Gaza saat ini menegaskan bahwa perlunya solusi mendasar yang bersifat syar‘i. Islam mengajarkan bahwa penjajahan hanya dapat dihentikan melalui penerapan hukum Allah secara menyeluruh (kaffah). Sebagaimana firman Allah Swt.:

ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ ٢٠٨

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-baqarah ayat 208)

Maksud ayat di atas, kita diperintahkan Allah atas kewajiban penerapan hukum Islam secara keseluruhan. Baik berkaitan dengan akidah, syariah, ibadah, muamalah, ekonomi, sosial, politik, hingga pemerintahan (Khilafah).

Baca juga: Hentikan Bencana Kelaparan di Gaza

Paradigma Islam

Dengan demikian menerapkan Islam kaffah tidak cukup hanya menerapkan syariah Islam dalam sebagian aspek kehidupan tertentu dan meninggalkan sebagian yang lain. Misalnya seluruh peraturan akan diterapkan kecuali sistem pemerintahan dan sistem ekonomi. Apalagi hanya menerapkan sebagian kecil hukum Islam, selebihnya bukan hukum Islam. Terdapat kecaman yang keras bagi yang tidak melaksanakan hukum Islam secara kaffah/menyeluruh, yaitu dianggap mengikuti langkah-langkah setan. Karena setan mengajarkan untuk tidak baik.

Seperti rusaknya sistem sekularisme yang telah mengakar di dunia Muslim harus diganti dengan penerapan syariat Islam dalam bingkai kepemimpinan global, yakni Khilafah. Penerapan Khilafah akan terwujud ketika umat Islam memiliki kesadaran, pemahaman, dan kesatuan pemikiran yang sama untuk menuntut kepemimpinan yang diridai Allah.

‎Proses menuju kesadaran itu memerlukan dakwah dan pencerahan yang terus-menerus di tengah umat. Di dalam dakwahnya, Rasulullah saw melakukan penanaman pemikiran (tsaqofah) Islam secara intensif bersama-sama kaum mukmin yang lain, baik di Darul Arqam, di rumah para sahabat yang lain, maupun di tengah-tengah masyarakat.

Penanaman pemikiran yang dilakukan Rasulullah dilakukan juga oleh para pengemban dakwah kepada umat, sehingga umat memahami kewajiban kepemimpinan Islam, mereka akan bersatu mengerahkan seluruh potensi untuk membela Palestina. Karena Palestina adalah tanah yang diberkahi Allah yang harus dijaga oleh kaum muslim.

Sebagaimana firman Allah Swt.:
"Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya…" (TQS. Al Isra':1)

Khatimah

Sejatinya umat harus membela negara manapun yang terjajah, apalagi Palestina yang sangat dimuliakan Allah. Sebab, persaudaraan sesama Muslim adalah satu tubuh. Andai satu bagian sakit, seluruh tubuh akan ikut merasakan dan merespons penderitaan tersebut.

‎Kini saatnya umat Islam meneguhkan persatuan dan memperjuangkan penerapan Islam secara menyeluruh, agar bumi Palestina terbebas dari penjajahan dan kezaliman. Wallahualam bissawab. []


Hubungan Negeri-Negeri Islam dan Israel

Sudah seharusnya umat Islam bangkit dan bersatu melakukan perubahan dan pembenahan dalam berbagai aspek kehidupan sesuai dengan keteladanan hidup Rasulullah saw.

Oleh. Ummi Fatih
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Selama ini sudah diketahui bahwa Amerika adalah sekutu utama Zionis Israel yang melakukan aksi genosida di Palestina. Namun demikian, negara-negara di seluruh dunia pun tampaknya turut menjadi sekutu mereka.

Meskipun jalinan persekutuan itu masih belum jelas karena informasi yang diberitakan lebih banyak menunjukkan bahwa mereka mengirim ancaman dan penentangannya. Namun, jika diselidiki lebih lanjut support globalnya makin mengarah pada rencana-rencana strategis ala Amerika dan Israel.

Misalnya, dari segi politik global, bidan kelahiran implementasi solusi dua negara bagi Palestina dan Israel sesungguhnya adalah Amerika. Buktinya pada tahun 1948 lembaga dunia PBB yang diketuai oleh Amerika telah menyetujui rancangan tersebut.

Pada akhirnya, bangsa Yahudi diberi label kemerdekaan sebagai negara Israel. Akibatnya, mereka tidak sungkan lagi untuk maju memerangi Palestina dengan alasan mempertahankan wilayah kedudukannya.

Jalinan Persekutuan

Lantas, jika metode implementasi solusi dua negara tersebut saat ini masih dipilih oleh 142 anggota PBB sebagai suatu bentuk perdamaian dan keamanan antara Israel dan Palestina, (kompas.com, 23-09-2025) bukankah hal itu sangat tidak berguna? Bahkan lebih menunjukkan persekutuan karena memberi izin bagi Israel untuk merebut hak-hak Palestina.

Selanjutnya, dari segi ekonomi, negeri-negeri umat Islam sendiri pun masih menunjukkan jalinan persekutuan itu. Contoh konkretnya bisa ditengok pada kunjungan Trump ke negara-negara Arab pada bulan Mei 2025 yang disambut meriah.

Trump pun sudah menyatakan akan melakukan perjanjian penjualan senjata sebesar triliunan rupiah dengan Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab. Pada faktanya dia juga mendesak negara-negara Arab tersebut untuk menjalin persahabatan erat dengan Israel.

Bahkan Trump telah meminta Suriah untuk menormalisasi hubungan dengan Israel melalui penandatanganan Perjanjian Abraham. (tempo.co, 15-5-2025)

Kemudian, dalam upaya pemboikotan produk-produk Zionis Israel, faktor persekutuan masih bisa ditemukan juga. Pasalnya, berbagai tawaran Amerika selaku sekutu utama Zionis masih diterima di seluruh dunia.

Akibatnya pengendalian faktor ekonomi yang bertujuan agar Israel kehabisan dana dan berhenti melakukan aksi genosida pun tidak bisa diwujudkan. Israel masih kuat mengangkat senjata dan membantai setiap hari.

Sebagai contohnya adalah Indonesia yang merupakan negeri berpenduduk muslim terbesar dunia. Jika sebelumnya ia sudah berteriak keras untuk melakukan boikot produk-produk Israel dan para pendukungnya. Namun, ternyata ia justru memilih melakukan kesepakatan penurunan tarif ekonomi dengan Amerika Serikat dari 32% menjadi 19% dengan syarat utama agar Indonesia menerima impor segala produk Amerika. Dengan demikian, bukankah Amerika masih tetap akan lancar mengalirkan dana bantuannya pada Israel?

Akhirnya muncullah dua inti pertanyaan yang harus dijawab dengan benar, yakni mengapa kehormatan dan kewibawaan para pemimpin negara Islam itu hilang? Dan apa yang harus kita lakukan?

Jawaban Islam

Dari berbagai upaya politik Amerika yang menggunakan sistem kapitalisme, umat Islam seharusnya sadar bahwa sistem tersebut telah meracuni pemikiran para pemimpin dan menjauhkan mereka dari Islam.

Bahkan para pemimpin itu pun sudah termasuk golongan orang munafik yang hanya mengaku muslim, tetapi lebih condong pada kaum kafir. Padahal, Allah Swt. telah berulang kali mengingatkan agar tidak menjadikan kaum kafir itu sahabat dan pemimpin umat. Dalam Al-Qur'an Allah Swt. berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan teman orang-orang yang di luar kalanganmu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya menyusahkan kamu. Mereka mengharapkan kehancuranmu. Sungguh, telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih jahat. Sungguh, telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu mengerti." (QS. Ali Imron: 118)

Oleh karena itu, sudah seharusnya umat Islam juga bangkit dan bersatu melakukan perubahan dan pembenahan dalam berbagai aspek kehidupan sesuai dengan keteladanan hidup Rasulullah saw., para sahabatnya, dan pemimpin saleh dahulu kala.

Baca: Hentikan Bencana Kelaparan di Gaza

Hal yang harus dilakukan oleh umat adalah:

Pertama, melalui penyatuan diri dalam kelompok dakwah ideologis Islam. Sebab dengan bersatu pada kelompok dakwah tersebut akan membuat kita paham bahwa Islam tidak hanya sekadar agama spiritual.

Namun, Islam adalah agama sempurna yang memiliki berbagai aturan kehidupan, termasuk politik, ekonomi, militer, dan lainnya. Dengan demikian, pemahaman itu akan membuat kita semakin mengenal Islam dan berempati pada saudara seiman yang seharusnya diselamatkan.

Kedua, saat pemahaman itu tertanam dalam pikiran dan jiwa, kita akan paham pula bahwa Islam dulu pernah memiliki sebuah negara berpengaruh besar yang disebut Khilafah.

Mulanya, Khilafah berdiri di bawah kendali Rasulullah di Madinah yang berhasil melenyapkan peradaban jahiliah. Selanjutnya, bendera Khilafah dapat pula dikibarkan oleh para Khulafaur Rasyidin di atas tanah Persia dan Romawi yang mereka taklukkan.

Hal itu terus berlanjut hingga generasi Khilafah Ummayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah pun dapat menjadi kiblat global sepanjang 13 abad. Umat Islam terlindungi, umat kafir pun diikat perjanjian damai yang tak dikhianati.

Ketiga, berdakwah tentang kebenaran Islam yang sudah banyak dilupakan serta mengenalkan kembali para pemimpin dan sebagian besar umat Islam tentang Khilafah. Dengan begitu, roda kehidupan umat islam akan berputar di jalan yang lurus, dikendalikan seorang sopir dalam sebuah kendaraan Khilafah yang tunduk pada rambu-rambu Allah Swt. sehingga mereka pun selamat dari berbagai jebakan kehidupan. Sesuai janji Allah Swt. dalam surah An-Nisa ayat 59:

"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’ān) dan Rasul (sunahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." Allahu a’lam. []

Bijak Bermedsos, Islam Tuntunan yang Relevan

Seorang muslim tentu harus sadar dan yakin akan adanya hari pembalasan. Yakni, hari saat segala aktivitas kita akan dimintai pertanggungjawaban, termasuk dalam bermedsos.

Oleh. Rida Ummu Zananby
Kontributor NarasiLiterasi.Id

NarasiLiterasi.Id--Ada sekitar 167 juta penduduk Indonesia yang menggunakan media sosial setara 60,4% dari total populasi. Hal ini membuat Indonesia berada pada peringkat ketiga di Asia Pasifik dan peringkat keempat di dunia. Angka ini menunjukkan adanya dominasi media sosial dalam kehidupan sehari-hari. Adapun platform YouTube dan Instagram menjadi platform yang paling sering diakses oleh pengguna media sosial di Indonesia. (aIoverview.com, 28-9-2025)

Global Digital Report melaporkan ada 5,25 miliar orang yang aktif di medsos. Hanya saja perasaan terhubung media sosial ini tidak mampu menghilangkan perasaan sepi. Linimasa yang dipenuhi video hiburan dan kisah personal masih membuat banyak pengguna terasing di dunia nyata. Terlebih kebiasaan Gen Z yang hampir selalu berselancar di medsos, khususnya TikTok. Kebiasaan ini ternyata tidak mampu menghilangkan rasa kesepian dan insecure bahkan bisa berujung pada masalah kesehatan mental.

Kebebasan Bermedsos

Semua ini bukanlah sekadar persoalan literasi digital dan manajemen penggunaan gadget. Akan tetapi, jika kita perhatikan dan pahami kondisi saat ini adalah akibat dari diterapkannya sistem kapitalisme-liberalisme. Sistem ini telah membentuk pemikiran masyarakat akan nilai materialistis dan kebebasan berekspresi dan bereaksi terhadap segala sesuatu.

Dorongan penggunaan medsos banyak terpengaruh oleh pemahaman ini. Mereka merasa lebih bebas untuk berinteraksi juga menawarkan cara menghasilkan uang melalui media sosial. Dengan makin banyaknya konten-konten yang di-upload agar trending dan dilihat oleh banyak pengguna medsos dapat berbuah monetisasi atau materi.

Ini salah satu bukti adanya industri kapitalis dalam media sosial. Para pelaku media sosial digiring untuk melakukan interaksi sebanyak-banyaknya tanpa memedulikan lagi batasan interaksi antara pria dan wanita. Semuanya dibebaskan dengan tujuan yang sama yakni materi.

Maka tak ayal masyarakat pun menghabiskan waktu lebih banyak untuk berinteraksi di media sosial dibandingkan dengan berinteraksi di dunia nyata. Jika dibiarkan, hal ini akan berdampak buruk, bahkan sampai mengantarkan pada malapetaka.

Dampak Buruk Bermedsos

Hal seperti ini akan melahirkan sikap asosial yang menjadikan masyarakat sulit bergaul di dunia nyata. Di tengah keluarga pun pola hubungan antar anggota keluarga terasa sangat jauh. Tentu ini adalah sesuatu yang dapat merugikan umat.

Kondisi seperti ini menjadikan generasi menjadi lemah tak berdaya. Kepedulian terhadap persoalan umat tidak akan mampu terindera dan tergambar oleh masyarakat yang terjebak dalam kesepian ini. Padahal generasi memiliki potensi besar untuk menghasilkan karya-karya produktif untuk kemaslahatan umat dan menjadi pembuka kebangkitan umat menuju perubahan yang hakiki sebagai mana pandangan Islam.

Dari sini, masyarakat segera sadar bahwa pengaruh media sosial yang tidak dikelola dengan bijak maka akan mengantarkan pada kemerosotan dan kerusakan. Sehingga kaum muslim harus segera kembali menjadikan Islam sebagai identitas utama, sehingga mampu meninggalkan sistem kapitalis liberal yang menyesatkan.

Baca juga: Cancel Culture: Fenomena Sosial yang Kontroversial

Pandangan Islam

Seorang muslim tentu harus sadar dan yakin akan adanya hari pembalasan. Yakni, hari saat segala aktivitas kita akan dimintai pertanggungjawaban, termasuk dalam bermedsos. Malaikat akan selalu mencatat mengawasi segala apa yang kita tulis, buat, dan kita bagikan.

Oleh karenanya, kita tidak boleh tersihir dengan hanya menghabiskan waktu untuk bermedia sosial saja. Sebagaimana Allah Swt. berfirman, "Barang siapa yang mengerjakan kebaikan sekecil apa pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al-Zalzalah: 7-8)

Selain itu juga Allah Swt. memerintahkan orang-orang beriman untuk saling menasihati dan berani menyampaikan kebenaran meskipun itu sangat pahit. Jika pada zaman Rasulullah saw. berdakwah hanya memakai pena (surat) dan lisan, hari ini sarana tersebut berkembang menjadi medsos yang dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan Islam, baik berupa tulisan, video, atau suara.

Namun hal ini tidak berarti bisa meninggalkan metode yang Rasulullah saw. ajarkan yakni dengan berinteraksi secara langsung di dunia nyata. Melakukan pembinaan secara langsung, melakukan dakwah secara langsung sampai umat diberikan pertolongan oleh Allah Swt. berupa penerapan Islam secara kaffah sebagaimana di Madinah dahulu.

Maka jika masyarakat sudah memahami pemikiran akan pentingnya interaksi secara langsung dalam masyarakat dan dengan dibekali ilmu yang merupakan hasil dari pembinaan secara langsung maka masyarakat tidak akan merasa insecure atau kesepian sebagaimana hari ini banyak dirasakan oleh pengguna sosial media.

Peran Negara

Peran negara pun diperlukan sebagai pengontrol dan pelindung bagi masyarakat agar media sosial bisa dikendalikan sebagaimana pandangan Islam. Sehingga umat akan menggunakannya secara bijak dan bervisi akhirat.

Adanya landasan keimanan yang kuat akan membuat seseorang memahami adanya kewajiban dalam menyampaikan kebenaran. Sebagaimana yang telah tertulis dalam Al-Qur’an. Seperti firman Allah Swt, “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata, "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (QS. Fussilat: 33)

Dengan demikian maka dalam sistem Islam, masyarakat akan dibina oleh negara dengan dorongan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. dalam menggunakan media sosial. Dengan keimanan dan ketakwaan ini penggunaan media sosial akan dilakukan dengan bijak dan akan mengantarkan masyarakat menjadi orang-orang yang beruntung karena didorong oleh keimanan

Khatimah

Dalam sistem Islam negara tidak akan membiarkan industri kapitalisme menguasai media sosial. Sehingga konten-konten atau interaksi tidak hanya sebatas banyak viewer tetapi apakah akan berdampak buruk pada generasi atau tidak. Maka media sosial juga akan dimanfaatkan sebagai sarana dakwah amal makruf nahi mungkar, dan sebagai sumber informasi. Wallahualam bissawab. []

Di Balik Keracunan Program MBG

Mirisnya, dengan banyaknya kasus keracunan akibat MBG, pemerintah tidak segan-segan memberikan solusi dengan asuransi MBG.

Oleh. Ninik Suhardani
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)

NarasiLiterasi.Id--Program unggulan yang diusung Presiden Prabowo, yakni Makan Bergizi Gratis (MBG), hingga saat ini masih menuai kontroversi. Program unggulan yang resmi dilaksanakan pada 6 Januari 2025. Di mana peluncurannya secara serentak di 26 provinsi di Indonesia dengan target penerima manfaat mencapai 82,9 juta jiwa.

Namun, sejak awal peluncuran program terjadi kasus keracunan program MBG dan terus berulang hingga saat ini. Wilayah dan jumlahnya yang terkena kian melebar dan bertambah hingga mencapai ribuan siswa.

Berdasarkan data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), jumlah korban keracunan MBG per 21 September 2025 mencapai 6.452 orang. Berdasarkan data ini, Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji mengatakan, pemerintah seharusnya menghentikan sementara program MBG. (Tempo.co, 26-09-2025)
Lantaran banyak kasus keracunan program MBG, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dan juga Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mendesak pemerintah menghentikan dan mengevaluasi program Makan Bergizi Gratis.

Meskipun sejumlah aspirasi dari masyarakat meminta adanya evaluasi total hingga penghentian sementara. Namun pemerintah melalui Wakil Menteri Sekretaris Negara menegaskan tetap terus berjalan dengan melakukan langkah korektif. (Media Indonesia, 25-09-2025)

Ada Apa Di Balik Keracunan MBG?

Program unggulan yang bertujuan menggurangi malnutri, stunting, meningkatkan kualitas sumber daya manusia (generasi muda) dan diharapkan memperkuat ekonomi melalui keterlibatan masyarakat dalam UMKM sehingga berharap mampu memberikan stabilitas harga pangan.

Namun, pada prakteknya program ini masih jauh dari tujuannya. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia saat ini tidak siap membuat program yang benar-benar untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Mirisnya, dengan banyaknya kasus keracunan akibat MBG, pemerintah tidak segan-segan memberikan solusi dengan asuransi MBG. Hal ini menunjukkan adanya komersialisasi risiko. Di mana pemerintah seharusnya membuat solusi yang preventif untuk mencegah terjadinya kasus yang sama, tetapi justru mencari keuntungan.

Kasus keracunan yang mencapai 6000 lebih ini bersifat sistemik bukan teknis. Artinya tata kelola harus diatur ulang dengan baik dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Standar food safety benar-benar harus terpenuhi. Jadi bukan sekadar kejar target semata atau hanya sekadar mengambil keuntungan. Di samping itu prosedur penyedia makanan harus diperhatikan, sebab makan itu adalah asasi. Dalam penyediaan makanan harus sesuai standar keamanan, tidak boleh bertentangan dengan adat, kepercayaan, dan agama.

Sementara dari sisi infrastrukturnya banyak yang harus disiapkan. Termasuk pembinaan pengelola SPPG, mereka harus paham terkait dengan keamanan pangan mulai dari bahan sampai pada distribusi. Mereka harus paham bagaimana menjaga makanan agar tidak basi saat didistribusikan.

Di sisi lain aroma kapitalisasi program MBG sangat kental. Hal ini ditandai dengan adanya berbagai praktek penyelewengan. Di antaranya:

Pertama, adanya keterlibatan pihak ketiga yang pastinya akan mengambil keuntungan.

Kedua, membuka peluang indutrialisasi agrikultur.

Ketiga, pemangkasan anggaran di sektor strategis.

Keempat, membuka peluang bagi korupsi sistemik akibat lemahnya tata kelola.

Baca juga: Telaah Kritis Program Makanan Bergizi Gratis (MBG)

Islam Solusi Preventif

Program MBG bukan sebuah solusi preventif yang mampu menyelesaikan kasus stunting. Kasus stunting adalah ketidakmampuan terpenuhinya kebutuhan makan bergizi untuk anaknya disebabkan oleh faktor kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Sehingga penyebab pokok inilah yang harus diselesaikan yaitu kemiskinan.

Jika kita telusuri anggaran yang dialihkan ke program ini sebesar 71 triliun. Dan diambilkan dari anggaran pendidikan 30% anggaran kesehatan 10%, dari sini terkesan dipaksakan. Menurut Menteri Keuangan baru 15-16T yang terserap, sementara yang lainnya habis untuk proses administratif. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa program ini tidak efektif dan efisien dalam menyelesaikan permasalahan pokok masyarakat.

Indonesia dengan kapitalisme sebagai asasnya, telah gagal menjamin terpenuhinya gizi generasi bangsa. Negara hanya berfungsi sebagai regulator semata. Dengan adanya asuransi MBG, justru menunjukkan adanya komersialisasi risiko. Sudah seharusnya pemerintah membuat solusi yang preventif untuk mencegah terjadinya kasus yang sama, bukan mencari keuntungan.

Terjaminnya Kesejahteraan

Berbeda dengan Islam dengan aturan yang berasal dari Allah Swt. Dalam Islam, pemimpin bertanggung jawab sepenuhnya terhadap rakyat. Pemimpin adalah ra'in (penggembala) yang akan dimintai tanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Negara tidak hanya memberikan layanan, tetapi juga memastikan kesejahteraan rakyat terpenuhi secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan mekanisme langsung maupun tidak langsung.

Sementara dari sisi pembiayaan program-programnya, negara Islam tidak bergantung pada utang luar negeri atau pajak yang mencekik rakyat. Melainkan mengelola sumber daya alam melalui baitulmal.

Dengan sistem ini, kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan tanpa menjadikan mereka “korban percobaan” dari program yang terburu-buru. Semua ini hanya dapat terwujud jika negara yang menerapkan sistem Islam, yakni Khilafah. Wallahu a'lam bishshawab. []