Ironi Keuntungan Produsen Senjata di Tengah Konflik Peperangan

Islam menegaskan bahwa kekuatan militer adalah amanah, bukan ladang bisnis. Senjata bukan alat eksploitasi, melainkan instrumen penjaga keadilan dan pelindung umat dari kezaliman.

Oleh. Diyani Aqorib
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)

NarasiLiterasi.Id-Perang merupakan kondisi yang sangat tidak diinginkan oleh siapa pun. Di satu sisi, perang melahirkan penderitaan, kesedihan, kematian, kelaparan, pengungsian massal, serta hancurnya tatanan kemanusiaan. Anak-anak kehilangan masa depan, perempuan kehilangan rasa aman, dan rakyat sipil menjadi korban paling nyata. Namun, di sisi lain, ada pihak-pihak yang justru berpesta di tengah tragedi tersebut. Mereka adalah para produsen senjata. Sungguh ironis dan mengerikan. Beginilah wajah asli kapitalisme.

Dilansir dari cnnindonesia.com (1-12-2025), sejumlah perusahaan produsen senjata justru meraup keuntungan besar-besaran di tengah konflik dan peperangan yang melanda berbagai wilayah dunia. Berdasarkan laporan AFP, 100 produsen senjata terbesar di dunia mencatatkan pemasukan hingga US$679 miliar atau setara Rp11.304 triliun pada tahun 2024.

Para peneliti mencatat bahwa perang di Ukraina dan agresi brutal di Jalur Gaza telah mendongkrak permintaan senjata secara masif. Meski demikian, kendala produksi masih menghambat pengiriman. Secara keseluruhan, pemasukan tahun 2024 meningkat 5,9 persen dibanding tahun sebelumnya. Bahkan dalam rentang 2015–2024, pendapatan 100 produsen senjata teratas melonjak hingga 26 persen, menurut data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI).

Peneliti SIPRI Jade Guiberteau Ricard mengungkapkan bahwa lonjakan keuntungan ini terutama didorong oleh kawasan Eropa, seiring meningkatnya persepsi ancaman dari Rusia akibat perang Ukraina. Permintaan datang tidak hanya dari Ukraina, tetapi juga dari negara-negara sekutunya yang mendukung secara militer. Selain itu, banyak negara Eropa tengah memperluas dan memodernisasi militernya, sehingga menciptakan pasar baru yang sangat menguntungkan bagi industri persenjataan.

Dari 100 perusahaan produsen senjata tersebut, 39 berasal dari Amerika Serikat, dengan tiga perusahaan teratas adalah Lockheed Martin, RTX (Raytheon Technologies), dan Northrop Grumman. Total pendapatan perusahaan-perusahaan senjata AS mencapai US$334 miliar pada 2024, hampir separuh dari total pendapatan global industri senjata. Sementara itu, 26 perusahaan Eropa mencatatkan pertumbuhan pendapatan agregat 13 persen, mencapai US$151 miliar. Bahkan perusahaan asal Ceko, Czechoslovak Group, mengalami lonjakan pendapatan fantastis sebesar 193 persen, menjadi US$3,6 miliar, kenaikan tertinggi diantara 100 perusahaan senjata teratas.

Fakta-fakta ini menyingkap realitas pahit bahwa perang bukan lagi semata konflik politik atau pertahanan negara, melainkan telah menjadi komoditas bisnis yang mendatangkan keuntungan luar biasa. Di bawah sistem kapitalisme, tragedi kemanusiaan diperlakukan sebagai peluang ekonomi. Nyawa manusia dinilai dengan kalkulasi untung-rugi, sementara perdamaian justru menjadi ancaman bagi keberlangsungan industri senjata.

Kekejaman Kapitalisme

Sebagai negara adidaya, Amerika Serikat tentu akan melakukan berbagai cara demi memastikan kepentingan nasionalnya tercapai, bahkan jika itu harus ditempuh melalui perang. Terlebih ketika suatu negara memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, Amerika dengan seluruh perangkat kebijakannya kerap berupaya menguasai negara tersebut. Jika upaya penundukan tidak berhasil, maka konflik pun diciptakan, baik konflik internal berupa perang saudara maupun konflik antarnegara sebagai pintu masuk bagi intervensi dan penguasaan.

Yang lebih keji, ketika konflik dan peperangan telah terjadi, Amerika Serikat justru tampil sebagai pemasok utama persenjataan. Tentu saja tidak secara cuma-cuma. Dari sinilah negara adidaya ini meraup keuntungan sebesar-besarnya melalui bisnis senjata perang. Darah dan nyawa manusia menjadi ladang cuan, sementara perang dibiarkan terus menyala demi menjaga roda industri militer tetap berputar.

Baca juga: gencatan senjata hanya tipu daya

Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa memang dikenal sebagai pengekspor senjata terbesar di dunia. Peran mereka dalam perdagangan senjata global kerap menuai kontroversi dan kritik tajam, terutama karena dampaknya yang destruktif terhadap konflik bersenjata dan krisis kemanusiaan di berbagai belahan dunia.

Secara dominasi pasar, Amerika Serikat menempati posisi teratas sebagai eksportir senjata global, dengan pangsa sekitar 43 persen dari total ekspor senjata dunia pada periode 2020–2024. Negara-negara Eropa seperti Prancis, Inggris, dan Jerman juga menjadi eksportir utama yang tak kalah agresif. Fakta ini menunjukkan bahwa industri persenjataan global dikuasai oleh segelintir negara maju yang sekaligus kerap memosisikan diri sebagai “penjaga perdamaian dunia”.

Ironisnya, di tengah eskalasi konflik dan pelanggaran kemanusiaan, suplai senjata justru terus mengalir. Sebagai contoh, Senat Amerika Serikat menolak resolusi untuk menghentikan penjualan senjata ke Israel, meskipun dunia internasional menyaksikan kekejaman yang mengerikan dan dinilai ilegal di Gaza. Di sisi lain, kawasan Eropa menjadi tujuan utama ekspor senjata AS, yang sebagian besar dipicu oleh meningkatnya permintaan akibat perang Ukraina–Rusia.

Di balik itu semua, penjualan senjata tidak semata-mata digerakkan oleh dalih keamanan, melainkan oleh motivasi ekonomi dan kepentingan politik. Industri pertahanan meraup keuntungan finansial yang sangat besar dari konflik berkepanjangan. Sementara itu, transfer senjata dijadikan instrumen kebijakan luar negeri untuk mempertahankan pengaruh global dan memperkuat aliansi keamanan, seperti komitmen Amerika Serikat terhadap NATO.

Tak mengherankan jika organisasi hak asasi manusia dan lembaga penelitian perdamaian berulang kali menyoroti dampak buruk perdagangan senjata ini. Penjualan persenjataan terbukti memperparah konflik, memperbesar korban sipil, memperdalam krisis kemanusiaan, serta meningkatkan ketidakstabilan global. Namun, selama konflik masih menguntungkan secara ekonomi dan strategis, suara-suara kemanusiaan kerap kalah oleh kepentingan kapital dan geopolitik.

Ironis memang, tetapi inilah wajah asli kapitalisme yang menjadikan penderitaan manusia sebagai komoditas dan menjadikan perang sebagai peluang bisnis yang menggiurkan. Inilah konsekuensi logis dari kapitalisme yang menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama, bukan keselamatan manusia. Selama perang menjanjikan keuntungan, maka konflik akan terus dipelihara, bahkan direkayasa. Negara-negara kuat berperan ganda, yakni berbicara soal perdamaian di satu sisi, tetapi menyuplai senjata di sisi lain.

Industri Persenjataan dalam Islam

Berbeda dengan sistem sekuler-kapitalistik, Islam memandang nyawa manusia sebagai sesuatu yang sangat mulia dan sakral.

Allah Swt. menegaskan dalam firman-Nya: "Barang siapa membunuh seorang manusia (bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi), maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia." (TQS. Al-Maidah: 32)

Ayat ini menegaskan bahwa perang dalam Islam sangat terukur. Tidak boleh dilakukan dengan kezaliman.

Perang dalam Islam bukanlah instrumen bisnis, apalagi sarana akumulasi keuntungan. Ia merupakan jalan terakhir yang ditempuh dengan aturan ketat demi menjaga keamanan, kedaulatan, dan tegaknya keadilan, bukan untuk memuaskan ambisi ekonomi atau politik segelintir pihak.

Dalam perspektif Islam, perang disyariatkan sebagai upaya membebaskan manusia dari sistem kufur dan kezaliman penguasa melalui konsep futuhat (pembukaan wilayah). Tujuannya bukan penjajahan, melainkan membebaskan manusia dari penghambaan kepada sistem-sistem zalim menuju penghambaan hanya kepada Allah Swt. Oleh karena itu, perang sama sekali bukan komoditas dan tidak boleh dijadikan sarana meraup keuntungan materi.

Terkait industri persenjataan, daulah Islam akan mengontrolnya secara ketat dan strategis. Pengembangan teknologi militer, termasuk persenjataan canggih, diarahkan semata-mata untuk melindungi umat dan menjaga keamanan negara, bukan untuk kepentingan dagang. Daulah tidak akan menjual senjata ke negara asing, terlebih kepada pihak yang memusuhi atau memerangi kaum muslimin.

Prinsip ini sekaligus menutup celah komersialisasi konflik dan perdagangan darah manusia.

Rasulullah saw. bersabda: "Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain." (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)

Dengan pengaturan semacam ini, Islam menegaskan bahwa kekuatan militer adalah amanah, bukan ladang bisnis. Senjata bukan alat eksploitasi, melainkan instrumen penjaga keadilan dan pelindung umat dari kezaliman.

Sudah saatnya umat manusia mempertanyakan sistem yang membiarkan segelintir korporasi menjadi kaya raya di atas lautan darah dan air mata. Selama dunia masih tunduk pada kapitalisme, ironi semacam ini akan terus berulang. Perdamaian sejati tidak akan lahir dari industri senjata, melainkan dari sistem kehidupan yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, keadilan hakiki, dan kemuliaan nyawa manusia. Wallahu a'lam bishawab.[]

Pemuda Pelopor Perubahan Wujudkan Generasi Khoiru Ummah

Generasi ini sejatinya memiliki potensi besar sebagai pelopor perubahan, apabila sistem yang mengikat mereka diubah sesuai petunjuk Al-Qur’an.

Oleh. Susi Rahma
Kontributor NarasiLiterasi.Id

NarasiLiterasi.Id-Majelis Taklim Lentera Qur'an kembali digelar pada hari Ahad, 7 Desember 2025. Kali ini mengangkat tema Pemuda Pelopor Perubahan Wujudkan Umat Terbaik (Tadabbur QS. Ar Ra'du [13] : 11). Sementara pemateri MTLQ kali ini adalah ustazah Hj. Frida Afriyani S.P. (Mubalighoh Kota Bandung, Pembina MTLQ, Ketua Yayasan Pendidikan Gemilang)

Generasi muda hari ini kerap dicap sebagai generasi yang lemah, rapuh secara mental, dangkal pemikiran, dan jauh dari nilai-nilai Islam. Tidak sedikit pula yang terjebak dalam arus hedonisme, sekularisme, dan gaya hidup serba instan.

Namun, Hj. Frida Afriyani menegaskan bahwa kelemahan generasi saat ini bukanlah kelemahan yang bersifat permanen atau kodrati. Melainkan akibat dari sistem yang rusak dan menjauhkan manusia dari aturan Allah. Karena itu, generasi ini sejatinya memiliki potensi besar sebagai pelopor perubahan, apabila sistem yang mengikat mereka diubah sesuai petunjuk Al-Qur’an.

Butuh Perubahan

Dalam tadabbur QS. Ar-Ra’du [13] ayat 11, Allah Swt. berfirman bahwa Dia tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Ayat ini mengandung pesan mendalam tentang tanggung jawab manusia terhadap perubahan.

Perubahan bukan hanya soal kondisi lahiriah tetapi juga perubahan cara berpikir, cara pandang, dan orientasi hidup. Jika umat ingin bangkit, kuat, dan kembali mulia, maka perubahan itu harus dimulai dari kesadaran individu untuk kembali tunduk pada aturan Allah.

Dalam konteks kepemudaan, ayat ini menjadi pemantik semangat bahwa pemuda bukan sekadar objek zaman, melainkan subjek perubahan. Pemuda adalah pelaku sejarah. Dari tangan merekalah lahir peradaban-peradaban besar.

Sayangnya, sistem hari ini justru menjauhkan pemuda dari peran strategisnya tersebut. Mereka lebih sering diarahkan menjadi pencari kerja daripada pemimpin umat, lebih didorong untuk mengejar popularitas daripada memperjuangkan kebenaran, dan lebih sibuk mengejar dunia daripada memikirkan akhirat.

Visi Besar Umat

Padahal, Allah telah menetapkan visi besar bagi umat Islam sebagai khayru ummah sebagaimana yang tercantum dalam QS. Ali Imran ayat 110. Umat Islam dipilih sebagai umat terbaik bukan karena jumlah, bukan pula karena harta, melainkan karena tugas besar yang diemban, yaitu menyeru kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.

Namun predikat ini tidak akan terwujud jika umat Islam, khususnya para pemudanya, masih terjebak dalam sistem yang merusak dan menjauhkan dari nilai-nilai Islam.

Baca juga: Brain Rot Mengintai Generasi

Tiga Pilar Solusi

Oleh karena itu, untuk mewujudkan generasi muda sebagai pelopor perubahan dan mengantarkan umat kembali menjadi khayru ummah, Hj. Frida Afriyani memaparkan pentingnya menempuh tiga pilar solusi yang saling berkaitan.

Ketakwaan Individu

Pilar pertama adalah ketakwaan individu. Perubahan besar selalu dimulai dari perubahan pada diri sendiri. Setiap pemuda perlu menata kembali hubungannya dengan Allah Swt., memperbaiki ibadah, menjaga akhlak, dan membangun kepribadian Islam yang lurus.

Ketakwaan bukan hanya tampak dalam ritual ibadah, tetapi juga dalam cara berpikir, mengambil keputusan, dan bersikap terhadap kehidupan. Ketika individu bertakwa telah terbentuk dalam jumlah yang banyak, maka akan lahir masyarakat yang kuat secara moral dan spiritual.

Dakwah di Tengah Masyarakat

Pilar kedua adalah dakwah di tengah-tengah masyarakat. Ketakwaan individu tidak boleh berhenti pada dirinya sendiri, tetapi harus meluas dalam bentuk dakwah, ajakan, dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Pemuda memiliki energi, kreativitas, dan keberanian yang besar.

Potensi ini harus diarahkan untuk menyuarakan Islam, menyampaikan kebenaran, serta melawan berbagai pemikiran dan budaya yang bertentangan dengan syariat. Dakwah tidak selalu harus dilakukan dari mimbar besar, tetapi bisa dimulai dari lingkup keluarga, lingkungan pertemanan, hingga media sosial yang saat ini menjadi ruang pertempuran pemikiran.

Penerapan Syariat Islam

Pilar ketiga adalah penerapan syariat Islam secara kaffah melalui adanya daulah Khilafah. Menurut pemaparan beliau, ketakwaan individu dan dakwah masyarakat tidak akan sempurna tanpa adanya sistem yang melindungi dan menerapkan hukum-hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan.

Banyak pemuda yang memiliki potensi, tetapi menjadi lemah karena terhimpit oleh sistem yang salah. Sistem yang membiarkan kemaksiatan tumbuh, ketidakadilan merajalela, dan kebenaran dibungkam. Oleh karena itu, diperlukan sebuah institusi yang menegakkan syariat Allah secara menyeluruh, yaitu daulah Khilafah, sebagai payung hukum dan kepemimpinan umat.

Khatimah

Dengan tiga pilar ini, ketakwaan individu, dakwah masyarakat, dan tegaknya syariat Islam, generasi yang hari ini dianggap lemah dapat bangkit menjadi generasi pemuda pelopor perubahan. Mereka bukan hanya menjadi penonton sejarah, tetapi menjadi pelaku utama kebangkitan Islam. Inilah jalan hakiki untuk mewujudkan kembali umat terbaik di muka bumi, sebagaimana yang telah Allah janjikan dalam Al-Qur’an. []

Menjadi 'The Next Mush'ab' Versi Goresan Pena

Jangan putus asa di tengah perjuangan kita untuk menghasilkan karya. Sebagaimana Mush'ab yang senantiasa melakukan yang terbaik untuk Islam dan Rasul.

Oleh. Mulyaningsih
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)

NarasiLiterasi.Id-Siapa yang tidak mengenal nama salah satu sahabat Nabi saw. yang luar biasa? Pemuda gagah, tampan, cerdas, dan wangi. Ialah sosok pemuda tampan bernama Mush'ab bin Umair.

Tentu semua mengetahui siapa sosok tersebut. Beliau adalah orang pertama yang Nabi saw. utus untuk menjadi duta Islam. Mush'ab diperintahkan untuk menyampaikan Islam ke wilayah Madinah serta menyiapkannya menjadi sebuah negeri yang mau menerima Nabi saw. dan menerapkan Islam dalam kehidupan manusia.

Tugas yang begitu berat dan amat penting itu ternyata mampu diselesaikan dengan baik dan sempurna. Saat itu berkat kegigihan Mush'ab dan pertolongan Allah Swt. penduduk Madinah akhirnya berbondong-bondong mengucapkan syahadat dan mau menerapkan Islam secara sempurna menyeluruh. Termasuk pula mau tunduk di bawah ketaatan terhadap Nabi saw.

Awal Mula Mush'ab Menjadi Duta

Mengapa Mush'ab mampu mengemban amanah yang begitu penting serta luar biasa itu? Jawabannya karena taat kepada Nabi serta panggilan akidah untuk menyebarkan Islam.

Dengan kecerdasan yang begitu luar biasa, ia mampu menjelaskan Islam dengan runut dan sistematis. Membuat semua orang yang mendengarnya menjadi terhipnotis dan mengiyakan apa yang dikatakan.

Bahkan jika kita hidup pada masa Nabi saw. tentu kita akan terpesona dengan alunan diksi yang keluar dari mulut Mush'ab. Padahal, jika kita lihat lebih dalam, beliau sebenarnya adalah anak dari orang terpandang, kaya alias serba kecukupan. Bahkan para gadis mengidolakannya karena berparas tampan.

Namun, Mush'ab tak berdiam diri terhadap berita tentang Al-Amin yang membawa agama baru. Kemewahan yang diterimanya tak pantas membuatnya santai dan menutup mata atas perkembangan dunia. Justru sebaliknya, sikapnya senantiasa ingin mengetahui sesuatu dan belajar lebih, jika itu kebenaran menjadi hal yang dilakukannya.

" … (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram" (TQS. Ar-Ra'd: 28)

Saat itu, Mush'ab tertarik pada berita bahwa Nabi saw. membawa agama baru, yaitu Islam. Ia terpesona dengan alunan ayat suci Al-Qur'an yang dibacakan oleh baginda Nabi saw. dan akhirnya mau belajar dan memeluk Islam.

Padahal, pertentangan begitu nyata di hadapan, sang ibunda sendiri tidak menyukai ajaran baru (Islam) yang di bawa Muhammad. Namun, Mush'ab tetap pada keyakinan dan akhirnya menyampaikan bahwa ia telah masuk Islam.

Ibundanya pun sontak kaget dan akhirnya mengasingkan beliau ke tempat terpencil (memenjarakan). Dengan akal cerdiknya, maka akhirnya Mush'ab mampu melepaskan diri dengan cara mengelabui ibundanya dan para penjaga. Terlepas dari itu semua adalah pertolongan serta kemudahanan yang Allah Swt. berikan kepadanya.

Ketika menjadi duta Islam di Madinah, beliau hanya menyampaikan apa yang memang diberikan oleh baginda Nabi saw. Dengan sopan santun yang utama dan kecerdasan yang dimiliki, maka alhamdulillah para penduduk akhirnya mau mendengarkan dan berbondong-bondong masuk Islam.

Dalam menyampaikan Islam, Mush'ab tak memakai titel kedua orang tuanya termasuk kekayaannya. Saat masuk Islam saja, beliau rela meninggalkan kemewahan yang sengaja diberikan oleh orang tua. Ketika masuk Islam, dari sisi penampilan saja kurang memenuhi, termasuk pada pakaian.

Namun, ketika ingin menyampaikan Islam kepada penduduk Madinah, beliau menampilkan sisi fisik beliau yang sempurna, maksudnya adalah berpenampilan lebih ketika dilihat dari luar. Ini menjadi modal ketika bertemu dengan masyarakat Madinah. Tak lupa modal utama yang harus ada adalah berbagai tsaqofah Islam yang akan dibagikan kepada masyarakat.

Saat amanah duta itu diambil, Mush'ab sebenarnya masih terkategori usia muda. Namun, beliau mampu serta membuktikan bahwa usia muda tak menjadi penghalang baginya untuk menyampaikan Islam kepada penduduk Madinah.

Tua muda, Laki-laki wanita, semua mau mendengarkan penjelasan dari pemuda bernama Mush'ab, bahkan mereka begitu antusias mendengarnya hingga hasilnya pun begitu luar biasa.

Padahal, kalau kita pikirkan banyak para sahabat yang dari sisi keilmuan dan usia jauh dari Mush'ab. Namun, Nabi saw. mempercayakan amanah duta Islam ini kepadanya. Berarti Nabi telah memikirkan dan memandang bahwa Mush'ab mampu mengemban amanah tersebut.

Alhamdulillah, hasilnya begitu memuaskan dan membuat bangga. Madinah mampu menjadi wilayah yang disiapkan untuk cikal bakal penerapan Islam dalam konteks kehidupan manusia dan dengan dilindungi sebuah institusi yaitu Daulah Islam.

Next Mush'ab Versi Goresan Pena

Setelah kita mengetahui kisah heroik nan luar biasa dari Mush'ab, maka kita ingin menjadi seperti beliau. Sosok duta Islam yang akan menyampaikan all about Islam ke berbagai penjuru dunia. Artinya kita perlu menyiapkan dengan sungguh-sungguh modal yang akan kita bagi.

Itulah tsaqofah Islam yang bisa kita dapatkan ketika belajar Islam. Tentunya akidah Islam harus benar-benar mengkristal dalam diri kita. Dengan begitu, akhirnya kita sadari benar bahwa kita adalah bagian besar dari visi Mush'ab tadi.

Salah satunya adalah dengan menjadi duta Islam walaupun dengan tulisan kita. Karena dengan tulisan itu ternyata juga mampu menembus para pembaca di berbagai wilayah dunia.

Ketajaman analisis yang tersaji pun mampu memberikan rasa keingintahuan lebih pada pembaca. Bahkan, jika ia belum berislam maka bisa jadi ia akan mencari tahu apa itu Islam. Jadi, jangan sepelekan tulisan kita, siapa tahu deretan diksi itu mampu berbuat lebih dari sekadar kita menyampaikan secara langsung ke umat.

Bisa saja ketika kita berbicara dengan orang lain, maka orang tersebut tidak mampu menangkap apa yang sedang kita bicarakan. Namun, dengan tulisan ternyata mereka lebih bisa menangkap maksud kita. Maka, dengan menuliskannya menjadi solusi atas segala kekurangan yang ada pada diri kita sendiri.

Apa yang Perlu Disiapkan?

Menjadi duta adalah sesuatu yang mungkin sebagian orang bilang susah, ribet, beban, dan lain sebagainya. Namun, yakinlah bahwa Allah Swt. akan menolong hambanya yang serius menolong agama-Nya.

Tentunya kita harus menyiapkan perbekalan komplet agar mudah diterima oleh para pembaca. Salah satunya adalah kita harus memiliki akidah Islam yang tangguh. Dengan akidah tadi, maka kita mampu melakukan berbagai aktivitas tertuju hanya kepada Allah Swt. Artinya, ketika melakukan aktivitas sesuai dengan konteks hukum syarak saja, bukan lainnya.

Akidah tadi juga mampu memberikan energi luar biasa kepada manusia. Penyaluran energi tentunya harus kita lakukan, caranya menghadirkannya lewat deretan diksi indah menggugah kepada para pembaca.

Energi yang ada pada kita bak bara api yang harus disalurkan kepada lainnya. Jika tidak tersalurkan, maka akan terjadi kebakaran dan menjadi berbahaya.

“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi)

Oleh karena itu, kita menyalurkannya lewat tulisan yang mampu membuat pembaca menjadi sadar dan mengerti makna terkait dengan manusia, alam, dan kehidupan. Layaknya mampu menjawab pertanyaan dasar dari ketiga hal tersebut.

  1. Dari mana kita berasal?
  2. Untuk apa kita diciptakan?
  3. Setelah kematian, ke manakah kita kembali?

Pertanyaan mendasar itu tentunya menjadi langkah awal kita untuk lebih dalam mengetahui Islam. Hal yang sama juga tentu dilakukan oleh duta Islam pertama, beliau tentunya menjelaskan secara detail yang berkaitan dengan tiga pertanyaan mendasar itu. Karena muaranya tentu pada akidah kita.

"Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban).” (TQS. Al-Qiyamah: 36)

Satu lagi yang perlu kita persiapkan adalah mendapatkan ilmu kepenulisan yang banyak. Hal ini penting dilakukan agar kita mampu menghadirkan tulisan dengan bobot baik. Tentu baik bukan dari sisi kita yang menilai, namun dari para pembaca budiman.

Selain itu, agar inti dari apa yang ingin kita sampaikan benar-benar akan masuk ke dalam pikiran para pembaca. Dan endingnya adalah pembaca memahami benar apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh penulis.

Dalam menulis, kita pun harus memperhatikan berbagai kata yang digunakan. Hal ini dimaksudkan agar para pembaca mengerti sekaligus paham apa sebenarnya yang menjadi poin utama dari tulisan. Maka, wajib berguru dengan seseorang yang mempunyai keahlian di bidang itu.

Baca juga: Menjinakkan Monster Malu

Langkah selanjutnya adalah selalu latihan untuk menghasilkan karya. Walaupun di awal terkadang kita merasa tulisan kita masih receh dan kurang baik, tetapi dengan terus latihan insyaallah menjadi terbiasa dan mengetahui letak kesalahan yang pernah kita lakukan.

Dengan begitu, maka tulisan receh tadi lambat laun akan menjadi tulisan yang dicari oleh seluruh pembaca. Maka, jangan putus asa di tengah perjuangan kita untuk menghasilkan karya. Sebagaimana Mush'ab yang senantiasa melakukan yang terbaik untuk Islam dan Rasul.

Percaya bahwa Allah Swt. akan menolong kita dan menguatkan.

"Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (TQS. Muhammad: 7)

Penutup

Yakinlah bahwa Allah Swt. tentu tidak akan meninggalkan hambanya yang beriman. Dan yakin pula bahwa Ia telah memberikan modal yang sangat berarti bagi manusia yaitu akal.

Dengan akal tersebut, maka insyaallah kita menjadi manusia yang mampu memilah dan memilih aktivitas yang bersandar hanya pada hukum syarak semata.

Sekali lagi, contohlah Mush'ab bin Umair yang senantiasa istikamah di jalan Allah Swt. dan mau meninggalkan gemerlapnya dunia. Karena seorang muslim sadar benar bahwa kata kekal itu hanya ada pada nanti, yaitu akihat.

Kita semua sepakat bahwa dunia tempat kita mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk di akhirat kelak. Karena tempat terakhir yang kita akan tempuh begitu luar biasa, ialah surga Allah yang kenikmatannya tak mampu ditandingi oleh apa pun. Wallahu alam.

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih, bagi mereka adalah surga firdaus menjadi tempat tinggal." (TQS. Al Kahfi: 107) []

Relevansi Islam dalam Mitigasi Bencana

Dalam Islam, adakalanya bencana terjadi sebagai bentuk kekuasaan Allah, yaitu peristiwa alamiah untuk menguji keimanan. Di sisi lain, bencana juga menjadi sebuah teguran, sekaligus sarana untuk bertobat bagi manusia yang telah merusak keseimbangan alam.

Yeni Purnama Sari, S.T
(Kontributor NarasiLiterasi.Id dan Muslimah Peduli Generasi)

NarasiLiterasi.Id-Bencana kembali menyapa negeri. Berdasarkan data BMKG, berbagai wilayah di Indonesia rata-rata mengalami cuaca ekstrem dengan intensitas hujan lebat dari pulau Sumatra hingga Papua. Cuaca ekstrem dapat berpotensi menimbulkan berbagai bencana, seperti banjir, longsor, puting beliung, hingga erupsi gunung Merapi. Hal ini menjadi berita duka bagi warga di beberapa daerah yang terdampak. Tidak hanya warga yang menjadi korban, bahkan bangunan, infrastruktur, dan lahan pertanian pun rusak, sehingga aktivitas mereka menjadi terhambat.

Lagi-lagi di wilayah pesisir utara Jakarta terendam banjir rob. Disusul wilayah lain di Sulawesi Tengah yang dikepung banjir dan angin puting beliung selama dua hari. Kemudian Cilacap dan Banjarnegara di Jawa Tengah juga terjadi longsor. Tidak ketinggalan juga Aceh, Sumatra Barat, Sumatra Utara dilanda banjir bandang, longsor, pohon tumbang, hingga jalan amblas akibat curah hujan yang tinggi dan sungai meluap disertai angin kencang. Akibatnya, rumah warga terendam, jembatan putus dan lahan pertanian tertutup lumpur. Adapun korban jiwa menurut BNPB mencatat 174 orang meninggal dan 79 orang masih dalam pencarian. Sayangnya, proses evakuasi mengalami kesulitan akibat kendala cuaca, medan, dan keterbatasan tim. (News.detik.com, 28-11-25)

Di sisi lain, BNPB memberikan apresiasi terhadap Pemkab Lumajang yang menekankan strategi mitigasi bencana. Pasalnya, Gunung Semeru mengalami erupsi kembali. Sebelumnya, tercatat hampir setiap November-Desember terjadi erupsi sejak 2020, dengan skala berbeda. Diketahui terdapat tiga korban luka akibat terkena abu panas. Keberhasilan penanganan bencana, termasuk relokasi, infrastruktur, dan edukasi kebencanaan masyarakat terkait penyebaran informasi yang cepat dan akurat telah terbukti mengurangi resiko korban. Itu dikarenakan masyarakat lebih siap tanggap bencana dan mampu menyelamatkan diri ketika erupsi terjadi. (Suaramerdeka.com, (26-11-25)

Kesalahan Tata Kelola dan Manajemen Bencana

Pada dasarnya, bencana yang tersebar di berbagai wilayah bukan semata akibat cuaca ekstrem, melainkan bentuk pelajaran bagi semuanya. Penyebabnya adalah kesalahan tata kelola ruang hidup dan lingkungan, yaitu pengalihfungsian lahan dengan penebangan hutan yang masif menjadi perumahan, perindustrian, pertanian, objek wisata dan aktifitas pertambangan sehingga merusak keseimbangan alam. Selain itu, tidak terlepas dari kebijakan penguasa yang mengarah pada kepentingan segelintir orang dan mengorbankan hak-hak rakyat. Artinya, negara tidak berperan aktif dalam melindungi rakyatnya dari ancaman dan dampak kerusakan lingkungan.

Langkah mitigasi yang diterapkan juga masih lemah dan tidak menyeluruh, baik dari sisi individu, masyarakat, dan negara. Pemerintah yang harusnya sebagai penanggung jawab penanganan bencana, justru dinilai tidak serius menyiapkan kebijakan preventif dan kuratif dalam mitigasi. Akibatnya, respons pemerintah terlambat dan bersifat reaktif, baru akan bergerak pasca bencana. Anggaran yang dikeluarkan cenderung dibatasi, padahal semua butuh biaya tidak sedikit. Itu pun hanya bersifat sementara, misalnya bantuan untuk para korban bencana disalurkan berupa uang, sembako, pakaian, dan tempat pengungsian, tanpa diimbangi evaluasi mendalam dan solusi jangka panjang.

Adapun ketika status bencana kembali aman, maka masyarakat digiring untuk kembali ke rumah masing-masing dan beraktifitas seperti biasa karena persoalan dianggap selesai. Padahal, penanggulangan bencana tidak sebatas pada penanganan darurat saja, melainkan harus menyentuh akar masalah dan langkah pencegahan agar kejadian serupa tidak berulang lagi. Fakta menunjukkan belum ada keseriusan dari pemerintah untuk menanggulangi bencana. Pemerintah masih saja abai terhadap kewajibannya mengurus umat, tidak mampu menjamin rasa aman dan nyaman bagi rakyat.

Kapitalisme Biang Kerusakan

Gambaran tersebut erat kaitannya dengan sistem yang masih mendominasi negeri ini. Sistem kapitalisme yang berasaskan sekularisme telah membuka ruang kebebasan bagi para pemilik modal untuk bertindak semaunya tanpa memandang nilai dan peran agama, serta mengabaikan standar haram dan halal. Mereka tidak memedulikan nasib rakyat. Mereka hanya memikirkan keuntungan materi yang diperoleh sebanyaknya. Kepemilikan umum, seperti seluruh sumber daya alam, mencakup air, hutan, sungai merupakan target privatisasi, padahal harusnya dikelola negara dan dikembalikan manfaatnya kepada rakyat.

Parahnya lagi, penguasa dalam sistem demokrasi kapitalis hanya sebagai regulator yang memuluskan aksi para korporasi. Antara pengusaha dan penguasa membangun kolaborasi mutualisme, meskipun harus menyengsarakan rakyat. Kebijakan penguasa hanya akan berpihak pada mereka yang memiliki kepentingan, nantinya keuntungan akan dinikmati oleh segelintir orang tersebut.

Baca juga: alam murka akibat keserakahan manusia

Wajar saja, watak rakus para oligarki semakin tampak dan tumbuh subur melalui proyek-proyek yang disulap menjadi nilai ekonomi dan komersial. Lahan hutan yang awalnya asri dan sebagai paku bumi, kini berubah fungsi menjadi alat komoditas atas nama investasi. Akhirnya menjadi bencana hidrometereologi dan sumber malapetaka bagi alam, manusia, dan kehidupan. Inilah akibat orientasi kapitalisasi dan eksploitasi lahan yang merusak dan tidak bertanggung jawab.

Allah Swt. sudah memperingatkan dalam firman-Nya: "Apabila dikatakan kepada mereka, janganlah berbuat kerusakan di bumi. Mereka menjawab, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang melakukan perbaikan. Hanya saja mereka yang berbuat kerusakan, tetapi tidak menyadarinya." (TQS. Al-Baqarah [2]: 11-12)

Mitigasi Bencana dalam Islam

Dalam pandangan Islam, adakalanya bencana yang terjadi sebagai bentuk kekuasaan Allah, yaitu peristiwa alamiah yang ditakdirkan Allah Swt. untuk menguji keimanan. Di sisi lain, bencana juga menjadi sebuah teguran, sekaligus sarana untuk bertobat bagi manusia yang telah merusak keseimbangan alam. Karena sesungguhnya manusia memiliki tanggung jawab sebagai pemimpin di bumi untuk menjaganya, sehingga ketika bencana menghampiri, saatnya manusia kembali mengingat kesalahan yang mengundang murka Allah. Hendaknya memulai introspeksi diri, sabar dan tawakal, serta berikhtiar dengan memperbanyak doa dan istigfar.

Sesungguhnya Islam telah melarang manusia merusak bumi. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur'an surah Asy-Syura ayat 30 dan surah Al-A’raaf ayat 56, mengandung hikmah bahwa Allah menurunkan musibah kepada siapa pun yang berbuat kerusakan di bumi dan Allah akan memaafkan kesalahannya jika manusia mau berdoa dengan rasa takut akan siksa-Nya dan berharap rahmat-Nya.

Jelaslah, Islam merupakan agama yang Allah turunkan untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan diri sendiri, sesama manusia, termasuk alam dan kehidupan. Sayangnya, manusia banyak yang lupa terhadap tugasnya dalam mengurusi umat dan alam semesta dengan menjalankan seluruh aturan Allah tanpa terkecuali. Oleh karena itu, umat butuh sebuah sistem Islam yang dipimpin oleh khalifah, nantinya akan mampu memberikan kesejahteraan, keamanan, dan perlindungan terhadap rakyat.

Tanggung jawab Negara

Dalam hal ini, ketika terjadi bencana, negara akan melindungi rakyat dari berbagai kerusakan yang ditimbulkan. Dengan penerapan mitigasi bencana, maka resiko dan bahaya akan berkurang, seperti korban jiwa, kerugian ekonomi, dan kerusakan sumber daya alam. Karena mitigasi merupakan langkah awal memanajemen dampak bencana.

Adapun upaya negara dalam mitigasi sebelum bencana, seperti pencegahan, penyadaran untuk melakukan penghijauan, perencanaan tata kota dengan drainase yang baik dan sesuai amdal, maupun memetakan potensi rawan bencana.

Kemudian, pada saat bencana terjadi, negara memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sarana menyiapkan alarm peringatan bencana. Selain itu, memberikan informasi kebencanaan dan edukasi kepada masyarakat untuk memperkuat sistem antisipasi dan tanggap bencana. Selanjutnya mengajak masyarakat saling tolong-menolong, melalui harta, tenaga, maupun dukungan moral.

Namun demikian, tanggung jawab sepenuhnya ada pada negara sebagai pengurus, pelindung, dan pelayan umat. Sudah seharusnya negara mengupayakan penanggulangan bencana dan senantiasa siap tanggap terhadap dampak bencana. Artinya, negara harus berada di garda terdepan untuk menangani bencana secara langsung dan tidak ada campur tangan dari pihak lain.

Rasulullah saw bersabda: “Seorang imam (khalifah) adalah pengatur urusan rakyat, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Meminimalkan Dampak Bancana

Adapun jika bencana alam yang terjadi berupa banjir atau gunung erupsi, khalifah akan memaksimalkan potensinya untuk meminimalkan dampak bencana, seperti segera mengevakuasi korban, membuka akses jalan dan komunikasi, dan mengalihkan material-material ke tempat yang jauh dari hunian masyarakat. Sebelumnya, negara membentuk tim penyelamat yang memiliki kemampuan teknis dan nonteknis, dibekali dengan peralatan canggih, sehingga siap diterjunkan di wilayah terdampak bencana. Mereka ditugaskan untuk menyiapkan tempat tinggal, pasokan makanan yang cukup dan pelayanan kesehatan yang terbaik.

Terakhir negara Islam juga akan memperbaiki lingkungan yang telah terdampak bencana, seperti infrastruktur yang rusak, tempat tinggal, rumah sakit, tempat peribadahan, pasar, maupun kantor pemerintahan. Selanjutnya, pemulihan ekonomi, memotivasi masyarakat dengan penguatan akidah dan nafsiyah untuk menyembuhkan psikologi mereka pascabencana. Semua langkah negara Islam dalam mitigasi bencana dilakukan secara optimal, dan pembiayaannya diambil dari baitulmal, yaitu posko khusus dana darurat negara, tidak boleh membebankannya kepada rakyat. Tidak pula bergantung pada utang luar negeri atau skema korporasi.

Sumber Dana

Adapun dana baitulmal bersumber dari pos zakat, pos harta milik umum yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam, dan pos harta milik negara, seperti fai, ganimah, jizyah. Tetapi jika saat terjadi bencana, kas baitulmal kosong, maka khalifah akan menarik dharibah dari kalangan muslim kaya sesuai kebutuhan. Dengan begitu, negara cepat menyelesaikan masalah yang darurat tanpa harus kekurangan dana.

Keteladanan

Sejarah pernah mencatat keteladanan Rasulullah saw, Khalifah Umar bin Khatab, Khalifah Umar Bin Abdul Aziz ketika terjadi bencana. Mereka mengajak umat yang dipimpinnya untuk segera bertobat dan mengingat kesalahan dan kemaksiatan apa yang menyebabkan Allah memberikan teguran. Kemudian sebagai pemimpin, mereka sigap menangani masalah bencana, dengan membentuk tim penyelamat, menyediakan makanan, tempat tinggal, dan pelayanan medis terbaik hingga masalah bencana berakhir. Para korban bencana pun kembali ke wilayahnya dengan tenang dan penuh sukacita karena kebijakan khalifah yang memuaskan.

Khatimah

Demikianlah, mekanisme yang terencana dan terperinci dari khalifah yang berpedoman pada syariat, sehingga menghadirkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat. Tentunya semua akan terwujud jika sistem Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai khilafah. Karena pemimpin dalam sistem Islam (khalifah) mengemban amanah langsung dari Allah sebagai pengatur dan pelindung sekaligus berperan menegakkan aturan Islam secara menyeluruh berdasarkan Al-Qur'an dan As-sunah untuk menjaga keseimbangan alam, manusia, dan kehidupan hingga terwujudnya keberkahan.

Wallahu a’lam bishawab.[]

Umat Islam Jangan Abaikan Sudan dan Palestina

Krisis kemanusiaan akut yang dialami Muslim Sudan dan Palestina membutuhkan perhatian lebih dari kaum muslim.

Oleh. Marni Mulyani
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)

NarasiLiterasi.Id-Sudan dan Palestina adalah dua negara yang saat ini mengalami krisis kemanusiaan. Setelah sekian lama kita menyaksikan segala bentuk penyiksaan yang dirasakan oleh penduduk palestina, akibat dari genosida Zionis Israel yang berlangsung hingga saat ini setelah 77 tahun lamanya.

Di akhir bulan Oktober, umat Islam kembali digemparkan dengan kondisi penderitaan yang dialami penduduk Sudan, tepatnya di El-Fasher yang merupakan ibukota Darfur Utara, Sudan. Sejak pendudukan Al-Fasher oleh kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF), telah merenggut kebebasan hidup penduduknya dengan jumlah korban tewas bertambah menjadi 2.227 jiwa, di antaranya, anak-anak, perempuan, dan kaum lansia. (beritanasional.com, 31-10-2025)

Umat Islam Menjadi Perebutan Bangsa Kafir di Akhir Zaman

Kelak, bangsa-bangsa lain akanw memperebutkan kalian, sebagaimana memperebutkan makanan untuk meremukkannya” (HR. Abu Dawud, dari Ats-Tsauban)

Gambaran Sudan dan Palestina saat ini menjadi bukti kebenaran hadis Rasulullah saw. Bahwa umat Islam menghadapi segala kepentingan dari bangsa lain. Mereka memperebutkan kaum muslim ibarat hidangan lezat yang tersaji di atas meja makan. Keadaan yang menimpa kaum muslim saat ini bukan sekadar perang saudara dan lainnya. Namun, adanya proxy war. Sebagaimana yang disampaikan duta besar sudan, Dr. Yassar Mohamed Ali Mohamed, “Situasi di Sudan bukanlah perang saudara, melainkan sebuah proxy war yang melibatkan kepentingan berbagai pihak eksternal.“ (antaranews.com, 28-11-2025)

Negara Berstandar Kapitalis

Keterlibatan berbagai negara pada genosida yang terjadi di Palestina dan Sudan diakibatkan oleh keserakahan negara-negara penjajah. Mereka ingin merampas kehidupan manusia lainnya demi melanggengkan kepentingan negaranya. Yaitu, atas dasar mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Ancaman dari negara yang berstandar kapitalis ini akan menggunakan segala taktik demi meraup keuntungan. Tentu standar batil semacam ini akan sangat berbahaya karena akan mengganggu keberlangsungan hidup manusia di muka bumi. Ini akibat dari ideologi kapitalis dalam menjalankan tatanan kenegaraan yang jauh dari tindakan kemanusiaan.

Kaum Muslim Harus Sadar dengan Kondisi yang Dialami

Penderitaan kaum Muslim Sudan dan Palestina kian mengkhawatirkan akibat terjadinya krisis kemanuasiaan. Dari pengungsian paksa, bencana kelaparan yang mengakibatkan malnutrisi hingga kematian, juga adanya wabah penyakit. Selain itu mereka kehilangan rumah sakit, tempat tinggal, dan gedung-gedung sekolah. Pendidikan menjadi angan-angan yang sulit terwujud di tengah genosida.

Kaum Muslim harus meningkatkan kesadarannya terhadap apa yang menimpa saudara sesamanya di seluruh dunia. Krisis kemanusiaan akut yang dialami Muslim Sudan dan Palestina membutuhkan perhatian lebih dari kaum muslim. Tidak sepatutnya ada seorang manusia yang hidup dalam kesengsaraan. Sejatinya manusia adalah makhluk yang ditinggikan derajatnya dengan kepemilikan akalnya yang diberikan oleh Allah Swt. Sehingga, dengan ini manusia mampu untuk hidup dimuka bumi dengan menciptakan ketentraman bagi penghuni bumi lainnya, yaitu dengan menggunakan aturan yang benar. Aturan itu ialah aturan yang berasal dari sang pencipta langit dan bumi Allah Swt.

Ikatan Akidah Mempersatukan Kaum Muslim

Kaum Muslim sejatinya adalah saudara bagi Muslim lainnya. Selayaknya saudara, sikap kita kepada kaum Muslim lainnya adalah saling menjaga, tidak menyakiti, dan tidak tega melihat penderitaan yang dirasakan oleh saudara kita. Sebagaimana makna saudara yang dijelaskan dalam hadis Rasulullah saw.:

اَلْـمُسْلِمُ أَخُوْ الْـمُسْلِمِ ،  لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ ، وَمَنْ كَانَ فِـيْ حَاجَةِ أَخِيْهِ ، كَانَ اللهُ فِيْ حَاجَتِهِ ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ ، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًـا ، سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Seorang muslim saudara terhadap sesama muslim, tidak menganiayanya dan tidak akan dibiarkan dianiaya orang lain. Dan siapa yang menyampaikan hajat saudaranya, maka Allah akan menyampaikan hajatnya. Dan siapa yang melapangkan kesusahan seorang muslim, maka Allah akan melapangkan kesukarannya di hari kiamat, dan siapa yang menutupi aurat seorang muslim maka Allah akan menutupinya di hari kiamat.“ (HR. Bukhari & Muslim)

Baca juga: Turki: Upaya Pembebasan Palestina dari Cengkeraman Penjajah

Sikap Pemimpin Islam dalam Menyikapi Permasalahan Umat

Seorang pemimpin adalah orang yang memiliki kekuasaan dibanding masyarakat biasa. Dalam Islam Seorang pemimpin menjadi pelindung bagi kaum muslim, dengan segala daya dan kekuasaannya, pemimpin itu akan membela kaum muslim dari segala permasalahan yang ada, terutama dalam menghadapi musuh-musuh Islam. Rasulullah saw., bersabda:

Sesungguhnya Al-Imam (Khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukungnya) dan berlindung (dari musuh) dengan kekuasaan nya).” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud).

Begitulah sikap sesungguhnya Pemimpin, dia tidak membiarkan kaum muslim tertindas oleh kezaliman yang dilakukan kafir penjajah. Sebagaimana sikap Khalifah Al-Mu'tashim Billah ketika mendengar seorang wanita yang ditawan oleh Raja Romawi, Penguasa Amuriah yang telah menawan Wanita mulia keturunan Fatimah ra. Wanita itu disiksa dan dinistakan hingga berteriak dan menjerit meminta pertolongan.

Saat berita penawanan wanita mulia itu sampai ke telinga Khalifah Al-Mu’tashim Billah, saat itu sang khalifah sedang berada di atas tempat tidurnya. Ia segera bangkit dari tempat tidurnya seraya berkata, “Aku segera memenuhi panggilanmu!

Tidak berpikir lama, Khalifah Al-Mu’tashim Billah segera mengerahkan sekaligus memimpin sendiri puluhan ribu pasukan kaum muslim menuju Kota Amuriah. Terjadilah Peperangan sengit. Kota Amuriah pun berhasil ditaklukkan. Sekitar 30 ribu tentara dari Pasukan Romawi terbunuh. Sebanyak 30 ribu lainnya ditawan oleh pasukan kaum muslim. Sang khalifah pun berhasil membebaskan Wanita mulia tersebut.

Dari kisah tersebut kita bisa melihat bagaimana kepemimpinan itu hadir untuk kaum muslim dalam memenuhi seruan-seruan Allah untuk menegakkan keadilan di muka bumi. Wallahualam bissawab. []

Lautan Kayu: Tanda Kerusakan yang Diabaikan

Saat curah hujan tinggi datang, permukaan meningkat drastis, membawa lumpur, batu, dan gelondongan kayu menjadikan sungai seakan berubah menjadi lautan kayu.

Oleh. Avrinna, Skep., BSN
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)

NarasiLiterasi.Id-Fenomena kayu gelondongan yang menumpuk di sungai dan pesisir Sumatra setelah banjir bandang pada akhir November 2025 kembali membuka mata publik. Foto-foto yang beredar menunjukkan hamparan kayu berserakan di bantaran sungai, garis pantai, bahkan masuk ke area pemukiman.

Bagi sebagian orang, kayu-kayu ini mungkin hanya dianggap sebagai sampah yang terbawa arus. Namun, bagi siapa pun yang memahami dinamika hutan dan ekologi Sumatra, pemandangan ini adalah tanda peringatan yang jelas. Hutan kita sedang sakit.

Menurut laporan cnn.news, 30-11-2025, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho, menyampaikan bahwa kayu-kayu tersebut bisa berasal dari berbagai sumber, termasuk pohon yang roboh atau lapuk secara alami. Pernyataan ini menunjukkan bahwa ada banyak kemungkinan, tetapi tidak menutup dugaan adanya aktivitas pembalakan liar yang tidak terkendali.

Banjir Bukan Hanya Bencana Alam, tetapi Akumulasi Kerusakan

Secara alami, pohon tumbang dan kayu lapuk memang ditemukan di hutan tua. Namun, jumlah yang sangat besar, keseragaman jenis kayu, serta adanya bekas-bekas pengolahan menunjukkan bahwa fenomena ini bukan sekadar proses alami.

Banjir bandang bukan peristiwa mendadak, ini adalah saat ketika kerusakan yang terjadi selama bertahun-tahun tersibak, deforestasi sistematis, baik yang berizin maupun ilegal.

Kegiatan pembalakan legal, meskipun berizin, kerap kurang diawasi. Reboisasi berjalan lambat, pemetaan wilayah rawan longsor tidak optimal, dan banyak perusahaan tidak memenuhi standar keselamatan ekologis.

Di sisi lain, pembalakan liar berjalan tanpa aturan menyerbu kawasan lindung, merusak lereng curam, dan mengabaikan prinsip konservasi. Ketika keduanya terjadi bersamaan, ketahanan hutan pun runtuh.

Hilangnya tutupan hutan membuat tanah tidak lagi mampu menyerap air. Saat curah hujan tinggi datang, permukaan meningkat drastis, membawa lumpur, batu, dan gelondongan kayu menjadikan sungai seakan berubah menjadi lautan kayu. Artinya, banjir bandang bukan kejadian yang tiba-tiba, tetapi gambaran dari kerusakan ekologis yang dibiarkan menumpuk.

Kelalaian Struktural dan Paradigma yang Keliru

Kerusakan hutan Sumatra tidak lahir seketika. Ia terjadi perlahan, terus menerus, dan diperparah oleh lemahnya pengawasan, celah perizinan, serta dominasi kepentingan ekonomi jangka pendek. Deforestasi sering kali dibenarkan dengan mudah melalui izin yang dikeluarkan tanpa mempertimbangkan daya dukung wilayah ataupun suara masyarakat lokal.

Paradigma ekonomi kapitalis turut memperburuk situasi. Dalam sistem ini, hutan dipandang sebagai komoditas yang boleh dieksploitasi semaksimal mungkin demi keuntungan. Selama aliran uang terus berjalan, kerusakan lingkungan dianggap sebagai risiko yang wajar.
Padahal, masyarakat sekitar hutan yang paling terdampak, hampir tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.

Padahal kerusakan lingkungan bukan hanya hilangnya pepohonan. Ia merusak mata pencarian, menghancurkan ekosistem sungai, mengubah iklim mikro, dan mengancam keanekaragaman hayati.
Jutaan makhluk hidup, termasuk manusia, menderita akibat cara pandang yang keliru terhadap alam.

Baca juga: Relevansi Islam dalam Mitigasi Bencana

Perspektif Islam: Bumi adalah Amanah, Bukan Komoditas

Sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim, Indonesia memiliki landasan moral yang kuat untuk menjaga lingkungan. Islam menegaskan larangan melakukan kerusakan di muka bumi. Allah berfirman:

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56)

Ayat ini menegaskan bahwa menjaga kelestarian bumi adalah tanggung jawab manusia. Perusakan hutan, pencemaran sungai, dan eksploitasi alam tanpa batas adalah bentuk kerusakan yang bertentangan dengan perintah-Nya.

Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

Tidaklah seorang Muslim menanam pohon atau menabur benih, kemudian hasilnya dimakan oleh manusia, hewan, atau burung, kecuali itu menjadi sedekah baginya.
(HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa menjaga lingkungan merupakan bagian dari ibadah. Setiap pohon yang ditanam memberi manfaat bagi banyak makhluk, dan itu bernilai sedekah. Sebaliknya, merusak hutan berarti menghilangkan potensi kebaikan bagi ribuan kehidupan.

Dalam perspektif hukum Islam, hutan dan sumber daya alam adalah milik umum yang tidak boleh dikuasai demi keuntungan pribadi. Negara wajib mengelolanya untuk kepentingan rakyat, menjaga keberlanjutan ekologis, dan mencegah segala bentuk kerusakan.

Saatnya Mengubah Arah Pengelolaan Hutan

Fenomena lautan kayu pascabanjir adalah cermin dari buruknya pengelolaan hutan. Selama kebijakan masih mengedepankan kepentingan jangka pendek, tragedi ekologis akan berulang. Indonesia perlu mengubah cara pandang terhadap alam. Dari eksploitasi menuju pemulihan,
dari mengejar laba menuju keberlanjutan, dari kepentingan korporasi menuju kemaslahatan rakyat.

Kita tak hanya membutuhkan keberanian politik untuk menindak tegas pembalakan liar, memperbaiki sistem perizinan, meningkatkan transparansi, dan memperkuat peran masyarakat lokal. Namun, perubahan mendasar secara sistemis yang akan menyolusi semua permasalahan. Nilai-nilai Islam dapat menjadi fondasi moral untuk membangun sistem yang adil dan lestari.

Hutan bukan sekadar kumpulan pohon.
Ia penjaga kehidupan. Ketika hutan rusak, bencana hanya tinggal menunggu waktu. Jika gelondongan kayu kembali memenuhi sungai, itu artinya alam sedang berbicara lantang. Pertanyaannya, apakah kita siap mendengarkan?

Wallahualam bissawab. []

Alam Murka akibat Keserakahan Manusia

Islam menekankan prinsip menjaga kemaslahatan dan mencegah kerusakan. Pengelolaan hutan harus dilakukan secara berkelanjutan, tidak boleh ada pembalakan liar yang dapat memicu bencana seperti banjir dan tanah longsor.

Oleh. Diyani Aqorib
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)

NarasiLiterasi.Id-Bencana banjir dan tanah longsor kembali terjadi di berbagai daerah. Belum usai duka akibat longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, pada 16 November 2025, Indonesia kini diterpa banjir besar yang melanda tiga provinsi sekaligus: Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Banjir datang bak air bah, membawa gelondongan kayu besar yang tampak terpotong rapi.

Banjir bandang dan longsor di ketiga provinsi tersebut telah menelan banyak korban jiwa. Menurut data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Minggu (30/11) petang, sebanyak 442 orang meninggal dunia dan 402 orang masih dinyatakan hilang. Informasi ini disampaikan oleh Kepala BNPB, Suharyanto, dalam konferensi pers di Pos Pendukung Nasional, Bandara Silangit, Tapanuli Utara, Sumatra Utara (1/12).

Wilayah yang terdampak parah di antaranya Tapanuli dan Sibolga yang kini menghadapi akses jalan terputus. Kondisi serupa juga terjadi di Aceh dan Sumatra Barat termasuk Aceh Tamiang dan Aceh Tengah serta Kota Padang, Padang Pariaman, Solok, Agam, Tanah Datar, dan Padang Panjang. (cnnindonesia.com, 1-12-2025)

Satu hal menarik perhatian publik, yaitu banyaknya gelondongan kayu berukuran besar, terpotong rapi, dan ikut terbawa arus banjir. Temuan ini memicu dugaan kuat bahwa pembalakan liar menjadi salah satu penyebab utama bencana kali ini.

Namun, Direktur Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho, membantah hal tersebut. Ia menegaskan bahwa kayu-kayu itu bisa berasal dari banyak sumber seperti pohon lapuk, pohon tumbang, material bawaan sungai, area bekas penebangan legal, penyalahgunaan Hak Atas Tanah (PHAT), hingga pembalakan liar (illegal logging).

Hutan yang Hilang

Indonesia kini menghadapi kenyataan pahit, antara 2002 hingga 2023, negeri ini kehilangan sekitar 10,5 juta hektare hutan primer tropis yang menjadikannya negara dengan kehilangan hutan primer terbesar kedua di dunia. Sebuah prestasi kelam yang sama sekali tak layak dibanggakan.

Kehilangan itu bukan sekadar angka. Setiap hektare hutan yang lenyap berarti runtuhnya ekosistem, menyempitnya habitat satwa, serta hilangnya keanekaragaman hayati yang menjadi identitas dan kekayaan Indonesia. Hutan primer bukan sekadar kumpulan pepohonan, ia adalah benteng alami yang menjaga suhu bumi, menyerap karbon, menahan banjir, dan memastikan rantai kehidupan tetap berlangsung.

Baca juga: bencana antara alam dan tangan manusia

Deforestasi membuat kemampuan hutan menyerap karbon melemah. Iklim pun menjadi semakin tidak stabil. Musim tak menentu, cuaca ekstrem lebih sering terjadi, dan risiko bencana ekologis meningkat tajam.

Lebih dari dua dekade kehilangan hutan dalam skala besar menghadirkan pesan tegas "krisis lingkungan di Indonesia bukan ancaman masa depan, ini adalah realitas hari ini".

Konsekuensi ekologisnya bersifat panjang dan memengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan, yakni ketahanan pangan, ketersediaan air bersih, kesehatan masyarakat, hingga keberlanjutan ekonomi lokal. Karena itu, upaya pelestarian yang sifatnya kosmetik tidak lagi memadai.

Yang dibutuhkan kini adalah kebijakan tegas, pengawasan ketat, serta komitmen kuat untuk menjadikan hutan sebagai aset strategis negara bukan cadangan yang siap diekstraksi kapan saja.

Kapitalisme Biang Keserakahan

Data-data di atas menunjukkan bahwa manusia yang hidup tanpa aturan yang benar cenderung terjerumus pada keserakahan. Terlebih dalam sistem kehidupan saat ini, ketika kapitalisme dengan prinsip kebebasan kepemilikannya memberikan ruang seluas-luasnya bagi individu untuk memiliki apa pun selama ia memiliki modal. Uang menjadi penentu segalanya. Tidak lagi dipedulikan apakah tindakan tersebut merugikan banyak orang atau tidak, melanggar aturan atau tidak, bahkan berpotensi menimbulkan bencana atau tidak. Dalam lingkungan seperti itu, sistem kapitalisme dengan sendirinya melahirkan manusia-manusia serakah.

Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Sumatra adalah bukti nyata. Deforestasi, eksploitasi hutan, dan penambangan sumber daya alam dilakukan demi meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. Lebih ironis lagi, aktivitas-aktivitas rakus ini kerap mendapat izin dan legitimasi dari negara, baik melalui kebijakan yang longgar, pengawasan yang lemah, maupun kepentingan ekonomi yang mengabaikan keselamatan ekologi.

Padahal Allah Swt. telah memperingatkan dalam firman-Nya:

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (TQS. Ar-Rum: 41)

Ayat ini dengan tegas menjelaskan bahwa bencana alam seperti banjir dan tanah longsor bukan semata-mata fenomena alam, melainkan akibat dari ulah manusia sendiri yang lahir dari sistem dan pola hidup yang salah. Ketika alam terus dieksploitasi tanpa batas, ia pada akhirnya merespons dengan cara yang tidak lagi mampu dikendalikan manusia. Bencana itu seakan menjadi bentuk murka alam atas keserakahan manusia, sekaligus peringatan agar manusia kembali kepada aturan yang benar dan menjaga harmoni dengan ciptaan-Nya.

Solusi Islam

Islam menawarkan sistem pengelolaan sumber daya alam yang sangat jelas dan komprehensif. Aturannya dimulai dari konsep kepemilikan yang dibagi menjadi tiga kategori: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Dalam Islam, sumber daya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak seperti hutan, tambang, air, laut, dan energi termasuk dalam kepemilikan umum (milik umat). Karena itu, sumber daya tersebut haram dimiliki oleh individu atau swasta, baik dalam bentuk monopoli maupun privatisasi.

Pengelolaannya wajib berada di tangan negara, dan seluruh hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat. Bentuk pengembalian ini bukan sekadar retorika, tetapi diwujudkan melalui pelayanan publik yang berkualitas, seperti pendidikan dan kesehatan gratis, serta pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat tanpa diskriminasi. Dengan demikian, kekayaan alam benar-benar menjadi milik rakyat, bukan segelintir pemilik modal.

Dalam aspek pengelolaan lingkungan, Islam menekankan prinsip menjaga kemaslahatan dan mencegah kerusakan. Pengelolaan hutan, misalnya, harus dilakukan secara berkelanjutan, tidak boleh menebang pohon tanpa reboisasi, tidak boleh melakukan eksploitasi yang merusak ekosistem, dan tidak boleh ada pembalakan liar yang dapat memicu bencana seperti banjir dan tanah longsor.

Pelaku pelanggaran pun dikenai sanksi tegas sesuai syariat, baik sanksi administratif, denda, maupun hukuman yang memberikan efek jera. Dengan mekanisme hukum dan pengawasan yang ketat, kerusakan lingkungan dapat diminimalisir dan keseimbangan ekosistem tetap terjaga.

Islam tidak hanya memberikan aturan, tetapi juga membentuk pola pikir masyarakat agar amanah dalam mengelola bumi. Karena dalam pandangan Islam, manusia adalah khalifah (penjaga dan pemelihara bumi), bukan pemilik absolut yang bebas mengeksploitasi sesuka hati. Wallahu a'lam bishawab.[]

Kapitalisme: Dalang di Balik Ketakutan Menikah

Kapitalisme menyebabkan mereka lebih takut miskin daripada takut tidak menikah karena banyak pernikahan yang gagal bermula dari masalah ekonomi.

Oleh. Aryndiah
Kontributor NarasiLiterasi.Id

NarasiLiterasi.Id-Pernikahan adalah salah satu perjalanan penting dalam hidup manusia. Namun, seiring berjalannya waktu makna pernikahan pun bergeser. Dulu, pernikahan dianggap sebagai pintu utama menuju kedewasaan dan kemapanan yang menjadikannya sebagai kewajiban sosial dan suatu langkah hidup yang tidak dapat dihindari. Namun, di era modern ini cara pandang terhadap pernikahan berubah drastis. Pernikahan bukan lagi menjadi “kewajiban”, karena banyak orang yang menjadikan pendidikan, pekerjaan, pencapaian pribadi, atau kestabilan mental sebagai prioritas utama sebelum mempertimbangkan menikah.

Pergeseran Cara Pandang Pernikahan

Generasi modern menilai bahwa pernikahan bukan lagi dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai kebahagiaan atau kestabilan, tetapi sebagai salah satu pilihan dari banyak jalur dalam perjalanan hidup.

Adanya pergeseran cara pandang terhadap pernikahan ini, sejatinya dapat dikaitkan dengan fenomena “marriage is scary”, yaitu narasi untuk menunjukkan rasa takut seseorang terhadap pernikahan. Saat ini pernikahan dianggap sebagai momok yang menakutkan, karena banyak narasi atau fakta-fakta di lingkungan atau media sosial terhadap kasus pernikahan yang gagal akibat komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan, ketidakcocokan nilai dan tujuan hidup, emosi yang tidak stabil, masalah keuangan, dan kekerasan dalam rumah tangga. Hal inilah yang akhirnya memunculkan rasa takut pada benak mereka sebagai bentuk refleksi mendalam pada kasus-kasus yang terjadi, terutama dalam hal realitas ekonomi.

Luka Ekonomi

Ekonomi adalah hal sensitif bagi generasi saat ini, bahkan mereka lebih takut hidup miskin dibanding takut tidak menikah. Menurutnya, saat ini masyarakat hidup dalam ketidakpastian ekonomi. Ketidakpastian ini terjadi akibat sulitnya lapangan pekerjaan, gelombang PHK yang terus menghantui mereka kapan pun, dan harga kebutuhan pokok yang makin melambung tinggi. Kesulitan inilah yang membuat mereka lebih fokus untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dan menabung untuk masa depan.

Wajar di saat seperti ini mereka rela bekerja apapun agar kebutuhan pokoknya dapat terpenuhi sekalipun dengan upah yang sangat minim. Bahkan mereka mengungkapkan bahwa penghasilan rata-rata mereka jauh lebih rendah daripada generasi sebelumnya, padahal biaya hidup semakin mahal. Hal inilah yang menyebabkan melonjaknya rasa cemas dan takut miskin di kalangan generasi, terutama dalam hal pernikahan, karena kebanyakan generasi menganggap menikah adalah sesuatu yang mahal.

Inilah bentuk “luka ekonomi” yang dialami oleh generasi saat ini, luka yang terjadi akibat kerusakan pada sistem perekonomian dalam jangka menengah atau panjang akibat dari krisis ekonomi, yang bermula dari masa pandemi Covid 19 (Kompas.id, 27-11-2025).

Dampak Sistem Kapitalisme

Benar bahwa luka ini telah menyebabkan masyarakat hidup dalam kesengsaraan. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah kesengsaraan dan kesulitan ini sejatinya akibat dari penerapan sistem kapitalisme dalam kehidupan, bukan sejak masa pandemi. Kapitalisme telah lama meracuni pemahaman umat dengan menjadikan hidup ini hanya berorientasi pada materi semata. Materi dianggap sebagai satu-satunya sumber kebahagiaan. Maka, untuk mencapai kebahagian itu perlu materi yang sangat besar untuk mewujudkannya. Jika tidak mampu, maka jangan berharap bisa mencapai kebahagiaan, termasuk dalam hal pernikahan.

Sejatinya mereka tahu betul bahwa kapitalisme-lah yang membuat segalanya menjadi sulit. Namun tidak banyak yang dapat dilakukan, karena seberapa keras usaha dan upaya yang telah dilakukan, hasil yang diperoleh masih belum mampu memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Inilah yang menyebabkan mereka lebih takut miskin daripada takut tidak menikah karena banyak pernikahan yang gagal bermula dari masalah ekonomi.

Sistem Pendidikan Kapitalis

Di samping itu, sistem pendidikan saat ini juga berperan dalam merusak pemahaman generasi, karena standar dalam pendidikan pun juga diukur berdasarkan materi belaka yang menyebabkan peserta didik hanya belajar untuk mengejar materi dengan cara yang mereka inginkan.

Belum lagi pengaruh media sosial yang sangat masif. Banyak informasi positif atau negatif di sana. Namun, ketika ada berita buruk, maka akan hadir beberapa pihak yang sengaja membangun narasi negatif untuk memunculkan rasa takut dan cemas dalam benak generasi, seperti kegagalan pernikahan publik figur, ajakan untuk tidak menikah, childfree, dll.

Sebagai bentuk pengalihan, mereka akan memilih melihat konten pasangan yang bahagia hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, pasangan yang menikah tetapi mengampanyekan childfree atau konten-konten flexing publik figur. Padahal, konten seperti ini hanya akan membentuk dirinya menjadi pribadi yang liberal, konsumtif, dan hedon.

Inilah buah dari pendidikan liberal ala kapitalis, generasi telah terpapar oleh racun-racun pemikiran yang berbahaya. Mereka terbiasa terdidik untuk melakukan apapun yang mereka mau, tanpa memandang apakah pemahaman dan perilakunya benar atau salah. Semua mereka lakukan semata untuk mencapai kebahagian semu.

Parahnya, di kondisi ini negara tidak pernah hadir untuk mengatasi kesulitan rakyatnya. Negara seolah abai akan tanggung jawabnya mengurus rakyat. Mereka hanya berpihak pada oligarki, keberpihakan ini menyebabkan pemerintah hanya berfungsi sebagai regulator atas kebijakan-kebijakan yang menguntungkan oligarki dan pribadinya tanpa peduli bahwa kebijakan bodohnya telah menyebabkan ratusan juta orang hidup dalam jurang kesengsaraan. Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban atas ketidakbecusan pemerintah dalam menjamin kesejahteraan hidup rakyat dan mereka membiarkan rakyat berjuang sendiri untuk bertahan hidup.

Baca juga: Kodokushi: Krisis Mental di Alam Kapitalisme

Paradigma Islam

Berbeda dengan kapitalis liberal, negara Islam bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya dengan penerapan sistem ekonomi Islam. Ketika masyarakat mengalami kesulitan hidup maka negara wajib memenuhi kebutuhan hidupnya, saat masyarakat kesulitan mencari pekerjaan maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya dan memberikan pelatihan kepada siapapun yang belum memiliki keterampilan kerja. Hal ini dilakukan semata-mata untuk memenuhi tanggung jawabnya kepada rakyat.

Di samping itu, penerapan sistem ekonomi Islam menjadikan seluruh pengelolaan sumber daya alam hanya dilakukan oleh negara, bukan asing/swasta sebagaimana sistem kapitalisme, kemudian hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat sepenuhnya untuk menjamin kesejahteraan hidup masyarakat.

Sistem Pendidikan Islam

Dari segi pendidikan, negara akan menerapkan sistem pendidikan Islam berbasis akidah Islam. Penerapan ini akan membentuk pola pikir dan pola sikap generasi berdasarkan akidah Islam. Akidah inilah yang akan membentengi mereka dari sikap liberal dan materialis. Sehingga, kemampuan dan potensinya akan tersalurkan secara tepat untuk kemaslahatan umat semata.

Pemenuhan Kebutuhan Pokok

Dari segi keluarga, negara juga berkewajiban untuk memberikan penguatan bahwa menikah bukanlah suatu momok buruk melainkan adalah ibadah sekaligus ikatan untuk melanjutkan keturunan. Benar, bahwa menikah membutuhkan kesiapan fisik dan mental, namun perlu diingat bahwa Islam telah memberikan kemudahan bagi siapapun yang ingin menikah, tidak perlu takut miskin, karena negara yang akan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya dan tidak akan membiarkan rakyatnya memikul beban hidupnya sendiri.

Sebagaimana firman Allah Swt.,

Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur: 32).

Sungguh hanya Islam saja yang mampu menjadi solusi atas setiap problematika hidup saat ini. Maka sudah menjadi kewajiban bagi umat islam untuk terus berdakwah menyadarkan umat akan urgensi penerapan sistem Islam dalam kehidupan saat ini di bawah naungan Khilafah islamiyyah. []

Menyoal Gelondongan Kayu dalam Banjir Sumatra

Bencana banjir yang terjadi di sebagian wilayah di Sumatra ini adalah kombinasi dari faktor alam dan ulah tangan manusia yang serakah.

Oleh. Ummu Rahmat
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Sumatra berduka, beberapa titik daerahnya terguncang banjir dan tanah longsor. Banyak warga kehilangan tempat tinggal. Fasilitas umum lumpuh total. Banyak wilayah terisolasi yang mengakibatkan pada terlambatnya bantuan masuk. Korban jiwa pun masih terus bertambah. Seiring dengan proses evakuasi yang masih terus berlanjut.

Bencana alam yang terjadi pada penghujung November 2025 ini menjadi luka mendalam di tiga Provinsi di Pulau Sumatra seperti  Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Di Aceh saking parahnya, amukan air bah ini disebut sebagai tsunami kedua. Ya, bukan apa tetapi yang membuat kita shock ketika bencana hidrometereologi ini terjadi serentak di tiga provinsi sekaligus di Pulau Andalas. Itu menyisakan kerusakan yang cukup parah dari segi infrastruktur. Ini mengisyaratkan bahwa bencana ini tak main-main. Maka sungguh sangat disayangkan, bila tak masuk dalam kategori bencana nasional.

Terlepas dari itu, bencana ini juga membuat kita akhirnya bertanya-tanya. Pasalnya, air bah yang mengamuk itu membawa serta ratusan bahkan mungkin ribuan gelondongan kayu yang berukuran variatif.  Dan spechless-nya, gelondongan ini dalam kondisi terpotong rapi. Dari manakah asal kayu-kayu berdiameter besar ini? Adakah ia tumbang akibat terpaan hujan? Atau ini kayu para kapitalis yang belum sempat diangkut? Mari kita telusuri pada uraian berikut ini!

Banjir Sumatra: Kondisi Alam atau Buruknya Perilaku Manusia?

Berbicara bencana alam terutama banjir dan tanah longsor, tentu semua ini terjadi bukan dengan tiba-tiba. Bila kita hendak membuka literatur, banjir terjadi akibat dari hilangnya populasi atau ekosistem hutan, dalam hal ini pohon yang berfungsi sebagai penampung kadar air kala hujan turun. Hujan tentu tak bisa kita tahan untuk tidak jatuh membasahi. Karena ia adalah siklus alami yang terus berproses setiap saat. Hanya saja Tuhan sudah mengatur agar hujan yang turun ini tak merusak alam. Sang Pencipta hadirkan sejumlah tanaman yang menjulang tinggi yang akarnya menghunjam jauh ke dasar tanah yang berfungsi untuk menampung setiap titik air hujan yang jatuh ke bumi, agar ia dapat memperkaya sumber mata air kehidupan juga menjaga manusia dari bencana alam seperti banjir, tanah longsor, perubahan iklim, pemanasan global, dan lain sebagainya. Ya, Allah Swt. begitu rapi dan teratur menata alam semesta beserta isinya.  Hanya saja, tangan manusia itu sendiri yang merusaknya akibat kerakusan dan ambisi memabi buta manusia dalam menjadikan alam sebagai lahan bancakan sampai lupa menjaga keseimbangan yang sudah Sang Pencipta tetapkan.  Alhasil, alam pun tercederai.

Jika kita berbicara mengenai tragedi banjir di Pulau Sumatra yang terjadi serentak pada 27 November 2025 lalu, kita akan sampai pada satu kesimpulan, bahwa ini terjadi bukan semata karena faktor alam melainkan ada campur tangan manusia. Hal ini diungkap oleh seorang peneliti. Memang benar saat itu kondisi atmosfer di atas pulau ini sedang tidak baik-baik saja. Namun, semua tak akan menjadi runyam kalau saja kondisi alam di sana masih sehat.  

Ya, peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM, Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU mengatakan bencana banjir yang terjadi di penghujung November 2025 ini adalah kombinasi dari faktor alam dan ulah manusia. Beliau pun menuturkan bahwa memang pada akhir November 2025 lalu terdapat Siklon Tropis Senyar, yakni sebuah fenomena gangguan atmosfer yang dapat memicu bencana hidrometereologi. Ini berpusat di Selat Malaka, kemudian memicu hadirnya curah hujan yang tinggi. Bahkan hasil temuan BMKG di hari puncak kejadian itu, wilayah Sumatra di beberapa titik diguyur hingga 300 mm hujan/per harinya.

Akan tetapi, menurut akademisi asal UGM itu, peristiwa yang berlaku di tiga provinsi itu tidak semata karena curah hujan yang tinggi tersebut. Melainkan rapuhnya pertahanan benteng alam yang berada di kawasan hulu. Benteng pertahanan alam ini adalah hutan yang menjadi pengendali daur air kawasan. Dirinya juga menambahkan bahwa hutan yang rimbun sejatinya punya peran yang sangat signifikan di musim hujan seperti saat ini, keberadannya sebagai penyangga yang menahan air sebelum sampai ke sungai.

Persoalannya kemudian, Sumatra adalah salah satu wilayah di tanah air yang tinggi dalam  aktivitas deforestasinya. Alhasil, vegetasi hutan pun hilang.  Air hujan turun tak lagi punya tempat singgah, yakni akar-akar pohon. Sebagaimana lumrahnya kita diajarkan pada buku-buku pelajaran di sekolah bahwa di akar pohon inilah air hujan ditampung sementara. Hilangnya hutan dan pohon membuat air hujan tak lagi memiliki penahan hingga akhirnya ia langsung menerjang ke sungai. Sungai ketika sudah tak mampu menampung akhirnya meluap hingga kemudian menjadi bahaya banjir bandang. Namun, banjir dan tanah longsor yang dahsyat mengguncang Pulau Sumatra beberapa waktu lalu mengisyaratkan sebuah kerusakan yang amat parah di kawasan hutan tersebut. Hal ini makin diperkuat dengan banyaknya gelondongan kayu yang keluar bersama amukan air. Maka, mustahil bila tak ada campur tangan manusia di sana.

Tingginya Aktivitas Deforestasi di Sumatra

Berbicara soal deforestasi mari kita pahami apa itu deforestasi, penyebab, bahaya, serta kaitannya dengan gelondongan kayu yang keluar bersama bencana banjir dan longsor di Pulau Sumatra.

Dilansir dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), deforestasi adalah sebuah aktivitas penebangan kayu komersial dalam skala yang besar. Secara lebih luas, deforestasi adalah suatu kondisi di mana hilangnya hutan beserta dengan komponen di dalamnya baik secara alami maupun karena campur tangan manusia. Fenomena deforestasi ini sering dikaitkan dengan  wujud eksploitasi berlebihan dan serampangan oleh manusia kepada alam (baca: hutan) demi keuntungan materi. Hutan sebagaimana yang kita ketahui, ia menyimpan banyak potensi berharga yang tak ternilai jumlahnya.

Dikutip dari environment-Indonesia.com (5-02-2025), deforestasi adalah faktor utama di balik rusaknya hutan. Ini berangkat dari dalih pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan. Kemudian diikuti dengan penebangan kayu dan produk lainnya di dalam hutan. Lalu menempel bersamanya aktivitas illegal loging atau produksi kayu yang berasal dari konsesi Hak Penguasa Hutan (HPH). Ada pula karena alasan perluasan infrastruktur dan permukiman akibat tingginya pertumbuhan penduduk. Kebakaran hutan yang disengaja karena dianggap murah dalam membuka lahan baru, juga menjadi penyebab deforestasi.

Deforestasi memiliki bahaya laten bagi alam. Di mana ini sangat merugikan seluruh komponen eksosistem di sekitarnya.

Pertama, alam menjadi kehilangan keanekaragaman hayati, banyak flora dan fauna menjadi punah. Kedua, penggundulan hutan akan membuat perubahan pada keseimbangan alam di mana iklim akan terganggu. Karena hutan yang sebelumnya berperan sebagai penyerap karbon alami. Kini kehilangan pemasoknya yakni pepohonan itu sendiri.
Ketiga, hutan yang hilang akan mengganggu sumber air.
Keempat, deforestasi menyebabkan hilangnya vegetasi alami yang berfungsi sebagai penyangga alami tanah, sehingga pada musim penghujan tiba  tanah tidak mudah longsor dan erosi.

Lalu bagaimana dengan fakta deforestasi di tiga provinsi di Sumatera ini?

Pada tahun 2024 angka deforestasi netto Indonesia berada di angka 175,4 ribu hektar. Mayoritasnya terjadi di hutan sekunder, yakni hutan yang tumbuh kembali karena reboisasi setelah mengalami kerusakan daripada aktivitas manusia. Mari kita lihat bagaimana angka deforestasi di beberapa provinsi yang terdampak banjir cukup parah pada beberapa waktu lalu!

  1. Aceh

Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), empat kabupaten di Provinsi Aceh yang masih terisolir akibat banjir yang menerjang beberapa waktu lalu. Empat kabupaten tersebut di antaranya Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Gayo Lues, dan Kabupatqen Singkil. Keempat kabupaten ini terisolir karena akses penghubung, yakni jembatan putus dan rusak parah akibat terjangan arus banjir. Di Kabupaten Pidie Jaya, lumpur menutupi rumah warga setinggi 2 meter. Di daerah lain gelondongan kayu juga memenuhi perkampungan warga.

Berkaitan dengan hal ini, Aceh rupanya menjadi salah satu provinsi yang melakukan aktivitas pembalakan liar. Menurut data dari Kementrian Kehutanan (Kemenhut) yang dilansir dari laman cnnindonesia.com (30/11/2025),  ditemukan 86,60 meter kubik kayu ilegal tepatnya di Kabupaten Aceh Tengah. Hari ini Aceh Tengah merupakan salah satu wilayah yang masih terisolir akibat mengalami kerusakan parah dari segi infrastrukturnya. Selain itu, Aceh juga menjadi provinsi yang sejak tahun 1990-2000 telah kehilangan lebih dari 700.000 hektare hutannya akibat deforestasi (ugm.ac.id, 1/12/2025).

Lalu bagaimana dengan Sumatra Utara? Di provinsi ini total deforestasi nettonya mencapai 7.034,9 ha, lebih kecil dari Aceh. Namun, pada tahun 2020 hutan Sumut yang tersebar di Pegunungan Bukit Barisan  bagian barat, tutupan hutan atau jumlah pohon yang menutupi suatu area lahan tertentu tinggalah sekitar 29 persen saja atau sekitar 2,1 juta ha. Kini benteng terakhir hutan bagi provinsi ini hanyalah Kawasan Ekosistem Batang Toru yang berlokasi di Tapanuli. Namun mirisnya, kawasan yang menjadi tumpuan hutan bagi Sumatra Utara ini,  telah terjamah oleh aktivitas manusia. Mulai dari hadirnya aktivitas penambangan, pembukaan kebun, dan lain sebagainya (ugm.ac.id, 1/12/2025). Alhasil, provinsi ini terancam kehilangan kawasan hutannya.

Berbicara soal asal muasal gelondongan kayu yang juga ditemukan di provinsi ini saat banjir beberapa waktu lalu. Dari hasil temuan Kemenhut, di Sipirok Tapanuli Selatan pada Oktober 2025 lalu, sebanyak 4 buah unit truk yang bermuatan kayu bulat dengan dokumen kayu dari Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) yang sudah dibekukan. Dan kayu ini sebanyak 44,25 meter kubik. Artinya bahwa, di sana memang sedang berlangsung pembalakan liar. Maka tentu ini dapat menjawab rasa penasaran publik dari mana asal datangnya kayu-kayu gelondongan tersebut.

Untuk provinsi Sumatra Barat (Sumbar) sendiri, lokasi terdampak banjir dan tanah longsor tersebar di tujuh kabupaten dan kota. Di antaranya, Kabupaten Padang Pariman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Limah Puluh Kota, Kota Padang, dan Kota Solok. Kabupaten Pariaman adalah  titik wilayah yang paling terdampak. Di mana di sini terdapat 13 kecamatan yang terkena longsor dan 11 kecamatan yang terdampak banjir. Sungguh, ini duka yang sangat mendalam bagi penduduk sekitar.

Merujuk pada data tahun 2020, Sumatra Barat masih memiliki hutan sekitar 54 persen dari luas wilayahnya, yakni kurang lebih 2,3 juta ha. Secara data pula ia masih lebih baik dari Sumut. Hanya saja  di provinsi ini angka deforestasinya adalah yang tertinggi. Dari kurun tahun 2001 hingga 2024 sebanyak 320 ribu ha hutan primer dan 740 ribu ha tutupan, yakni baik itu  hutan primer maupun sekunder telah raib (ugm.ac.id, 1/12/2025).

Pada  Agustus 2025 lalu, Kemenhut menemukan 152 batang kayu yang ditebang dari luar PHAT dan ini terjadi di Kabupaten Solok. Ini baru data yang berhasil ditemukan. Bagaimana dengan yang tidak pernah terungkap. Tentu tak terhitung jumlahnya. Hal ini pun akhirnya terkuak kala banjir tempo hari. Barangkali saja kayu-kayu itu belum sempat diangkut dan akhirnya keluar bersama aliran banjir. Maka harapan hutan bagi provinsi ini  pun sama dengan Sumatra Utara, yakni sama-sama berada di lereng curam bukit barisan.

Pulau Sumatra secara gografis merupakan wilayah di tanah air yang beriklim tropis basah, sehingga hujan lebat kerap terjadi di sini. Maka seharusnya, alam di pulau ini harus dijaga dengan baik. Hutannya harus dijaga dan dipelihara. Karena bila hutan di pulau ini hilang maka bencana alam besar-besaran tinggal menunggu waktunya saja. Itulah mengapa, pentingnya peran pemangku kebijakan yang tidak boleh memihak apalagi kepada para pemilik modal. Karena bila alam rusak maka nyawa seluruh masyarakat di sekitar dalam taruhannya. Lantas sejak kapan sebenarnya, asal muasal eksploitasi hutan Indonesia ini mulai berlaku?

Awal Mula Eksploitasi Hutan Indonesia

Setiap ciptaan Tuhan di bumi semua hadir bukan dengan tanpa alasan. Walau dalam standar syarak kita tak boleh mempertanyakan, tetapi dengan kemajuan sains dan teknologi serta masifnya riset yang dilakukan, akhirnya ditemukan bukti ilmiah. Begitu pun dengan keberadaan hutan, hutan adalah sebuah ekosistem alami yang di dalamnya berdiam banyak populasi makhluk hidup yang saling bersimbiosis. Hutan dihadirkan untuk menjaga keseimbangan alam. Hutan juga hadir sebagai urat nadi bagi kehidupan. Ia menyimpan banyak potensi dan peran dalam keberlangsungan kehidupan umat manusia.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi besar tersebut. Ya, Indonesia mempunyai kawasan hutan yang luas di dunia setelah hutan Kongo dan Brasil di Amerika Latin. Luas hutan Indonesia mencapai 131.156.904,97 ha. Jumlah ini mencakup di dalamnya hutan konservasi seluas 27.215.511,5 ha, hutan produksi 73.946.572,41 ha, dan 29.994.821,01 ha hutan lindung (Histori.id, 4/10/2025). Hutan yang besar ini tentu menyimpan segudang kekayaan biodiversitas yang bernilai ekonomi tinggi.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2023, provinsi dengan luas tutupan hutan terbesar ialah Papua dengan 32,9 juta hektare; Kalimantan sebesar 28,5 hektare;  Sumatra 16 hektare; Sulawesi 11,6 hektare; Maluku 6,8 hektare; Bali 2,7 hektare; dan Jawa 1,6 hektare.  Tutupan hutan sendiri adalah jumlah dari pohon yang berfungsi menutupi area tanah tertentu. Tutupan hutan inilah yang berfungsi menjaga keberlanjutan ekosistem juga kesejahteraan manusia. Keberadaan tutupan hutan dapat melindungi manusia dan makhluk lain dari bencana banjir dan tanah longsor, menghalangi dari erosi, pemanasan global, menjaga sumber air, mengatasi perubahan iklim, dan lain sebagainya. Jadi, keberadaan tutupan hutan ini harus dijaga dan dilestarikan.

Ironisnya, di Sumatra sendiri tutupan hutannya sudah makin berkurang. Di mana kini sudah beralih fungsi menjadi areal perkebunan sawit, kawasan pertambangan, dan pembalakan liar. Bila kita telusuri lebih jauh, penghilangan hutan di Pulau Sumatra ini ternyata sudah terjadi sejak lama. Jika mengutip ungkapan Zulkifli Hasan dalam podcastnya bersama Deny Sumargo (01/12/2025), bahwa hutan Sumatra itu habis duluan sejak lama, bahkan sejak orde baru. Saat itu ungkap Menteri Koordinator Bidang Pangan itu mengatakan, pendapatan negara bertumpuh pada hasil hutan. Dan hutan Sumatra itulah yang pertama dikelola.

Meski begitu, bila kita hendak membuka lembaran sejarah, potensi hutan Indonesia ini sudah dilirik sejak zaman kolonialisme. Saat VOC eksis di Nusantara, eksploitasi terhadap hasil hutan di negeri ini mulai dilakukan. Apalagi pada saat itu, komoditas seperti kina; tebu; kopi; tembakau; dan teh laku keras di pasaran dunia. Alhasil, kongsi dagang Hindia Timur itu melakukan pembukaan lahan baru untuk memperluas jangkauan penanaman beberapa komoditas yang laku keras tersebut.

Di masa Soekarno, eksploitasi hutan masih terbilang minim. Namun, pada tahun 1964 setelah isu konfrontasi dengan Malaysia mereda, mulailah para konglomerat melirik hutan Kalimantan yang saat itu masih belum terjamah. Isinya masih lengkap dengan potensi yang sangat luar biasa.

Eksploitasi hutan ini pun makin legal dengan dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1967. Saat itu, Hak Pengusahaan Hutan (HPH) mulai diberikan kepada para pengusaha. Puncak kerusakan hutan Indonesia terjadi pada tahun 1980-an. Saat itu, negara betul-betul menggelar karpet merah bagi para konglomerat hutan sampai-sampai jumlah HPH yang dikeluarkan mencapai 519 izin dengan luas areal 53 juta hektare. HPH ini tak hanya diberikan kepada perusahaan nasional melainkan kepada asing pun diobral. Maka mulailah saat itu masuk para kapitalis dunia berburu kapital di hutan Indonesia.

Ekspor kayu gelondongan pun mulai terjadi saat itu. Bayangkan saja, seorang konglomerat kayu bernama Bob Hasan kala itu menguasai pemasokan dan pasar kayu lapis terbesar di dunia. Ia memegang HPH dari negeri ini dan keuntungannya untuk dirinya sendiri (Historia. id, 4/06/2024).  Sungguh,  negara ini sudah ditawan oleh para pemilik modal. Maka bencana yang hari ini melanda negeri ini seperti banjir dan tanah longsor, bukan karena peristiwa beberapa tahun belakangan ini tetapi akumulasi dari kebijakan eksploitasi itu berlaku. Kini dipanen dampaknya oleh anak dan generasi yang datang kemudian. Hari inilah semua terjadi. Mereka yang tak menikmati apa-apa, harus menyaksikan rumah mereka amblas digilas banjir yang mengganas, juga kehilangan orang-orang tersayang. Sungguh, ini kepiluan yang amat menyayat hati.

Buah Penerapan Sistem Kapitalisme

Apa yang berlaku dalam penjabaran di atas, bermuara pada satu kesimpulan, yakni kebijakan pengaturan kehidupan yang kapitalistik yang itu lahir dari rahim ideologi kapitalisme yang punya syahwat materi tak terbendung. Inilah yang ia kejar dalam sistem perekonomiannya. Maka tak heran bila negara dibuat tak berdaya. Negara berubah fungsi sebagai regulator semata sang penggelar karpet merah kepada para konglomerat. Inilah fungsi negara di dalam sistem ekonomi kapitalisme.

Untuk memudahkan hal itu, maka dibuatlah konsep liberalisasi sumber daya alam, yakni bagi siapa saja yang bermodal besar boleh dan bebas mengakses potensi kekayaan alam tersebut. Tak terkecuali potensi hutan dan sekitarnya yang memang turut menjanjikan. Akhirnya, tak ada konsep kepemilikan yang jelas, mana yang menjadi milik negara dan bukan. Karena semua pengelolaan dan pemanfaatan berbasis investasi. Mirisnya, negara mendapat bagian yang kecil dibanding para pengusaha. Padahal, bila ditimbang, negaralah yang punya kekayaan itu. Tapi, inilah fakta di dalam sistem ini. Negara dibuat tak berdaya ketika berhadapan dengan para pemilik modal.

Solusi Islam

Dalam pandangan dan kacamata Islam, alam dan seluruh isinya harus dijaga. Manusia dilarang keras melakukan perusakan kepada alam. Apalagi sampai mengganggu keseimbangan ekosistem yang sudah Allah Swt. ciptakan dengan begitu baik dan teraturnya. Sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-A’raf ayat 56 yang artinya, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”

Semua upaya pencegahan yang bisa menjaga manusia agar tidak melakukan perusakan ini, efektifnya dilakukan oleh negara. Karena negara punya power, kuasa, serta aturan. Itulah mengapa di dalam Islam negara berfungsi sebagai pelindung dan pengatur segala hajat hidup warganya tanpa terkecuali. Karena kelak berlaku hisab padanya di hari akhir nanti. Sebagaimana sabda Nabi saw. yang berbunyi, “Amir (khalifah) yang mengurus banyak orang adalah pemimpin dan akan ditanya tentang mereka.” (HR. Bukhari).

Maka negara tentu akan takut bila memberi izin tanpa melakukan pengawasan ketat apalagi dalam hal pengelolaan kekayaan alam. Ditambah lagi, Islam begitu jelas memetakan suatu kawasan yang menjadi hajat hidup orang banyak. Sebagaimana yang termaktub dalam hadis riwayat Ibnu Majah, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api.”

Makna berserikat ini meniscayakan bahwa rakyat punya hak atas air, rumput, dan api. Maka hutan yang di dalamnya terdapat sumber air, rumput yang berarti pohon dan semak belukar lainnya, haram hukumnya diswastanisasi oleh para pemilik modal. Karena ia adalah milik orang banyak. Adapun bila negara hendak mengelolanya, maka hasilnya harus dipergunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk memenuhi kantong para kapitalis.

Di dalam sistem Islam, kerusakan lingkungan tak akan ditemukan. Karena dalam Al-Quran, Allah Swt. melarang keras aktivitas merusak alam. Sebagaimana pesannya dalam surah Al-Baqarah ayat 205 yang artinya, “Apabila berpaling (dari engkau atau berkuasa), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanaman-tanaman dan ternak. Dan Allah tidak menyukai kerusakan.”

Pun di dalam agama yang mulia ini, melestarikan alam dalam hal ini melakukan penanaman pohon diganjar dengan pahala oleh Allah Swt. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa dari Nabi saw. bersabda, “Tiada seseorang muslim yang menanam pohon atau tumbuhan lalu dimakan oleh seseorang, hewan ternak, atau apa pun itu, melainkan ia akan bernilai sedekah bagi penanamnya.”

Maka dalam sistem Islam dengan kondisi iman yang kuat, manusia akan sadar dan berlomba-lomba untuk menjaga dan memakmurkan hutan. Ada lahan yang tandus akan segera ditanami. Tanah yang kosong akan dimanfaatkan dan lain sebagainya. Alhasil, tertutup celah untuk melakukan pengrusakan pada alam.

Inilah mulianya syariat, sudahlah terdapat larangan untuk aktivitas privatisasi kekayaan alam. Juga lahirnya kesadaran yang tinggi dari rakyat akibat iman yang menghunjam akan pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan. Maka terjagalah kita dengan sebaik-baik penjagaan. Kita menjaga alam dan alam pun akan menjaga kita. Inilah bedanya paradigma Islam dengan kaptalisme dalam memandang pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.

Khatimah

Hanya Islam yang akan menjaga dan memuliakan alam semesta beserta isinya. Sistem lain tak mampu karena tak membawa paradigma riayah syu'unil ummah, yakni meriayah seluruh umat. Sedangkan kapitalisme hanya membawa misi eksploitasi guna memperkaya pundi-pundi harta para kapitalis.

Semoga Allah Swt. memberi tambahan kesabaran kepada saudara-saudara kita di Pulau Sumatra. Insyaallah, di balik setiap kesukaran hidup ada hikmah  yang terkandung di dalamnya. Semoga segala kehilangan yang dialami, akan diganti dengan sesuatu yang jauh lebih baik. Allah Swt. tak menguji di luar batas kemampuan hambanya. Semoga peristiwa memilukan ini menjadi momentum muhasabah bagi semua pemangku kebijakan.

Wallahu a’lam bis-sawab []

Jasa Nikah Siri: Komoditifikasi dan Eksploitasi Agama

Di balik pilihan nikah siri yang dianggap mudah, praktis, dan aman ini. Namun, dalam sistem kapitalisme-demokrasi mengandung konsekuensi yang berimplikasi pada hukum yang akan merusak tatanan sosial di masyarakat dan negara.

Oleh. Mahganipatra
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)

NarasiLiterasi.Id-Fenomena jasa nikah siri yang viral di platform TikTok baru-baru ini bukan sekadar persoalan hukum keluarga. Namun, justru persoalan ini telah mengungkapkan gejala sosial-politik di masyarakat. Bagaimana negara, masyarakat, agama, dan kekuasaan saling bertarung dalam lanskap ideologi di Indonesia. Terbukti, 250 ribu pengguna telah merespons dengan menonton video ini.

Tingginya respons dan minat masyarakat terhadap jasa pernikahan siri, menjadi ruang terbuka terjadinya pergeseran sudut pandang masyarakat terhadap pernikahan. Ini menjadi bukti rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi, pergeseran nilai agama, dan dominasi budaya digital. Sehingga pernikahan yang semestinya sakral, berubah menjadi komoditas yang dipasarkan secara terbuka.

Hanya dengan mengeluarkan uang Rp1,5 juta langsung mendapatkan paket lengkap "nikah beres tanpa ribet" dengan fasilitas gedung, restoran, hingga wali dan penghulu. Bahkan dijanjikan pula akan mendapatkan sertifikat nikah siri, buku nikah, hingga tempat ijab kabul yang "siap pakai". Paket jasa nikah siri yang ditawarkan melalui akun media sosial TikTok ini, dianggap sangat murah bagi mereka yang membutuhkan. (Kilat.com, 22-11-2025)

Latar Sosial Fenomena Pernikahan Siri

Fenomena pernikahan siri tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi ia merupakan produk kapitalisme yang lahir dari dinamika sosial, budaya, ekonomi, dan struktur negara. Di balik fenomena ini terdapat pertarungan politik yang lebih dalam dan hal ini menunjukkan, siapa sesungguhnya yang paling berhak mengatur manusia, ikatan sosial, dan legalitas keluarga di Indonesia.

Latar sosial ini juga telah membuka tabir bahwa praktik pernikahan siri bukan hanya pilihan individu, tetapi cermin dari kesenjangan sosial, krisis kepercayaan, dan perubahan nilai dalam masyarakat Indonesia yang telah melahirkan gejala sosial. Akibat negara Indonesia menerapkan sistem kapitalisme-sekuler.

Sistem ini telah melahirkan pergeseran nilai-nilai agama, dengan mereduksi dan mempersempit syariat Islam sebatas legalitas yang minimalis. Masyarakat kapitalisme hanya menganggap bahwa nikah siri sebagai solusi praktis, bukan lagi pilihan darurat. Dalam pandangan masyarakat kapitalis, nilai-nilai agama yang terkandung di dalam pernikahan telah bergeser dari ibadah yang sakral, tertib, dan teratur. Menjelma menjadi sesuatu yang bisa dieksploitasi dan dilakukan kapan saja, di mana saja, dan melalui jasa apa saja.

Problem Politik Pernikahan Siri

Fenomena maraknya para peminat pernikahan siri ini, langsung mendapat perhatian serius dari negara lewat instrumen politiknya yaitu Kementerian Agama RI. Negara memandang perlu untuk kembali menegaskan supremasi hukumnya agar bisa mengontrol masyarakat. Namun, apakah ini efektif?

Terbukti walaupun Kemenag mengimbau agar masyarakat melangsungkan pernikahan melalui jalur resmi, yaitu mendaftar di KUA, dengan memenuhi semua persyaratan hukum dan administrasi. Meliputi pengawasan dan pengecekan identitas calon pengantin, batas usia, status perkawinan, keabsahan wali, serta keberadaan dua saksi yang memenuhi syarat. Agar pernikahan mendapat pengakuan negara dan hak-hak pasangan serta anak dapat terlindungi.

Dengan menegaskan kepada masyarakat bahwa meskipun “nikah siri” tidak otomatis haram, tetapi ketika tidak dicatat oleh negara, maka keabsahan sebuah perkawinan sulit dipertanggungjawabkan. Baik menurut hukum negara maupun syariat, sehingga seluruh mekanisme ini harus dipenuhi. Apalagi jika pernikahan dijual/dipromosikan secara komersial lewat media sosial, tanpa prosedur hukum yang jelas. Maka, praktik tersebut dianggap menyimpang dari ketentuan hukum negara dan bisa membahayakan perlindungan hukum bagi keluarga.

Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah, Ahmad Zayadi, kemudian menjelaskan pula bahwa dalam hukum nasional, sebuah perkawinan hanya dianggap sah ketika dicatat secara resmi oleh negara. Namun, pernikahan tetap dianggap tidak sah, meskipun telah memenuhi rukun dan syarat agama jika tidak dicatat oleh negara. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. (detik.com, 24-11-2025)

Lalu, apakah kemudian masyarakat langsung mengamininya? Atau justru fenomena ini terus berlanjut bak "anjing menggonggong kapilah berlalu?"

Sebab Pernikahan Siri dan Dampak Sosial

Dalam sistem kapitalisme, pernikahan harus melewati proses resmi dan administratif. Namun, seiring dengan perkembangan zaman perlahan kian memudar. Apalagi ketika terjadi  pergeseran budaya digital dan komoditifikasi relasi makin kontras menghiasi peradaban kapitalisme-sekuler.

Baca juga: pergub baru kontroversi poligami

Masyarakat kapitalisme memandang bahwa segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia bisa menjadi barang yang diperjualbelikan, termasuk pernikahan. Saat pernikahan legal dianggap mahal dan birokratis rumit, kapitalisme dengan wataknya yang khas menawarkan alternatif  lain yang lebih mudah, yaitu “jalan pintas” yang bisa diperdagangkan.

Hal ini terjadi karena; Pertama, di dalam prosedur birokrasi sistem kapitalisme ada istilah "jika bisa sulit mengapa harus mudah?", demikian pula yang terjadi dalam birokrasi di KUA. Selain dianggap rumit, biayanya pun sangat mahal. Sementara nikah siri, biayanya murah, prosedurnya cepat dan praktis karena tidak membutuhkan birokrasi yang lambat.

Kedua, pernikahan siri terjadi untuk menghindari rasa malu akibat pasangan terlanjur hamil di luar nikah, untuk menghindari stigma negatif, atau tekanan sosial di masyarakat.

Ketiga, karena masih dalam status perceraian (status pasangan yang rumit), tidak direstui oleh orang tua, atau karena status poligami yang tidak bisa disahkan oleh negara.

Keempat, anggapan bahwa sah agama lebih penting daripada sah negara.

Kelima, ketidakpercayaan terhadap institusi negara.

Keenam, demi menghindari tanggung jawab hukum.

Ketujuh, terpengaruh media sosial dan romantisasi nikah siri akibat mobilitas sosial dan hubungan instan.

Padahal, di balik pilihan pernikahan siri yang dianggap mudah, praktis dan aman ini. Dalam sistem kapitalisme-demokrasi mengandung konsekuensi yang berimplikasi pada hukum  yang akan merusak tatanan sosial di masyarakat dan negara, di antaranya:

1. Hilangnya hak perempuan terhadap status kekuatan hukum negara dalam hak waris, nafkah dan perlindungan hukum.

2. Anak kehilangan legalitas administrasi hukumnya. Baik dalam masalah penafkahan dan waris, maupun dalam masalah dokumen akta kelahiran karena tidak bisa mencantumkan akta nikah.

3. Potensi eksploitasi terhadap perempuan makin meningkat, sebab dalam pernikahan siri posisi perempuan paling rawan.

4. Manipulasinya tinggi, sebab suami bisa “hilang” tanpa konsekuensi hukum, sehingga perempuan menjadi sangat rentan secara struktural.

Akar Persoalan Pernikahan Siri

Fenomena pernikahan siri bukan sekadar masalah administrasi, tetapi merupakan konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme sekuler oleh negara. Telah terjadi dualisme hukum yang saling bertentangan. Di satu sisi, syariat menetapkan pernikahan sah cukup dengan wali, saksi, dan akad. Namun, di sisi lain, negara memaksakan legalitasnya hanya melalui pencatatan sipil.

Sebab, dalam perspektif kapitalisme sekuler pernikahan di depan petugas pencatatan sipil merupakan prosedur akad kesepakatan pria dan wanita untuk hidup bersama dalam ikatan pernikahan yang memiliki legalitas hukum, atas ketentuan perceraian, dan berimplikasi pada kekuatan hukum di masyarakat dan negara.

Padahal, justru regulasi pencatatan ini yang telah menciptakan kesenjangan sehingga melahirkan jutaan keluarga sah secara agama tapi tidak diakui negara. Artinya pernikahan siri ini terjadi karena adanya krisis secara struktural, bukan semata krisis moral.

Oleh karena itu, selama sistem kapitalisme tetap bercokol di negeri ini, maka kisruh terkait pernikahan siri tidak akan pernah selesai.

Perspektif Kapitalisme-Sekuler vs Sistem Islam

Dalam perspektif kapitalisme-sekuler sebuah pernikahan akan dianggap sah ketika tercatat di depan petugas catatan sipil. Sebab, fungsi negara adalah membuat undang-undang yang bersandar pada akal manusia yang dapat mengatur sistem kehidupan sosial masyarakat dan negara. Dengan menafikan seluruh aturan agama, semisal aturan dalam sistem Islam kaffah.

Negara kapitalisme-sekuler akan memaksa masyarakat untuk mengikuti model keluarga kapitalistik-modern yang membutuhkan data, statistik, kontrol kependudukan, pajak, dan sistem waris formal, sehingga keberadaan pernikahan siri dianggap mengganggu seluruh mekanisme sistem ini.

Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam kaffah, di mana pernikahan akan dianggap sah ketika memenuhi syarat-syaratnya, yaitu ada wali, saksi, dan ijabkabul. Secara syar'i pernikahan di hadapan petugas sipil sama sekali tidak dipandang sebagai akad nikah ataupun kesepakatan pernikahan. Karena tidak ada nilainya sama sekali menurut syariah Islam.

Karena itu, dalam perspektif Islam pernikahan yang terdaftar di catatan sipil hanya bentuk kesepakatan antara pria dan wanita untuk sekadar membantu pendataan regulasi negara. Regulasi ini menjadi bagian dari tugas negara untuk melaksanakan kewajibannya dalam meriayah seluruh masyarakat demi terjamin dan terwujudnya maqashid syariah Islam.

Adapun mekanisme regulasi ini, maka akan dibuat secara praktis, ekonomis, dengan birokrasi yang sangat mudah dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dari berbagai wilayah maupun dari beragam kalangan masyarakat. Hal ini telah dibuktikan secara historis maupun empiris bahwa sistem Islam bisa mewujudkannya. Sejak masa kekhilafahan Umar bin Khattab telah membentuk sistem pencatatan kependudukan yang terus berkembang hingga berakhirnya Khilafah Islamiah di masa kekhilafahan Utsmaniah di Turki. 

Pernikahan dalam Sistem Islam Kaffah

Dalam kitab Sistem Pergaulan dalam Islam, karya Al allamah syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dijelaskan bahwa perkawinan atau pernikahan adalah pengaturan hubungan pertemuan (interaksi) antara laki-laki dan perempuan yang diatur dengan aturan khusus berupa akad pernikahan untuk tujuan melestarikan keturunan.

Akad pernikahan dipandang sempurna dan telah terjadi pernikahan, ketika telah memenuhi empat syarat akad yang syar'i atau syarat in'iqad pernikahan. Sebaliknya jika salah satu dari empat syarat tersebut tidak terpenuhi maka dianggap akad pernikahan tidak terwujud atau dinilai batil sejak dari dasarnya. Syarat akad in'iqad pernikahan di antaranya;

Pertama, terjadi ijab dan kabul yang dilangsungkan dalam satu majelis. Kedua, di antara laki-laki dan perempuan yang berakad, masing-masing dari keduanya mendengar dan saling memahami tentang akad tersebut. Ketiga, ucapan kabul tidak boleh menyalahi ucapan ijab, baik secara keseluruhan maupun sebagiannya.

Keempat, diharuskan bahwa syariah benar-benar memperbolehkan perkawinan di antara kedua pihak yang berakad, di mana mempelai wanita harus seorang muslimah atau ahlulkitab baik Yahudi atau Nasrani. Sementara untuk mempelai pria harus seorang muslim bukan nonmuslim. Syariat Islam telah melarang dengan tegas bagi laki-laki muslim menikahi seorang perempuan musyrik. Larangan ini sangat jelas ditegaskan dalam firman-Nya di Al-Qur'an surah Al Baqarah, ayat 221:

Artinya: "Maka janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya seorang budak wanita yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan yang mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya, seorang budak laki-laki yang mukmin lebih baik daripada laki-laki musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka menyeret ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menjelaskan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran." (TQS. Al-Baqarah: 221)

Oleh karena itu, agar akad pernikahan ini berlangsung sah, maka harus memenuhi tiga syarat, yaitu;

Pertama, mempelai wanita harus benar-benar halal untuk dinikahi.

Kedua, harus ada wali.

Ketiga, ada dua orang saksi muslim laki-laki yang balig, berakal sehat, dan dapat mendengar serta memahami ucapan kedua belah pihak yang berakad dari perkataan ijab dan kabulnya adalah akad pernikahan. 

Maka, jika akad pernikahan tersebut telah memenuhi syarat-syaratnya, pernikahan itu sah. Akan tetapi, jika salah satu dari ketiganya tidak terpenuhi, maka akad pernikahan dianggap fasad (rusak). Demikianlah syariat Islam telah menetapkan syarat-syarat akad pernikahan dengan sangat terperinci dan detail.

Kesimpulannya, di dalam sistem Islam kaffah, jika seorang laki-laki dan perempuan telah sempurna melaksanakan kesepakatan dalam akad pernikahan, dan telah terpenuhi syarat sahnya. Maka pernikahan tersebut secara legalitas memiliki kekuatan hukum yang akan berimplikasi terhadap tatanan sosial di masyarakat dan negara.

Wallahu a'lam bishawab.[]

UMP Layak untuk Rakyat

Hidup layak dengan gaji cukup rasa-rasanya akan sulit terwujud, sebab kebijakan upah minimum dalam sistem kapitalisme hanya cukup digunakan untuk bertahan hidup.

Oleh. Maftucha
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Kaum buruh berencana akan melakukan demo besar-besaran setelah pengumuman kenaikan gaji yang seharusnya diumumkan pemerintah pada tanggal 22 November 2025. Para buruh menuntut kenaikan gaji minimal 6,5-10,5 persen. Namun, hingga kini belum terwujud kesepakatan yang bisa menyatukan kedua belah pihak.

UMP dan UMK

Jika dahulu kita mengenal istilah UMR (Upah Minimum Regional), maka saat ini kita tidak lagi menggunakan istilah tersebut dan berganti menjadi UMP atau upah minimum provinsi. Selain UMP, ada juga istilah UMK (Upah Minimum Kota), keduanya memiliki perbedaan. 

UMP (Upah Minimum Provinsi) adalah upah pekerja yang ditetapkan oleh gubernur melalui Keputusan Gubernur. UMP adalah jumlah gaji minimum yang harus diberikan perusahaan kepada pekerja. Besaran UMP akan disesuaikan setiap tahunnya, mengikuti perkembangan daya beli masyarakat serta beberapa faktor lainnya.

Sementara itu, UMK adalah upah minimum yang ditetapkan atas usulan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota. UMP biasanya lebih tinggi dari UMK. Namun, tidak menutup kemungkinan UMK lebih tinggi juga karena UMK disesuaikan dengan kondisi ekonomi dan kebutuhan hidup di kota tersebut. Jika besaran UMP lebih kecil, maka yang dipakai adalah UMK atau sebaliknya.

Di Indonesia, UMK tertinggi jatuh pada Kota Bekasi, yaitu Rp5.690.752,95 dan yang terendah adalah Kabupaten Banjarnegara yakni hanya sebesar Rp2.170.475,32.

Tarik Ulur Penetapan UMP

Hingga kini pemerintah belum juga menetapkan jumlah kenaikan gaji tahun 2026. Padahal pengumuman UMP 2026 seharusnya diumumkan tanggal 21 November 2026. Presiden KSPI, Said Iqbal mengatakan bahwa dengan menggunakan rumus menaker, indeks tertentu 0,2, inflasi 2,65 persen, dan pertumbuhan ekonomi 5,12 persen, maka kenaikan upah hanya 3,75 persen.

Jadi, jika UMK Kota Surabaya saat ini Rp4.961.753, maka kenaikannya hanya sebesar Rp186.000. Tentu saja ini tidak sebanding dengan naiknya kebutuhan hidup masyarakat.

Belum diketahui apakah tidak terjadi kesepakatan antara KSPI dan asosiasi pengusaha. Apakah nantinya pemerintah berpihak kepada nasib kaum buruh atau pengusaha. Presiden KSPI, Said Iqbal mengatakan bahwa jika kenaikan upah tidak sesuai dengan harapan mereka, maka mereka siap melakukan aksi mogok nasional. 

Padahal buruh memiliki peran sentral dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang selama ini dikejar-kejar oleh pemerintah. Namun, imbalannya tidak sebanding dengan perjuangan mereka.

UMP Rendah

UMP rendah masih banyak ditemukan di kota-kota di Indonesia, gaji yang hanya sebesar satu digit tentu tidak bisa diharapkan bisa memenuhi kebutuhan hidup. Kalaulah bisa tentu hanya untuk bertahan hidup saja. 

Selain itu, UMP yang ditetapkan pemerintah juga tidak sepenuhnya bisa dinikmati oleh semua buruh. Bagi mereka yang belum berstatus karyawan tetap, gaji UMP hanyalah impian. Sementara status pekerja borongan atau karyawan tidak tetap gajinya.

Padahal manusia tidak hanya harus memenuhi kebutuhan pokoknya. Akan tetapi, ada juga kebutuhan sekunder dan tersier. Manusia butuh rumah yang layak huni, kendaraan untuk memudahkan aktivitas mereka atau sedikit hiburan untuk menghilangkan kepenatan yang setiap hari mampir dalam kehidupan mereka. 

Padahal manusia tidak hanya harus memenuhi kebutuhan pokoknya. Akan tetapi, ada juga kebutuhan sekunder dan tersier. Manusia butuh rumah yang layak huni, kendaraan untuk memudahkan aktivitas mereka atau sedikit hiburan untuk menghilangkan kepenatan yang setiap hari mampir dalam kehidupan mereka. 

Kemiskinan banyak terjadi di daerah-daerah yang UMP-nya minim, sehingga mereka terpaksa menjadi TKI di negeri orang. Tak jarang hanya nama mereka saja yang pulang. 

Nasib Simalakama Buruh

Watak kapitalisme yang ingin mengeruk sebesar-besarnya keuntungan menyebabkan kerusakan dan kesengsaraan. Kaum buruh dieksploitasi sedemikian rupa, tetapi upah yang diterima rendah. Gaji yang rendah membuat pekerja tidak memungkinkan untuk bisa memenuhi kebutuhannya dengan layak.

Di sisi lain, pemerintah hanya menjadi wasit. Jika ada persoalan antara buruh dan pengusaha, pemerintah baru bertindak, bahkan seringnya berpihak kepada pengusaha. Nasib buruh bagai simalakama. Jika protes PHK ancamannya. Namun, jika berdiam diri, maka nasib kehidupan mereka yang menjadi taruhannya. 

Negara dalam sistem kapitalisme tidak benar-benar hadir untuk melayani rakyatnya. Negara tidak menjamin lapangan pekerjaan yang bisa diakses dengan mudah, akhirnya buruh terpaksa menerima upah yang minim supaya tetap bisa bertahan hidup. 

Tidak adanya kepastian kontrak dan jaminan sosial membuat pekerja sewaktu-waktu bisa diberhentikan secara sepihak, menambah daftar panjang pekerja di sektor informal dan semakin menggunungnya jumlah pengangguran. 

Prinsip Sistem Kapitalisme 

Kita tentu mengenal prinsip ekonomi dalam sistem kapitalisme, yaitu "modal sekecil-kecilnya, hasil sebesar-besarnya". Modal kecil untung besar menjadi prinsip dalam industri mereka. Untuk itu, mereka akan melakukan apa saja agar mereka bisa mendapatkan keuntungan besar, tetapi modal yang dikeluarkan sedikit. 

Buruh dalam pandangan sistem kapitalisme adalah salah satu faktor produksi dan sebisa mungkin tidak banyak menghabiskan cost. Untuk itu, salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan menekan upah pekerja. 

Para pemilik modal ini akan memengaruhi pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan mereka. Maka muncullah upah minimum yang hingga saat ini diberlakukan. 

UU Cipta Kerja (Omnibus Law) adalah salah satu hasil dari bagaimana lobi-lobi pemilik modal atau pengusaha kepada pemerintah. Padahal UU ini dinilai banyak merugikan hak-hak pekerja.

Baca juga: nasib pilu pekerja migran indonesia

Sistem kerja yang diberlakukan juga tidak manusiawi. Demi menggenjot produksi, buruh diminta lembur atau kerja shiftmalam. Keselamatan mereka juga tidak diperhatikan karena pengusaha mengabaikan standar keamanan yang benar. 

Pekerja ojek online adalah gambaran pahit bagaimana para pekerja tidak mendapatkan jaminan apa pun. Sang pemilik perusahaan tidak menganggap mereka sebagai karyawan sehingga tidak mendapat kepastian pendapatan. 

Pekerja dalam Pandangan Islam 

Sungguh Islam memiliki pandangan yang sangat jauh berbeda dengan sistem kapitalisme. Jika kapitalisme menganggap pekerja sebagai faktor produksi, maka tidak demikian dengan Islam. Islam menganggap bahwa pekerja adalah bagian dari masyarakat dan negara. Masing-masing memiliki peran dalam menjalankan tugasnya. 

Sebagai bagian dari masyarakat, maka hubungan antara pekerja dengan pemilik usaha adalah hubungan yang saling membutuhkan. Oleh karena itu, sebelum terjadi kesepakatan kerja, maka akad upah harus disepakati terlebih dahulu. Upah ini diberikan berdasarkan nilai manfaat yang telah diberikan kepada pemilik usaha. 

Dalam memberikan upah pun tidak boleh sesuka hati pemilik usaha. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw. "Berikanlah upah kepada pekerja, sebelum keringatnya kering." (HR. Ibnu Majah

Hadis ini menekankan betapa pentingnya menunaikan hak pekerja agar terhindar dari perbuatan zalim. Penentuan upah ini haruslah berdasarkan kesepakatan kedua pihak secara langsung. Namun, jika tidak menemukan kesepakatan, maka dalam Islam akan ada seorang ahli (khubara) yang dipilih oleh pekerja dan perusahaan untuk menyelesaikan kesepakatan tersebut. 

Jika tidak berhasil juga, maka penentuan upah ini akan ditentukan oleh seorang ahli yang dipilih oleh negara. 

Sementara itu, maksud pekerja bagian dari negara adalah bahwa negara bertanggung jawab kepada setiap rakyatnya untuk membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya. Hal ini berkolerasi dengan perintah dari Allah Swt. kepada kaum adam sebagai pencari nafkah. 

Allah Swt. berfirman yang artinya:"Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut..." (TQS. Al-Baqarah ayat 233)

Penerapan hukum Islam secara menyeluruh memungkinkan masyarakat bisa merasakan kehidupan yang sejahtera. Sebab, negara memiliki peran sepenuhnya dalam mengelola kekayaan alamnya, sehingga pendidikan, kesehatan, BBM, listrik bisa diperoleh dengan murah bahkan bisa secara cuma-cuma. 

Dengan demikian, masyarakat tidak hanya berputar-putar pada pemenuhan kebutuhan pokok saja. Namun, sudah bisa beralih pada pemenuhan kebutuhan yang sifatnya sebagai pelengkap. Semua ini hanya akan terwujud jika dan hanya syariat Islam diterapkan secara sempurna. 

Allah Swt. berfirman yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan." (TQS. Al-Baqarah ayat 208)

Khatimah

Sesungguhnya Islam adalah agama yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya. Islam memiliki berbagai penyelesaian masalah manusia dalam kehidupan. Dengan menerapkan Islam secara sempurna manusia akan menemukan kebahagian dunia dan akhirat. 

Islam jauh dari kezaliman karena aturannya bersumber dari Tuhan semesta alam yang mengetahui apa yang tersembunyi dan apa yang akan terjadi nanti. Wallahu a'lam bishawab.[] 

Islam Mencegah Paparan Medsos pada Anak

Negara Islam akan menjadikan internet, medsos, dan penyiaran sebagai sarana dakwah dan syiar kepada dunia, sehingga departemen penerangan akan menjaga ketat media sosial dari penyimpangan penggunaan.

Oleh. Arda Sya'roni
(Kontributor NarasiLiterasi.Id dan Pegiat Literasi)

NarasiLiterasi.Id-Tak dapat dimungkiri bahwa perkembangan zaman telah menjadikan dunia semakin maju dengan teknologi yang juga semakin berkembang. Dahulu, komunikasi hanya dilakukan dengan berbincang secara langsung, sehingga harus menempuh jarak dan waktu yang cukup lama agar pesan tersampaikan.

Kemudian berkembang menjadi surat-menyurat via pos maupun telegram. Lalu muncullah telepon kabel serta perangkat pager atau beeper nirkabel, dan internet yang pada saat itu belum bisa diakses semua orang. Lambat laut pager ini berkembang menjadi blackberry dan telepon genggam sederhana, hingga kini hadir beragam telepon pintar disertai dengan banyaknya platform media sosial yang mudah diakses semua orang, bahkan anak-anak.

Mudahnya akses media sosial oleh anak-anak dan remaja tak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga dampak negatif yang cukup meresahkan. Beragam kasus kriminal oleh anak dan remaja yang terjadi belakangan ini, di antaranya adalah kasus bunuh diri, penyimpangan seksual, pelecehan seksual, pembunuhan, judol, pinjol, serta perundungan baik secara verbal, fisik, juga melalui platform digital. Hal ini tidak hanya dipicu oleh kenakalan biasa, melainkan karena adanya faktor luar berupa tontonan di media sosial yang menjadi tuntunan bagi anak dan remaja.

Berdasarkan fakta tersebut, maka sejumlah negara telah melakukan pelarangan menggunakan medsos pada anak dan remaja. Pelarangan ini pertama kali diterapkan oleh Australia yang secara tegas melarang penggunaan media sosial untuk anak hingga usia 16 tahun. Negara tetangga Indonesia, Malaysia, juga berencana untuk melarang media sosial bagi pengguna di bawah usia 16 tahun mulai tahun depan.

Dikutip dari SINDOnews.com (24-11-2025), Kuala Lumpur bergabung dengan daftar negara yang memilih untuk membatasi akses ke platform digital karena kekhawatiran tentang keselamatan anak. Menteri Komunikasi Malaysia Fahmi Fadzil mengatakan bahwa pemerintah Malaysia saat ini sedang meninjau mekanisme yang digunakan untuk memberlakukan batasan usia penggunaan media sosial di Australia dan negara-negara lain. Tindakan ini dilakukan dengan alasan perlunya melindungi generasi muda dari bahaya daring seperti perundungan siber, penipuan keuangan, dan pelecehan seksual anak.

Kapitalisme Biang Keburukan

Dalam sistem kapitalis, media sosial merupakan salah satu sarana yang menguntungkan bagi banyak manusia. Fungsinya tak hanya mempersatukan manusia satu dengan yang lainnya, melainkan juga memberikan informasi bagi masyarakat, baik lokal, interlokal, bahkan internasional. Namun sayangnya, fungsi yang dirasa bermanfaat ini seiring perjalanan waktu justru menimbulkan dampak negatif yang merusak. Beragam informasi yang dapat diakses justru membuat anak-anak dan remaja makin tak tentu arah, apalagi bila landasan berpikir benar tidak ditanamkan sejak dini.

Dalam sistem kapitalis, segala sesuatu disandarkan pada keuntungan materi dan manfaat. Karenanya, media sosial merupakan salah satu alat yang memberikan banyak keuntungan. Adanya monetisasi yang diberikan banyak platform menjadi salah satu alasan ramainya unggahan konten di masyarakat. Alhasil, masyarakat ramai mencari cuan dengan menjadi youtuber, vlogger, ataupun content creator (pengisi konten).

Namun, kapitalisme yang hanya berorientasi pada keuntungan materi menjadikan para pengisi konten tersebut tidak merujuk pada halal haramnya suatu perbuatan, tidak juga menghiraukan dampak yang ditimbulkannya.
Permasalahan terkait penggunaan medsos ini dihadapi oleh banyak negara. Di Amerika, beberapa platform medsos terkena tuntutan yang diajukan pada YouTube, TikTok, Snapchat, Facebook, dan Instagram. Tuntutan yang diajukan adalah karena medsos menjadi perantara banyaknya kejahatan pada anak di bawah umur, juga menyebabkan kecanduan dan berpengaruh pada kesehatan anak.

Tak hanya Amerika, Nepal beberapa waktu lalu juga ramai didemo warganya terutama generasi muda sehingga menimbulkan penggulingan pemerintahan. Demo ini dipicu oleh flexing para anak pejabat, sehingga pemerintah mengambil kebijakan menutup platform yang digemari generasi muda. Begitu pula permasalahan yang terjadi di negara-negara lainnya, sehingga Australia berani mengambil langkah tegas melarang penggunaan medsos pada anak.

Langkah ini didukung beberapa negara, termasuk Malaysia. Pemerintah Indonesia sendiri telah berencana untuk turut mengambil langkah serupa di tahun depan.

Negara Gagal Melindungi Generasi Muda

Di era digital saat ini, banyak masyarakat yang mengunggah berbagai macam hal. Ada yang positif, ada pula yang negatif. Ada yang mengandung ilmu dan kebaikan, tetapi ada juga yang justru mengajak pada keburukan, bahkan cenderung menyesatkan. Banyaknya tontonan yang disajikan di medsos tanpa adanya aturan tegas yang mengatur lalu lintas di dunia maya inilah yang menyebabkan munculnya banyak kejahatan pada anak.

Baca juga: ruang aman berkesinambungan media digital

Kebiasaan flexing atau pamer kekayaan, mengunggah setiap aktivitas, serta mengungkapkan informasi pribadi, bagaikan memberi umpan kepada orang lain untuk melakukan tindak kejahatan. Benar apa kata Bang Napi, “Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pada pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah... waspadalah!”

Hal ini karena tidak adanya aturan tegas dari negara. Dalam negara yang berlandaskan kapitalisme sekularisme, adalah sebuah keniscayaan bila tidak menegakkan aturan tegas mengenai perkara ini. Hal ini karena negara tidak bisa berlaku sebagai junnah atau perisai bagi umat. Negara abai dalam menjaga akidah umat, sehingga wajar medsos menjadi gerbang terbukanya berbagai kemaksiatan.

Negara pun gagal dalam mengurus rakyatnya, terutama generasi muda dari paparan medsos. Padahal, dari generasi muda inilah kelak negara menentukan masa depannya.

Islam Melindungi Generasi

Islam memandang bahwa pelarangan penggunaan medsos pada anak hingga 16 tahun adalah solusi parsial. Hal ini karena dampak buruk medsos tetap akan menimpa orang dewasa bila tidak digunakan secara bijak. Islam bukan sekadar agama yang mengatur ibadah ritual, tetapi juga sebuah ideologi yang mengatur setiap linikehidupan, dari bangun tidur hingga bangun negara, dari masuk kamar mandi hingga masuk surga, semua itu diatur secara detail.

Islam akan menjadikan syariat Islam sebagai landasan hukum dalam setiap aktivitas kehidupan, baik di ranah pribadi dalam keluarga, lingkungan masyarakat, hingga negara. Dengan demikian, penguasa negara atau khalifah harus menerapkan syariat Islam dalam pelaksanaan kepemimpinannya.

“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”

Dengan syariat Islam menjadi landasan hukum negara, maka negara wajib menjaga akidah umat dan menjamin pelaksanaan syariat pada semua lini. Dengan demikian, pendidikan, kesehatan, keamanan, sosial, dan politik harus terlaksana sesuai hukum syariat Islam.

Oleh sebab itu, untuk menjamin penggunaan medsos dengan bijak, departemen penerangan dalam negara Islam akan mengawasi dengan ketat lalu lintas penyiaran dan internet. Departemen penerangan ini bertugas untuk mengawasi segala unggahan konten di masyarakat. Segala unggahan konten yang melanggar syariat atau menjerumuskan umat pada kesesatan akidah tentu akan mendapatkan sanksi tegas. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga akidah umat dan menyelamatkan generasi muda dari paparan tsaqafah asing.

Negara Islam akan menjadikan internet, medsos, dan penyiaran sebagai sarana dakwah dan syiar kepada dunia, sehingga departemen penerangan akan menjaga ketat media sosial dari penyimpangan penggunaan.

Khatimah

Perbedaan kepengurusan umat tampak jelas antara kepemimpinan kapitalisme dan kepemimpinan Islam. Negara yang berlandaskan kapitalisme sekularisme memandang segala sesuatu berdasarkan keuntungan, manfaat dan kebebasan. Alhasil, medsos dipandang tidak membahayakan selama tidak menganggu kepentingan penguasa dan para kapital. Namun faktanya, medsos ini sangat merusak dan membahayakan karena menjadi sarana kejahatan, baik berupa kejahatan digital maupun kejahatan di dunia nyata.

Selain itu, medsos juga berdampak pada kesehatan, baik fisik berupa terganggunya organ mata, kelemahan otot akibat kurang gerak, kelemahan berpikir, penurunan daya ingat, berbagai penyakit yang disebabkan karena kurang tidur. Adapun dampak kesehatan mental berupa kecemasan, depresi, antisosial  juga kecanduan.

Dalam kepemimpinan Islam, medsos tak luput dari perhatian penguasa. Pendidikan dalam negara Islam akan menjadikan tsaqafah Islam sebagai dasar pembentukan insan berkualitas yang tak hanya santun bertindak, tetapi juga cerdas dan taat syariat. Tak hanya itu, medsos dalam negara Islam merupakan salah satu sarana untuk menyebarkan dakwah Islam dan mencerdaskan umat dengan ilmu pengetahuan. Hukum syarak yang menjadi landasan aktivitas kehidupan turut menjadikan umat bijak dalam bermedsos karena umat sadar sepenuhnya akan hisab dan pertanggungjawaban yang akan diterima kelak di hari pembalasan.

Oleh karena itu, generasi cemerlang akan tercipta meski ada pembatasan media sosial.
Hal ini sudah terbukti di masa kepemimpinan Islam banyak melahirkan generasi cemerlang tanpa adanya media sosial dan itu membawa negara pada peradaban gemilang. Apatah lagi jika sarana media sosial digunakan untuk menopang kemajuan peradaban masa kini. Wallahu a'lam bishawab.[]

Si Bungsu Kehilangan Teladan

”Tidak ada seorang pun anak yang lahir kecuali dilahirkan di atas fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi." (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh. Aliyah Ummu Najma
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Namanya diambil dari nama salah satu surat dalam Al-Qur'an, An-Najm yang berarti bintang. Ya, Najma sebutannya. Kelahirannya berbeda dari kakak-kakaknya yang semuanya lahir di rumah. Najma lahir di sebuah klinik bersalin di Kota Angin. Sore itu Najma lahir diiringi kumandang azan Magrib dengan persalinan normal.

Alhamdulillah kondisi ibu dan bayinya sehat sehingga malam itu juga Najma dan ibunya pulang dari klinik setelah beristirahat beberapa jam di ruang perawatan. Pada tengah malam menjelang dini hari sampai di rumah, bayi mungil itu disambut nenek dan kakek dari ayahnya. Sementara ketiga kakaknya masih tertidur. Jam masih menunjukkan pukul 1 dini hari.

Pengasuhan dan Teladan Kedua Orang Tua

Bayi mungil itu tumbuh besar dalam pengasuhan ayah ibunya sebagaimana ketiga kakaknya sehingga mereka sangat dekat satu dengan yang lainnya. Ibunya mengasuh anak-anak dengan penuh kasih sayang, begitu pula ayahnya senantiasa turut dalam pengasuhan jika ada di rumah.

Kehangatan dan kedekatan kedua orang tua sangat berpengaruh dalam tumbuh kembang anak-anak. Oleh karena itu, setiap orang tua harus memahami bagaimana pengasuhan kepada anak sesuai dengan usianya. Di usia 0-2 tahun misalnya, harus banyak memberikan sentuhan fisik berupa belaian kasih sayang. Seringlah mengajak anak bicara, meskipun belum bisa merespons.

Pengasuhan dan pendidikan Najma beserta ketiga kakaknya sangat diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Merujuk pada ayat 6 surah At-Tahrim : ”Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."

Selain perintah Allah dalam Al-Qur'an, Rasulullah saw. bersabda : ”Tidak ada seorang pun anak yang lahir kecuali dilahirkan di atas fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi." (HR. Bukhari dan Muslim)

Najma dan ketiga kakaknya sering diajak ke majelis ilmu. Kedua kakak laki-laki ikut dengan ayahnya, sementara Najma dan kakak perempuannya ikut ibunya. Secara tidak langsung ayah ibunya memberikan banyak pengajaran dan teladan pada keempat putra putrinya. Apa yang dilihat akan diingat dan ditiru oleh anak-anak. Maka ayah ibu harus memperlihatkan sikap dan tutur kata yang baik, terkhusus saat bersama anak-anak.

Sejak kecil ayah menanamkan kedisiplinan pada putra putrinya, kedua putranya senantiasa diajak salat berjemaah di masjid. Setiap waktu salat tiba, mereka sudah bersiap untuk salat berjemaah sesuai kebiasaannya. Di rumah, kedua putrinya dikondisikan ibu untuk melaksanakan salat berjemaah bersama ibu.

Raudlatul Athfal

Kakak laki-laki Najma dua-duanya sudah bersekolah di sekolah dasar, setiap pagi diantar ayah naik motor, setelah itu ayah dan ibu mengantar kakak perempuannya ke Raudlatul Athfal. Najma ikut mengantar bersama ibunya, kadang menunggu sampai pulangnya Kakak Naf.

Di usia lima tahun, Najma masuk Raudlatul Athfal (RA). Kali ini ibunya memilihkan RA yang berbeda dari kakaknya. Menyeberang keluar wilayahnya, tetapi lebih dekat jarak sekolahnya dari rumah dibandingkan sekolah ketiga kakaknya. Pagi diantarkan, kemudian dijemput di jam kepulangannya.

Dengan sabar, ibunya membimbing Najma untuk bisa beradaptasi dan bersosialisasi di RA. Beberapa bulan baru bisa bersosialisasi dengan bermain bersama teman-temannya. Hanya satu tahun Najma di RA, dilanjutkan ke jenjang berikutnya di sekolah dasar negeri di desanya bersama Kakak Naf di kelas 4.

Kedekatan Najma dengan Ayahnya

Pagi itu hari pertama masuk SD. Najma dan Kakak Naf berangkat diantar ayahnya. Ia masih malu-malu berkenalan dengan pengajar kelas dan teman-temannya. Seiring berjalannya waktu, Najma mampu mengikuti pembelajaran di sekolah dengan baik dan mendapatkan nilai tinggi di kelasnya.

Selama di sekolah, Najma dan ketiga kakaknya dibiasakan untuk sarapan dahulu sebelum pergi ke sekolah sehingga di sekolah tidak harus jajan atau sekadar membeli minuman karena sudah dibekali air minum dari rumah. Ayahnya mengajarkan kesederhanaan dan disiplin dalam segala hal.

Najma sering ikut dan diajak ayahnya ke agenda-agenda di luar. Senang sekali Najma jika sudah diajak ayahnya pergi. Pulangnya suka bawa buah tangan dan dibagi-bagi dengan kakak-kakaknya. Saking dekatnya Najma dengan ayahnya, kadang suka menangis jika tidak diajak oleh ayahnya pergi. Begitulah si bungsu sangat dekat dengan ayahnya.

Baca juga: Menjinakkan Monster Malu

Si Bungsu Kehilangan Sosok Ayah Teladan

Najma sekarang sudah kelas 6 sekolah dasar. Namun, ia masih malu-malu dan sedikit agak minder apabila bersama teman-temannya di sekolah. Jika istirahat tiba, Najma memilih tetap duduk menyendiri di ruang kelas ditemani buku dan penanya, sesekali membuka tutup tumblernya untuk minum sekadar melepas dahaga.

Najma diantar ibunya ke sekolah karena ayahnya harus mengantar Kakak Naf yang sekolahnya agak jauh dari rumah. Kadang Najma berangkat sendiri jalan kaki. Beberapa pekan dari awal tahun ajaran baru di kelas 6, ayahnya mengalami sakit yang menyebabkannya tidak bisa pergi jauh sehingga ibunya yang mengantar Kakak Naf, sesekali Najma diantar ayahnya.

Satu hari, ketika ayahnya tidak bisa mengantar ke sekolah karena harus dirawat di rumah sakit, Najma terlihat duduk menyendiri di ruangan kelasnya berurai air mata. Pengajar kelas dan beberapa teman perempuannya menghampiri Najma dan bertanya, "Kenapa Najma, kok menangis?"

Najma diam sesaat, kemudian menjawab perlahan, " Ayah sakit, sekarang dirawat di rumah sakit."
Pengajar dikelas dan teman-temannya berusaha menenangkan dan menghibur Najma.

Kedekatan Najma dengan ayahnya membuat Najma sedih ketika ayahnya sakit dan dirawat di rumah sakit. Di hari pertama ayahnya dirawat, Najma ingin menemaninya di rumah sakit. Tetapi anak seusianya tidak diperbolehkan untuk menginap di rumah sakit, hanya bisa menjenguk saja di jam besuk.

Ayahnya pulang dari rumah sakit, Najma senang sekali. Di rumah Najma selalu memperhatikan kesehatan ayahnya, dan membantu merawat ayahnya bersama ibu dan kakaknya. Menyiapkan kebutuhan dan perlengkapan ayahnya saat harus berangkat ke rumah sakit untuk hemodialisis rutin.

Di saat hemodialisis keempat, Najma ikut ke rumah sakit. Ketika waktu Isya tiba, saat ayahnya mengalami kondisi kritis dan ditangani dokter jaga beserta beberapa perawat, ibunya mengajak Najma untuk mengambil air wudu dan salat Isya. Namun, Najma diam di tempat duduknya tidak mau beranjak, dari sudut matanya ada linangan air mata. Sampai beberapa saat kemudian ibunya menghampiri dan menyampaikan bahwa ayahnya sudah tiada.

Seketika Najma berurai air mata dan memeluk ibunya. Setelah ada kerabat yang datang barulah Najma mau diajak untuk berwudu dan salat Isya bersama ibunya di ruangan hemodialisis. Malam itu Najma pulang bersama ayah dan ibunya dalam mobil jenazah.

Hampir dua purnama Najma ditinggal ayah tercintanya. Kesedihan masih menyelimutinya. Tidak ada sosok ayah yang selalu mengajaknya bermain dan berpetualang. Teladan itu sudah tiada. Kepergian ayahnya menyisakan pilu yang mendalam di hati Najma.

Di saat teringat ayahnya, Najma tiba-tiba menangis meski sudah bersiap ke sekolah, hingga tidak bisa melanjutkan pergi ke sekolah. Hal itu terulang beberapa kali di pagi hari. Ibunya mencoba memberikan pengarahan dan pemahaman pada Najma. "Meski ayah sudah tidak bersama lagi saat ini di dunia, insyaallah kita berkumpul di jannah-Nya kelak." Aamiin Yaa Mujiibasaailiin.

Kota Angin, 4 Jumadil Akhir 1447 H (25 November 2025 M) []

Bobroknya Pelayanan Kesehatan, Nyawa Melayang

Pelayanan kesehatan dalam peradaban Islam yang mengalami perkembangan pesat didasarkan pada prinsip fundamental, yakni menyelamatkan jiwa manusia.

Oleh. Titi Raudhatul Jannah
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)

NarasiLiterasi.Id-Pelayanan kesehatan merupakan sarana dalam menjaga, memulihkan, dan meningkatkan kualitas hidup tiap individu dari ancaman penyakit. Namun, sistem kesehatan hari ini tidak memberikan pelayanan secara cuma-cuma, ada harga yang harus dibayar. Hal ini membuat masyarakat yang memiliki keterbatasan finansial kesulitan untuk mendapatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai.

Dikutip dari kompas.com (22-11-2025), perjalanan berat yang dihadapi Irene Sokoy, seorang ibu hamil, akhirnya meninggal dunia bersama bayinya pada (17-11-2025), pukul 05.00 WIT. Ketika dia dibawa oleh keluarganya ke RSUD Yowari, Irene berusaha mencari bantuan medis sejak siang hari pada (16-11-2025).

Namun, kondisi Irene yang makin memburuk dan tidak segera mendapat penanganan karena dokter tidak ada di tempat, dan proses pengurusan rujukan terasa sangat lambat.
Menurut Abraham Kabey (bapak mertua), surat rujukan hingga mendekati pukul 12 malam belum selesai. Setelah itu, Irene dibawa ke RS Dian Harapan dan RSUD Abepura secara berurutan, tetapi tetap tidak mendapatkan layanan yang diperlukan.

Puncaknya terjadi di RS Bayangkara, di mana pihak rumah sakit justru meminta keluarga membayar uang muka sebesar Rp4 juta dengan alasan kamar BPJS tidak tersedia, tanpa ada pertolongan darurat. Kombinasi penolakan dan hambatan administrasi ini membuat Irene tidak mendapatkan pertolongan yang tepat waktu, hingga akhirnya meninggal dunia.

Layanan Kesehatan ala Kapitalis

Sungguh miris melihat kasus kematian ibu hamil dan bayinya yang terjadi di Papua. Ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah yang abai dalam mengurusi rakyatnya. Tiap individu memiliki hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan tanpa pandang bulu. Oleh karena itu, pemerintah memiliki tangung jawab untuk memastikan aksesibilitas dan kualitas layanan kesehatan yang memadai, termasuk fasilitas persalianan dan kesehatan ibu dan anak di seluruh pelosok negeri, terutama di daerah-daerah terpencil seperti Papua.

Dalam sistem sekuler kapitalis, layanan kesehatan dijadikan sebagai ladang bisnis yang berorientasi pada keuntungan materi, bukan semata-mata untuk keselamatan atau kebutuhan pasien. Kemampuan finansial pasien menjadi tolok ukur dalam mendapatkan akses layanan kesehatan yang memadai, sehingga menciptakan dikriminasi kelas. Pasien yang tidak mampu membayar atau tidak memiliki jaminan kesehatan sering kali terancam tersisih, meskipun kebutuhan layanan kesehatan mereka mendesak.

Dampak dari layanan kesehatan yang berorientasi pada keuntungan materi antara lain :

Pertama, Ketidakadilan akses.
Pasien miskin atau tidak memiliki jaminan kesehatan sering kali ditolak, akibatnya menciptakan kesenjangan antara masyarakat kaya yang mampu membayar untuk mendapatkan layanan premium dan masyarakat miskin yang kesulitan mendapatkan layanan kesehatan karena keterbatasan finansial.

Kedua, Kualitas layanan kesehatan tidak merata.
Kualitas layanan RS swasta dengan berbiaya tinggi cenderung memberikan layanan jauh lebih baik bagi pasien yang mampu membayar dibanding fasilitas publik (RSUD) yang sering mengalami kekurangan sumber daya, tenaga medis, dan fasilitas penunjang kesehatan lainnya.

Baca juga: ibu dan anak meninggal potret buruk pelayanan kesehatan

Ketiga, Beban ekonomi keluarga.
Tingginya biaya perawatan kesehatan terutama untuk perawatan darurat merupakan beban ekonomi yang signifikan dan menjadi pemicu kemiskinan bagi banyak keluarga. Kondisi ini terasa paling berat bagi keluarga miskin dan kurang mampu yang kerap kali sulit mendapatkan layanan kesehatan secara maksimal. Ditambah lagi dengan pendapatan yang minim, layanan kesehatan pun memerlukan biaya yang memberatkan. Jika mendapat layanan gratis, kualitas layanannya sering kali terbatas dan tidak maksimal dalam menangani pasien yang sakit.

Berbeda dengan paradigma ala kapitalis mengenai kesehatan dan sistem layanannya. Dalam paradigma Islam, negara yang menerapkan aturan Islam secara menyeluruh, bertanggung jawab penuh dalam memberikan layanan kesehatan untuk semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Dimulai dari pembangunan infrastruktur, layanan publik, melahirkan tenaga kesehatan yang kompeten di bidangnya dan memberikan gaji kepada mereka dengan layak, serta sistem layanan kesehatan yang siaga, sigap, cepat tanggap dan gratis.

Layanan Kesehatan Sistem Islam

Islam memandang bahwa negara berfungsi sebagai raa’in yang bertanggung jawab dalam mengurusi dan memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Dalam aspek kesehatan, layanan kesehatan merupakan hak bagi setiap warga negara yang harus dipenuhi tanpa biaya. Layanan kesehatan tidak boleh dipandang sebagai layanan jasa yang dijadikan ladang bisnis. Negara memiliki tanggung jawab dalam pelayanan kesehatan, di mana negara haruslah menyediakan fasilitas layanan kesehatan yang berkualitas kepada rakyat secara gratis, sehingga rakyat dapat mengaksesnya dengan mudah tanpa harus memikirkan biaya yang dikeluarkan.

Negara yang menerapkan Islam secara menyeluruh dalam prosedur pelayanan kesehatan memiliki beberapa aspek penting, yaitu :

Pertama, Negara menyediakan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai.
Sejarah peradaban Islam membuktikan keseriusan Kekhilafahan dalam mengelola kesehatan publik melalui Bimaristan (rumah sakit umum) yang didirikan sejak masa Umayyah dan berkembang pesat pada era Abbasiyyah. Bimaristan menyediakan layanan profesional dan gratis. Contohnya, Bimaristan al-Adudi memiliki dokter spesialis, apotik, ruang isolasi, dan bahkan layanan klinik keliling.

Kedua, Semua pembiayaan kesehatan ditanggung negara melalui baitulmal.
Layanan kesehatan dibiayai sepenuhnya oleh negara melalui baitulmal (kas negara), menggunakan pos-pos pembiayaan syar'i seperti:

  1. Pos kepemilikan umum yang diperoleh dari hasil dari pengelolaan sumber daya alam seperti minyak, gas, dan hutan.
  2. Pos fai dan kharaj diperoleh dari dana yang secara khusus diperuntukkan bagi kemaslahatan publik, termasuk sektor kesehatan. Pendanaan ini memungkinkan negara menyelenggarakan layanan kesehatan tanpa pungutan biaya dari rakyat.

Ketiga, Pelayanan kesehatan dilandaskan dengan kewajiban menyelamatkan manusia.
Peradaban Islam mengalami perkembangan yang begitu pesat didasarkan pada prinsip fundamental dalam menyelamatkan jiwa manusia. Perkembangan ini diwujudkan melalui dua bentuk rumah sakit (RS): Pertama, RS permanen yang didirikan di pusat-pusat kota. Kedua, RS nomaden (atau keliling) yang bertujuan untuk memperluas jangkauan layanan hingga ke daerah-daerah terpencil.
Kemajuan pesat ini ditopang oleh sistem pendidikan kedokteran yang sangat maju.

Pada Abad Pertengahan, hampir setiap kota besar di wilayah Khilafah memiliki rumah sakit (RS) yang menunjukkan kemajuan luar biasa. Sebagai contoh, RS Qalaqun di Kairo mampu menampung hingga 8.000 pasien dan berfungsi ganda sebagai pusat pendidikan universitas dan riset, sebuah konsep yang baru diadopsi Eropa setelah veteran perang salib melihat sistem kesehatan canggih di Timur Tengah.

Seluruh fasilitas kesehatan di dunia Islam saat itu diatur secara ketat, mencakup tes kompetensi wajib bagi semua tenaga medis, aturan ketat tentang kemurnian obat, kebersihan, kesegaran udara, dan pemisahan pasien berdasarkan jenis penyakit. Yang paling penting, pelayanan kesehatan saat itu diberikan dengan semangat tanpa diskriminasi, memastikan bahwa setiap orang sakit, tanpa memandang latar belakang menerima perawatan yang sama.

Demikianlah sistem kesehatan dalam negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah yang memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien dengan sangat baik. Tentunya ada peran negara yang memastikan rakyatnya dalam mendapatkan akses layanan kesehatan yang mudah dan berkualitas tanpa memikirkan biaya yang harus dikeluarkan. Wallahu a'lam bishawab.[]

Ruang Publik Tidak Aman, Anak Jadi Tumbal Kejahatan

Penculikan dan perdagangan anak adalah kejahatan besar yang merusak seluruh sendi kemanusiaan. Dalam Islam, tindakan kriminal ini bukan hanya sekadar pelanggaran hukum, melainkan dosa besar di hadapan Allāh Swt.

Oleh. Nabilah Ummu Yazeed
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)

NarasiLiterasi.Id-Kasus penculikan anak kembali terangkat ke publik. Baru-baru ini, balita bernama Bilqis (4 tahun) dilaporkan hilang dari sebuah taman di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, pada Minggu, 2 November 2025 saat sang ayah sedang berolahraga. (Tempo.co, 14-11-25). Penyelidikan polisi kemudian membongkar bahwa Bilqis diduga menjadi korban penculikan yang dilakukan oleh sindikat.

Peristiwa ini menambah panjang daftar kejahatan serupa yang sebelumnya juga terjadi di berbagai kota di Indonesia. Yang lebih memprihatinkan, pelaku diduga terlibat dalam sindikat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), serta memanfaatkan keterlibatan masyarakat adat untuk menutupi aksi kejahatannya. (Liputan6.com, 19-11-25)

Fakta ini menjadi alarm keras bahwa anak-anak sebagai kelompok paling rentan, belum mendapatkan jaminan keamanan yang layak di ruang publik. Mereka masih menjadi sasaran empuk sindikat kriminal yang menjadikan tubuh dan masa depan anak sebagai komoditas kejahatan.

Ruang Publik Tak Aman

Kasus penculikan yang berulang di negara ini menunjukkan bahwa negara belum mampu menghadirkan rasa aman yang nyata bagi anak-anak. Ruang publik yang seharusnya menjadi tempat aman untuk tumbuh, bermain, dan belajar, kini justru berubah menjadi wilayah rawan kejahatan. Ketika penculikan bisa terjadi di siang hari di tengah masyarakat, ini menandakan bahwa sistem pengamanan sosial sedang berada dalam kondisi darurat.

Baca juga: ruang aman berkesinambungan media digital

Lebih dari itu, lemahnya hukum di Indonesia semakin memperparah keadaan. Sanksi yang ringan, penegakan hukum yang lamban, serta efek jera yang lemah membuat sindikat penculikan dan perdagangan anak terus hidup dan berkembang. Para pelaku seolah tidak takut pada hukum, sementara korban dan keluarga harus menanggung trauma seumur hidup.

Yang lebih menyedihkan, sasaran utama kejahatan ini adalah golongan rentan, yakni anak-anak, masyarakat adat, dan masyarakat miskin. Mereka yang hidup dalam keterbatasan informasi, perlindungan, dan akses hukum justru menjadi target utama sindikat kriminal. Ini menunjukkan bahwa sistem yang berjalan belum berpihak pada yang lemah, bahkan gagal melindungi mereka.

Islam Menjamin Keamanan dan Kehormatan Jiwa

Dalam Islam, keamanan jiwa manusia merupakan prinsip fundamental yang termasuk dalam maqāṣid syarī‘ah (tujuan pokok syariat). Menjaga nyawa (ḥifẓ an-nafs), menjaga kehormatan (ḥifẓ al-‘irḍ), dan menjaga keturunan (ḥifẓ an-nasl) adalah kewajiban yang tidak boleh ditawar.

Penculikan dan perdagangan anak adalah kejahatan besar yang merusak seluruh sendi kemanusiaan sekaligus menabrak tujuan utama syariat. Dalam Islam, tindakan kriminal ini bukan hanya sekadar pelanggaran hukum, melainkan merupakan dosa besar di hadapan Allāh Swt. Rasulullah saw. bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا»

Dari Abdullah bin Amr, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Tidak halal (tidak dibenarkan) bagi seorang muslim menakut-nakuti (menghilangkan rasa aman) muslim lainnya."

Islam tidak hanya mengecam perbuatan tersebut secara moral, tetapi juga menetapkan sanksi yang tegas dan menjerakan bagi setiap pelanggaran terhadap jiwa dan kehormatan manusia. Dengan sanksi yang adil, cepat, dan berat, kejahatan tidak diberi ruang untuk tumbuh. Inilah yang menjadi benteng nyata bagi keamanan masyarakat, khususnya anak-anak.

Tanggung Jawab Negara dalam Islam

Dalam sistem Islam, negara (daulah) tidak sekadar berfungsi sebagai pengelola administrasi, tetapi sebagai penjaga utama keamanan rakyatnya. Negara bertanggung jawab penuh untuk melindungi setiap individu tanpa memandang latar belakang ekonomi, etnis, maupun status sosial. Tidak boleh ada satu pun anak yang dibiarkan berada dalam ancaman kriminalitas.

Lebih dari sekadar penegakan hukum, daulah juga berperan aktif membentuk masyarakat yang bertakwa dan sejahtera. Pendidikan akidah, pembinaan moral, jaminan ekonomi, serta pengawasan sosial berjalan secara terpadu. Dengan demikian, kejahatan tidak hanya ditekan dari sisi hukum, tetapi juga dicegah dari akarnya.

Kembali terjadinya penculikan anak adalah bukti nyata bahwa sistem hari ini belum mampu memberi perlindungan maksimal bagi generasi penerus bangsa. Anak-anak masih hidup dalam bayang-bayang ketakutan, sementara sindikat kejahatan terus mencari celah.

Islam telah meletakkan konsep perlindungan jiwa yang sangat kokoh, melalui hukum yang tegas, negara yang bertanggung jawab, dan masyarakat yang bertakwa. Sudah saatnya umat menyadari bahwa perlindungan hakiki terhadap anak tidak cukup dengan regulasi parsial, tetapi membutuhkan sistem hidup yang benar-benar menjadikan keselamatan manusia sebagai tujuan utamanya. Wallahu a'lam bishawab.[]