Sekularisme Dorong Budaya Bunuh Diri

Fenomena bunuh diri merupakan salah satu penyebab kematian yang tinggi dan mengancam semua kelompok umur. Fenomena ini tentu menimbulkan pertanyaan besar yang mendorong penyelesaian yang utuh.

Oleh. Annisa Wayyu Zahari
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)

NarasiLiterasi.Id-Fenomena mengakhiri hidup dengan melompat dari atas jembatan tampaknya tengah menjadi sebuah topik yang ramai diperbincangkan pada masyarakat Sulawesi Tenggara. Bagaimana tidak? Sejak Maret hingga Juli 2025, telah dilaporkan lima kasus percobaan bunuh diri, tiga di antaranya berakhir dengan kematian, sementara dua lainnya berhasil diselamatkan dan menerima perawatan medis.

Jika kita melihat jauh ke belakang. Kasus bunuh diri yang terjadi di Jembatan Teluk Kendari ini bukan kali pertama, sebab aksi ini juga pernah terjadi pada tahun 2023 lalu. Seorang dosen muda berinisial YM (32) ditemukan dalam kondisi tak bernyawa akibat tenggelam di perairan Teluk Kendari setelah melompat dari atas jembatan. Jasadnya berhasil ditemukan setelah dilakukan pencarian selama tiga hari oleh tim SAR. (CNN Indonesia, 30-6-2023)

Aksi serupa kembali berulang di tahun 2025 dan menarik perhatian publik karena terjadi dalam 5 bulan berturut-turut yang diduga sebagian besar terjadi akibat depresi yang menewaskan pemuda RN (19), EG (23) dan AI (22). (Edisiindonesia, 3-6-2025).

Menanggapi insiden tersebut, Walikota Kendari Siska Karina Imran menyampaikan komitmennya untuk menjaga keamanan jembatan yang telah menjadi sorotan nasional pada kegiatan sosialisasi keselamatan yang diadakan oleh Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN), Sulawesi Tenggara. Walikota Kendari Siska mengumumkan akan dilakukannya kegiatan patroli sebagai bagian dari upaya menetapkan SOP pengamanan.

Fenomena ini tentu menimbulkan pertanyaan besar yang mendorong penyelesaian yang utuh. Bukan hanya sekedar tentang standar keamanan jembatan, tetapi lebih dari itu mengenai kondisi sosial dan psikologi dari masyarakat yang bisa mendorong terjadi hal serupa.

Akar Masalah Bunuh Diri

Saat ini, fenomena bunuh diri merupakan salah satu penyebab kematian yang tinggi dan mengancam semua kelompok umur. Data yang dikeluarkan oleh Pusat Informasi Kriminal Nasional menunjukkan angka kasus bunuh diri di Indonesia pun meningkat 60% dalam 5 tahun terakhir. Beragam faktor pendorong seperti masalah psikologis, gaya hidup, perilaku menyimpang hingga tekanan dari keluarga, ekonomi, lingkungan sosial, dan pendidikan turut berpengaruh terhadap kondisi mental yang memicu seseorang memilih jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya.

Terlebih dalam kondisi saat ini, di mana pembangunan lebih banyak difokuskan pada aspek material, sementara perhatian terhadap kesehatan mental sering kali terabaikan. Inilah kerangka berpikir ala sekuler kapitalisme yang telah masuk menggerogoti setiap aturan. Sikap materialistik dan individualis membuat tekanan hidup semakin berat yang berujung pada tekanan mental seseorang. Akibatnya, menciptakan generasi yang kuat dan tangguh pun sulit diwujudkan karena rusaknya tiga pilar pembentuk generasi.

Baca juga: Bunuh Diri, Potret Kegagalan Pendidikan Sekuler

Rusaknya Tiga Pilar Pembentuk Generasi

Pertama, adalah keluarga. Hilangnya fungsi dan peran dari keluarga terkadang membuat seseorang kehilangan tempat untuk menyalurkan setiap perasaan yang tengah dihadapi. Hilangnya perasaan nyaman di rumah mendorongnya untuk mencari kenyamanan di tempat yang lain. Alih-alih berharap mendapatkan support system terbaik, ia justru jatuh dalam lingkungan toxic. Keadaan ini biasanya terjadi pada kondisi keluarga yang broken home ataupun keluarga yang berada pada kondisi ekonomi menengah ke bawah. Kesibukan orang tua dalam bekerja untuk mencukupi kehidupannya terkadang membuat mereka lupa untuk memberikan perasaan aman dan nyaman bagi anak di rumah.

Kedua, masyarakat. Hal ini diperparah dengan kondisi masyarakat sekuler yang menempatkan tujuan hidup dan standar kebahagiaan hanya berfokus pada perolehan materi dan kesenangan duniawi semata. Sikap liberalistis yang diterapkan membuat seseorang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan tujuannya. Hal ini termasuk menghalalkan berbagai cara dan tidak peduli terhadap kerugian yang akan ditimbulkan. Perilaku ini juga membuat seseorang tidak siap dengan kegagalan sehingga depresi menjadi tak terelakkan karena merasa kegagalan akan tujuannya seperti tidak ada lagi tempat untuk memperoleh kebahagiaannya.

Ketiga, negara. Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam kasus bunuh diri ini juga adalah adanya copycat suicide yaitu tindakan bunuh diri karena telah mencontoh kasus bunuh diri sebelumnya. Sayangnya, negara sampai saat ini hanya mampu membatasi akses konten yang ada tetapi yang menjadi biang kerok permasalahan seperti pemikiran dan gaya hidup sekuler justru dipertahankan. Padahal, akibat pemikiran inilah generasi kita mempunyai mental dan kepribadian yang rapuh.

Islam Mencegah Bunuh Diri

Islam memuliakan kehidupan setiap individu dan menganggap nyawa manusia sebagai sesuatu yang sangat berharga, sehingga tindakan bunuh diri dilarang dalam Islam dan tergolong sebagai dosa besar. Sebagaimana dalam firman Allah Swt.:

Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.” (TQS. An-Nisa: 29)           

Pun dalam hadis Rasulullah saw. pernah bersabda:

Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu cara yang ada di dunia, niscaya kelak pada hari kiamat Allah akan menyiksanya dengan cara seperti itu pula.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Larangan tersebut juga diiringi dengan aturan Islam yang berpihak pada kesehatan mental seseorang. Yakni, dengan mengokohkan pilar-pilar pembentuk  generasi agar dapat menciptakan generasi yang tangguh. Sebab Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw., yang mengatur hubungan manusia dengan Khaliq-nya,  dengan dirinya sendiri, dan dengan manusia lainnya.

Tiga Pilar Penjagaan

Islam menjaga kesehatan jiwa dimulai dari membangun ketakwaan individu lewat penanaman akidah yang kuat. Pemahaman bahwa dirinya berasal dari Allah Swt. dan akan kembali kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya selama di dunia. Selain itu, sangat penting menanamkan keimanan terhadap persoalan qada dan qadar dalam diri individu. Memahami ranah ikhtiar yang bisa dilakukan manusia semaksimal mungkin. Namun, tidak lupa menyisakan ruang tawakal atas segala akhir yang merupakan bagian dari ketetapan Allah. Hal ini membuat seseorang cenderung akan bersifat rida ketika keinginannya belum bisa terwujud.

Selain itu, Islam menjadikan keluarga sebagai benteng pertama bagi setiap individu dengan menetapkan pendidikan di rumah berlandaskan akidah Islam. Orang tua akan menanamkan pola jiwa (nafsiah) pada anak hingga terbentuk individu yang kuat dalam menghadapi masalah hidup. Mengapresiasi setiap usaha-usaha yang dikeluarkan oleh anak dalam mencapai tujuannya, dan bersikap bijak terhadap hasil yang didapatkannya. Ini dikarenakan mereka yakin bahwa semua qada Allah pasti baik. Sehingga, kegagalan menjadi hal yang biasa dalam kehidupan dan bisa bersabar atasnya.

Dalam menjaga lingkungan yang positif ini, Islam tentu tidak membiarkan orang tua berjalan sendiri dalam mendidik anak. Islam pun mempunyai aturan yang menyeluruh untuk menciptakan perlindungan atas nyawa seseorang dalam sebuah negara. Negara bertanggungjawab akan kebutuhan hidup rakyatnya mulai dari perekonomian, pendidikan, hingga kesehatan. Kondisi ini akan menghilangkan stres pada individu yang tertekan akibat tingginya biaya hidup. Negara juga akan menjaga fitrah manusia, dengan  melindungi rakyatnya dari pemahaman asing yang merusak individu maupun tatanan masyarakat. Islam akan mewujudkan lingkungan yang kondusif untuk menjaga kesehatan mental remaja. Wallahu’alam bishawab.[]

PMI Bernasib Tragis di Perbatasan Malaysia

Nasib tragis yang menimpa PMI ilegal sebagai korban TPPO tersebut sangat dipengaruhi oleh kemiskinan, tingginya tingkat pendidikan yang rendah, dan minimnya lapangan pekerjaan di negeri ini.

Oleh. Muthiah Al Fath
(Kontributor Narasiliterasi.Id)

Narasiliterasi.id-“Satu-satunya kejahatan kami adalah merantau ke negeri orang, meninggalkan keluarga kami demi mencari kehidupan yang lebih baik. Anehnya, kami dianggap sebagai penjahat. Kami dikejar, disiksa, dan dibunuh.

Lima pekerja migran Indonesia (PMI) ditembak oleh Petugas Agensi Penguatkuasa Maritim Malaysia (APMM), di Perairan Tanjung Rhu, Selangor, Malaysia (24-1-2025). Insiden ini menewaskan satu orang anak buah kapal (ABK), sementara empat korban lainnya tengah menjalani perawatan di RS Serdang dan Klang, Malaysia. Berdasarkan keterangan Kemenlu RI, dua orang korban dalam kondisi kritis usai menjalani operasi, sementara dua korban lainnya dalam kondisi stabil dan masih dalam perawatan. (kompas.com, 30-1-2025)

Insiden penembakan ini bukan kasus yang pertama. Migrant Care mencatat bahwa sedikitnya 75 PMI telah menjadi korban penembakan hingga tewas oleh aparat bersenjata Malaysia selama 20 tahun terakhir (2005 hingga 2025). Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menegaskan bahwa peristiwa berdarah tersebut tergolong sebagai extrajudicial killing (pembunuhan di luar hukum) dalam perspektif HAM.

Kasus penembakan PMI menunjukkan adanya impunitas dan kurangnya upaya dari pemerintah Malaysia dan Indonesia dalam memberikan perlindungan maksimal bagi pekerja migran ilegal. Oleh sebab itu, insiden berulang ini menjadi pengingat agar selalu memasuki negara lain secara legal untuk mencegah masalah fatal. Pertanyaannya, mengapa banyak PMI yang justru memilih menempuh jalur ilegal?

Kronologi Penembakan PMI Ilegal

Singkatnya, insiden ini bermula ketika 26 WNI berusaha melarikan diri secara ilegal menggunakan boat. Namun, keberadaan boat tersebut diketahui oleh APMM, lalu mereka dikejar oleh kapal patroli Malaysia. Di tengah kegelapan malam dengan jarak sekitar 20-25 meter, petugas APMM melepas tembakan ke arah boat. Meski menerima tembakan, boat tersebut berhasil lolos dan merapat di kawasan hutan bakau daerah Banting, Selangor, Malaysia.

Direktur Jenderal APMM Laksamana Datuk Mohd Rosli Abdullah mengatakan bahwa penembakan terjadi sebagai respons terhadap perlawanan dari WNI. Namun, berdasarkan keterangan Dubes RI Hermono menyebut tidak ada perlawanan dari pihak WNI. Keterangan tersebut bersumber dari pengakuan korban penembakan tersebut.

Artinya, ada perbedaan fakta antara petugas APMM dan pihak korban. Akan tetapi, banyak pihak meragukan pernyataan petugas APMM. Banyak pihak menyebut bahwa tindakan APMM tidak dapat dibenarkan karena menyasar warga sipil yang “mustahil” melakukan perlawanan. Sebab jika benar imigran ilegal maka “umumnya” mereka akan melarikan diri, bukan melawan apalagi sampai sengaja menabrak kapal petugas yang relatif besar.

PMI Terpaksa Memilih Jalur Ilegal

Diperkirakan jumlah penduduk Indonesia pada 2024 mencapai 282.477.584 dan berada di peringkat keempat sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Alhasil, Indonesia membutuhkan lapangan pekerjaan yang lebih besar. Kurangnya lapangan pekerjaan tentu berdampak pada tingginya angka pengangguran dan keterbatasan lowongan pekerjaan membuat banyak WNI terpaksa mencari pekerjaan ke luar negeri.

Bukan hanya masalah kurangnya lapangan pekerjaan, rendahnya upah di dalam negeri juga menjadi faktor banyaknya WNI lebih memilih bekerja ke luar negeri. Pasalnya, Indonesia menjadi negara dengan gaji paling kecil di Asia Tenggara dengan rata-rata sebesar USD325. Itulah mengapa banyak WNI memilih pergi ke Malaysia dengan rata-rata gaji yang lebih besar, yakni USD817.

Sekadar informasi, biaya visa kerja Malaysia bervariasi dengan proses yang dinilai cukup rumit. Dalam prosesnya tentu membutuhkan berbagai macam legalisasi dokumen dengan biaya mulai dari RM 1000 hingga RM 5000 (tergantung jenis pekerjaan, kualifikasi, dan kebutuhan tambahan). (jangkagroups.co.id, 20-1-2025)

Berbelitnya proses pengurusan dan mahalnya biaya visa membuat sebagian PMI dari kelompok masyarakat ekonomi bawah terpaksa memilih jalur ilegal. Kasus PMI ilegal akibat ulah calo nakal sering dikaitkan dengan kasus TPPO yang diatur dalam UU No.21 Tahun 2007.

PMI Ilegal Korban TPPO

Dalam praktiknya, banyak PMI yang menggunakan jasa calo tenaga kerja. Para calo sering kali memberi iming-iming informasi lapangan kerja dengan gaji tinggi untuk mengumpulkan sebanyak mungkin calon PMI potensial untuk dikirim ke negara tujuan. Mirisnya, para calo melakukan hal ini untuk menguntungkan diri sendiri.

Di balik kemudahan pengurusan visa kerja, ternyata para calo justru melanggar prosedur dan ketentuan pemerintah, serta melalui jalur tidak resmi. Hal ini berisiko memunculkan kasus PMI ilegal, kasus eksploitasi, dan perdagangan orang. Tentu saja korban para calo nakal tersebut kebanyakan adalah kelompok masyarakat ekonomi bawah yang tidak mampu membayar visa dan mayoritas memang pekerja kasar (unskilled labor) atau asisten rumah tangga. Alhasil, banyak PMI ilegal yang tertangkap karena tidak memiliki surat izin yang lengkap.

PMI ilegal dapat dikatakan sebagai korban TPPO karena hak-hak mereka rentan untuk dilanggar, baik dari pihak negara maupun di tempat ia bekerja. PMI ilegal jelas tidak memperoleh hak-hak layaknya PMI yang legal. Inilah bukti paradoksnya aturan HAM, di mana hak manusia ditentukan oleh selembar dokumen dan visa. Bukankah setiap manusia tidak pantas mendapat pembatasan HAM hanya karena perbedaan agama, ras, suku, dan status sosial? Betapa sulitnya memperoleh hak-hak kerja yang aman dan layak bagi mereka yang miskin dan terbelakang di sistem hari ini.

Perlindungan Hukum Terhadap PMI

Betapa kebijakan pemerintah terkait pasar kerja memiliki pengaruh yang amat besar, tidak hanya menyangkut kesejahteraan rakyatnya tetapi juga memengaruhi arus migrasi, perdagangan arus modal, dan mobilitas kerja. Dalam hal ini, pemerintah wajib melindungi dan menjamin hak warga negaranya untuk memperoleh pekerjaan yang layak, adil, dan tanpa diskriminasi.

Berdasarkan data dari BP2MI (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia) mayoritas dari PMI periode 2018 hingga April 2020 adalah perempuan, yakni sebanyak 46.133 orang. Mayoritas bekerja pada sektor rumah tangga. Akibatnya, banyak terjadi kasus pelanggaran hak seperti kasus penyiksaan, eksploitasi fisik, dan kekerasan seksual. Berdasarkan data aduan yang diterima SBMI (Serikat Buruh Migran Indonesia), jumlah kasus PMI pada sektor rumah tangga mencapai 1.519 kasus. Tentu ini bukan jumlah yang sedikit.

Artinya, adanya UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan PMI belum mampu memberi perlindungan hukum yang kuat bagi PMI di luar negeri, baik legal maupun ilegal. Adapun langkah preventif dari pihak pemerintah hanya sebatas sosialisasi terkait PMI aman antara Kementerian Dalam Negeri dengan seluruh pemerintah desa dan Pemda. Padahal kita tahu bahwa nasib tragis yang menimpa PMI ilegal sebagai korban TPPO sangat dipengaruhi oleh kemiskinan, tingginya tingkat pendidikan yang rendah, dan minimnya lapangan pekerjaan. Di mana semua itu merupakan buah dari penerapan sistem pemerintahan sekuler-kapitalisme.

Bukti Bobroknya Kapitalisme

Persoalan ketenagakerjaan masih menjadi isu krusial di negeri ini. Berulangnya insiden penembakan PMI di jalur perbatasan Malaysia menjadi bukti bahwa bentuk perlindungan hukum baik preventif dan represif tidak mampu menutup celah terjadinya TPPO. Kematian para PMI ilegal merupakan salah satu bukti bobroknya kapitalisme beserta paham nasionalismenya.

Bagaimana masyarakat miskin yang tak mampu menempuh jalur legal untuk mencari kehidupan yang lebih baik bagi diri dan keluarganya dianggap sebagai sebuah pelanggaran, bahkan kejahatan. Kebijakan nasionalisme memang tidak berperasaan dan melihat segala sesuatu lewat kacamata keuntungan materi. Perlindungan batas negara suatu negara lebih diprioritaskan daripada martabat dan nyawa manusia.

Insiden penembakan PMI seolah menampakkan wajah asli sistem kapitalisme dengan nasionalistisnya yang tidak bermoral. Mirisnya, sistem ini dianut oleh negara-negara di seluruh dunia. Akibatnya, politik diwarnai oleh kepentingan ekonomi nasional yang egois dan menutup mata terhadap penderitaan rakyat kecil. Kapitalisme memang memiliki pandangan yang rabun, melihat rakyat kecil yang datang ke negaranya sebagai beban ekonomi.

Pihak pemerintah bukan tidak tahu kehadiran pekerja ilegal. Kehadiran pekerja ilegal dibutuhkan karena bisa dibayar murah dan tanpa tunjangan apa pun. Terkadang sebuah perusahaan membutuhkan pekerja ilegal untuk menghemat biaya produksi. Dengan begitu, perusahaan atau pabrik-pabrik bisa bertahan membayar sewa, pajak dan kewajiban lain yang dibebankan oleh negara. Adapun pihak pemerintah “berpura-pura” tidak tahu demi menjaga stabilitas perekonomian negaranya. Sebab mayoritas rakyat negara maju tidak berminat bekerja sebagai pekerja kasar dan asisten rumah tangga dengan gaji yang murah. Pihak calo biasanya telah bekerja sama dengan pihak perusahaan untuk menampung PMI ilegal tersebut.

Dunia Butuh Sistem Islam

Nasionalisme tidak hanya memecah-belah persatuan antara kaum muslim Indonesia dan Malaysia, bahkan melemahkan persatuan kaum muslim seluruh dunia. Sistem yang bersumber dari penjajah ini terbukti melemahkan kekuatan kaum muslim karena memandang penderitaan umat Islam di negara lain sebagai masalah asing yang tidak ada hubungannya dengan negaranya. Politik nasionalisme menyebabkan para rezim mengusir muslim dari negara lain yang mencari pekerjaan karena dipandang sebagai warga asing. Racun nasionalisme juga membuat para rezim memilih mengusir pengungsi asing dan membiarkannya mati di tengah laut daripada memberi mereka perlindungan.

Padahal Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 10, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Karena itu, damaikanlah kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah supaya kamu mendapat rahmat”.

Dunia ini membutuhkan sistem Islam sebagai alternatif. Sebuah sistem yang peduli terhadap kemanusiaan dan benar-benar bertujuan mengangkat penindasan dari muka bumi. Sistem yang menolak konsep nasionalisme dan mampu memberi perlindungan kepada seluruh umat manusia tanpa memandang jenis kelamin, agama, ras, suku, kebangsaan, dan status sosial. Sistem yang memprioritaskan kesejahteraan seluruh rakyatnya dan menjadikan seluruh muslim bersaudara.

Dalam hadis riwayat Muttafaqun ‘Alayh, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya imam (khalifah) itu perisai, orang-orang akan berperang (mendukungnya) dan berlindung dari musuh dengan kekuasaannya”.

Hadis di atas bermakna bahwa seorang pemimpin (khalifah) adalah perisai dan pelindung bagi rakyatnya. Untuk itu, negara Islam berkewajiban memberikan kewarganegaraan kepada orang-orang yang membutuhkan perlindungan. Khilafah juga wajib memberi pekerjaan yang layak bagi seluruh laki-laki dewasa agar mereka mempunyai sumber nafkah untuk diri dan keluarganya. Negara juga memberi bantuan modal dan keterampilan melalui pendidikan agar mereka bisa bekerja atau membuat usaha mandiri.

Khatimah

Kemiskinan dan minimnya lapangan pekerjaan secara tidak langsung berpengaruh pada meningkatnya jumlah PMI ilegal. Dengan kata lain, kasus penembakan PMI di perbatasan Malaysia tidak bisa diselesaikan hanya dengan memperbaiki hubungan bilateral antara kedua negara. Sebab masalah ini begitu kompleks, yakni akibat penerapan sistem sekuler-kapitalisme yang membuat para rezim abai dalam memenuhi kewajibannya sebagai pengurus umat. Sebaliknya, melalui penerapan sistem Islam secara kaffah maka seluruh kaum muslim di wilayah mana pun akan hidup mulia di bawah panji Khilafah. Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]

Nasib Tragis Anak-Anak Gaza

Di tengah serangan yang terjadi, para pendidik yang tersisa mencoba membangun kamp-kamp sederhana untuk memulihkan kondisi anak-anak di Gaza yang terdampak secara fisik dan emosional. Para pendidik juga bertekad untuk mencegah terjadinya “generasi yang hilang”.

Oleh. Siombiwishin
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Serangan udara entitas zionis kembali menargetkan sekolah yang menjadi tempat pengungsian ribuan warga Gaza pada Sabtu (11-1-2025) di Sekolah Halwa di Kota Jabalia, Gaza Utara. Serangan tersebut dikabarkan menewaskan 8 orang, termasuk dua anak-anak. Peristiwa ini menambah daftar panjang sekolah yang telah rusak akibat ekspansi militer sejak 7 Oktober 2023 lalu. Setidaknya terdapat 352 sekolah di Jalur Gaza telah rusak dan tidak bisa digunakan untuk kegiatan belajar mengajar.

Juru bicara badan tersebut Mahmud Bassal memberikan konfirmasi bahwa delapan orang telah menjadi korban. Dua anak-anak dan dua wanita tewas akibat penembakan entitas zionis di sekolah Halwa di Kota Jabalia, Gaza Utara. Basal juga mengatakan serangan itu akan menewaskan 30 orang, termasuk 19 anak-anak. (CNN Indonesia, 11-01-2025)

Menurut UNRWA, kurang lebih sebanyak 14.500 anak Palestina telah meninggal dunia dalam serangan entitas zionis, satu anak tewas setiap jamnya di Jalur Gaza. Mereka yang selamat pun terluka secara fisik dan emosional. Mereka kehilangan nyawa, masa depan, dan harapan.

Anak-Anak Gaza dalam Tenda Pengungsian

Saat ini, infrastruktur fisik untuk pendidikan sudah hancur, sebagian besar bangunan yang tersisa telah dialihfungsikan menjadi tempat penampungan bagi para pengungsi. Di tengah serangan yang terjadi, para pendidik yang tersisa mencoba membangun kamp-kamp sederhana untuk memulihkan kondisi anak-anak di Gaza yang terdampak secara fisik dan emosional. Para pendidik juga bertekad untuk mencegah terjadinya “generasi yang hilang”, seperti yang telah diperingatkan oleh PBB.

Apakah cukup? Tentu saja tidak. Genosida yang terjadi telah memutus kesempatan anak-anak Gaza mengenyam pendidikan yang layak, kelas-kelas darurat yang dibuka berfokus pada pendidikan dasar seperti matematika, bahasa Arab, dan sains. Terkait pelajaran lain yang belum dapat diakses, ini disebabkan tidak tersedianya media dan sarana pembelajaran yang dapat mendukung aktivitas belajar anak-anak tersebut. Suara tembakan dan dentuman bom kerap kali mengganggu aktivitas belajar mereka. Tenda yang disulap menjadi ruang kelas pun penuh sesak dan jauh dari kata nyaman untuk digunakan. Bahkan berulang kali mereka harus berpindah tempat untuk menghindari serangan yang mendekat.

Namun anak-anak Gaza tidak mempunyai pilihan, bisa mendapatkan pendidikan di tengah kekacauan yang menimpa mereka saja merupakan sesuatu yang berharga. Setidaknya ada hal lain yang dapat mereka lakukan selain meringkuk ketakutan ataupun mengais puing-puing bangunan yang hancur untuk bertahan hidup.

Serangan entitas zionis terhadap fasilitas umum seperti sekolah dan rumah sakit menunjukkan bahwa mereka tidak hanya membidik Hamas, tetapi memang menargetkan warga sipil yang notabene didominasi oleh perempuan dan anak-anak. Serangan terhadap Hamas hanyalah dalih untuk membenarkan aktivitas mereka untuk terus melakukan pembantaian.

Tidak Menyentuh Akar Masalah

Jika diselisik lebih jauh ke belakang, kita akan menemukan fakta bahwa tanah Palestina adalah tanah kaum muslim. Palestina dibebaskan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra pada 15 H dengan kekuatan militer dan sejak saat itu telah berada dalam kekuasaan Islam. Tanah yang diberkahi ini juga pernah dibebaskan dengan mengirim pasukan militer oleh pemimpin negeri muslim Salahuddin Al-Ayyubi pada 583 H. Selama periode ini, Palestina tetap berada dalam naungan Negara Islam. Tanah Palestina benar-benar dirampas sejak runtuhnya kekhalifahan Utsmaniyyah pada 1924. Entitas Yahudi secara ilegal mengambil paksa dengan bantuan Barat yang kemudian jatuh ke tangan zionis. Setelah itu, mereka mengusir warga Palestina secara kejam dan menguasai lebih dari setengah wilayah Palestina pada 1948.

Sayangnya, tidak mengikuti jejak para pendahulunya, para pemimpin negeri muslim hanya menonton kemudian menunjukkan empati, menggalang dana, mengirim bantuan kemanusiaan seolah peduli dengan apa yang menimpa kaum muslim di Gaza. Padahal mereka lebih dari mampu untuk membebaskan tanah Palestina, khususnya menyelamatkan masa depan anak-anak yang terdampak baik secara fisik maupun psikis. Mirisnya, mereka menjadi bagian dari pendukung adanya solusi dua negara yang diajukan sesuai pesanan pemimpin-pemimpin Barat.

Gencatan senjata kembali disepakati oleh pihak zionis dan Palestina yang resmi akan dilaksanakan pada Ahad, 19 Januari 2025. Kesepakatan yang disambut gembira oleh dunia, tetapi seperti yang diketahui bahwa gencatan senjata bukanlah solusi tepat untuk menyelesaikan penderitaan warga Gaza. Ini bukan hal baru lagi. Besar kemungkinan entitas zionis akan melanggar perjanjian dan melakukan pengkhianatan untuk kembali melakukan penyerangan. Bahkan, mungkin mereka bisa lebih sadis dari sebelumnya.

Akar persoalan Palestina bukan pada sisi kemanusiaan semata, akan tetapi keberadaan entitas zionis di negeri yang diberkahi itu. Lebih jauh lagi, persoalan ini merupakan upaya Barat dalam menjaga eksistensi sistem kapitalisme di dunia Islam. Barat yang dipimpin oleh AS tidak akan membiarkan kebangkitan kaum muslim dengan Islam sebagai ideologi. Mereka dengan berbagai taktik politiknya akan terus berusaha menguasai pemikiran kaum muslim dengan ideologi Barat dan menjaga sistem kapitalisme mereka untuk tetap eksis menjadi negeri adidaya.

Menyelamatkan Masa Depan Anak-Anak Gaza

Hadirnya entitas zionis sejatinya tidak terlepas dari peran Barat dalam upaya meruntuhkan Khilafah Islam yang merupakan perisai umat Islam. Dalam menyolusi krisis Palestina, dunia seharusnya fokus pada fakta perampasan dan pengusiran secara paksa oleh kaum Yahudi terhadap warga Palestina. Potret kondisi di Gaza khususnya, seluruh wilayah Palestina umumnya. Kaum muslim tidak bisa mengharapkan solusi-solusi dari dunia internasional. Terbukti bahwa setiap keputusan yang ditetapkan mampu dipatahkan oleh negeri-negeri Barat. Alhasil, bantuan difokuskan pada misi kemanusiaan dan kecaman-kecaman yang tentu saja tidak akan bisa membebaskan Palestina. Oleh karena itu, solusi atas krisis Palestina adalah merebut kembali tanah dan rumah-rumah warga muslim Palestina dari tangan kaum Yahudi, bukan malah menawarkan solusi dua negara.

Selanjutnya, dalam upaya perebutan kembali tanah warga Palestina dibutuhkan aktivitas jihad untuk mengusir entitas zionis seperti yang telah dilakukan pemimpin negeri muslim terdahulu. Pengiriman bantuan militer serta pemutusan hubungan diplomatik dari segala sisi menjadi pilihan terbaik yang dapat dilakukan, terutama bantuan dari negeri-negeri muslim terdekat. Kaum muslim harus sadar bahwa sistem kapitalisme lahir dari musuh-musuh Islam. Terlebih sistem inilah yang membuka jalan entitas zionis untuk membantai anak-anak Gaza.

Sebagaimana firman Allah Swt. dalam kitab-Nya, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rida kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).’ Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah [2]: 120)

Oleh sebab itu, pemikiran kaum muslim harus dibangkitkan dengan ideologi Islam. Solusi yang solutif adalah dilakukannya jihad untuk membebaskan Palestina. Tak ketinggalan digencarkan upaya menegakkan kembali kepemimpinan Islam untuk menjaga keutuhan setiap wilayah di bawah naungan Islam. Hanya dengan itulah, masa depan anak-anak kaum muslim dapat dijamin hingga ia berhasil meraih apa yang dicita-citakannya dengan tenang. Wallahu a’lam.[]

Pro Kontra Pembangunan Sekolah Rakyat

Alih-alih menjawab masalah akses pendidikan di Indonesia yang belum berkeadilan, pemerintah justru memilih solusi instan yang kental dengan unsur pencitraan. Alhasil, wacana pembangunan sekolah rakyat justru menimbulkan pro kontra oleh sejumlah pengamat pendidikan.

Oleh. Muthiah Al Fath
(Konributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Dalam pembukaan UUD 1945, pendidikan merupakan hak fundamental bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, realitasnya akses pendidikan berkualitas masih menjadi PR besar bagi negeri ini. Wacana realisasi sekolah rakyat pun digagas oleh Kementerian Sosial sebagai salah satu solusi untuk menjawab tantangan pendidikan bagi kelompok rentan.  

Dilansir dari mediaindonesia.com (8-1-2025), atas perintah Presiden Prabowo, Menteri Sosial RI Saifullah Yusuf mengajak kerja sama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Abdul Mu’ti) untuk membantu merealisasikan rencana sekolah rakyat. Menurut Saifullah, pembentukan sekolah rakyat bertujuan memutus mata rantai kemiskinan dengan membantu pelajar tidak mampu untuk mengenyam pendidikan. Rencananya, sekolah rakyat akan dibentuk menyerupai boarding school (sekolah asrama) agar pelajar yang masuk kelompok miskin ekstrem dapat bersekolah secara gratis, berkualitas, dan mendapat asupan gizi. 

Pertanyaannya, apakah pembangunan sekolah rakyat dapat menjadi solusi substantif untuk memperkuat SDM di negeri ini? Atau apakah justru hanya menjadi salah satu kebijakan populis yang tidak mampu menjawab kompleksitas akar persoalan pendidikan di negeri ini? 

Menakar Urgensi Sekolah Rakyat

Dalam tataran teoretis, niat mulia Presiden Prabowo membangun sekolah rakyat untuk menghapus kemiskinan adalah rencana yang patut dipuji. Sepintas rencana ini memang tampak bagus. Namun, jika salah langkah justru berpotensi meningkatkan kesenjangan dan diskriminasi pendidikan atau menimbulkan tendensi sekolah berkasta. Dikhawatirkan akan lahir istilah sekolah khusus rakyat miskin dan sekolah khusus keluarga kaya (kaum elite dan bangsawan).

Pada akhirnya, pendidikan yang seharusnya mengakomodasi semua lapisan masyarakat justru kental dengan aroma kolonial. Di mana pendidikan dan kehidupan amat diskriminatif dan terkotak-kotak berdasarkan strata sosial. Alhasil, adanya sekolah rakyat justru semakin memperburuk kesenjangan akses pendidikan yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sekolah Rakyat Perlu Pengkajian Ulang

Meski berpotensi baik, wacana pembangunan sekolah rakyat perlu pengkajian ulang. Daripada membangun sekolah rakyat, bukankah lebih baik jika pemerintah mengelola sekolah negeri berfungsi dan mampu menampung seluruh anak Indonesia? Bukankah seluruh anak Indonesia berhak memperoleh pendidikan, tanpa memandang kaya atau miskin?

Membangun sekolah rakyat memang terlihat pro rakyat (populis), tetapi tidak menyentuh akar masalah pendidikan di negeri ini. Jangan sampai adanya sekolah rakyat hanya menguntungkan pemilik perusahaan dan LSM untuk memperoleh tenaga kerja yang terdidik yang berbiaya murah. Pelajar dari keluarga miskin ini nantinya diberdayakan melalui program pendidikan sekolah rakyat.

Membangun sekolah rakyat tentu akan menelan anggaran besar, terutama untuk pembangunan gedung, penyediaan infrastruktur, dan kebutuhan tenaga pengajar. Jangan sampai pemerintah kebelet membangun sekolah baru, tetapi tidak mengkaji ulang terkait besaran anggaran yang dibutuhkan. Bukankah pembiayaan sebuah program besar menjadi isu krusial yang tidak bisa disepelekan karena menyangkut beban APBN nantinya. Jangan sampai 20 persen alokasi pendidikan belum optimal dan justru menimbulkan permasalahan baru dalam jangka panjang.

Apalagi dunia pendidikan kita masih menghadapi berbagai permasalahan serius. Mulai dari kurangnya anggaran, keterbatasan infrastruktur, rendahnya kualitas tenaga pendidik, dan lebarnya kesenjangan akses antara daerah pedesaan dan perkotaan.

Semua itu diperparah dengan maraknya praktik korupsi pada sektor pendidikan. Dalam sebuah kajian kasus korupsi berdasarkan sektor, ICW menyebutkan bahwa korupsi pada sektor pendidikan masuk dalam lima besar di Indonesia (2016—2021). ICW mencatat sebanyak 240 kasus korupsi dan 86 persen pelakunya justru lulusan perguruan tinggi, bahkan sebagian besar bergelar master.

Paradigma Kapitalisme

Sistem pendidikan dalam paradigma kapitalisme memang begitu eksklusif dan dibeda-bedakan berdasarkan strata sosial. Bagaimana tidak, kapitalisme memandang pendidikan sebagai ladang bisnis yang berbiaya mahal. Adapun gratis atau murah biasanya dengan fasilitas seadanya, sedangkan sekolah mahal identik lebih unggul yang dikhususkan bagi kaum elite.

Pendidikan berkasta sebenarnya telah ada sejak era penjajahan. Kapitalisme adalah sistem pemerintahan warisan penjajah yang memang meniscayakan kesenjangan sosial antara miskin dan kaya. Bahkan hampir di semua lini kehidupan, tak terkecuali pendidikan. Alih-alih menjawab masalah akses pendidikan di Indonesia yang belum berkeadilan, pemerintah justru memilih solusi instan yang kental dengan unsur pencitraan. Alhasil, wacana pembangunan sekolah rakyat justru menimbulkan pro kontra oleh sejumlah pengamat pendidikan.

Sistem sekuler kapitalisme berasal dari akal manusia yang serba terbatas sering kali menghasilkan kebijakan problematik. Peran negara sangat minim dalam melakukan pemenuhan kebutuhan dan pelayanan kepada rakyat. Semua ini akibat tidak adanya konsep bahwa kepala negara adalah raa’in (pelayan urusan umat).

Pendidikan dalam Islam

Orientasi pendidikan dalam Islam bersumber dari hukum syarak. Di mana pendidikan adalah hak semua individu dan negara wajib menyelenggarakan pendidikan berdasarkan kebutuhan manusia.

Dalam riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda, ”Seorang imam (kepala negara/khalifah) adalah pengatur urusan umat/rakyat dan ia dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya”.

Oleh sebab itu, negara Khilafah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh warga negara secara gratis dan berkualitas. Bahkan negara wajib menyediakan dan memberi kesempatan bagi setiap warga negara yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Untuk itu, negara sudah selayaknya menyediakan laboratorium, perpustakaan, dan sarana ilmu pengetahuan lain yang representatif (selain gedung sekolah) agar lahir generasi mujtahid, saintis, teknokrat, dan ilmuan yang berkepribadian Islam. Sebab baik pendidikan umum maupun pendidikan agama harus berbasis akidah Islam di bawah satu kementerian. Wallahu a’lam bishawwab. []

Kronologi Kasus Harun Masiku 

Jika menelisik kronologi kasus Harun Masiku maka kita akan menyadari betapa lambatnya kinerja KPK dalam menuntaskan kasus ini. Hal ini semakin menipiskan kepercayaan publik kepada lembaga penegak hukum atas keseriusan mereka dalam menuntaskan kasus suap dan korupsi di negeri ini.

Oleh. Annisa Wayyu Zahari
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Tidak luput dari ingatan publik mengenai salah satu kasus fenomenal yang melibatkan eks kader PDI-Perjuangan, Harun Masiku. Ia sempat lolos dalam OTT KPK  pada 8 Januari 2020. Akhirnya dirinya ditetapkan menjadi buronan pada 29 Januari 2020. Terhitung hampir 5 tahun sudah sejak masuknya Harun Masiku dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Tampaknya permainan “petak umpet” antara KPK dan Harum Masiku kini masih belum menunjukkan kejelasan dan titik terang terkait keberadaan dirinya. 

Dilansir dalam Liputan6.com (4-1-25), Juru Bicara KPK Tessa Mahardika Sugiarto mengatakan bahwa terdapat berbagai informasi yang beredar di masyarakat, di mana Harun Masiku telah berpindah kewarganegaraan. Juru bicara KPK yang juga memiliki latar belakang penyidik ini mengajak masyarakat untuk ikut melapor pada KPK jika memiliki informasi berupa data atau bukti yang mendukung terkait kasus ini. 

Babak Baru Kasus Suap Harun Masiku 

Buronan KPK Harun Masiku kini kembali ramai dibincangkan oleh publik setelah KPK menetapkan 2 tersangka baru. Keduanya yaitu Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto (HK) dan pengacara PDI-P sekaligus orang kepercayaan Hasto yakni Dony Tri Istiqomah (DTI).  

Dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK (24-12-2024), Ketua KPK Setyo Budiyanto mengatakan bahwa HK dan DTI terlibat kasus suap terhadap eks Komisioner KPU Wahyu setiawan. Penetapan HK sebagai tersangka dalam perkara ini menimbulkan beberapa respons dari masyarakat yang menganggap keputusan ini sarat akan nuansa politik. 

Kemunculan tersangka baru yang berasal dari kalangan elite politik setelah 5 tahun ini juga mengundang reaksi dari pengamat hukum yang menganggap KPK sebenarnya sudah mengetahui tiap orang yang terlibat dalam kasus Harun Masiku ini. Namun pemimpin KPK sebelumnya diduga berpolitik. Hal ini sejalan dengan Indonesian Corruption Watch (ICW) yang menduga penegakkan hukum terhadap kasus ini terindikasi kuat berkaitan dengan elite partai politik yang bisa menyeret politikus papan atas. 

Jika menelisik kronologi kasus Harun Masiku maka kita akan menyadari betapa lambatnya kinerja KPK dalam menuntaskan kasus ini. Hal ini semakin menipiskan kepercayaan publik kepada lembaga penegak hukum atas keseriusan mereka dalam menuntaskan kasus suap dan korupsi di negeri ini. 

Korupsi dan Demokrasi 

Kasus korupsi dan suap-menyuap seakan sudah mendarah daging dan menjadi budaya yang selalu dipertontonkan oleh para pejabat negeri.  Mengapa demikian? Tentu banyak faktor yang memengaruhi hal ini. Mental korup dan sikap tidak amanah dalam diri beberapa pejabat merupakan salah satu faktor individual. Ini merupakan imbas dari pemilihan dan pengangkatan pejabat negara yang tidak berlandaskan keimanan dan ketakwaan. Bahkan terkadang pemilihan dan pengangkatan pejabat hanya didasarkan oleh faktor kedekatan dan balas jasa.

Selain itu, terdapat faktor sistemis akibat penerapan sistem politik demokrasi kapitalisme. Sistem ini seakan membuka ruang bagi orang-orang untuk saling berebut kekuasaan. Besarnya biaya politik yang dibutuhkan membuat para politisi harus mencari bantuan modal dari para pemodal oligarki. Tentu saja bantuan itu didapatkan tidak secara gratis.  

Imbasnya, para politisi yang berhasil menduduki kekuasaan harus memutar otak, mencari cara untuk mengembalikan modal yang telah digunakan selama pesta demokrasi. Di sinilah pintu korupsi terbuka lebar. Saling suap-menyuap untuk mencapai posisi yang diinginkan dengan mengubah aturan sesuai kepentingan pribadi atau sekelompok elite. Akhirnya budaya korup ini seolah tidak bisa dihindari. Hal ini bagaikan lingkaran setan yang tidak bisa dihilangkan dalam sistem demokrasi yang berlandaskan kedaulatan rakyat. Konsep perwakilan dan asas kebebasan yang membuat kekuasaan menjadi ajang rebutan. 

Kekuasaan dalam sistem demokrasi kapitalisme seperti menjadi gerbang untuk mewujudkan berbagai kepentingan dari sisi materi maupun jabatan. Hal ini tidak lepas dari hasil upaya menghilangkan peran agama dalam kehidupan, termasuk urusan berpolitik dan bernegara. Akhirnya, kekuasaan bagaikan sebuah komoditas untuk mencari keuntungan. Tidaklah mengherankan jika banyak kebijakan yang dihasilkan jauh dari keberpihakan terhadap rakyat. 

Korupsi dalam Pandangan Islam 

Ketidakmampuan manusia dalam menuntaskan persoalan lewat aturan yang dibuat dari hasil pemikirannya sendiri merupakan bukti terbatasnya kemampuan akal manusia mengenai kehidupan. Hal ini harusnya membuat kita sadar bahwa manusia membutuhkan aturan yang tidak hanya untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu, tetapi aturan yang bisa menjamin pemenuhan fitrah setiap manusia. 

Allah Swt. telah menurunkan seperangkat aturan yang mengatur manusia dalam berbagai aspek kehidupan, tanpa terkecuali dalam urusan politik dan bernegara (termasuk persoalan korupsi dan suap). Dalam pemerintahan Islam terdapat larangan keras menerima harta ghulul yaitu harta yang diperoleh para wali, amil, dan para pegawai negara dengan cara yang tidak syar’i. Termasuk di dalamnya harta-harta yang diperoleh dengan memanfaatkan jabatan dan kekuasaannya, seperti suap dan korupsi (maka menjadi haram untuk dimiliki). 

Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang kami beri tugas melakukan sesuatu pekerjaan dan kepada dia telah kami berikan rezeki (gaji) maka yang diambil oleh dia setelah itu adalah kecurangan (ghulul).” (HR. Abu Dawud)

Dalam riwayat lain, Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa ghulul (korupsi), maka ia akan membawa barang yang digelapkan atau dikorupsi itu pada hari kiamat”. (HR. At-Tirmidzi)

Peringatan ini jelas menunjukkan bahwa Islam melarang keras segala praktik kecurangan, termasuk korupsi dan suap. Tidak hanya dalam bentuk konsep larangan, sistem Islam juga menyediakan strategi-strategi untuk menutup ruang terjadinya kasus korupsi atau suap yang dilakukan oleh para pejabat negara.

Menutup Ruang Terjadinya Korupsi

Dalam negara Islam terdapat sistem perekrutan. Pegawai dan pejabat negara harus memiliki keimanan dan ketakwaan yang kokoh. Dalam benaknya tidak ada sedikit pun terlintas untuk menerima suap karena takut akan azab Allah. Daulah Islam mengatur status pejabat negara sebagai pekerja (ajir) dan majikannya (musta'jir). Hak-hak dan kewajiban antara ajir dan musta'jir diatur dengan akad ijarah. 

Dari sisi kepemilikan harta, para pejabat juga dikontrol dalam Daulah Islam. Negara akan rutin menghitung dan membandingkan kekayaan para pejabat sebelum dan sesudah menjabat. Jika terjadi kenaikan drastis secara tidak wajar maka ia akan dimintai pertanggungjawaban. Sementara jika tidak bisa mempertanggungjawabkan maka hartanya akan disita atau dimasukkan ke baitulmal. 

Daulah Islam juga akan memberikan hukuman yang berat sehingga membuat efek jera. Penegakannya dilakukan secara adil, tanpa pandang bulu. Penetapan sanksi takzir bagi koruptor berdasarkan pada ijtihad khalifah. Ketegasan sistem Islam dalam memberikan sanksi berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus). Artinya, sanksi yang ditetapkan membuat orang lain (bukan pelanggar hukum) tercegah untuk melakukan tindakan kriminal dan menjadi penebus dosa bagi para pelaku. 

Itulah beberapa strategi yang dilakukan sistem Islam dalam Daulah Islamiah sebagai upaya untuk menutup ruang terjadinya kasus korupsi dan suap menyuap. Negara bertanggung jawab penuh untuk menghadirkan lingkungan yang menghadirkan ketakwaan setiap individu dan menutup celah terjadinya kemaksiatan. Ini semua hanya bisa ditemukan dalam negara yang menerapkan aturan Islam dalam bingkai Khilafah.  Wallahualam bissawab. []

Suriah Harus Mencampakkan Sekularisme

Setelah ambruknya rezim Assad maka hanya ada dua pilihan, apakah kembali menerapkan sekularisme atau memperjuangkan Islam.

Oleh. Muthiah Al Fath
(Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Setelah berhasil menggulingkan rezim Bashar l-Assad (8-12-2024), pemerintahan transisi Suriah dibentuk di Damaskus oleh oposisi, yang dipimpin oleh PM Mohammed Al-Bashir. Namun, Ahmed Al-Sharaa dari HTS (Hay’at Tahrir Al-Syam) bertindak sebagai pemimpin de facto Suriah. Pemerintahan transisi tersebut dijadwalkan akan berakhir pada 1 Maret 2025, dan setelah itu akan dibentuk pemerintahan transisi komprehensif hingga 2026. Karena itu, tantangan pemerintahan Suriah sangat banyak karena harus menjaga negaranya tetap berjalan sambil mempersiapkan masa transisi.

Dilansir dari media-umat.info (19-1-2025), berbagai orang di media menyerukan penerapan sekularisme di Suriah karena sistem ini dianggap dapat melindungi hak-hak kaum minoritas. Selain itu, banyak orang berdalih bahwa sekularisme dan demokrasi bukan sebuah agama sehingga tidak mungkin terjadi kontradiktif dengan syariat Islam. Lantas, benarkah sekularisme mampu mewujudkan pemerintahan Suriah yang inklusif, toleran, dan menghormati keberagaman?

Dampak Sekularisme di Suriah

Sejak tahun 2000, Basyar Al-Assad memimpin Suriah menggantikan ayahnya, Hafezh Assad. Selama hampir seperempat abad memerintah Suriah, Basyar Al-Assad sering mengeluarkan kebijakan-kebijakan represif terhadap oposisi dan kontrol ketat atas media. Padahal pada awal masa jabatannya, rakyat Suriah menganggap ia sebagai sosok reformis yang akan membawa harapan perubahan.

Secara ideologis, rezim Assad yang Syiah dengan Partai Baath lebih mengedepankan sekularisme, sosialisme, dan nasionalisme. Kedekatan ideologis tersebut membuat rezim Assad mendapat dukungan dari Rusia, Iran, dan Cina. Sebagai informasi, Rusia telah mendukung Damaskus sejak 1960-an dengan memasok persenjataan Suriah sejak perang Arab-Israel (1967—1973). Sejak saat itu, Rusia menjadi pemasok persenjataan “permanen” selama 6 dekade terakhir (sejak 1960-an).

Secara klasik, Rusia memanfaatkan hubungan ini untuk mendapat pijakan permanen di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, dan Laut Mediterania. Rusia juga memiliki kepentingan ekonomi, yakni menjaga pelabuhan Suriah, Tartous yang berfungsi sebagai basis Mediterania Rusia untuk Armada Laut Hitam. Semua itu dilakukan Rusia untuk mengimbangi pengaruh AS di kawasan Timur Tengah.

Terbukti akibat penerapan sekularisme, Rusia dapat mengendalikan dan mengacaukan harmonisasi Suriah dengan membangun sebanyak 114 pos militer di seantero kawasan Suriah. Bahkan sejak 2015 hingga 2018, lebih dari 63.000 anggota pasukan Rusia dengan 39.000 pesawat tempurnya terlibat dalam operasi militer Suriah. Akibatnya, 86.000 pasukan oposisi maupun penduduk sipil tewas dalam serangan tersebut. Artinya, kebijakan represif rezim Suriah selalu mendapat dukungan Rusia. (kompas.id, 10-1-2025)

Akibat sekularisme, Suriah bekerja sama dengan Rusia yang memiliki kedudukan sebagai kafir harbi fi’lan (negara kafir yang memusuhi Islam). Padahal Islam mengharamkan untuk melakukan hubungan diplomatik dalam bentuk apa pun dengan kafir harbi fi’lan, seperti Israel, AS, Prancis, dan sekutunya. Terbukti, adanya intervensi negara penjajah menjadikan konflik Suriah semakin pelik dan tak berujung.

Bahaya Sekularisme

Tidak ada keadilan dalam sekularisme. Suatu rezim dalam sekularisme tidak pernah mendapat dukungan seratus persen dari rakyatnya. Misalnya Suriah, pembangunan sosial dan ekonomi di bawah klan Assad (Hafez Al-Assad dan anaknya Bashar Al-Assad) selama 61 tahun masih jauh dari kata memuaskan. Kondisi ekonomi menyusut hingga 80% dan memicu hiperinflasi. Lebih dari 30% atau sebanyak tujuh juta populasi Suriah terpaksa mengungsi. Alhasil, gelombang demonstrasi besar-besaran oposisi Suriah sebagaimana arus Arab Spring yang dimulai pada Maret 2011 terus bergulir hingga Desember 2024.

Pihak oposisi mendapat dukungan dari kaum moderat sekuler yang pro Barat. Amerika Serikat yang didukung sekutunya (Uni Eropa, Arab Saudi, dan Turki) secara langsung memberi kucuran dana atau bantuan militer secara terukur kepada pihak oposisi yang bersedia merealisasikan kepentingannya. Tanpa disadari, Suriah menjadi sasaran skenario internasional untuk melemahkan kekuatan Islam yang dapat mengancam eksistensi negara penjajah. 

Pihak oposisi Suriah yang menginginkan penerapan sekularisme tidak menyadari bahaya sekularisme. Pada tahun yang sama (2011), di New York, Amerika Serikat juga terjadi demonstrasi besar-besaran yang menentang ketidakadilan ekonomi. Aksi protes yang menentang kerakusan para kapitalis tersebut diberi nama Occupy Wall Street, menyebar ke berbagai kota di AS dan negara Eropa lainnya. Pasalnya, penerapan sekuler-kapitalisme menyebabkan seluruh kekayaan AS, 40 persennya hanya dikuasai oleh kaum 1% (para kapitalis/pengusaha-pengusaha elite). Sementara sisanya 60 persen diperebutkan oleh 99 persen rakyat.

Sekuler-kapitalisme memberikan peluang bagi pengusaha elite untuk mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya dan membiarkan mayoritas rakyatnya hidup menderita. Mirisnya, aksi protes tersebut berakhir dengan bentrokan antara aparat kepolisian dan rakyat. Di AS, polisi menyemprotkan cairan merica, memukuli, dan menangkap ratusan para demonstran. Wilayah Roma, Italia, ratusan orang demonstran mengalami luka-luka akibat ulah aparat keamanan. Adapun di London, delapan orang ditahan karena memaksa masuk kawasan Peternoster Square. Sejatinya, tragedi ini menjadi bukti betapa paradoksnya sistem pemerintahan yang bercorak demokrasi-sekularisme.

Arah Revolusi Suriah

Dari pemaparan di atas jelas mengindikasikan bahwa isu perang yang dilatarbelakangi konflik antara Suni dan Syiah bukan “satu-satunya” faktor penyebab terjadinya perang besar di Suriah. Krisis panjang yang menimpa Suriah akibat ketidakpuasan rakyat pada penguasa zalim, otoriter, dan represif, serta adanya campur tangan asing penjajah yang memiliki banyak kepentingan di Timur Tengah. Sejatinya, konflik panjang yang tercipta baik berskala nasional maupun internasional akibat penerapan sekularisme. Ideologi ini terbukti gagal menyelesaikan perang berkepanjangan yang diakibatkan oleh kepentingan ekonomi, politik, dan pertahanan pihak asing.

Badai Timur Tengah akan terus berkobar bahkan semakin menjadi-jadi. Suka atau tidak, Donald Trump sebagai presiden AS tidak akan melepaskan Suriah begitu saja. Bukankah hampir semua kebijakan politik Timur Tengah tak bisa lepas dari kepentingan AS maupun kebijakan sekutunya, Israel. Upaya westernisasi harus berhasil mengubah arah politik Suriah, seperti Turki, Mesir, Arab Saudi, Irak, dan Iran yang sesuai dengan kepentingan AS dan Israel.

Setelah ambruknya rezim Assad maka hanya ada dua pilihan, apakah kembali menerapkan sekularisme atau memperjuangkan Islam. Pilihan politik Suriah akan menjadi cermin untuk melihat arah revolusi yang sebenarnya dari penguasa masa transisi ini. Apabila tak hati-hati, penguasa Suriah akan dipaksa untuk menerapkan sekularisme oleh AS dan sekutunya.

Sayang sekali jika ada seorang muslim yang menganggap bahwa nilai sekuler (menolak ajaran agama tertentu mendominasi urusan politik) sebagai pilihan yang tepat. Sekularisme identik dengan pragmatisme yang ditopang dengan kebebasan. Hal inilah yang menjadikan negara yang bercorak sekularisme tidak pernah mengenal halal haram, etis atau tidak etis.

Suriah Wajib Meninggalkan Sekularsime

Dalam hadis riwayat Abu Dawud, Nabi Muhammad saw. pernah bersabda, “Hampir tiba suatu masa di mana bangsa-bangsa (kaum kafir yang zalim) dari seluruh dunia akan mengerumuni kalian (umat Islam) bagaikan orang-orang yang hendak makan mengerumuni piring hidangan mereka”.

Realitas saat ini, nasib tragis yang dialami Suriah selama mengadopsi sekularisme, juga pernah dialami Irak, Libya, Tunisia, Mesir, dan lainnya. Seharusnya semua ini menjadi pelajaran dan peringatan bagi seluruh kaum muslim bahwa sekularisme menjadi pintu bagi negara kafir penjajah untuk melemahkan kekuatan umat Islam.

Islam adalah agama sempurna dan politik (pengaturan urusan umat) bagian dari syariat Islam. Dasar berpolitik adalah iman, tauhid, dan akidah Islam, bukan untuk kepentingan materialisme-sosialis-komunisme atau sekularisme-demokrasi-kapitalisme. Politik tidak boleh berpihak dan hanya menguntungkan oligarki kapitalis, baik lokal maupun asing. Patut dicatat, pemerintahan sekuler meniscayakan korupsi dan korupsi terbesar adalah mengambil hak Allah Swt. dalam menetapkan hukum. Slogan dari, oleh, dan untuk rakyat hanya pencitraan untuk menutupi wajah politik sekuler yang pragmatis dan tidak etis.

Karenanya, kaum muslim harus berani dan tegas berpegang teguh terhadap agama Allah Swt. dengan menjadikan Islam sebagai mabda dan aturan. Daulah Khilafah akan menjadikan seorang khalifah berani mengambil sikap tegas terhadap musuh. Sebagaimana Sultan Abdul Hamid II yang melindungi rakyat dan tanah Palestina dari Yahudi Zionis.

Khatimah

Sistem negara bukanlah sarana coba-coba. Seluruh kaum muslim dunia dan khususnya rakyat Suriah harus menyadari bahwa perubahan hakiki hanya bisa tercapai melalui tegaknya syariat Islam secara kaffah. Sistem sekularisme yang menjadi akar penderitaan umat harus dihancurkan hingga ke akarnya, lalu menggantinya dengan Khilafah Rasyidah berdasarkan manhaj kenabian. Oleh sebab itu, Khilafah wajib diperjuangkan dengan meneladani perjuangan dakwah Rasulullah saw., yakni dakwah secara pemikiran dan politik (tanpa kekerasan) sembari terus menggalang nushrah dari ahlul-quwwah. Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]

Kasus HIV/AIDS Butuh Solusi Komprehensif

Penyebab tingginya kasus HIV/AIDS pada IRT akibat memiliki pasangan dengan perilaku seks berisiko, minimnya pengetahuan pencegahan dan dampak penyakit tersebut, serta tidak adanya pencegahan terhadap aktivitas seks bebas.

Oleh. Annisa Wayyu Zahari
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Dilansir dari tribunnewssultra.com (10-12-2024), berdasarkan laporan Kepala Dinas Kesehatan Sultra Usnia, bahwa kasus HIV AIDS di Sulawesi Tenggara mencapai 567 orang yang tersebar di 17 kabupaten dan kota di Sultra. Data ini disampaikan beliau saat kegiatan peringatan Hari AIDS Sedunia (10-12-2024) di Kendari.

Diketahui, jumlah kasus HIV AIDS yang tertinggi berada di Kota Kendari, yakni sebanyak 266 orang. Posisi selanjutnya berada di Kota Baubau sebanyak 103 orang, Kolaka 48 orang, Buton Tengah 25 orang, Muna 16 orang, Konawe sebanyak 15 orang, Muna Barat 13 orang, Buton Selatan 5 orang, Buton 20 orang, Wakatobi 25 orang, Kolaka Timur 3 orang, dan Buton Utara 1 orang.   

Secara global, menurut data epidemiologis UNAIDS 2024 bahwa sebanyak 630.000 mengalami kematian akibat AIDS pada tahun 2023, dan terdapat 1,3 juta yang terinfeksi HIV baru. Tentu saja, kasus HIV/AIDS tersebut seperti fenomena gunung es karena hanya tampak dari segi data, sebab kenyataannya tentu jauh lebih besar. Artinya, persoalan HIV/AIDS tak kunjung reda meskipun setiap tahun, tepatnya tanggal 1 Desember, selalu diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia.  

Sejarah kasus HIV/AIDS bermula pada 1981, di San Fransisco, Amerika Serikat. Kasus tersebut teridentifikasi pertama kali pada pelaku homoseksual. Adapun di Indonesia, kasus ini pertama kali muncul di Bali pada 1987 (10 tahun kemudian), juga pada kalangan homoseksual. Kemudian kasus tersebut makin menyebar, bahkan menjangkiti perempuan dan anak-anak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kasus HIV/AIDS berhubungan erat dengan perbuatan seks bebas.   

Berbagai macam solusi penanganan dan pencegahan oleh UNAIDS (United Nations Programme on HIV/AIDS) belum membuahkan hasil, justru makin memperburuk keadaan. UNAIDS sebagai organisasi internasional yang menangani kasus ini justru menawarkan anjuran seks aman  yang sangat kental dengan paham kebebasan berperilaku. Tanpa pikir panjang, Indonesia mengikuti arahan tersebut. Alih-alih mampu mengurangi kasus HIV/AIDS, sebaliknya kasus ini malah makin bertambah setiap tahunnya.   

Kasus HIV/AIDS Makin Tinggi

Berdasarkan data Kemenkes (2023), kasus HIV di Indonesia makin tinggi. Tercatat sebesar 35% ibu rumah tangga terinfeksi HIV, di mana angka ini lebih tinggi dibandingkan kelompok suami pekerja seks dan kalangan MSM (men sex with men). Bahkan, korban dari kelompok ibu rumah tangga terus bertambah hingga mencapai 5.100 kasus setiap tahun. 

Diketahui, penyebab tingginya penularan HIV/AIDS pada IRT akibat memiliki pasangan dengan perilaku seks berisiko, minimnya pengetahuan pencegahan dan dampak penyakit tersebut, serta tidak adanya pencegahan terhadap aktivitas seks bebas. Realitasnya, kebanyakan IRT tertular dari suaminya yang merupakan pelaku seks bebas. 

Jika seorang ibu sudah terinfeksi, anaknya juga berisiko tinggi tertular HIV. Bahkan, penularan bisa terjadi sejak dalam kandungan, saat proses kelahiran, dan saat menyusui. Sebanyak 45% bayi yang lahir dari ibu yang positif HIV akan menyandang status positif HIV sepanjang hidupnya.   

Mirisnya lagi, kelompok yang paling banyak terinfeksi HIV berada di rentan usia 15—25 tahun. Faktor penyebabnya, antara lain seks bebas terutama dengan sesama jenis, transfusi darah, penggunaan narkoba suntik, dan seks oral.   

Sedemikian besar kerusakan yang ditimbulkan oleh seks bebas, lantas apakah wajar jika pelakunya diberi fasilitas layanan kesehatan tanpa ada sanksi yang tegas? Bukankah adanya sanksi yang tegas mampu memberantas permasalahan HIV sekaligus dapat mencegah penyebarannya?   

Sejatinya, akar masalahnya adalah penerapan sekularisme dan liberalisme yang membuat solusi yang dilakukan hanya tambal sulam dan tidak pernah menyentuh inti persoalan. Fenomena maraknya kasus ini adalah cerminan rusaknya peradaban kapitalisme. Oleh karena itu, perlu adanya solusi komprehensif yang berlandaskan akidah Islam. Pasalnya, hanya itulah satu-satunya cara yang mampu mengatasi seluruh persoalan hidup yang menimpa negeri, bahkan dunia ini.    

Sikap Islam Menyikapi Kasus HIV/AIDS    

Islam ada aturan yang bersumber dari Allah Swt. Yang Maha Pencipta, sehingga syariat Islam pasti akan sesuai dengan fitrah manusia. Islam memiliki aturan tegas perihal larangan seks bebas. Terbukti, pelanggaran terhadap aturan Allah pasti akan menimbulkan kerusakan.   

Sejak awal Islam secara tegas mengharamkan seks bebas, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Sistem Islam bahkan dengan tegas menutup pintu-pintu yang menjadi celah terjadinya pergaulan bebas, seperti melarang berdua-duaan antara lawan jenis tanpa disertai mahram (khalwat) dan melarang ikhtilat (bercampur baur dengan lawan jenis).   

Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati Zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra; 32)   

Sejak awal, Islam sangat menjaga agar umat manusia senantiasa berperilaku mulia dan memuliakan orang lain. Segala hal yang menyimpang tidak pernah mendapat ruang karena ada sanksi tegas bagi pelakunya. Hal ini juga berlaku pada sistem ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, dan politik Islam. Seluruh elemen masyarakat saling terkait untuk benar-benar mencegah kerusakan, termasuk kasus HIV/AIDS ini. Oleh karena itu, hanya dengan penerapan syariat Islam kaffah dalam bingkai negara, kasus HIV/AIDS dapat dicegah. 

Khatimah 

Demikianlah, sekadar memperingati hari AIDS tidak akan mampu mencegah penularan penyakit HIV/AIDS karena persoalan ini merupakan masalah sistemis. Karena itu, penularan penyakit ini hanya bisa diselesaikan dengan mengganti sistem sekuler menjadi sistem Islam yang akan menutup rapat pintu kebebasan seksual. 

Wallahu a’lam bishawwab.[]