Pernyataan setiap yang bernyawa pasti akan mati itu seratus persen benar adanya. Pernyataan inilah yang menguatkan keyakinan, bahwa dunia ini hanyalah sebuah jembatan yang menghubungkan kehidupan fana dengan kehidupan abadi yang sesungguhnya.
Oleh. R. Bilhaq
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-“Hey, Max, kenapa kau tak sentuh makananmu? Apa kau tak lapar? Kerjaanmu hanya melamun saja” ujar salah satu penjaga kamp konsentrasi berkata pada Max.
Sontak Max pun tersadar dari lamunannya dan segera menghabiskan sebotol air mineral yang sedari tadi dalam genggamannya. “Yeah ... buah dan air ini sudah cukup bagiku,” Max melempar senyum pada rekannya itu.
“Hah? Apa katamu? Kau ini memang pandai bercanda kawan,” Fred, sahabat Max yang duduk di sampingnya ikut menyahut keheranan.
“Tidak ... tidak ... aku tidak sedang bercanda kawan,” Max pun tersenyum juga pada Fred.
“Kau ini satu-satunya penjaga teraneh yang pernah kutemui. Kau tahu? Penjaga yang lain begitu lahap setiap menyantap makanan, sedangkan kau? Ah ... ya sudahlah, sini biar kuhabiskan saja jatah sarapanmu pagi ini. Hah ... duduk di sampingmu saat jam makan memang membuatku sulit,” Fred mengeluh.
“Membuatmu sulit?” tanya Max mengernyitkan dahi.
“Ya, setiap duduk di sampingmu, aku selalu saja menyantap dua porsi makanan. Kurasa inilah yang membuat berat badanku semakin bertambah naik. Hah ... aku sangat khawatir akan diabetes,” ujar Fred yang tetap saja lahap menyantap makanan dari Max.
“Kali ini kebetulan kursi ini yang kosong. Jadilah kududuk di sini,” jawab Max enggan disalahkan oleh sahabatnya.
“Fred, tahukah kau? Setahun terakhir ini, saat jam makan tiba, Max pasti selalu menjadi orang terakhir yang masuk ke sini. Seperti tak ada semangat untuk makan,” ujar penjaga lain menimpali.
“Ah ... Ya, kau benar. Dia memang sangat aneh,” ujar Fred menggelengkan kepala.
“Ah ... sudahlah ... cepat habiskan saja makananmu, Fred. Waktu sarapan hampir habis. Kita harus segera mulai bertugas,” ujar Max yang baru saja menyadari bahwa jarum jam tangannya berhenti bergerak.
***
Tidak seperti hari-hari sebelumnya, di mana Max terbiasa langsung menuju ke sel-sel para tahanan kamp untuk bertugas. Namun, kali ini ia harus pergi ke ruang kepala penjaga kamp karena ada suatu hal penting yang akan disampaikan padanya. Tak lama setelah melewati beberapa lorong, Max pun tiba dan mengetuk pintu ruangan itu.
”Silakan masuk, Max,” ujar Tn. Arnold yang sedari tadi berdiri di samping meja kerjanya.
Tanpa ragu, Max pun mulai melangkah masuk ke dalam ruangan. “Maaf, apa saya datang terlambat? Tanpa sadar, jam tangan yang saya pakai ini ternyata mati,” ujar Max merasa bersalah.
“Tidak, tidak. Kau datang tepat waktu, Max. Sekarang duduklah,” Tn. Arnold pun duduk di kursi empuknya.
“Baiklah, syukur kalau begitu. Sebenarnya perihal apakah yang hendak kau sampaikan padaku?” tanya Max begitu penasaran.
“Begini, Max. Kau tahu? Setelah diturunkannya jabatan Garry pekan lalu akibat kelalaiannya dalam bertugas, kini aku memutuskan untuk memilihmu sebagai penggantinya. Jadi, mulai hari ini kau tak perlu lagi pergi ke sel-sel para tahanan itu. Mulai hari ini bergabunglah dengan tim bagian interogasi di lantai atas bersama Carl, apa kau mengerti?” jelasnya.
“Sa ... saya?” Max berkata dengan mata terbelalak.
“Sa ... saya sebagai tim interogasi?” sambung Max dengan jantung yang tiba-tiba berdegup kencang.
“Ya, benar. Apa kau keberatan, Max?” Tn. Arnold menatap tajam ke arah Max.
“Ti ... tidak, tidak. Baiklah kalau begitu. Sa ... saya tidak keberatan dengan keputusan ini,” Max pun mengusap tetes keringat yang bercucuran di keningnya.
“Ya, bagus kalau begitu. Seusai keluar dari ruangan ini, segeralah menuju ke lantai atas.” Pinta Tn. Arnold.
“Ba ... baiklah. Kalau begitu saya pamit keluar sekarang.” Max pun langsung segera keluar dari ruangan yang terasa sangat dingin itu.
***
Langkah kaki Max yang semula ringan kini menjadi terasa sangat berat. Apalagi saat dirinya mulai menapaki anak tangga yang menuju ke lantai atas. Selama setahun terakhir bertugas sebagai penjaga sel-sel para tahanan kamp, ruang interogasi menjadi momok yang sangat menakutkan baginya. Keputusan yang mesti diterimanya kali ini bagaikan gunung-gunung yang meletus dengan hebatnya. Baru saja menginjakkan kaki di lantai atas, tiba-tiba Max langsung disambut oleh Carl yang menjabat sebagai kepala tim interogasi yang usianya sebaya dengan Max.
“Hey, Max. Apa kau sedang sakit? Wajahmu terlihat sangat pucat,” ujar Carl.
“Ah, tidak, tidak. A ... aku baik-baik saja,” jawab Max iba melihat para tahanan muslim di sekelilingnya akan diinterogasi.
“Selamat bergabung, Max. Andai saja kau tahu, banyak sekali penjaga senior yang sangat ingin menduduki posisi ini. Kali ini sungguh kau sangat beruntung,” bisik Carl pada Max.
Max yang diliputi perasaan iba memilih diam tak menghiraukan sedikit pun ucapan selamat yang dikatakan Carl padanya. Ia pun menarik napas dalam-dalam guna menghilangkan rasa cemas berlebihan yang mulai menyerangnya.
“Apa interogasi sudah dimulai?” tanya Max berusaha tenang, menampakkan dirinya seolah baik-baik saja.
“Ya, baru saja dimulai lima menit yang lalu. Ayo kita masuk, jangan sampai kita melewatinya begitu saja,” ujar Carl menepuk bahu kiri Max dengan tangan kanannya.
“Ini sungguh hari yang sangat berat bagiku.” batin Max sambil berjalan merunduk menuju ruang interogasi itu.
Ketika sampai di depan pintu, Carl meminta Max untuk membukakan pintunya. “Silakan buka pintunya, Max. Selamat datang di ‘dunia’ barumu,” ujar Carl dengan senyum liciknya.
Baru saja Max mulai membuka pintunya secara perlahan, tiba-tiba ia pun jatuh tak sadarkan diri hingga menimpa sepatu bot besar yang dikenakan Carl.
“Max? Max?” Carl menggoyang dagu Max.
“Selemah itukah nyalimu, Max? Dasar penghianat.” batin Carl kesal.
***
“Syukurlah kau sudah sadar,” ujar Fred yang ditugaskan menemani Max selama tak sadarkan diri.
“Ah ... ternyata kau, Fred. Bisa kau jelaskan mengapa kita ada di sini?” tanya Max berusaha bangun untuk duduk.
“Satu jam yang lalu Carl berkata padaku, bahwa kau jatuh tak sadarkan diri sebelum masuk ke ruang interogasi itu,” jelas Fred.
“Kutahu, hari ini pasti menjadi hari yang sangat sulit bagimu,” sambung Fred menarik napas panjang, menatap wajah sahabatnya yang tampak gelisah itu.
Max pun turut menarik napas dalam-dalam dan melayangkan tatapan kedua matanya ke arah lantai yang berwarna abu-abu.
“Kau harus berhati-hati, Max. Sepertinya Carl sedang memata-mataimu,” ujar Fred menepuk bahu Max.
“Memata-mataiku? Maksudmu?” tanya Max butuh kejelasan.
“Ya, memata-mataimu. Sesaat setelah aku bicara dengan Carl di sini, tiba-tiba ponselnya berdering dan ia pun segera menuju ke luar. Mengingat wataknya yang licik membuatku ingin tahu apa yang sedang ia sembunyikan. Benar saja, Max, saat itu ia tengah memberikan beberapa informasi tentangmu pada seseorang,” Fred menjelaskan dengan raut wajah serius.
“Ah, begitukah?” ujar Max berdiri seketika.
“Fred, apa kau tahu dengan siapa Carl berbicara saat itu?” sambungnya.
“Ya, tentu saja kutahu. Ia berbicara dengan kepala penjaga itu,” jawab Fred singkat.
“Tn. Arnold? Carl? mereka berdua? Apa mungkin kau juga ...,” Max menatap tajam kedua mata Fred yang sedang duduk.
“Tolong hentikan dugaanmu itu, Max. Aku tidaklah sama seperti mereka. Percayalah padaku,” Fred pun ikut bangkit berdiri.
“Ah, maafkan aku, Fred.” ujar Max kembali duduk menenangkan diri.
“Tenang saja, Max. Sampai detik ini pun, aku tak pernah memberitahu identitas aslimu pada siapa pun.” Fred kembali duduk di samping Max meyakinkan.
***
Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Selama sebulan terakhir ini, wajah Max yang selalu tampak terlihat tegang dalam setiap menjalankan tugas barunya itu kini terlihat sangat tenang dan penuh dengan senyuman meski kondisi fisiknya benar-benar sangat memprihatinkan. Betapa sangat hancurnya hati Fred menyaksikan detik-detik kepergian sahabatnya itu di tengah tanah yang lapang. Namun, kendati demikian, ada sedikit penghibur bagi Fred. Ya, setelah Max mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lantang dan pergi untuk selamanya dari dunia ini, tiba-tiba aroma yang sangat harum tercium dengan kuatnya oleh seluruh penjaga yang hadir berbaris rapi pada pagi itu, termasuk juga tim eksekusi. Meyakinkan Fred, bahwa memang Max adalah orang yang baik.
***
Suasana ketakwaan kini telah kembali menyelimuti dunia kaum muslimin. Negeri-negeri kaum muslimin yang dulunya sempat terpecah-belah oleh musuh-musuh Islam, kini telah kembali bersatu dalam naungan pemerintahan Islam yang haq. Sistem kufur kapitalisme yang selama satu abad lebih mencengkeram dunia Islam kini telah tumbang ditelan bumi hingga ke akar-akarnya. Ya, akhirnya janji Allah dan Rasul-Nya yang dulu bagi sebagian besar orang dianggap sebagai angan kosong, kini telah terbukti menjadi kenyataan. Panji-panji Rasulullah saw. yang dibanggakan kaum muslimin kini telah berkibar tinggi menjulang di mana-mana. Tiada lagi kezaliman dan kesengsaraan yang menyelimuti relung hati kaum muslimin. Mereka yang dulunya selalu direnggut kebebasannya sebagai seorang muslim, kini mereka dengan leluasa mampu menjalankan setiap syariat yang diturunkan oleh _Rabb_ Sang Pemilik alam semesta. Kini, pemimpin umat yang senantiasa dinanti itu pun telah kembali hadir di tengah-tengah kaum muslimin untuk bertugas melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, harta, kehormatan, dan keamanan, serta negara kaum muslimin.
***
“Kau memanglah seorang muslim sejati, Adam. Setelah kau bersyahadat secara sembunyi-sembunyi yang dipandu oleh salah seorang tahanan dalam sel, kau seolah seperti bayi yang baru terlahir ke dunia. Ya, perilakumu berubah total dari yang sebelumnya. Sayangnya, setelah setahun kau menyembunyikan identitasmu sebagai seorang muslim, Tn. Arnold mengutus Carl untuk memata-mataimu sehingga akhirnya kau pun sengaja dipindahtugaskan ke bagian interogasi untuk membuktikan apakah kau benar-benar telah menjadi seorang muslim atau tidak. Saat bertugas sebagai tim interogasi, kau pun selalu menolak perintah Carl untuk menyakiti orang-orang muslim yang tak bersalah itu. Hingga akhirnya, identitasmu sebagai seorang muslim pun diketahui oleh Carl dan Tn. Arnold. Maafkan aku Max, di hari eksekusi itu, aku tak bisa berbuat apa-apa untuk menolongmu.”
“Duhai kawan, ada beberapa hal tentangmu yang masih saja kuingat hingga detik ini. Ya, kuingat saat kau enggan memakan makanan yang dihidangkan di kamp tahanan itu, karena makanan itu tidak halal bagimu, sehingga kau selalu saja hanya minum air putih dan memakan buah-buahan. Ku juga ingat saat memergokimu melakukan beberapa gerakan di dalam gudang dan ternyata itu adalah gerakan salat. Kau juga begitu panik saat lupa memakai jam tangan, karena jam tangan itu sangat membantumu dalam mengetahui waktu datangnya salat. Di gudang itu juga, kau mendalami ilmu agama dengan membaca terjemah Al-Quran dan buku-buku keislaman lainnya yang sempat kau beli saat mengambil cuti. Saat situasi aman, terkadang kau juga belajar langsung dari orang-orang muslim yang ada dalam sel itu.”
“Duhai kawan, setelah kau menjadi seorang muslim, aku sempat terheran mengapa kau tetap memilih berada di kamp tahanan itu. Ternyata, alasanmu ialah ingin menguatkan para tahanan muslim yang tak bersalah itu dengan cara menyemangati mereka agar tetap bersabar menghadapi ujian yang sangat berat kala itu. Kau selalu mengatakan pada mereka bahwa, ‘Kurungan ini memang bisa memutuskan hubunganmu dengan anak-anakmu, pasanganmu, ataupun keluargamu. Namun, tetaplah yakin bahwa sesungguhnya kurungan ini tak akan pernah bisa memutuskan hubunganmu dengan Allah.’”
“Duhai kawan, kini berbagai kezaliman yang dulu merebak di mana-mana sudah musnah dari muka bumi ini. Ini semua terjadi setelah dunia ini kembali diatur dengan segala aturan-Nya yang adil. Ya, saat ini kaum muslimin telah meraih kembali kegemilangannya yang dulu sempat meredup. Kau benar, Adam, Islam memanglah rahmat bagi seluruh alam.”
“Duhai kawan, setelah dihapuskannya kamp konsentrasi itu akibat banyaknya penolakan dari berbagai negeri-negeri kaum muslimin, tanpa pikir panjang aku pun langsung memutuskan untuk ikut pergi dengan seorang yang dulu membimbingmu bersyahadat. Alhamdulillah, kini sudah tiga puluh tahun diriku menjadi seorang muslim dan memakai nama yang sama denganmu.”
“Duhai kawanku, Adam. Tepat di hari ini, usiaku genap berusia 63 tahun. Kelak, sekiranya kau tak menemukanku ada di dalam surga-Nya, maka tolong carilah aku hingga kau benar-benar menemukanku.” Fred alias Adam membatin hingga menitikkan air mata di sudut Masjid Hagia Sophia yang kini telah kembali ke tangan kaum muslimin.[]
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
Ceritanya keren . Perjuangan seorang mualaf di tengah kandang musuh.
alhamdulillah, makasiii mbak...
Masyaallah, barakallah mbak R.Bilhaq. Ya Allah, bisa membayangkan beratnya perjuangan seorang mualaf di tengah musuh. Harus istikamah di tengan situasi dan kondisi yang sangat bertentangan dengan syariat. Keren ...
barakallah juga mbak Sartinah..
Barakallah, kemasan cerita yang bagus ..
barakallah juga mbak..
makasih mbak sartinah dan mbak sherly.. semoga bisa jadi penulis produktif seperti mbak mbak.. aamiin 😀
Masyaa Allah, ceritanya keren, menjadi seorang mualaf di tengah musuh yang senantiasa mengawasi. Tetapi, tetap istikamah.
butuh perjuangan ya mbak..
MasyaAllah wa tabarakallah untuk penulis. Ceritanya keren.
barakallah juga mbak Firda...