Rumah warga ada yang rontok, genteng, kaca, lampu juga eternit. Bahkan ada beton rumah yang terpaksa dihancurkan karena ukuran sound system yang lebar tidak bisa lewat.
Oleh : Eno Wasiat
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-“Seharusnya perbanyak bekal dengan beramal, bukan karnaval. Mati itu nggak harus tua. Kapan saja dan pasti, Nduk.” Wejangan dari neneknya tadi pagi sebelum berangkat kerja masih saja terngiang di telinga Marni.
Gadis berusia dua puluh tahunan itu bergegas membereskan pekerjaan di toko bangunan tempat dia bekerja. Dia tidak ingin mengeluarkan uang lagi hanya untuk membayar denda apabila tidak mengikuti acara di kampungnya. Untuk membayar sewa kostum saja sudah cukup memberatkan. Hari itu adalah hari terakhir latihan persiapan memeriahkan acara Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah tiga hari tidak bisa ikut latihan karena harus menyelesaikan pekerjaan di toko yang menumpuk, ada perasaan kesal di hati. Seharusnya dia bisa merasakan kemerdekaan dengan gembira, bukan tertekan seperti yang dia rasakan saat ini. Namun, apa daya harus menjalani semua meskipun terpaksa.
Tiba di rumah langsung berwudu dan salat Asar. Jangankan khusyuk, berapa rakaat yang sudah dikerjakan pun dia tak ingat. Marni hanya menggugurkan kewajiban saja. Masih dengan pakaian kerja, gadis itu membetulkan kerudung penutup kepala sambil menghampiri emaknya untuk berpamitan. Tidak sempat mandi, yang penting wangi, pikirnya.
“Nduk, nggak makan dulu?” tanya emak.
“Nggak sempat, Mak … ,” jawabnya sambil mencium tangan dan berlari secepat angin menuju balai desa.
Suara keras musik kekinian (menurut mereka), bercampur dengan jogetan anak-anak, remaja, emak-emak, bapak-bapak, begitu hebohnya. Tak ketinggalan teman sebayanya, Parti. Teman sekelas saat SMU itu tampak bergembira, bergoyang mengikuti irama bak sedang di klub malam. Namanya sungguh pas dengan hobinya berpesta, Party. Ada juga Bapak dan Ibu RT.
“Nah, itu Marni sudah datang,” kata Mbak Nur alias Nurhadi sambil mengibaskan rambut panjangnya. Perempuan jadi-jadian yang membuat suasana menjadi ramai dan meriah itu segera berdiri dan memberi isyarat agar latihan segera dimulai.
Semua bersiap sesuai formasi masing-masing. Bercampur baur berdasar asas guyub rukun. Bersenda gurau tertawa lepas tanpa batas. Bahkan ada bapak-bapak yang cukup disegani di kampung mengambil gambar dan merekam kehebohan sore itu dan mengunggahnya di grup RT serta medsosnya. Beberapa ibu muda dan remaja berpakaian cukup ketat dan mencolok. Marni mulai terhanyut sesaat. Meskipun lama kelamaan dirinya mulai risi dan malu.
Azan Magrib mulai berkumandang. Latihan dihentikan. Beberapa anak dan bapak-bapak ada yang menuju masjid. Beberapa ibu-ibu dan remaja tetap berkumpul dan bersenda gurau. Kemudian Bu RT mengumumkan ada biaya tambahan diluar biaya kostum. Karena untuk biaya sewa sound system lumayan fantastik, puluhan juta. Jadi setiap keluarga harus membayar Rp500.000,00 lagi. Semua sama, pukul rata. Marni hanya mengelus dada. Emaknya pasti tidak punya uang sebanyak itu. Bapak yang kerja di luar pulau sudah dua bulan belum kirim uang. Nenek juga sering sakit-sakitan. Sementara tabungan dia sudah habis untuk biaya daftar ulang adiknya di pondok. Tidak mungkin dia pinjam uang di toko tempat dia bekerja. Ugh.
Hari yang ditunggu warga tiba. Ibu-ibu, bapak-bapak, remaja, anak-anak, semua sibuk. Selepas Subuh sudah heboh ber- make up. Terutama ibu-ibu muda dan remaja putri. Yang tidak mengikuti karnaval bisa menyiapkan konsumsi. Yang tidak mengikuti sama sekali, tidak memberi dukungan diberikan sanksi. Denda sejumlah uang atau dipersulit dalam mengurus administrasi kewarganegaraan. Ada beberapa warga yang memilih tidak ikut dan menyumbang berbagai makanan dan minuman. Yang tidak mendukung sama sekali, hanya di dalam hati tak berani menampakkan diri.
Ibu-ibu dan remaja putri berkumpul di rumah salah satu warga yang memiliki tempat khusus untuk berias. Setelah make up wajah selesai, Marni menerima kotak tempat kostum yang sudah ditentukan. Betapa kagetnya gadis itu melihat kebaya minimalis warna merah menyala dan bawahan kain jarik dengan belahan sangat tinggi.https://narasipost.com/challenge-np/05/2021/ketika-hari-menjadi-abu-abu/
“Ayo buruan dipakai, Mar!” seloroh Parti. Gadis itu tampak berbahagia mencoba kostum karnavalnya. Berkali-kali bergaya di depan kaca cermin mematut diri. Yang lain pun memberikan berbagai komentar sambil memandangi bayangan mereka masing-masing di cermin.
Marni masih bengong. Tak terbayangkan, dia harus mengenakan kain dengan belahan setinggi itu. Meskipun dia mengenakan legging, namun bentuk kaki dan pahanya pasti akan terlihat jelas. Ugh.
“Kapan lagi Mbak Mar, bergaya seksi begini? Belum juga setahun sekali. Siapa tahu nanti ada cowok keren tertarik … ,” komentar salah satu tetangga diikuti gelak tawa yang lainnya.
Dengan berat hati marni mengenakan kostumnya. Gadis yang baru belajar mengkaji Islam itu mau tak mau mengikuti arus teman-temannya. Kerudung putih yang dikenakan tidak sampai ke dada. Seolah hanya pemanis belaka.
Pukul 11.00 semua peserta sudah harus berkumpul di lapangan. Semua peserta dari berbagai desa berbaris sesuai nomor urutannya. Panas matahari mulai menyengat. Suara musik dari truk besar maupun kecil memekakkan telinga. Berbagai patung ala ogoh-ogoh Bali diusung oleh beberapa lelaki dengan kostum hitam atau putih dengan sarung kotak-kotak senada. Lengkap dengan aroma asap dupa yang mulai menusuk hidung. Mereka ikut-ikutan meyakini tradisi itu untuk menjaga keselamatan. Padahal mayoritas peserta adalah orang muslim. Seharusnya lebih yakin bahwa yang menjaga itu hanya Allah Swt.
Azan Zuhur mulai bersahutan. Beberapa anak laki-laki di barisan depan dari sekolah sekitar diikuti bapak-bapak meninggalkan barisan menuju musala terdekat. Yang lainnya terutama ibu-ibu, remaja putri, dan yang sudah berkostum ala ratu dan raja tetap tinggal di tempat. Tidak mungkin mereka menghapus make up dengan biaya tidak murah itu dengan air wudu. Iya, ‘kan?
Usai Zuhur, barisan depan berjalan. Iringan drumben bergerak di belakang anak-anak berseragam sekolah. Marni dan kelompoknya mendapat urutan hampir terakhir. Gadis itu sudah melewatkan salat Zuhur. Berharap nanti acara selesai sebelum Magrib dan bisa menggabungkan Zuhur dengan Asarnya.
Menjelang Asar, barisan baru bersiap untuk bergerak. Alunan musik mulai dinaikkan volumenya. Barisan rapi menghabiskan badan jalan. Semua kendaraan tidak bisa lewat. Jalan ditutup total. Semua sudah sesuai jadwal yang diumumkan pemerintah setempat. Jadi pengguna jalan silahkan mencari jalan alternatif.
Marni melihat di barisan depan, sekelompok anak-anak remaja laki-laki bergoyang mengikuti musik super keras menenggak minuman tak jelas. Setelah itu beberapa barisan perempuan dengan pakaian dan goyangan seksi tak pantas dipertontonkan mengikuti di belakangnya. Drama komedi dari laki-laki berpakaian perempuan menor dan berlebihan menjadi hiburan menyegarkan bagi penonton yang mulai memadati jalan.
Tiba-tiba di barisan depan ada kehebohan di luar nalar. Beberapa warga mengabadikan kejadian tersebut. Rumah warga ada yang rontok, genteng, kaca, lampu juga eternit. Bahkan ada beton rumah yang terpaksa dihancurkan karena ukuran sound system yang lebar tidak bisa lewat.
Gegap gempita suara musik mengalahkan suara azan Asar. Jujur saja Marni berjoget tanpa semangat. Perasaan malu mulai menjalari dirinya. Apalagi berhenti di pinggir jalan, bergoyang, dan ditonton banyak mata yang bukan mahramnya. Berharap segera sampai di garis finis dan bisa mengerjakan salat. Ternyata perkiraan waktunya keliru. Banyak kejadian yang membuat acara berjalan lambat. Marni terus berjalan dan bergoyang tanpa ekspresi. Sesekali berhenti untuk makan seperlunya dan minum sambil berdiri. Padahal neneknya selalu marah kalau melihat cucunya makan dan minum sambil berdiri.
Marni terlihat gelisah. Senja mulai sinis menatapnya. Magrib siap menyambutnya. Harapan akan ada waktu untuk mengganti salat sirna. Saat gelap itulah yang dinanti penonton dan para penikmat dunia ingar bingar. Sebuah lampu berwarna biru tiba-tiba menyorot ke arahnya. Gadis itu sangat kaget karena pasti tubuhnya menjadi pusat perhatian. Selanjutnya lampu berwarna warni dengan suara musik semakin keras dan menari ke sana ke mari. Azan Magrib tak menyurutkan para warga untuk meninggalkan jalan. Justru mereka semakin merapat ke jalan dan membuat peserta karnaval makin panas berjoget. Beberapa penonton ada yang terlihat menutup telinga. Seorang ibu berlari keluar rumahnya yang berada di tepi jalan, menjauh sambil menggendong bayinya. Ya Allah … Marni semakin ingin lari dari barisan. Tapi lokasi tempat dia berdiri sekarang lumayan jauh dari rumahnya. Dia teringat neneknya. Merasa bersalah tidak menghiraukan wanita yang sangat perhatian dengan nasihat-nasihat bijaknya itu.
Magrib lewat. Waktu Isya mulai terdengar dari masjid besar di depan barisannya. Suara musik mulai dikecilkan saat melewati masjid. Tiba-tiba Marni menangkap sosok yang tidak asing baginya. Hatinya bergetar. Fikri, cowok alim itu melintasi jalan menuju masjid dengan pakaian takwa dan sajadah di pundak. Bersyukur dia tidak melihatnya. Betapa malunya kalau dia sampai terlihat oleh lelaki yang telah mencuri hatinya diam-diam itu. Pasti Fikri lebih memilih perempuan alim juga. Perempuan salihah yang tidak suka keluar malam sambil berjoget seperti dirinya. Melewatkan salat Zuhur, Asar, dan Magrib dengan sengaja. “Ampuni hamba ya, Rabb ….”
Marni pulang meninggalkan karnaval sekitar pukul 22.00, meskipun acara itu baru berakhir dini hari. Alhamdulillah bisa pergi lebih awal dari yang lain. Lelah, ngantuk, malu, kesal, bercampur aduk. Belum lagi uang yang belum dia lunasi untuk hal bodoh itu meski acara sudah usai. Ugh.
Tiba di rumah, gadis itu segera membersihkan badan dan mengintip emak serta neneknya yang terlelap. Dia pandangi dua wanita yang mulia itu sambil menitikkan air mata. Nenek pasti tadi tidak nyaman dengan dentuman-dentuman musik dari jalan.
Tidak ingin mengganggu mereka, Marni langsung mengambil air wudu dan mengadukan semua kegundahan hati dalam sujud panjangnya. Mohon ampunan yang sedalam-dalamnya. Dingin malam dan kelelahan tak juga membuat gadis itu terlelap. Banyak hal berkecamuk di dadanya. Betapa manusia tidak sadar telah digiring untuk melakukan banyak dosa. Penentu kebijakan yang tidak tegas membuat banyak rakyat jelata menderita. Kami menunggu merdeka yang sesunggunya.
Tempat tidurnya sekonyong-konyong bergoyang keras dan cukup lama. Semua orang berhamburan keluar rumah.
“Gempa …!” teriak beberapa tetangga di luar rumah. Ada yang meneriakkan Allahu Akbar berkali-kali. Kepanikan terjadi di kampungnya. Gempa yang terjadi di tiga tempat sekaligus menurut data BMKG dini hari itu terasa cukup keras. Orang-orang yang tadi bergoyang di tengah ingar bingar suara dentuman musik tak kalah takut dan panik.
Emak dan nenek terjaga namun tetap di dalam kamar karena tidak mungkin berlari cepat. Marni menghampiri mereka yang sudah terjaga. Mencium tangan dan memohon maaf atas semua salahnya. Semoga Allah tidak sedang murka. Maafkan kami, ya Allah. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
Seharusnya perbanyak bekal dengan beramal, bukan karnaval.
Saya sangat suka dengan kata-kata ini.
Aku juga sedih ngelihat jalanan di kotaku banyak yang ditutup.
Juga warga yang dimintai urunan buat karnafal. Beginikah caranya merayakan kemerdekaan yang bahkan belum dinikmati secara utuh oleh bangsa ini .....
Ngenes kali jadi si Marni, sudah tak punya uang, di hari kemerdekaan malah harus nyumbang, yang paling mengenaskan malah melalaikan kewajiban. Namun, nyatanya banyak marni2 lain di dunia nyata dalam sistem saat ini.
Menggambarkan keadaan manusia jaman sekarang. Barakallah ❤️
Ceritanya sangat dekat dengan fakta yang terjadi saat ini. Kemerdekaan dimeriahkan dengan cara-cara yang jauh dari Islam. Miris sekali melihat kondisi tersebut.
Allah tidak menyukai orang miskin yang sombong. Di dunia dan akhirat rugi. Inilah dunia yang semu
Banyak Marni-Marni yang terlena dengan keasyikan dunia yang fana. Karnaval dibela-belain mengikuti walaupun harus melanggar syariat Allah sang Pemilik Bumi. Miris dan ngenes kehidupan saat ini.
Cerpen yang sangat _relate_ dengan kehidupan hari ini.
Barakallah, Mbak Eno.
Ngenes baca ceritanya. Ini soalnya terjadi di tempat saya juga. Gak yang ikutan berkontribusi, yang sekedar nonton, kadang waktu-waktu salat terlewat dan mereka masih ramai di lapangan. Barakallah mbak Eno ...
MasyaaAllah
Bacanya ngak mau berhenti
Keren Mbak Eno
Fakta yang terjadi saat ini pesta kemerdekaan membawa duka...
Melewatkan kewajiban salat dengan hingar bingar musik yang memekakkan telinga..
Barakallahu fiik
MasyaAllah, banyak hikmah dalam cerpen ini, barakallah penulis. Ini bukan merdeka tapi dipaksa dalam segala hal.
Keren ceritanya, semoga perayaan kemerdekaan tidak menjadi perayaan yang mengundang murka Allah.
Masyaallah keren ceritanya..
Semoga setiap perayaan Hari Kemerdekaan tidak lagi diisi dengan hal yang bermaksiat.
Keren mbak ceritanya.
Kasihan para pahlawan, mengenang kemerdekaan justru diisi hal-hal yang bernilai maksiat.
Memang masih banyak hal semacam itu yang dilakukan masyarakat. Padahal banyak kemudaratan yang ada di dalamnya.
[…] https://narasipost.com/challenge-np/09/2023/kesaksian-marni/ […]