Sertifikasi Halal "Beer dan Wine" Diragukan, Mengapa?

Sertifikasi halal beer dan wine diragukan

Terjaminnya sertifikasi halal untuk makanan dan minuman hanya ada di sistem Islam, bukan di sistem kapitalisme saat ini.

Oleh. Tutik Haryanti
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Memberikan sertifikasi halal pada sebuah produk tidak boleh sembarangan atau asal-asalan. Seperti baru-baru ini terjadi polemik di media sosial tentang pemberian sertifikasi halal pada produk minuman Tuyul, Tuak, Beer, dan Wine oleh Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) RI.

Mamat Salamet Burhanudin, Kepala Registrasi dan Sertifikasi Halal menuturkan, masyarakat tidak perlu ragu pada kedua produk di atas karena sudah mendapat sertifikasi halal dari Komisi Fatwa MUI dan Komite Fatwa Produk Halal. (cnnindonesia.com, 05-10-2024)

Sertifikasi Halal, Wajib!

Sebagai negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, tentu makanan dan minuman halal dan tayib sangatlah wajib diperhatikan. Biasanya saat akan membeli sebuah produk kemasan, terlebih dahulu akan melihat sekilas apa yang tertera di produk tersebut, yakni label halal. Kemudian kedaluarsanya, apa produk tersebut masih layak untuk dikonsumsi. Lalu, komposisi makanannya mengandung zat yang halal atau tidak berbahaya bagi tubuh.

Begitu pentingnya kehalalan suatu produk hingga pemerintah mengeluarkan UU 33/2014, bahwa semua produk barang yang masuk, beredar, dan diperdagangkan wajib bersertifikasi halal. Dengan demikian, sertifikat halal atas produk usaha wajib dimiliki oleh semua pengusaha.

Kisruh Pemberian Sertifikasi Bir dan Anggur Halal

Dengan adanya undang-undang di atas, menunjukkan bahwa pemerintah peduli atas terjaminnya produk makanan dan minuman halal yang dikonsumsi masyarakat. Namun sayangnya, dengan diberikannya sertifikasi halal pada Beer dan Wine, terjadi kekisruhan antara Komisi Fatwa MUI dengan Komite Fatwa Produk Halal yang berada di bawah Kemenag.

Menanggapi fatwa terkait kedua jenis minuman tersebut, Muti Arintawati, Direktur LPPOM MUI menyampaikan empat poin untuk menjelaskan kepada pihak BPJPH Kemenag. Pertama, ada 25 untuk jenis produk Wine yang ditemukan di data LPPOM MUI, semuanya adalah produk kosmetik atau nonpangan. Jadi, menurut Komisi Fatwa MUI, Wine tersebut menunjukkan jenis warna merah pada lipstik, bukan sensasi rasa atau aroma.

Kedua, untuk produk Beer yang lolos oleh MUI, yakni jenis bir pletok yang sudah lazim di masyarakat sebagai minuman tradisional. Bir pletok ini tidak mengandung khamar. Yang ketiga, terjadi kesalahan pengetikan untuk produk Beer pada jenis makanan dari daging sapi. Jadi, bukan bir, tetapi beef. Ini sudah diklarifikasi dengan mengganti namanya, dari Beer Strudel menjadi Beef Strudel dan masih ada lainnya. Lalu yang keempat, untuk produk "Tuyul" dan Tuak dengan tegas dinyatakan tidak lolos. (MUIdigital, 03-10-2024)

Ketua Komite Fatwa MUI, K.H. M. Asrorun Ni'am Sholeh juga melakukan klarifikasi. Asrorun menyebut bahwa produk-produk tersebut mendapat sertifikasi halal dari BPJPH secara self declare (pernyataan mandiri) tanpa adanya audit dan pengesahan ketetapan kehalalan oleh Komisi Fatwa MUI. Dari kejadian ini, Komisi Fatwa MUI akan melakukan koordinasi dengan BPJPH agar tidak terulang lagi kasus serupa. (JPNN.Com)

Ketidakpercayaan Masyarakat terhadap Fatwa BPJPH

Kisruh atas fatwa sertifikasi halal Beer dan Wine ini telah mengundang ketidakpercayaan masyarakat terhadap BPJPH. Ini disebabkan yang semula fatwa sertifikasi halal dilakukan oleh MUI, kini diambil alih oleh pemerintah melalui BPJPH yang bertanggung jawab terhadap Kemenag. Meskipun demikian, MUI tetap memberikan izin untuk mengesahkan ketetapan kehalalan produk.

Baca: indonesia-jadi-negara-maju-utopis-dalam-kapitalisme/

Bila ditelisik, dalam sertifikasi halal Komisi Fatwa MUI memiliki syarat atau kriteria tertentu dalam pemberian nama, bukan hanya dilihat dari zatnya saja yang halal. Kriteria yang dimaksud adalah nama produk yang harus sesuai dengan syariat Islam, di antaranya tidak menyerupai nama yang lazim untuk barang haram. Hal ini dilakukan agar tidak menimbulkan kebingungan masyarakat. Pada prinsipnya, halal dan haram suatu produk adalah hal mendasar bagi umat Islam.

Sertifikasi Halal, Ladang Bisnis di Kapitalisme

Sementara di sisi lain, sertifikasi halal menjadi ajang bisnis bagi pejabat di lembaga terkait, apalagi ada batas-batas waktu yang ditentukan. Dalam hal ini, untuk menjaga keamanan produknya, pengusaha akan mengupayakan dengan berbagai cara agar produknya tetap lolos kehalalannya.

Inilah sertifikasi halal dalam sistem kapitalisme. Sistem yang berasas kemanfaatan dan selalu mengukur segala sesuatu berdasarkan materi, meniscayakan seseorang berbuat rakus dan mudah melanggar syariat Islam. Sekularisme yang menafikan agama dalam segala aktivitas, makin memperkuat untuk melakukan pelanggaran, termasuk cara memberikan sertifikat halal pada pengusaha. Oleh karena itu, sangat rawan terjadi rasuah atau tindak korupsi. Wajar bila masyarakat tidak percaya dan menyimpan keraguan dengan cara kerja dan hasil dalam menetapkan kehalalan produk.

Islam Memberikan Jaminan Halal

Berbeda dengan sistem Islam, sertifikasi halal adalah pelayanan yang diberikan oleh negara secara cepat dan gratis. Pasalnya, negara Islam harus memastikan umat dapat mengonsumsi makanan yang halal dan tayib sesuai dengan firman Allah Swt. yang artinya, "Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah: 168)

Pemimpin di negara Islam, yakni khalifah akan memastikan produk makanan dan minuman yang beredar itu halal. Negara akan memberikan label makanan dan minuman yang haram untuk memudahkan umat dalam memilih dan mengonsumsi makanan tersebut. Artinya, makanan yang tidak berlabel berarti makanan halal dan layak untuk dikonsumsi.

Negara akan mengutus para qadi hisbah untuk mengawasi pasar-pasar, gudang pangan atau pabrik-pabrik, dan tempat pemotongan hewan. Para qadi juga mengawasi produksi dan distribusi pangan yang beredar.

Negara Islam juga akan menindak tegas siapa saja, baik pihak pengusaha atau pejabat (petugas) yang memberikan sertifikasi halal melakukan pungutan ilegal atau rasuah untuk meloloskan produknya dan dapat beredar di pasaran.

Khatimah

Terjaminnya sertifikasi halal makanan dan minuman hanya ada di sistem Islam, bukan di sistem kapitalisme saat ini. Oleh karena itu, umat Islam wajib memperjuangkan tegaknya sistem Islam ini. Dengan demikian, umat akan merasa aman dalam mengonsumsi produk pangan tanpa sedikit pun keraguan.
Wallahualam bissawab.[]

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tutik Haryanti Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Produk Tuak Bersertifikat Halal, Bahaya!
Next
Instal Al-Qur'an di Usia Balita
2 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

4 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Een Aenirahmah
Een Aenirahmah
1 month ago

Hanya dengan sistem Islam, kaum muslimin terjaga karena memiliki pemimpin yang berfungsi sebagai pelindung

Tami Faid
Tami Faid
1 month ago

Sangat penting menjamin label kehalalan dari sebuah produk

Tutik haryanti
Tutik haryanti
1 month ago
Reply to  Tami Faid

Benar Mb..bingung di sistem kapitalisme mah

trackback

[…] Baca: Sertifikasi Halal "Beer dan Wine" Diragukan, Mengapa? […]

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram