Demikianlah kisah kesederhanaan dan kezuhudan Ali bin Abi Thalib yang perlu dijadikan contoh. Semoga kita bisa belajar dan mengambil hikmah di dalamnya.
Oleh. Triana Depe
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Kehidupan para sahabat Rasulullah saw. menarik untuk dipelajari. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kisah mereka. Tak hanya cukup dipelajari saja, kisah para sahabat adalah contoh nyata bagaimana kita mengarungi kehidupan. Oleh karenanya, belajar dan mengambil ibrah dari kisah hidup mereka dapat menjadi bekal dalam menjalani kehidupan.
Ali bin Abi Thalib, nama yang tidak asing bagi kita. Seorang sahabat sekaligus menantu baginda Nabi Muhammad saw. Kisah cintanya dengan Fatimah az-Zahra mampu menciptakan romantisme dalam rumah tangga.
Fatimah dinikahkan dengan Ali oleh Rasulullah pada tahun ke-2 setelah hijrah. Ini terjadi setelah peristiwa Perang Badar. Mahar yang diberikan kepada Fatimah pada saat menikah adalah baju besi seharga 400 dirham. Baju besi itu adalah satu-satunya barang berharga yang dimiliki Ali.
Fatimah pada saat itu telah menjadi anak dari seorang kepala negara, sedangkan Ali bin Abi Thalib hanyalah seorang rakyat biasa. Ia bukan pejabat atau anak konglomerat.
Belajar dari Kerja Keras Ali bin Abi Thalib
Kehidupan Ali bin Abi Thalib bukan kehidupan yang bergelimang harta. Tidak seperti Abdurrahman bin Auf atau Utsman bin Affan. Kehidupan Ali bin Abi Thalib jauh berbeda dari kedua sahabat tersebut.
Pada saat walimah, Ali hanya bisa menyembelih seekor domba. Memang saat itu kaum muhajirin belum punya banyak harta. Kondisi waktu itu sahabat sedang dilanda masa sulit, sedangkan kaum Anshar memiliki banyak harta. Kaum Anshar secara sukarela membuatkan dan membawakan makanan untuk acara walimah Ali dan Fatimah tersebut.
Baca juga: terbanglah-wahai-anakku/
Meskipun menjadi menantu dari pemimpin besar yang disegani pada saat itu, bukan berarti Ali mendapatkan keistimewaan. Walaupun Ali dan Fatimah adalah dua orang kesayangan Rasulullah, mereka berdua tetap hidup zuhud dan sederhana. Bukan seperti gambaran pemimpin sekarang yang memberikan fasilitas mewah untuk anak dan menantunya. Bahkan memberikan jabatan untuk membangun dinasti kekuasaan.
Diriwayatkan dari Asy-Sya’bi, Ali pernah berkata bahwa pada saat menikah dengan putri Rasulullah, mereka hanya memiliki sebuah tikar. Tikar itu digunakan untuk alas makan di siang hari. Pada malam harinya, Ali dan Fatimah menggunakan tikar itu untuk tidur. Tidak ada pelayan yang membantu pekerjaan mereka.
Pernah suatu ketika, Ali merasa sangat lapar. Lantas beliau keluar untuk mencari pekerjaan demi bisa makan. Akhirnya Ali mendapati seorang wanita tua sedang memutar kincir airnya di kebun. Ali kemudian menawarkan membantunya dengan imbalan upah. Setelah pekerjaan menguras air selesai, wanita tadi memberikan imbalan sebiji kurma untuk setiap embernya.
Bisa dibayangkan betapa kerasnya usaha Ali bin Abi Thalib dalam mencari pekerjaan. Menguras air sebanyak enam belas ember dalam kondisi perut lapar. Sebuah aktivitas yang tidak mudah untuk dilakukan. Namun, Ali tetap menjalankannya meskipun pekerjaan itu sekilas dan tidak sebanding dengan upah yang diperolehnya.
Belajar dari Kesederhanaan
Begitulah gambaran Ali bin Abi Thalib, seorang menantu pemimpin besar yang tidak mau berpangku tangan. Ia berupaya semaksimal mungkin untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak menjadikan gelar sebagai menantu pemimpin negara untuk mendapatkan perlakuan istimewa demi memenuhi hajat duniawi. Tak peduli harus melakukan pekerjaan kasar sekalipun yang penting halal dan tidak melanggar syariat Allah Swt.
Kehidupan Ali dan Fatimah sangat jauh dari kata kemewahan. Suatu ketika, Ali menyampaikan kepada istrinya bahwa dia sering mengangkut air dan membuat dadanya sakit. Begitu juga dengan Fatimah yang merasakan tangannya menjadi keras akibat menumbuk gandum. Ali kemudian mengusulkan agar Fatimah meminta kepada Rasulullah satu tawanan Perang Badar untuk dijadikan pembantu di rumah mereka.
Sebenarnya mereka berdua merasa malu untuk meminta pembantu. Pada akhirnya Fatimah menyampaikan perihal ini kepada ayahnya. Tahukah apa yang kemudian disampaikan oleh Rasulullah? Rasulullah menolak permintaan Ali dan Fatimah untuk memberikan pembantu.
Rasulullah mendatangi rumah Fatimah setelah menolak permintaan anak dan menantunya. Alih-alih memberikan apa yang diinginkan dua orang kesayangannya, Rasulullah justru memberikan bacaan zikir selesai salat dan sebelum tidur. Rasulullah saw. sejatinya bisa saja memenuhi permintaan dari anak dan menantunya tersebut. Namun, Rasulullah lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi atau keluarganya.
Rasulullah mengajarkan kepada keduanya untuk selalu tawakal kepada Allah Swt. Dengan bacaan zikir yang beliau ajarkan, Rasulullah berharap kehidupan Ali dan Fatimah selalu dipenuhi dengan rasa syukur terhadap nikmat yang telah Allah berikan. Tidak silau dengan gemerlapnya dunia.
Khatimah
Siapa pun kita, saat mendapatkan amanah sebagai penguasa hendaknya bisa mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan diri sendiri ataupun kolega dan keluarga. Jangan menggunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang apalagi mempergunakan kekuasaan demi memenuhi ambisi dan syahwat pribadi.
Kekuasaan sejatinya adalah amanah yang kelak akan diminta pertanggungjawaban. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan, “Setiap kalian adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” Oleh karena itu, bijaksanalah dalam menggunakan kekuasaan tersebut.
Demikianlah kisah kesederhanaan dan kezuhudan dari Ali bin Abi Thalib yang perlu dijadikan contoh. Semoga kita bisa belajar dan mengambil hikmah di dalamnya.
Wallahualam bissawab.[]
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
Masyaallah, sudah selayaknya seorang pemimpin lebih mengutamakan kepentingan rakyat. Barakallah mba @Triana