
Ijazah merupakan pengakuan resmi bahwa seseorang telah menyelesaikan pendidikan tertentu. Alhasil, mendapatkan ijazah menjadi tujuan saat menempuh pendidikan.
Oleh. Siska Juliana
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Nasib ribuan siswa SMP di Makassar sedang dipertaruhkan. Sebanyak 1.323 siswa SMP negeri yang tersebar di 16 sekolah terancam tidak bisa mendapat ijazah. Hal itu disebabkan para murid tidak terdaftar dalam data pokok pendidikan (Dapodik).
Berdasarkan keterangan Pelaksana Harian (Plh) Kepala Dinas Pendidikan Makassar Nielma Palamba menyatakan alasan ribuan siswa tidak terdaftar dalam Dapodik akibat penerimaan siswa tahun 2024 jalur solusi yang melebihi kapasitas rombongan belajar (Rombel).
Pada umumnya, kapasitas maksimal 32 siswa per rombel. Akan tetapi, ada kelas yang sampai diisi 50 siswa seperti yang terjadi di SMP 6. Jalur solusi ini merupakan langkah pemerintah agar anak-anak yang tidak diterima pada sekolah sebelumnya atau sekolah favorit diberikan kesempatan untuk tetap melanjutkan pendidikan. Pada faktanya, jalur ini menimbulkan ketidakseimbangan kapasitas. Sekolah favorit over kapasitas, sedangkan sekolah yang lain kekurangan siswa.
Hal ini sudah terjadi selama dua tahun, tapi tahun 2024 semakin parah karena jumlah siswa yang tidak terdaftar di Dapodik terus melonjak. Permasalahan ini juga terjadi di daerah lain, hanya saja koordinasi dilakukan cepat dengan pemerintah pusat. Sebaliknya di Makassar, belum dilaporkan ke wali kota meskipun konsultasi telah dilakukan.
Solusi atas permasalahan ini adalah siswa yang belum terdaftar di Dapodik harus segera didaftarkan sebelum 31 Januari 2025. Evaluasi dan identifikasi akan terus dilakukan, termasuk dalam PPDB yang berpeluang menimbulkan masalah. (cnnindonesia.com, 20-01-2025)
Pendidikan Tinggi
Kisruh mengenai ijazah juga terjadi pada ranah pendidikan tinggi. Pembatalan kelulusan dan penarikan ijazah dari 233 mahasiswa yang lulus antara 2018 dan 2023 terjadi di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Bandung.
Keputusan ini dilakukan setelah Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) menemukan adanya ketidaksesuaian data akademik antara catatan internal kampus dengan data yang ada di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti). Selain itu, ijazah yang diterbitkan tidak memiliki nomor identifikasi nasional (PIN), serta tidak adanya tes plagiasi untuk karya mahasiswa.
Temuan evaluasi juga menunjukkan adanya sejumlah pelanggaran administratif dan akademik. Temuan ini mencakup perkuliahan tanpa proses pembelajaran yang sah, pemberian nilai fiktif, manipulasi nilai, hingga penerbitan ijazah tanpa proses yang memadai.
Jelas saja hal ini membuat para alumni merasa dirugikan karena mereka telah menghabiskan waktu dan usaha selama bertahun-tahun untuk mendapatkan gelar tersebut. Mereka pun menolak kembali ke kampus untuk menyelesaikan masalah administrasi sebab itu merupakan tanggung jawab kampus.
Harapannya kampus mampu memberi solusi dan memulihkan nama baiknya. Mereka juga berharap kualitas pendidikan tinggi di Indonesia terus meningkat dan dapat dipercaya oleh masyarakat. (nawacitapost.com, 20-01-2025)
Pentingnya Ijazah
Ijazah merupakan pengakuan resmi bahwa seseorang telah menyelesaikan pendidikan tertentu. Alhasil, mendapatkan ijazah menjadi tujuan saat menempuh pendidikan. Dengan ijazah, setiap orang dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi ataupun untuk melamar pekerjaan.
Ijazah juga digunakan untuk menilai kecerdasan yang dimiliki seseorang, dilihat dari nilainya selama masa tempuh pendidikan. Dengan adanya berbagai permasalahan yang berkaitan dengan penarikan serta ancaman tidak mendapatkan ijazah, menunjukkan bahwa ada yang salah dengan sistem pendidikan di negeri ini.
Baca juga: Kala Lulus Tak Berjalan Mulus
Kapitalisasi Pendidikan
Adanya berbagai kasus di dunia pendidikan mulai dari jual beli kursi agar tetap diterima di sekolah favorit hingga manipulasi nilai yang terjadi membuktikan kentalnya kapitalisasi di dunia pendidikan Indonesia. Praktik ini terjadi karena adanya permintaan dan penawaran.
Di satu sisi, ada individu yang ingin mendapat pendidikan dengan fasilitas terbaik. Di sisi lain, ada oknum yang ingin meraup cuan besar secara instan. Permintaan dan penawaran ini menjelma menjadi bisnis di dunia pendidikan.
Kondisi ini terwujud dalam sistem kapitalisme yang mendewakan materi. Keuntungan materi merupakan tujuan utama sehingga segala cara ditempuh untuk menggapainya. Tidak peduli jalan halal atau haram sebab agama tidak dijadikan panduan, malah dimarginalkan.
Kapitalisasi pendidikan juga berdampak pada mahalnya biaya pendidikan. Selain itu, kapitalisasi ini mengubah tujuan pendidikan menjadi materialistis. Tujuan bersekolah atau kuliah hanya sekadar untuk mendapatkan pekerjaan dan sukses secara finansial. Sedangkan tujuan luhur berupa mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan individu bertakwa terhenti hanya sebatas slogan. Akhirnya, kapitalisasi pendidikan menghasilkan lulusan berupa generasi serba boleh (permisif).
Sistem pendidikan sekuler gagal mewujudkan generasi harapan. Mereka menjadi generasi yang krisis identitas dan minus akhlak. Boleh jadi generasi ini berprestasi dalam akademik, tetapi mereka juga menjadi generasi individualis, kapitalistis, dan menuhankan materi.
Pandangan Islam
Sistem kapitalisme menumbuhsuburkan kapitalisasi pendidikan. Sebaliknya, Islam sangatlah berbeda. Islam menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan dasar manusia. Perhatian Islam terhadap pendidikan terbukti dalam ayat pertama surah Al-Alaq yang diwahyukan kepada Rasulullah.
Dalam banyak ayat lainnya, Allah memerintahkan manusia untuk mengkaji berbagai fenomena yang ada di alam melalui proses berpikir. Ilmu dianggap sebagai pelita yang menerangi kehidupan. Atas dasar ini, setiap muslim termasuk penguasa yang mengemban amanah memahami peran strategis pendidikan.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Meraih ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Ada dua tujuan pendidikan dalam Islam, yaitu:
Pertama, mendidik setiap muslim agar menguasai ilmu-ilmu agama yang memang wajib untuk dirinya (fardu ain) seperti ilmu akidah, fikih ibadah, dan lain-lain.
Kedua, mencetak pakar dalam bidang tsaqafah atau ilmu-ilmu agama yang dibutuhkan umat (fardu kifayah) seperti ahli fikih, hadis, tafsir, dan sebagainya.
Oleh karena itu, pendidikan dalam Islam adalah kewajiban sekaligus kebutuhan bagi umat. Pendidikan diwajibkan oleh syariat serta kebutuhan vital untuk menyelesaikan berbagai permasalahan kaum muslim, baik urusan agama maupun dunia. Dengan demikian, pendidikan dalam Islam bukan kebutuhan tersier atau kepentingan orang-orang kaya saja.
Negara berperan penting dalam menyelenggarakan sistem pendidikan yang unggul dan berkualitas.
Hal yang dilakukan antara lain:
Pertama, menerapkan sistem pendidikan yang berlandaskan akidah Islam. Perspektif masyarakat mengenai sekolah favorit akan berubah dengan diterapkannya pendidikan Islam. Dalam pandangan Islam, visi misi sekolah adalah membentuk kepribadian Islam, menguasai tsaqafah Islam, dan ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keterampilan).
Kedua, menyediakan infrastruktur dan fasilitas sekolah yang memadai.
Ketiga, menyediakan tenaga pengajar yang unggul dan profesional.
Sumber pembiayaan pendidikan sesuai dengan hukum syariat. Sumber ini bisa berasal dari sejumlah pihak yaitu warga secara mandiri, infak dan wakaf dari umat, serta pembiayaan dari negara.
Ijazah dalam Islam
Dalam sistem kapitalisme saat ini, untuk mendapatkan ijazah bukanlah suatu hal yang mudah dan singkat. Jika dihitung dari PAUD sampai lulus S1 diperlukan waktu 20 tahun. Dapatkah waktu yang lama itu membuat generasi memahami ilmu Islam dan membentuk kepribadian unggul?
Islam telah memberi teladan dalam mendidik generasi. Rasulullah saw. sudah diajari berdagang oleh pamannya di usia 12 tahun tanpa menghabiskan waktunya untuk mengejar ijazah SD/SMP. Pada usia belasan tahun, beliau sudah ahli berdagang. Kemudian beliau meminang Khadijah di usia 25 tahun dengan mahar 20 ekor unta atau setara Rp600 juta saat ini.
Imam Syafi’i dipercaya menjadi imam Masjidilharam sebelum beliau balig, tidak menunggu ijazah SMA. Muhammad Al-Fatih menjadi sultan sekaligus panglima perang yang menaklukkan Konstantinopel di usia 21 tahun, tidak menunggu ijazah S1.
Hal ini membuktikan bahwa pada masa Khilafah, anak-anak sudah meraih ilmu dunia dan akhirat pada usia belia.
Berbeda dengan sistem pendidikan sekuler yang bertahun-tahun bekerja keras pada berbagai cabang ilmu, mengejar ijazah yang hanya semu. Saat usia menua, tidak mempunyai dasar akidah. Generasi hanya menjadi roda penggerak ekonomi kapitalisme, menjadi pekerja yang terjerat utang riba, terjebak dalam gaya hidup hedonis yang menguras kantongnya. Sementara akal kosong dari akidah dan ilmu agama.
Khatimah
Rahasia keberhasilan pendidikan Islam karena dibangun atas dasar akidah Islam. Dengan demikian, jika kita ingin pendidikan berkualitas dan mencetak generasi terbaik, maka jawabannya hanya Islam yang diterapkan secara kaffah oleh Khilafah. Wallahu a’lam bishshawwab. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kasian kalau banyak siswa yang tidak punya ijasah karena mereka terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan dan kerja