
PPN naik adalah buah kebijakan pemimpin populis otoriter di mana pemerintah hanya mencukupkan diri dengan memberikan kompensasi kebijakan seperti bansos, tenggang waktu dalam pembayaran listrik, dll.
Oleh. Rini
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Tampaknya rakyat Indonesia akan menyambut tahun baru dengan perasaan yang kacau balau. Pasalnya, mulai tanggal 1 Januari 2025 pemerintah secara resmi akan memberlakukan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 1% dari tahun sebelumnya menjadi 12%. Kenaikan PPN ini sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kebijakan yang ditetapkan pada masa pemerintahan Jokowi ini memang akan dilaksanakan dengan dua tahap pelaksanaan kenaikan, yaitu 1 April 2022 (11%) dan 1 Januari 2025 (12%). UU HPP dibuat sebagai strategi konsolidasi fiskal guna perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak dengan tujuan utamanya untuk meningkatkan pertumbuhan dan pemulihan ekonomi yang lebih cepat.
Kenaikan PPN 12% ini akan berlaku untuk semua barang dan jasa yang biasa dibeli rakyat. Padahal, pada awalnya kenaikan ini bersifat selektif dan hanya ditujukan pada barang atau jasa terkategori mewah.(CNNIndonesia.com, 26-12-2024)
PPN Melemahkan Ketahanan Ekonomi Nasional
Kenaikan PPN 12% ini memunculkan banyak reaksi dari sejumlah kalangan (tokoh masyarakat, pakar ekonomi, ormas, dan partai politik). Karena sejatinya UU HPP ini berpotensi besar dalam menyengsarakan dan menzalimi semua rakyat. Bahkan, petisi penolakan kenaikan PPN hingga Senin, 23-12-2024 telah mencapai 171.532 orang yang menandatanganinya. Petisi ini pun telah sampai ke Istana Kepresidenan, Jakarta, tetapi belum mendapatkan tanggapan yang serius dari pemerintah.
Baca juga: Subsidi dan Bansos Obat Sakit Kenaikan PPN?
Dalam jangka pendek, kenaikan PPN 12% ini mungkin akan meningkatkan pendapatan negara. Namun, dampak keburukan yang sudah pasti didapatkan adalah melemahnya ketahanan ekonomi terutama ekonomi menengah ke bawah dan berdampak kepada ketahanan ekonomi nasional itu sendiri. Daya beli menurun, sedangkan UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional juga akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan margin keuntungan. Alih-alih meningkatkan, malah justru akan memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Naiknya PPN, Buah Kebijakan ala Kapitalisme Sekuler
PPN naik adalah buah kebijakan pemimpin populis otoriter di mana pemerintah hanya mencukupkan diri dengan memberikan kompensasi kebijakan seperti bansos, tenggang waktu dalam pembayaran listrik, dll. Padahal kebijakan itulah yang menjadi akar masalah kesengsaraan pada rakyat.
Pemimpin seperti ini lahir dari sistem demokrasi kapitalisme. Sekularisme yang menjadi dasarnya. Sistem ini menjadikan manusia lupa diri akan kekurangan, kelemahan, dan keterbatasannya sehingga dengan sadar melayakkan diri sebagai pembuat aturan bagi manusia lainnya. Meskipun sesungguhnya untuk membuat aturan untuk dirinya sendiri pun tidak mampu.
Lantas muncullah konsep ekonomi kapitalisme yang memberikan kebebasan kepemilikan harta bagi siapa saja yang mampu menguasainya. Penguasa pun memberikan jalan kepada oligarki untuk menguasai harta milik umum dengan dalih investasi.
Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang sangat besar, di antaranya pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perairan, dan pertambangan. Dengan sumber daya alam yang bervariasi dan melimpah ini tanpa dilandasi keimanan dan ilmu yang cukup sebagai pemimpin, maka berpeluang terjadi kesalahan dalam mengelola. Dengan melegalkan dan mengomersilkan ke pihak swasta (pemilik modal), maka negara tidak mempunyai sumber pemasukan lagi kecuali dari utang dan pajak.
Konsekuensi dari penerapan sistem demokrasi kapitalisme melahirkan corak pemimpin yang populis otoriter. Aturan yang dibuatnya pun akan banyak menghasilkan kemudaratan bagi semua rakyat.
Syariat Islam Tatanan Kehidupan
Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin memberikan pedoman yang khas dalam menyelesaikan setiap permasalahan manusia termasuk masalah pajak. Dalam Islam, Allah Swt. tidak sekadar diyakini sebagai Pencipta saja. Namun, juga diyakini sebagai Pengatur segala urusan. Aturan bernegara, berpolitik, kehidupan sosial, pendidikan, serta pendapatan dan pengeluaran negara, dll. telah diatur dalam tatanan syariat.
Posisi pemimpin dalam Islam adalah pengurus dan pelindung bagi rakyatnya. Di pundaknya terdapat tanggung jawab yang besar dalam mengurusi dan menyejahterakan rakyat individu per individu. Keberadaannya juga sebagai perisai atau pelindung. Dorongan keimanan yang kuat membentuk kepribadian Islam. Pemimpin (khalifah) tidak akan membuat aturan yang menyengsarakan atau menzalimi rakyatnya. Sebagaimana nabi mencontohkan dalam sabdanya:
“Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)
Problem Ekonomi dalam Pandangan Islam
Dengan penerapan ekonomi Islam, terdapat mekanisme tentang konsep kepemilikan harta umum. Sumber daya alam yang telah disediakan oleh Allah Swt. berstatus harta milik umum. Ia akan dikelola dan didistribusikan secara merata sesuai dengan amanat dan kehendak Penciptanya. Inilah bentuk dari kepengurusan dan pelayanan sebagai seorang pemimpin.
Negara pun tidak diberi kewenangan untuk mengambil manfaat dari pengelolaan tersebut meskipun hanya sedikit. Dari semua hasil yang didapat dari pengelolaan sumber daya alam tersebut masuk baitulmal dalam pos kepemilikan umum. Walhasil, sumber pendapatan negara dalam Islam sangat banyak dan bervariasi.
Pajak dalam Islam bukan pendapatan utama negara meskipun dibolehkan bagi Khalifah memungutnya sebagai bentuk ketaatan dalam menjalankan perintah Allah Swt. Namun, mekanismenya pun tidak boleh menyalahi aturan Allah Swt., yakni hanya dalam kondisi yang darurat saja ketika harta di baitulmal kosong atau tidak cukup dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya. Pemungutannya pun hanya dibebankan kepada orang muslim yang kaya saja bentuk ketaatan kepada Allah Swt., Rasul saw. dan ulil amri. Artinya pemungutan itu akan berhenti manakala masalah itu telah terselesaikan.
Di antara masalah yang bisa diatasi ketika baitulmal kosong dan mendesak untuk diselesaikan, misalnya biaya fakir, miskin, ibnu sabil, pelaksanaan terhadap kewajiban jihad, kesehatan, pendidikan, gaji para pegawai negara, dll.
Bersumber dari syariat Islam yang mulia dan dilaksanakan oleh para pemimpin (khalifah) dengan profil Islam yaitu berkepribadian Islam, bertakwa, welas asih, dan tidak antipati kepada rakyat di bawah naungan Khilafah Islamiah akan mengantarkan kepada kesejahteraan dan keberkahan. Tidakkah kita merindukannya? Wallahualam bissawab.[]
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
