
Alih-alih menjawab masalah akses pendidikan di Indonesia yang belum berkeadilan, pemerintah justru memilih solusi instan yang kental dengan unsur pencitraan. Alhasil, wacana pembangunan sekolah rakyat justru menimbulkan pro kontra oleh sejumlah pengamat pendidikan.
Oleh. Muthiah Al Fath
(Konributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Dalam pembukaan UUD 1945, pendidikan merupakan hak fundamental bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, realitasnya akses pendidikan berkualitas masih menjadi PR besar bagi negeri ini. Wacana realisasi sekolah rakyat pun digagas oleh Kementerian Sosial sebagai salah satu solusi untuk menjawab tantangan pendidikan bagi kelompok rentan.
Dilansir dari mediaindonesia.com (8-1-2025), atas perintah Presiden Prabowo, Menteri Sosial RI Saifullah Yusuf mengajak kerja sama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Abdul Mu’ti) untuk membantu merealisasikan rencana sekolah rakyat. Menurut Saifullah, pembentukan sekolah rakyat bertujuan memutus mata rantai kemiskinan dengan membantu pelajar tidak mampu untuk mengenyam pendidikan. Rencananya, sekolah rakyat akan dibentuk menyerupai boarding school (sekolah asrama) agar pelajar yang masuk kelompok miskin ekstrem dapat bersekolah secara gratis, berkualitas, dan mendapat asupan gizi.
Pertanyaannya, apakah pembangunan sekolah rakyat dapat menjadi solusi substantif untuk memperkuat SDM di negeri ini? Atau apakah justru hanya menjadi salah satu kebijakan populis yang tidak mampu menjawab kompleksitas akar persoalan pendidikan di negeri ini?
Menakar Urgensi Sekolah Rakyat
Dalam tataran teoretis, niat mulia Presiden Prabowo membangun sekolah rakyat untuk menghapus kemiskinan adalah rencana yang patut dipuji. Sepintas rencana ini memang tampak bagus. Namun, jika salah langkah justru berpotensi meningkatkan kesenjangan dan diskriminasi pendidikan atau menimbulkan tendensi sekolah berkasta. Dikhawatirkan akan lahir istilah sekolah khusus rakyat miskin dan sekolah khusus keluarga kaya (kaum elite dan bangsawan).
Pada akhirnya, pendidikan yang seharusnya mengakomodasi semua lapisan masyarakat justru kental dengan aroma kolonial. Di mana pendidikan dan kehidupan amat diskriminatif dan terkotak-kotak berdasarkan strata sosial. Alhasil, adanya sekolah rakyat justru semakin memperburuk kesenjangan akses pendidikan yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sekolah Rakyat Perlu Pengkajian Ulang
Meski berpotensi baik, wacana pembangunan sekolah rakyat perlu pengkajian ulang. Daripada membangun sekolah rakyat, bukankah lebih baik jika pemerintah mengelola sekolah negeri berfungsi dan mampu menampung seluruh anak Indonesia? Bukankah seluruh anak Indonesia berhak memperoleh pendidikan, tanpa memandang kaya atau miskin?
Membangun sekolah rakyat memang terlihat pro rakyat (populis), tetapi tidak menyentuh akar masalah pendidikan di negeri ini. Jangan sampai adanya sekolah rakyat hanya menguntungkan pemilik perusahaan dan LSM untuk memperoleh tenaga kerja yang terdidik yang berbiaya murah. Pelajar dari keluarga miskin ini nantinya diberdayakan melalui program pendidikan sekolah rakyat.
Membangun sekolah rakyat tentu akan menelan anggaran besar, terutama untuk pembangunan gedung, penyediaan infrastruktur, dan kebutuhan tenaga pengajar. Jangan sampai pemerintah kebelet membangun sekolah baru, tetapi tidak mengkaji ulang terkait besaran anggaran yang dibutuhkan. Bukankah pembiayaan sebuah program besar menjadi isu krusial yang tidak bisa disepelekan karena menyangkut beban APBN nantinya. Jangan sampai 20 persen alokasi pendidikan belum optimal dan justru menimbulkan permasalahan baru dalam jangka panjang.
Apalagi dunia pendidikan kita masih menghadapi berbagai permasalahan serius. Mulai dari kurangnya anggaran, keterbatasan infrastruktur, rendahnya kualitas tenaga pendidik, dan lebarnya kesenjangan akses antara daerah pedesaan dan perkotaan.
Semua itu diperparah dengan maraknya praktik korupsi pada sektor pendidikan. Dalam sebuah kajian kasus korupsi berdasarkan sektor, ICW menyebutkan bahwa korupsi pada sektor pendidikan masuk dalam lima besar di Indonesia (2016—2021). ICW mencatat sebanyak 240 kasus korupsi dan 86 persen pelakunya justru lulusan perguruan tinggi, bahkan sebagian besar bergelar master.
Paradigma Kapitalisme
Sistem pendidikan dalam paradigma kapitalisme memang begitu eksklusif dan dibeda-bedakan berdasarkan strata sosial. Bagaimana tidak, kapitalisme memandang pendidikan sebagai ladang bisnis yang berbiaya mahal. Adapun gratis atau murah biasanya dengan fasilitas seadanya, sedangkan sekolah mahal identik lebih unggul yang dikhususkan bagi kaum elite.
Pendidikan berkasta sebenarnya telah ada sejak era penjajahan. Kapitalisme adalah sistem pemerintahan warisan penjajah yang memang meniscayakan kesenjangan sosial antara miskin dan kaya. Bahkan hampir di semua lini kehidupan, tak terkecuali pendidikan. Alih-alih menjawab masalah akses pendidikan di Indonesia yang belum berkeadilan, pemerintah justru memilih solusi instan yang kental dengan unsur pencitraan. Alhasil, wacana pembangunan sekolah rakyat justru menimbulkan pro kontra oleh sejumlah pengamat pendidikan.
Sistem sekuler kapitalisme berasal dari akal manusia yang serba terbatas sering kali menghasilkan kebijakan problematik. Peran negara sangat minim dalam melakukan pemenuhan kebutuhan dan pelayanan kepada rakyat. Semua ini akibat tidak adanya konsep bahwa kepala negara adalah raa’in (pelayan urusan umat).
Pendidikan dalam Islam
Orientasi pendidikan dalam Islam bersumber dari hukum syarak. Di mana pendidikan adalah hak semua individu dan negara wajib menyelenggarakan pendidikan berdasarkan kebutuhan manusia.
Dalam riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda, ”Seorang imam (kepala negara/khalifah) adalah pengatur urusan umat/rakyat dan ia dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya”.
Oleh sebab itu, negara Khilafah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh warga negara secara gratis dan berkualitas. Bahkan negara wajib menyediakan dan memberi kesempatan bagi setiap warga negara yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Untuk itu, negara sudah selayaknya menyediakan laboratorium, perpustakaan, dan sarana ilmu pengetahuan lain yang representatif (selain gedung sekolah) agar lahir generasi mujtahid, saintis, teknokrat, dan ilmuan yang berkepribadian Islam. Sebab baik pendidikan umum maupun pendidikan agama harus berbasis akidah Islam di bawah satu kementerian. Wallahu a’lam bishawwab. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
