
Bebas korupsi hanya bisa diraih saat kembali ke Islam sebagai satu-satunya ideologi yang mendapat rida dari Allah Swt.
Oleh. Ni’mah Fadeli
Kontributor NarasiLiterasi.Id
NarasiLiterasi.Id-Tiada hari tanpa berita korupsi. Miris, tetapi itulah yang terjadi. Dari mulai korupsi kelas teri yang hanya menjadi bisik-bisik di antara tetangga hingga korupsi kelas kakap yang nilainya hampir tak dapat dijangkau logika. Seringnya kasus yang terjadi hingga membuat masyarakat tidak lagi kaget dengan segala berita terkait korupsi.
Kabarnya korupsi memiliki peluang besar terjadi di negara berkembang. Hal ini sebagaimana diungkap oleh Presiden Prabowo Subianto sehingga beliau akan bekerja keras agar pemerintah yang sekarang tengah dipimpinnya bebas dari korupsi. Menurut presiden, pemerintah harus memberikan kebaikan maksimal untuk rakyat. Itu artinya pemerintah harus bebas dari korupsi.
Presiden juga menyebut akan memilih jalan kompromi dari sistem sosialisme dan kapitalisme. Sosialisme murni menurut presiden bersifat khayalan atau terlalu utopis sehingga menghilangkan motivasi rakyat untuk bekerja. Sementara kapitalisme murni jelas menghasilkan ketimpangan karena hanya sebagian kecil rakyat saja yang dapat menikmati kekayaan, yaitu para pemilik modal. (kumparan.com, 20-06-2025)
Korupsi dan Demokrasi adalah Dua Sejoli
Sosialisme dan kapitalisme dinilai sama-sama memiliki kekurangan sehingga jalan kompromi diambil pemerintah guna mengatasi korupsi. Namun, anehnya demokrasi sebagai tiang kapitalisme masih digunakan sebagai jalan pijakan pemerintah di negeri ini. Lantas bagaimana keinginan bebas korupsi tersebut dapat terwujud? Bukankah demokrasi justru adalah jalan legal untuk melakukan korupsi?
Semua orang pasti sepakat jika jalan untuk mendapatkan kursi jabatan dalam demokrasi tidaklah mudah. Perlu dana yang sangat besar agar dapat meraihnya. Namun, tetap saja peminat kursi empuk dalam jabatan demokrasi tak kunjung reda. Para calon pejabat pun berlomba-lomba melakukan segala cara demi bisa menikmatinya. Batasan halal dan haram menjadi semu bahkan hilang. Semua boleh dilakukan.
Ketika telah menjabat, seakan sudah menjadi normalisasi jika para pejabat sibuk memperkaya diri. Terkait jabatan yang diemban hanya sebatas pencitraan dalam mengurus rakyat dan negara saja. Pejabat dan pengusaha pun berkolaborasi. Mereka kompak dalam melanggengkan kekuasaan dan menambah pundi-pundi kekayaan.
Dalam demokrasi, berapa pun besarnya nominal gaji pejabat tidak pernah menghentikan adanya korupsi. Hal ini terjadi karena sifat tamak manusia yang makin terbentuk dalam sekularisme, dimana agama hanya dijadikan ritual dan terpisah dari kehidupan.
Bahkan ada istilah malaikat pun akan menjadi iblis jika masuk dalam demokrasi. Orang-orang baik sulit menjaga idealismenya ketika sudah mempunyai jabatan. Berapa banyak pejabat yang awalnya adalah aktivis pembela rakyat, tetapi ketika telah masuk dalam sistem negara yang salah menjadi berbalik arah seratus delapan puluh derajat. Naudzubillah min dzalik. Korupsi dan demokrasi memang ibarat dua sejoli yang saling mengiringi.
Baca juga: Korupsi di Negeri Muslim
Islam dan Korupsi
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْۤا اَمْوَا لَـكُمْ بَيْنَكُمْ بِا لْبَا طِلِ اِلَّاۤ اَنْ تَكُوْنَ تِجَا رَةً عَنْ تَرَا ضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْۤا اَنْـفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَا نَ بِكُمْ رَحِيْمًا
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu."
(QS. An-Nisa': 29)
Jika pemerintah mau berkompromi dengan sistem sosialisme dan kapitalisme, lantas mengapa tidak mencoba menggunakan sistem Islam? Al-Qur’an sebagai panduan sistem Islam telah jelas menyebut bahwa ada larangan memakan harta dengan jalan batil, entah itu suap menyuap, korupsi, dan seterusnya. Muslim yang taat tentu akan melakukan segala perintah Allah Swt. dengan semaksimal mungkin karena ingin meraih rida-Nya.
Namun, sekularisme yang telah mengakar dalam masyarakat menjadikan pemikiran bahwa agama harus terpisah jauh dari kehidupan. Islam pun tidak dipandang sebagai sebuah ideologi yang harus diterapkan. Islam hanya salah satu agama, seperti yang lain. Padahal telah jelas bahwa hanya Islam yang paling benar dan merupakan panduan hidup yang harus diterapkan agar manusia selamat dunia dan akhirat.
Bukankah sejarah telah membuktikan bahwa Islam pernah berjaya dan berhasil memberi kesejahteraan pada umat? Segala hal dalam sistem Islam memiliki pengaturan yang sempurna karena berasal langsung dari Sang Pencipta. Hukum telah ditetapkan maka manusia tinggal menjalankan, tanpa perlu bongkar pasang kebijakan hanya demi memuaskan hawa nafsu saja.
Akidah akan menancap kuat dan dijalankan dengan benar dalam sistem Islam yaitu Khilafah, bukan demokrasi. Pejabat tidak akan berebut kekuasaan dan jabatan karena menyadari beratnya hisab kelak di akhirat. Peluang korupsi menjadi sangat kecil jika semua pejabat memiliki akidah yang kuat. Khalifah sebagai pemimpin memiliki standar hukuman sesuai syariat. Hukuman bersifat dua, yaitu memberi efek jera sehingga dapat menjadi pencegah (zawajir) dan menghapus dosa sebagai sarana memperbaiki diri (jawabir) bagi para koruptor.
Khatimah
Korupsi adalah masalah yang telah mengakar dan mustahil hilang jika demokrasi masih digunakan. Mimpi tercapainya kesejahteraan umat yang merata, pejabat bersih dari korupsi, maksimalnya kepengurusan negara tanpa pencitraan, dan keberkahan dirasakan di seluruh penjuru negeri tidak akan pernah terwujud dengan ideologi barat yang terbukti merusak. Kembali ke Islam sebagai satu-satunya ideologi yang mendapat rida dari Allah Swt. adalah jalan yang harus diperjuangkan untuk kemaslahatan seluruh umat, baik di dunia maupun di akhirat.
Wallahu a’lam bishawab. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
