Demokrasi telah menjadi topeng untuk menutupi agenda penjajahan. Upaya demokratisasi yang dilakukan AS di dunia ketiga sejatinya adalah upaya penjajahan untuk menguasai wilayah tersebut. Slogan 'suara rakyat suara Tuhan' hanyalah topeng untuk menutupi hakikat yang sebenarnya yaitu sekularisme.
Oleh. Ragil Rahayu S.E.
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Istilah 'dunia ketiga' sejak awal pencetusannya sudah menunjukkan adanya subordinasi negara-negara di dunia. Dunia pertama adalah negara-negara pendukung Amerika Serikat (AS) dan dunia kedua adalah pendukung Uni Soviet. Sedangkan dunia ketiga adalah sisanya. Dari istilah yang muncul saat era perang dingin ini, tampak perspektif berasal dari pihak dunia pertama, yaitu AS, sekaligus menunjukkan dominasinya.
Hal ini seperti dalam sebuah percakapan. Saya (orang pertama), kamu (orang kedua), dan dia (orang ketiga). Orang pertama dan kedua aktif bercakap-cakap, sedangkan orang ketiga pasif hanya sebagai objek yang dibicarakan. Hal ini menggambarkan realitas dunia ketiga dalam konstelasi dunia, yaitu sebagai negara-negara yang dijajah dan dieksploitasi oleh negara-negara dunia pertama dan kedua.
Sebenarnya, ada upaya pergerakan dari negara-negara dunia ketiga, yaitu dengan mengadakan beberapa konferensi internasional. Misalnya Konferensi Asia Afrika pada 1955 di Bandung, Konferensi Beograd pada 1961, dan beberapa konferensi lanjutan.
Sayangnya, ide awal gerakan ini sudah berasal dari Inggris yang lalu dibisikkan pada Nehru. Selanjutnya Uni Soviet, Cina, Inggris, dan AS berusaha memanfaatkan konferensi tersebut meski akhirnya Inggris kecewa karena konferensi mengeluarkan deklarasi kemerdekaan. Walhasil, arah politik dunia ketiga sangat disetir oleh negara-negara besar melalui agen-agennya.
Jika kita petakan, dunia ketiga terdiri dari beberapa bagian, yaitu Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Namun, negara-negara maju seperti Cina, Korea Selatan, Singapura, dan Jepang tidak termasuk di dalamnya. Walhasil, istilah 'dunia ketiga' lebih menggambarkan pada negara-negara berkembang alias miskin di tiga kawasan tersebut.
Terjajah
Pada era kolonialisme, dunia ketiga adalah negara-negara yang terjajah. Negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, Portugis, Spanyol, dan Belanda melakukan penjajahan di wilayah ini. Setelah itu terjadi dekolonisasi, yaitu gelombang kemerdekaan di negara-negara terjajah. Namun, ternyata dunia ketiga tetap terjajah dalam versi baru, yaitu neokolonialisme.
Setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1991, Amerika Serikat menjadi pihak yang melakukan neokolonialisme dengan menancapkan hegemoninya di dunia ketiga. AS melakukan penjajahan di bidang pemikiran, politik, ekonomi, dan budaya. Secara politik, senjata AS adalah demokrasi.
Demokratisasi Tanpa Kesejahteraan
Samuel P. Huntington menjelaskan di dalam bukunya, The Third Wave Democratization in the Late Twentieth Century bahwa gelombang ketiga demokratisasi terjadi menjelang keruntuhan Uni Soviet. Saat itu, AS mengekspor demokrasi ke dunia ketiga. Akhirnya demokrasi mengglobal dan mendominasi dunia.
Bukannya membawa kebaikan, demokrasi justru menambah duka dan lara dunia ketiga. Di Indonesia, demokrasi berganti-ganti wajah. Mulai dari demokrasi parlementer (1945-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965), demokrasi Pancasila (1965-1998) hingga demokrasi reformasi (1998-sekarang).
Mirisnya, pergantian orde justru terjadi melalui proses yang tidak demokratis. Orde Lama tumbang melalui momen G30S/PKI, sedangkan Orde Baru tumbang melalui momen reformasi. Kedua peristiwa tersebut menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Peristiwa 1998 bahkan menjadi satu kasus pelanggaran HAM berat yang tidak kunjung tuntas hingga hari ini. Padahal disinyalir ada peran negara besar yakni AS dalam dua peristiwa pergiliran kekuasaan tersebut.
Kini, setelah 78 tahun berada dalam sistem demokrasi, Indonesia kehilangan banyak hal. Kekayaan alamnya dikeruk oleh perusahaan-perusahaan swasta asing dan dilarikan ke luar negeri, hutannya digunduli hingga mengakibatkan bencana alam yang berkepanjangan, ekonominya timpang karena mayoritas sumber ekonomi dikuasai oleh segelintir kapitalis, dan politiknya dikuasai oleh para oligarki yang dengan kekuatan uang mampu membeli suara rakyat dengan harga murah.
Di sini lain, demokrasi Indonesia berjalan seiring dengan korupsi. Demokrasi yang berbiaya mahal menjadikan tingkat korupsi tinggi. Uang negara ditilap oleh para koruptor, sedangkan rakyat tenggelam dalam kemiskinan ekstrem. Kesejahteraan hanya menjadi angan-angan tanpa kenyataan. Tikus mati di lumbung padi menjadi pengibaratan yang pas untuk Indonesia. https://narasipost.com/challenge-np/08/2023/the-third-world-and-the-illusion-of-justice/
Padahal Indonesia merupakan negara yang dianggap paling demokratis di Asia Tenggara. Sedangkan kondisi negara-negara Asia Tenggara lainnya lebih parah. Mereka berdarah-darah menerapkan demokrasi, tetapi yang didapatkan hanyalah keterpurukan.
Kita lihat Myanmar yang terus berada dalam perseteruan berkepanjangan antara kubu Aung San Suu Kyi yang mendukung demokrasi dan junta militer yang diktator. Sementara itu, Amerika berusaha memancing di air keruh dengan mendukung kubu Aung San Suu Kyi. Di pihak lain, Rusia dan Cina mendukung junta militer. Jadilah Myanmar terus berada dalam kondisi perang saudara karena tarik ulur kepentingan negara-negara besar.
Mirisnya, demokrasi gagal memberi tempat tinggal yang aman bagi muslim Rohingya. Mereka diusir dari rumahnya, terpaksa lari demi menyelamatkan nyawa, naik perahu berdesak-desakan, berbulan-bulan terapung-apung di lautan tanpa bekal yang memadai, dan menunggu belas kasihan penduduk muslim yang mau menerima mereka. Sungguh menyedihkan.
Demokratisasi yang berdarah-darah juga terjadi di Filipina. Setelah pemerintahan diktator oleh Ferdinand Marcos pada era 1965-1986, kini sang putra, Bongbong Marcos berkuasa. Meski mengadakan pemilihan secara demokratis, pemerintahan Filipina diwarnai dengan kekerasan, kriminalisasi, pembunuhan, pemberangusan media dan oposisi, serta korupsi yang parah. Kini, saat putra sang diktator dinobatkan menjadi presiden, kekhawatiran terulangnya kediktatoran kian menguat.
Pembiaran terhadap Pemerintahan Diktator
Sementara itu, demokratisasi di Afrika jelas menunjukkan hipokrisi. Mesir dikuasai diktator Husni Mubarak selama 30 tahun dan baru turun setelah terjadi demonstrasi besar-besaran pada 2011. Setelah Husni Mubarak tumbang, seharusnya yang berkuasa adalah Muhammad Mursi yang memenangkan pemilu secara demokratis. Namun, ternyata Jenderal Abdul Fattah al-Sisi menggulingkan Mursi pada 2013 dan berkuasa hingga hari ini dengan restu Barat. Atas kediktatoran Husni Mubarak dan Sisi, Barat yang katanya paling demokratis ternyata bungkam seribu bahasa dan membiarkan kediktatoran itu merajalela.
Konflik berdarah juga mewarnai negara-negara Afrika yang lainnya. Misalnya Sudan yang tercabik menjadi dua negara yaitu Sudan dan Sudan Selatan pada 2011. Saat ini Sudan kembali dilanda perang saudara antara RSF dengan angkatan bersenjata Sudan. Tercatat 1.133 orang tewas akibat perang yang belum kunjung usai ini (CNN Indonesia, 23-7-2023). Mirisnya, perang saudara ini disebut sebagai bagian dari transisi Sudan menuju demokrasi.
Demikianlah, secara umum Afrika terus didera konflik bersenjata akibat penjajahan negara-negara. Konflik tersebut menyebabkan Afrika tenggelam dalam kubangan utang yang jumlahnya mencapai ratusan miliar dolar atau setara dengan 65 persen dari GDP benua ini (Abdul Qadim Zallum, Konsepsi Politik). Sudahlah miskin, berkonflik pula.
Menghalangi Kebangkitan Islam
Sementara itu, di Timur Tengah, AS menunjukkan standar gandanya. Sebagai penjaga demokrasi, AS justru menjalin hubungan baik dengan Arab Saudi meski pemerintahannya jauh dari nilai-nilai demokrasi. Hal ini karena AS sangat berkepentingan terhadap kekayaan Timur Tengah dan posisi strategisnya.
Di sisi lain, sebelum Arab Spring, AS mendukung rezim tiran yang berkuasa saat itu. Setelah Arab Spring, AS membajak revolusi tersebut demi membelokkan arah perjuangan umat Islam ke arah Islam moderat dan menghalangi kebangkitan Islam yang hakiki. AS mendorong demokratisasi di negara-negara Timur Tengah agar bisa menempatkan agennya pada posisi kekuasaan untuk kemudian mendapatkan dukungan dari umat. Barat juga mendorong diadopsinya undang-undang sekuler oleh rezim yang baru.
Pada saat yang sama, di wilayah yang bersikukuh memperjuangkan Islam seperti Suriah, Barat menggunakan kekuatan milisi dan makar politik untuk menghalangi tegaknya pemerintahan Islam. Para pemuda pejuang Islam yang ikhlas mengalami penangkapan, penculikan, penyiksaan, dan hukuman mati. Kelompok dakwah Islam juga dimonsterisasi dengan isu terorisme. https://narasipost.com/challenge-np/08/2023/ilusi-sejahtera-negara-negara-dunia-ketiga/
Suara mayoritas rakyat yang menginginkan Khilafah tidak dianggap sebagai suara Tuhan sebagaimana slogan vox populi vox dei yang digembar-gemborkan dalam demokrasi. Yang terjadi adalah justru suara rakyat itu dibungkam dengan laras senjata dan bom. Lebih perih lagi, hak hidup rakyat Palestina yang seharusnya dilindungi dalam demokrasi, ternyata dianggap tidak ada. Para tentara Yahudi dengan pongahnya menginjakkan sepatu najis mereka di Masjidilaqsa nan suci.
Akibat dari imperialisme Barat di Timur Tengah, jutaan rakyat menjadi korban. Mereka kehilangan rumah, kehilangan rasa aman, kelaparan sampai mati, tinggal di tenda pengungsian, dan sebagian terpaksa mengungsi ke negeri yang asing tanpa kejelasan nasib dan tempat tinggalnya.
Centang Perenang
Demikianlah keadaan umat Islam hari ini di bawah demokrasi, centang perenang seperti buih di lautan sebagaimana yang pernah Rasulullah saw. gambarkan. Hal ini karena demokrasi memang bukan sistem yang adil. Demokrasi didesain untuk menguntungkan bagi para penjajah saja. Sedangkan rakyat di negeri jajahan hanya menjadi korban. Tidak ada keadilan dalam demokrasi.
Demokrasi telah menjadi topeng untuk menutupi agenda penjajahan. Upaya demokratisasi yang dilakukan AS di dunia ketiga sejatinya adalah upaya penjajahan untuk menguasai wilayah tersebut. Slogan 'suara rakyat suara Tuhan' hanyalah topeng untuk menutupi hakikat yang sebenarnya yaitu sekularisme.
Ketika demokrasi dijajakan pada penduduk dunia ketiga yang mayoritas muslim, hakikatnya adalah upaya sekularisasi untuk menjauhkan umat dari Islam. Juga untuk mencegah tumbuhnya kesadaran pada diri umat bahwa sebenarnya mereka adalah umat yang satu. Umat yang disatukan oleh akidah islamiah dan syariat yang bersumber dari kitabullah. Persatuan dengan ikatan akidah Islam akan menjadikannya kuat.
Umat yang Hidup
Namun, satu hal yang pasti, meski didera oleh berbagai penjajahan, makar, dan serangan militer oleh musuh-musuh dari berbagai arah, umat Islam tidak mati. Kita, umat Islam, tetap hidup dan akan tetap hidup selama akidah Islam masih ada di dada kita. Al-Qur'an akan tetap menjadi pedoman hidup kita.
Revolusi Arab Spring menjadi bukti bahwa umat Islam masih hidup dan memperjuangkan agamanya. Revolusi ini tidak berhenti meski berbagai upaya pembajakan dan pembungkaman terjadi. Hingga hari ini, revolusi terus terjadi.
Kita di sini, di Indonesia, harus mengambil peran sebagai pemuda muslim yang memperjuangkan Islam. Langkah pertama adalah dengan meninggalkan demokrasi yang terbukti gagal dan menjadi alat penjajahan. Selanjutnya adalah menerapkan sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah yang akan mewujudkan keadilan dengan penerapan hukum-hukumnya yang berasal dari wahyu.
Wahai pemuda Islam, jadilah penolong agama Allah sebagaimana perintah dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, tolonglah (agama) Allah, (niscaya) Allah akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian." (QS. Muhammad: 7).
Wallahua'lam bi al-shawab. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
Alhamdulillah,, penjelasannya mudah dicerna. Jazakillah Mba Ragil
MasyaAllah tabarakallah ❤️
Masyaallah..
Mbak Ragil gaya bahasanya mudah dipahami..
tulisannya keren mbak.. barakallah
Masyaallah, keren mbak Ragil. Sampai kapan pun negara dunia ketiga akan dilanda nestapa karena berada di bawah bayang-bayang negara dunia pertama dan kedua.
Di mana-mana demokrasi memang menorehkan lara nggih Mbak.
Bismillah siap menjadi bagian pemuda yang mengambil bagian dalam perjuangan Islam
Barakallah mba Ragil. Memang bener demokrasi membawa lara dan derita. Sudah saatnya Khilafah memimpin dunia. Bissmillah semoga kita semua istiqomah di jalan dakwah Islam Kaffah. Aamiin.
Barokallohu, mba. Ulasan cerdas yang menjelaskan topeng demokrasi. Semoga makin banyak yang menyadari. Bacaan ini harus dishare
[…] Perlu dipahami bahwa konstelasi politik global, sangat mudah berubah sesuai kepentingan negara dunia pertama. Pun dengan istilah negara dunia ketiga sebenarnya tidak ada yang baku. Diawali dari peristiwa perang dingin, muncul istilah dunia ketiga untuk menyebut negara-negara yang tidak memihak dengan NATO atau blok komunis. Di mana negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Korea Selatan, Eropa Barat, dan sekutunya mewakili dunia pertama, sedangkan Uni Soviet, Tiongkok, Kuba, dan sekutunya mewakili dunia kedua.https://narasipost.com/challenge-np/08/2023/lara-dunia-ketiga-di-bawah-demokrasi/ […]
[…] https://narasipost.com/challenge-np/08/2023/lara-dunia-ketiga-di-bawah-demokrasi/ […]
Analogi yang bagus, Ustazah.
Tentang pelabelan negara kesatu hingga ketiga dalam sebuah percakapan. Saya (orang pertama), kamu (orang kedua), dan dia (orang ketiga).