Pajak Berlaku untuk Selamanya, Gak Bahaya?

Selain menjadi sumber penopang APBN, pajak dalam sistem kapitalisme juga disinyalir sebagai jalan untuk memalak uang pada rakyat. Ketika keuangan terguncang, negara akan berusaha untuk mengotak-atik kebijakan pajak agar jumlah pemasukannya semakin tinggi.

Oleh. Ananda, S.T.P.
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Pajak adalah istilah yang tidak asing didengar telinga kita. Beli pulsa kena pajak, terima gaji bulanan dipotong pajak, beli obat satu butir pun juga masih ditambah tarikan pajak. Rasa-rasanya kalau ada hal yang tidak ditarik pajak seakan-akan menjadi sebuah keanehan. Hampir semua lini dalam kehidupan kita berhubungan dengan perpajakan. 

Pertumbuhan Pajak yang Subur di Indonesia

Dalam penerapannya selama ini, kebijakan pajak mengalami banyak perubahan. Bukan mengganti satu kebijakan dengan kebijakan yang lain. Namun, yang terjadi adalah semakin banyaknya kebijakan penarikan pajak pada berbagai macam sektor. Sebelumnya di tahun 2022, pemerintah “mengetok” beberapa kebijakan pajak seperti menjadikan NIK (Nomor Induk Kependudukan) sebagai NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan kenaikan pada Pajak Bumi Bangunan (PBB). Terbaru, dilansir dari Investor (28/12/2022) pada tahun 2023 pemerintah telah mengesahkan kebijakan untuk tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang berlaku mulai 1 Januari 2023. Dalam aturan ini, penghasilan seseorang dan tarif pajak yang dibayarkan bersifat progresif. Artinya, semakin besar penghasilan wajib pajak, maka pajak yang dikenakan juga akan semakin besar. 

Kebijakan pajak yang baru ini memuat lima tingkatan yaitu seseorang yang memiliki penghasilan mencapai Rp60 juta akan terkena tarif PPh 5%, Rp60 juta—Rp250 juta (15%), Rp250 juta—Rp500 juta (25%), Rp500 juta—Rp5 miliar (30%) dan di atas Rp5 miliar (35%). Bagi orang yang memiliki penghasilan tinggi seperti para pejabat dan pemilik perusahaan, keberadaan pajak mungkin tidak seberapa menjadi persoalan. Namun, bagaimana dengan rakyat yang pengasilannya pas-pasan?

Misalnya, bagi pegawai yang digaji 5 Juta setiap bulannya. Ternyata, mereka juga menjadi wajib pajak PPh. Jika mengikuti aturan tersebut, seseorang yang memiliki gaji 5 Juta, dalam setiap tahunnya terkena PPh sebesar Rp300 ribu/ Rp25 ribu per bulannya. Dalam kehidupan saat ini tanpa dipotong PPh pun, seseorang yang bergaji 5 Juta belum cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Bagaimana tidak? Pembayaran air dan listrik, iuran BPJS, pembayaran sejumlah fasilitas umum (seperti kesehatan dan pendidikan), semua itu tidak sebanding dengan gaji yang mereka terima. Terkadang harga kebutuhan pokok juga melambung tinggi secara tiba-tiba, tentu hal ini akan mempersulit kehidupan. Pegawai bergaji 5 juta rupiah saja belum mampu mencukupi kebutuhannya, apalagi rakyat yang gajinya hanya ratusan ribu per bulannya? Memang mereka tidak menjadi wajib pajak PPh, namun  dalam hal lain seperti kebutuhan rumah tangga dan fasilitas umum, mereka juga terkena pajak yang sama seperti orang bergaji 5 juta rupiah. 

Pajak oleh dan untuk Rakyat, Benarkah?

Meskipun demikian, pemerintah tetap mengeklaim bahwa pengaturan besaran pajak pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan penghasilan negara (APBN). Sri Mulyani, selaku Menteri Keuangan mengatakan pajak memiliki prinsip oleh dan untuk rakyat. Pajak yang dibayarkan oleh rakyat akan digunakan untuk membiayai berbagai subsidi seperti listrik, BBM Pertalite dan LPG 3 kg. Namun, jika melihat fakta yang terjadi rakyat sebenarnya tidak merasakan sepenuhnya kebermanfaatan pajak. Karena semua hal yang diklaim mendapatkan subsidi pajak pada kenyataannya tetaplah mahal. Akses fasilitas umum seperti kereta api, jalan tol ataupun sekolah, semuanya juga masih berbiaya mahal. Terlebih lagi jalan tol, sudahlah tarifnya mahal, keberadaannya pun jarang dinikmati warga dari kalangan biasa. 

Bukan hanya memberikan klaim yang berbeda dengan fakta yang terjadi, pemerintah melalui Sri Mulyani bahkan juga sempat mengancam akan menaikkan harga BBM tiga kali lipat, apabila masyarakat tidak mau membayarkan pajak yang sudah menjadi kewajibannya. Begitu teganya mereka, tanpa dinaikkan saja rakyat seakan “merangkak” dalam memenuhi kebutuhan, lalu bagaimana jika tarikan pajaknya dinaikkan?

Fakta yang memilukan ternyata tidak berhenti sampai di sana. Belum sempat sembuh, luka rakyat akibat kebijakan pajak terbaru, rakyat dibuat semakin geram dengan perbuatan yang dilakukan para pejabat pemerintahan. Terdapat pemberitaan terkait keluarga Dirjen Pajak yang suka memamerkan kekayaannya di media sosial. Setelah diusut, selama ini ada aliran harta mencurigakan yang terus bermuara ke kantong pribadinya. Kasus semacam ini bukanlah kasus yang pertama, sebelumnya sudah ada kasus-kasus yang serupa. Terdapat banyak pejabat yang memiliki harta yang tidak sesuai dengan gaji yang ia terima. Sungguh sangat miris, di saat rakyat kesusahan, mereka malah asyik menghambur-hamburkan kekayaan. “Lempar batu sembunyi tangan” adalah peribahasa yang dapat menggambarkan bagaimana perilaku para pejabat ini. Mereka menuntut rakyat untuk taat pajak, tetapi mereka sendiri malah membalasnya dengan perilaku hedonis dengan menggunakan uang pajak. Tidakkah mereka malu? Kekayaan yang mereka pamerkan itu sebenarnya adalah hak rakyat? 

Sampai Kapan Rakyat Dibelenggu Pajak?

Melalui beberapa fakta di atas, perlu untuk dipertanyakan, sampai kapan rakyat harus menderita seperti ini? Mirisnya, jawaban yang ada adalah selamanya. Selamanya rakyat akan bergelut dengan pajak. Jika ditinjau dari segi ekonomi dan politik, penarikan pajak yang membelenggu pada seluruh lapisan masyarakat, pejabat yang gila harta adalah sebuah hal yang wajar. Kata “wajar” disini bukan wajar dalam arti dalam arti yang bebas, namun wajar jika berada dalam kehidupan yang berada dalam naungan sistem kapitalisme. Standar kesuksesan dan kebahagiaan dalam alam kapitalisme adalah mendapatkan materi (uang) sebanyak-banyaknya. Kapitalisme juga menjadikan pajak sebagai sumber cuan andalan dan seterusnya akan tetap menjadi andalan. Kalau bisa, setiap tahun harus ada target peningkatan. Dalam sistem ini, pajak akan berlaku selamanya. Bahkan wajib pajak dan objek pajak diharapkan semakin luas, sehingga tidak ada satu celah pun yang lolos dari tarikan pajak. 

Selain menjadi sumber penopang APBN, pajak dalam sistem kapitalisme juga disinyalir sebagai jalan untuk memalak uang pada rakyat. Ketika keuangan terguncang, negara akan berusaha untuk mengotak-atik kebijakan pajak agar jumlah pemasukannya semakin tinggi. Penarikan pajak menjadi cara paling cepat dan mudah untuk mendapatkan pasokan dana untuk APBN, karena tinggal “memungut” saja dari rakyat. Rakyat pun nantinya tidak akan mampu berkutik karena terdapat aturan yang sangat ketat. Jika menolak maka rakyat akan dikenakan sanksi. Rakyat pun menjadi serba salah. “Bayar pajak bikin kantong menipis, tak membayar pajak diberi hukuman yang bikin menangis”. Inilah ciri khas dari sistem kapitalisme. Di saat rakyat kesusahan, tetap saja rakyat harus menjadi korban. 

Negara Hidup Tanpa Adanya Pajak, Why Not?

Membiarkan kehidupan dalam sistem kapitalisme akan membuat rakyat sulit mendapatkan kesejahteraan. Diperlukan solusi yang tidak hanya sekadar tambal sulam tetapi solusi yang mampu menyelesaikan masalah secara komprehensif. Solusi tersebut hanya ada pada Islam. Islam bukanlah agama yang hanya mengatur soal ibadah ritual tetapi Islam adalah agama yang mengatur semua lini kehidupan manusia. Dari bangun tidur sampai bangun negara semua ada peraturannya. Dalam Islam, pajak disebut dengan dharibah. Tata kelola dharibah dalam Islam sangat berbeda dengan pajak yang ada pada alam kapitalisme. Dalam negara yang menerapkan sistem Islam, dharibah tidak dijadikan sebagai sumber pendapatan negara (baitulmal) dan tidak dibebankan kepada seluruh lapisan masyarakat. Hanya rakyat kaya yang akan dipungut dharibah. Hal ini dikarenakan dalam Islam memungut pajak tanpa hak termasuk dalam perbuatan yang haram. Rasulullah saw. pun pernah bersabda “Sesungguhnya pemungut pajak (diazab) di neraka”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Dharibah dalam Islam juga tidak dipungut setiap waktu, hanya saat negara membutuhkan dana yang mendesak saja seperti saat terjadi bencana atau saat terjadi wabah. Ketika keadaan mulai normal dan kas negara terisi kembali maka nantinya pemungutan dharibah juga akan dihentikan. Meskipun demikian, sangatlah jarang ditemukan kondisi baitulmal kosong. Hal ini dikarenakan baitulamal tidak bertumpu pada dharibah, namun memiliki sumber pemasukan lainnya dari anfal, ganimahfai, dan kharaj. Sumber pemasukan dharibah juga didapatkan dari hasil pengelolaan kepemilikan umum seperti Sumber Daya Alam (SDA) yang sepenuhnya dikelola oleh negara dan tidak diserahkan pada swasta. Selain itu, ada harta milik negara (bandara, stasiun, dsb.), rikazusyur, harta sitaan, harta orang yang murtad, khumus dll. Semua sumber pemasukan ini nantinya akan dikelola menggunakan syariat Islam. Dari sini pemasukan untuk baitulmal akan begitu melimpah dan hasilnya akan dapat dinikmati oleh rakyat. 

Disamping mengelola harta sesuai dengan syariat, apabila negara yang menerapkan sistem Islam maka rakyat akan terbiasa untuk menjadi individu dan masyarakat yang taat kepada Allah. Dalam Islam setidaknya terdapat tiga faktor yang dapat menjamin rakyat agar tidak terbelenggu dalam kemaksiatan. 

Pertama, adanya ketakwaan yang menancap pada setiap individunya. Penanaman akidah yang mendalam pada setiap orang akan menjadikannya sebagai individu yang kuat sekaligus individu yang senantiasa mawas diri terhadap apa yang ia lakukan. Ia akan selalu merasa diawasi oleh Allah. Tidak akan ada pejabat yang berorientasi pada materi, virus korupsi pun akan bisa teratasi. Para pejabat akan menjalankan amanahnya dengan sungguh-sungguh, karena mereka sadar bahwa amanah yang mereka emban nantinya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah taala. 

Kedua, adanya kontrol penuh pada masyarakat. Budaya amar makruf nahi mungkar akan selalu digaungkan dalam masyarakat sehingga dapat menutup segala pintu kemaksiatan. 

Ketiga, adanya penerapan Islam secara (keseluruhan) oleh negara yang nantinya akan mampu untuk meminimalisasi berbagai kerusakan yang terjadi pada masyarakat, bukan hanya soal ekonomi namun dalam semua aspek kehidupan.

Hal ini seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab r.a. Saat menjabat sebagai kepala negara, beliau r.a. rela hidup sesuai dengan tingkat kesejahteraan rakyatnya. Di saat rakyatnya hanya bisa memakan roti dan minyak zaitun, maka beliau pun akan mengonsumsi hal yang sama agar dapat merasakan kesusahan rakyat. Kehidupan beliau r.a. juga sangat jauh dari kata mewah. Meskipun beliau menjabat sebagai pemimpin dan kepala negara, pakaian yang beliau r.a. gunakan pun penuh dengan kain tambalan dan tempat tidurnya pun beralaskan tikar saja. Bukan hanya memperhatikan rakyatnya, beliau r.a. juga ikut mengawasi para pejabat di bawahnya. Harta setiap pejabat dihitung sebelum dan setelah mereka menjabat. Jika terdapat hal yang janggal, maka mereka diminta melakukan pembuktian terbalik. Jika tidak berhasil maka harta mereka akan disita dan dimasukkan dalam baitulmal.

Masyaallah sungguh luar biasa aturan Islam dalam mengatur kehidupan manusia. Dengan penerapan Islam secara kaffah maka mulai dari level kepala negara sampai rakyatnya akan terkondisikan untuk selalu taat kepada-Nya. Sudah saatnya penguasa negara ini menengok solusi Islam yang mulia. Dengan penerapan Islam secara sempurna, kehidupan rakyat akan sejahtera, tidak akan terbebani pajak yang membuat sengsara. Dan yang lebih penting dari itu semua, rahmat dan rida Allah akan selalu tercurahkan pada seluruh alam semesta. Wallahua’alam bi shawwab []

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor Narasiliterasi.id
Ananda S.P.T Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Apa pun Posisimu, Melesatlah!
Next
Lorong Panjang Palestina Meraih Asa
4 5 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

9 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
R. Bilhaq
R. Bilhaq
1 year ago

Memalak rakyat dengan mengatasnamakan pajak... Pemangku jabatan di negeri ini harus dicerdaskan dengan ajaran Islam.. lihatlah, SDA melimpah ruah... malah diberikan pengelolaannya pada asing-seng.. kalau sudah begini cerdas apa cerdas?

Ananda Maulida Rizqi
Ananda Maulida Rizqi
1 year ago
Reply to  R. Bilhaq

Disaat pengelolaan SDA diberikan karpet merah pada asing aseng, disaat itulah jurang penderitaan rakyat semakin terbuka lebar

Dewi Kusuma
Dewi Kusuma
1 year ago

Hanya sistem pemerintahan dalam Islam yang tidak mengandalkan pajak sebagai pemasukan utama. Cerdas dalam berpikir hanya hanya aturan Allah yang akan menyejahterakan umat. Islam solusi tuntas segala permasalahan.

Ananda Maulida Rizqi
Ananda Maulida Rizqi
1 year ago
Reply to  Dewi Kusuma

Allahu Akbar, Islam the one and only way of life

sar tinah
sar tinah
1 year ago

Mimpi indah hidup tanpa pajak di negeri pajak sepertinya hanya ilusi ya. Tanpa pajak pun rakyat sudah sekarat karena biaya hidup sudah kian berat. Apalagi ditambah pajak ini dan itu, kian lengkaplah derita rakyat.

Ananda Maulida Rizqi
Ananda Maulida Rizqi
1 year ago
Reply to  sar tinah

Bayar pajak bikin kantong menipis, tak membayar pajak diberi hukuman yang bikin menangis

Nining Sarimanah
Nining Sarimanah
1 year ago

Pajak menjadi tumpuan pemasukan negara kapitalis. Maka, selama sistem ini tetap eksis di dunia, selama itu pula derita rakyat tak akan pernah berakhir. Mau solusinya? Ya, Islam saja diterapkan!

Ananda Maulida Rizqi
Ananda Maulida Rizqi
1 year ago

Betul ukh, ibarat kata sampe ke jurang pun rakyat tetap ditagih :"((

firda umayah
firda umayah
1 year ago

Ketika pajak jadi sumber utama negara maka hidup bebas tanpa pajak adalah mustahil. Beda sekali dengan sistem Islam yang menjadikan pajak hanya disaat genting saja. Itu pun tak semua rakyat terkena pajak.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram