Inilah makna merdeka yang sebenarnya yaitu ketika setiap individu bebas melaksanakan seluruh perintah Sang Khalik Al-Mudabbir (Sang Pencipta sekaligus Pengatur), tanpa dibayangi rasa takut kepada manusia.
Oleh. Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T.
(Kontributor Narasiliterasi.id, Dosen, dan Pemerhati Sosial)
Narasiliterasi.id -Masih ramai polemik terkait penyediaan alat kontrasepsi. Kini masyarakat dibuat geram atas aturan pakaian bagi anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) putri menjelang perayaan HUT RI ke-79 di IKN. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dianggap sebagai dalang kebijakan yang sangat irasional dan intoleransi ini. Bahkan banyak pihak menduga kuat adanya aroma islamofobia dalam tubuh BPIP. Apakah pertanda ini makin sekulernya memerintah di negeri ini?
Kepala BPIP Yudian Wahyudi menegaskan, sejak awal para anggota Paskibraka sudah menandatangani aturan yang berlaku dengan meterai Rp10.000. Aturan yang tertuang dalam Peraturan BPIP Nomor 3 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2022 tentang Program Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka). Aturan itu mengatur seragam beserta atributnya yang memiliki makna Bhinneka Tunggal Ika.
Lebih lanjut, Yudian menjelaskan bahwa Paskibraka putri harus mengenakan pakaian, atribut, dan sikap tampang sebagaimana terlihat pada saat pelaksanaan tugas kenegaraan. Menurutnya, pengukuhan Paskibraka adalah kesukarelaan mereka dalam rangka mematuhi peraturan yang ada dan hanya dilakukan pada saat pengukuhan Paskibraka dan pengibaran sang merah putih pada upacara kenegaraan saja.
Hal berbeda diungkapkan Ketua Umum Purna Paskibraka Indonesia (PPI) Gousta Feriza yang menyatakan penolakan penerapan aturan baru tersebut meski hingga saat ini belum jelas tentang kewajiban lepas hijab menjadi aturan baru bagi Paskibraka tahun ini. Seperti dilansir laman Tirto.id (14-8-2024).
Islamofobia Makin Marak
Apa yang diungkapkan Kepala BPIP di atas sungguh menarik. Perlu ditelisik lebih jauh makna kalimat, "mematuhi peraturan yang ada dan hanya dilakukan pada saat pengukuhan Paskibraka dan pengibaran sang merah putih pada upacara kenegaraan saja.” Dari sini terlihat sangat jelas, seolah aturan konstitusi negeri ini di atas aturan agama (Islam), jika tidak ingin dikatakan telah terjangkiti islamofobia.
Padahal, momen ini adalah momen perayaan Hari Kemerdekaan RI yang notabene setiap rakyat harus merasakan kemerdekaan dalam segala aspek. Termasuk dalam melaksanakan kewajiban sebagai hamba Allah Swt. Di mana dalam pandangan Islam, memakai kerudung adalah kewajiban bagi setiap muslimah yang sudah balig. Seyogianya, hal seperti ini sudah clear. Apatah lagi, negeri ini katanya menghormati keberagaman, termasuk keyakinan setiap individu untuk menjalankan aturan agamanya masing-masing.
Menjadi tanya juga di banyak kalangan. Tersebab BPIP yang jelas-jelas berideologi Pancasila, harusnya menjadi pihak yang terdepan dalam pelaksanaan sila kesatu Pancasila. Namun, nyatanya bertolak belakang dengan implementasi sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Wajar jika publik menganggap BPIP antipati dengan agama, bahkan agama dijadikan musuh. Ini seperti video yang ramai memberitakan pernyataan terkait hal tersebut.
Jika dianalisis, beragam aturan yang digelontorkan para pengambil kebijakan negeri ini, terlihat jelas bahwa asas yang digunakan adalah sekularisme. Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan, meniscayakan aturan ini berlaku. Bukan kali ini saja aturan serupa disahkan. Beraneka produk hukum yang berasaskan sekularisme lahir dengan berbagai macam model kerusakan. Bahkan islamofobia juga menjangkiti negeri mayoritas muslim ke-2 di dunia ini. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Analisis Kritis Perayaan HUT RI ke-79
Penyebabnya ada beberapa faktor. Pertama, penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini berasas sekularisme sehingga wajar jika aturan konstitusi yang notabene aturan buatan manusia dianggap lebih tinggi dari aturan Pencipta manusia, Allah Swt. Asas ini dijadikan dasar dari setiap aktivitas, termasuk pembuatan berbagai aturan. Aturan agama hanya digunakan dalam ibadah mahda semata, itu pun dibatasi. Misalnya, ibadah salat, puasa, zakat, menggunakan pakaian syar'i , dll. Sedangkan aktivitas pelayanan pendidikan, kesehatan, politik, ekonomi, dll. tidak boleh menggunakan aturan agama.
Kedua, sistem politik demokrasi meniscayakan politik transaksional. Sistem kapitalisme memiliki sistem politik, yaitu demokrasi untuk menjalankan aktivitas politiknya. Telah menjadi pemahaman bersama bagaimana sistem demokrasi bekerja untuk para pemodal (kapitalis). Pengungkapan yang sangat masyhur tentang penguasa berselingkuh dengan pengusaha, bukan rahasia lagi. Terlebih pemilu yang baru saja berlangsung dipertontonkan dengan kejahatan sistem demokrasi yang sangat vulgar. Aturan yang dibuat tentu saja tidak terlepas dari perintah para kapitalis dan hal ini terkait dengan konstelasi politik global. Sedangkan islamofobia masih menjadi agenda politik dunia internasional.
Baca: bumn-dalam-tata-kelola-kapitalistik
Ketiga, kemerdekaan semu. Jika kita teropong kondisi di hampir semua aspek kehidupan, akan terlihat dengan jelas bahwa negeri ini hanya merdeka secara fisik. Beraneka aturan yang lahir mencerminkan penjajahan. Lihatlah UU Omnibus Law yang memberi karpet merah bagi pihak asing ataupun aseng untuk mendikte aturan negeri ini. Jalan bagi neo colonialism untuk mengeruk kekayaan Indonesia dengan cara legal. Belum lagi aturan ketenagakerjaan, UU Minerba, dan yang lainnya. Walau terjadi penolakan dari berbagai pihak, aturan tersebut tetap melenggang karena sistem kapitalisme tadi. Lalu, bagaimana arti kemerdekaan yang sesungguhnya?
Kemerdekaan Hakiki
Menoleh ke empat abad yang silam, di mana ketika itu peradaban Islam menguasai 2/3 belahan dunia. Tak ditemukan adanya diskriminasi sebagaimana hari ini. Masyarakat hidup berdampingan secara damai. Walau beragam suku, ras, dan agama. Contoh paling konkret adalah saat Islam menjadi aturan baku yang diterapkan oleh negara di Andalusia kala itu (sekarang Spanyol). Mereka hidup berdampingan dalam tiga agama, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Masa kejayaan Islam pada masa Daulah Umayyah di Andalusia ditandai dengan perkembangan signifikan dalam berbagai bidang, termasuk ilmu pengetahuan, seni, arsitektur, dan perdagangan. Menurut catatan Amerika di Spanyol, pada masa kekuasaan Islam terdapat sekitar 700 masjid, 60.000 kastil, dan 70 perpustakaan. Sebuah gambaran peradaban gemilang sekaligus menunjukkan bukti kemerdekaan hakiki.
Inilah makna merdeka yang sebenarnya, yaitu ketika setiap individu bebas menjalankan seluruh perintah Sang Khaliq al-Mudabbir (Sang Pencipta sekaligus Pengatur), tanpa dibayangi rasa takut kepada manusia. Kemerdekaan ini bisa terwujud jika penguasa dan rakyat menyandarkan seluruh aktivitasnya hanya kepada aturan Allah Swt., bukan aturan manusia. Selanjutnya sistem yang kompatibel untuk mewujudkannya adalah sistem Islam yang diterapkan oleh sebuah negara. Seperti yang telah dicontohkan oleh manusia mulia, Rasulullah saw. dan dilanjutkan oleh para sahabat sepeninggal beliau.
Allah Swt. telah menyatakan dalam QS. Al-Maidah ayat 50, yang artinya: “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Wallahua’lam bishawab.[]
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
[…] terkait: HUT RI ke-79, Seremonial Berbalut IslamofobiaIdeologi Islam yang mengharamkan penjajahan mendorong perlawanan terhadap kekuasaan Barat, yang […]