Peringatan darurat yang menggema harusnya berupa tuntutan untuk mengubah sistem kufur demokrasi. Sistem inilah yang menjadi sumber carut-marutnya kondisi negara.
Oleh. Arum Indah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiLiterasi.id-Peringatan darurat dengan gambar Garuda Pancasila berlatar belakang biru menggema di jagat sosial media baik Facebook, Instagram, X, dan TikTok sejak Rabu, 21 Agustus kemarin. Unggahan mengenai peringatan darurat ini bahkan menarik perhatian dan menjadi sorotan beberapa media asing. Postingan peringatan darurat ini awalnya diunggah oleh akun Instagram @najwashihab, @narasinewsroom, @narasi.tv, dan @matanajwa.
Unggahan ini merupakan ajakan serta seruan untuk melakukan penolakan dan perlawanan atas sikap DPR yang mencoba menganulir keputusan MK terkait ambang batas usia pencalonan kepala daerah. Di mesin pencarian Google, kata peringatan darurat Indonesia, peringatan darurat Pancasila, darurat Pancasila, dan peringatan darurat garuda menjadi tren tertinggi.
Selain tagar #PeringatanDarurat, media sosial juga dipenuhi dengan tagar #KawalKeputusanMK, dan isu politik dinasti. Publik tampaknya benar-benar marah dan muak dengan praktik politik yang terjadi di negeri ini. Publik menilai Presiden Jokowi telah mencederai demokrasi dengan mengobrak-abrik aturan sesuai dengan kepentingan pribadi. Amarah rakyat juga ditunjukkan dengan berbagai aksi demonstrasi di berbagai daerah.
Kronologis Peringatan Darurat Menggema
Pada 29 Mei 2024, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan Partai Garuda mengenai batas minimal usia cagub dan cawagub. Keputusan yang tertuang dalam Putusan Nomor 23P/HUM/2024 menyebutkan bahwa cagub dan cawagub minimal berusia 30 tahun saat pelantikan calon. MA pun memerintahkan KPU untuk mencabut Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Kemudian, pada Juni 2024 Partai Buruh dan Partai Gelora mengajukan gugatan ke MK terhadap UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur yang mengatur ambang batas 25% karena merasa ada hak konstitusional yang dirugikan. Pada 20 Agustus 2024, MK pun mengabulkan sebagian gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora yakni mengizinkan partai atau gabungan partai politik peserta pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah, meski tidak mempunyai kursi di DPRD.
MK juga menolak pengubahan batas usia minimum dalam pilkada. MK menetapkan bahwa cagub dan cawagub minimal 30 tahun saat penetapan calon, bukan saat pelantikan. Sehari setelah keputusan MK, tepatnya tanggal 21 Agustus DPR-RI melalui Baleg melakukan manuver untuk menganulir keputusan MK. DPR mencoba mengesahkan RUU Pilkada dalam waktu yang cukup singkat dan buru-buru. (cnnindonesia.com, 24-8-2024)
Peringatan darurat ini tampaknya wujud sakit hati rakyat terhadap sikap pemerintahan Jokowi selama ini. Gelombang protes pun muncul dan meluas di berbagai daerah hingga muncul tagar #KawalKeputusanMK, Begal Konstitusi, dan peringatan darurat. DPR dinilai tak berpihak pada rakyat dan justru memihak pada penguasa.
Peringatan Darurat, Amarah Rakyat
Peringatan darurat yang viral di media sosial seolah menjadi sinyal akan amarah rakyat. Rakyat marah karena dinasti yang ingin dibangun oleh Presiden Jokowi melalui anak-anak, keluarga terdekat, dan orang-orang yang berada di pihaknya. Pelanggaran konstitusi ini pun bukan pertama terjadi, Jokowi dituding melakukan cawe-cawe pada saat pencalonan anak sulungnya Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres beberapa waktu lalu. Langkah Jokowi saat itu terhitung mulus karena tak ada unggahan tentang peringatan darurat. Walau peristiwa itu diwarnai dengan selentingan dan meme mahkamah keluarga.
Namun, saat Jokowi ingin kembali mengulangi cawe-cawenya untuk memuluskan langkah si anak bontot menduduki kursi cawagub, publik pun tak terima. Peringatan darurat menggema baik di jagat maya ataupun jagat nyata.
Menanggapi hal itu, istana pun merespons santai seruan peringatan darurat. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menganggap hal ini adalah wujud kebebasan demokrasi sehingga perbedaan pendapat yang terjadi haruslah dihormati. (nasional.kompas.com, 22-6-2024)
Lain lagi dengan sikap Jokowi, di saat terjadi ledakan gelombang amarah rakyat, Jokowi justru bertemu dengan PBNU untuk membahas tambang. Bahkan Kaesang dan istrinya justru memamerkan pelesir dengan pesawat jet pribadi ke AS. Asumsi publik semakin liar dan negatif pada keluarga Jokowi. Keluarga mereka dianggap sebagai beban satu negara.
Tuntutan Rakyat dalam Peringatan Darurat
Jenuhnya rakyat dengan kondisi politik di negeri ini membuat mereka gerah dan bergerak menuntut perlawanan. Rakyat tak sudi lagi berdiam diri atas segala tindakan yang dibuat oleh pemerintah. Sayangnya, di balik amarah rakyat yang memuncak, tuntutan yang mereka gaungkan justru jangan cederai demokrasi.
Tak sedikit para demonstran yang menuntut agar demokrasi dikembalikan kepada jalur yang seharusnya. Tanpa para demonstran sadari bahwa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi sama sekali tak melenceng dari demokrasi, tindakan itu justru hasil dari penerapan demokrasi.
Demokrasi Sistem Rusak
Demokrasi adalah sistem yang rusak sejak lahir dan merupakan ide usang yang terus didaur ulang, padahal mau dipoles dan dihias seperti apa pun, demokrasi tetaplah ide cacat yang hanya akan melahirkan kecacatan.
Sistem ini tak hanya sebatas dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Lebih dari itu, demokrasi adalah sistem yang menyerahkan kedaulatan atau hak membuat hukum kepada suara mayoritas. Suatu hal yang mustahil terjadi untuk mengumpulkan pendapat seluruh rakyat, akhirnya dipilihlah para anggota dewan sebagai representatif masyarakat. Suara mereka dianggap mewakili suara rakyat.
https://narasiliterasi.id/opini/09/2023/kegelapan-menyelimuti-dunia-ketiga-demokrasi-biangnya/
Sistem demokrasi makin terlihat kecacatannya, saat tak memiliki standar baku untuk menilai benar atau salahnya suatu hal. Sistem ini hanya bersandar kepada suara mayoritas. Suara seorang ahli agama akan sama dengan suara seorang pezina. Suara seorang ahli ilmu akan sama dengan suara seorang pendusta. Jika hari ini satu hal dikatakan baik oleh suara mayoritas, maka hal itu bisa akan berubah seiring perubahan suara mayoritas. Apa yang buruk hari ini tak selamanya buruk, apa yang baik hari ini juga tak selamanya baik. Inilah prinsip rusak demokrasi. Semuanya berjalan sesuai kepentingan.
Dengan prinsip ini, demokrasi yang merupakan sistem buatan manusia sangat rentan ditunggangi konflik kepentingan para elite politik. Suara-suara anggota dewan begitu mudah berubah sesuai kepentingan mereka dan ketundukan pada oligarki. Demokrasi yang diharap menjadi jalan perubahan, justru menjadi jalan kehancuran bagi rakyat.
Islam Satu-Satunya Jalan Perubahan
Berbeda dengan demokrasi, Islam memiliki standar baku dalam menetapkan dan menentukan suatu hal, yakni Al-Qur’an dan sunah Rasulullah.
Islam menjadikan kedaulatan murni berada di tangan Allah dan kekuasaan ada di tangan rakyat. Dalam Islam, hanya Allah yang berhak untuk membuat hukum dan manusia diberi kekuasaan untuk bisa merealisasikan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dengan prinsip ini, penerapan hukum Islam akan terbebas dari konflik kepentingan elite politik. Firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 50:
اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
Artinya: “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin.”
Standar kebenaran dalam Islam adalah hukum syarak, bukan suara mayoritas. Apa yang menjadi ketetapan Allah harus diterapkan dan tidak boleh dikompromikan. Penerapan hukum yang tidak Islam akan dianggap sebagai kezaliman.
Adapun mengenai mekanisme penunjukan calon pemimpin, Islam tidak pernah melarang jika seorang khalifah menunjuk anak atau orang terdekatnya untuk menjadi pemimpin di suatu wilayah selama orang tersebut memiliki kapasitas dan memenuhi syarat sebagai seorang pemimpin. Syarat-syarat menjadi seorang pemimpin telah ditetapkan oleh hukum syarak dan bukan berdasarkan kesepakatan manusia. Oleh karena itu, tidak akan ada istilah ubrak-abrik aturan demi memuluskan jalan menuju kekuasaan.
Wajib untuk diingat, saat seseorang menerima amanah kepemimpinan di dalam Islam, ia harus rela menyerahkan segala aktivitas hidupnya untuk umat dan ia akan mendapat santunan dari negara untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya. Tidak akan ada pemimpin yang kekayaannya makin bertambah berkali lipat setelah menjabat. Kepemimpinan dalam Islam bukanlah untuk menambah kekayaan, melainkan untuk menjamin terlaksananya hukum-hukum Islam. Inilah keistimewaan Islam yang tidak akan ditemukan dalam sistem lain.
Khatimah
Peringatan darurat yang menggema harusnya berupa tuntutan untuk mengubah sistem kufur demokrasi. Sistem inilah yang menjadi sumber carut-marutnya kondisi negara. Demokrasi juga tidak akan pernah memberi kebaikan sebab sistem ini sudah rusak sejak lahir.
Jalan satu-satunya menuju perubahan hakiki adalah dengan membuang jauh-jauh sistem buatan manusia dan beralih pada sistem yang berasal dari Sang Pencipta manusia, yaitu sistem Islam. Oleh karena itu, penerapan Islam secara kaffah dalam institusi Khilafah Islamiah adalah hal urgen yang harus segera diwujudkan.
Wallahualam bisawab []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
[…] Baca : https://narasiliterasi.id/opini/08/2024/peringatan-darurat-masihkah-berharap-pada-demokrasi/ […]
[…] Baca: Peringatan Darurat, Masihkah Berharap pada Demokrasi? […]