Bullying di Kedokteran Bikin Heran

bullying PPDS

Membentuk mentalitas tangguh itu perlu, tetapi apakah dengan cara dirundung baru bisa terwujud? Tentu tidak harus begitu. Persepsi bahwa senior harus menekan junior agar bisa menjadi tangguh itu hal keliru

Oleh. dr. Ratih Paradini
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Diduga alami bullying, dr. Aulia Risma Lestari, seorang mahasiswi PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) Anestesi Universitas Diponegoro meninggal dunia di kamar kosannya pada Senin 12 Oktober 2024. Kepergian almarhumah membuat pilu, begitu nyeri rasanya hidup di dunia hingga di usia muda beliau memilih meninggal dunia dengan menyuntikkan obat anestesi ke tubuhnya. Lebih nahas lagi, seminggu setelah kepergian dr. Aulia, ayahanda beliau juga menyusul meninggal dunia, seolah tak tega bila merindu begitu lama dan terpisah dengan putri tercinta.

Kematian dr. Aulia menyita perhatian publik karena diduga penyebab beliau bunuh diri adalah bullying yang dialami. Menteri Kesehatan mengungkapkan mendapat rekaman, catatan, dan WA korban, "Itu 'kan para PPDS itu dipanggil, kemudian diarahkan, diintimidasi, harus begini-begini," kata Pak Budi Gunadi. (detikJogja.com 28/8/2024)

Curahan Hati PPDS Anestesi

Hal ini diperkuat dengan bukti diari yang dia miliki, berisi curahan hati tentang sulitnya menjalani PPDS Prodi Anastesi.

Satu semester aku berjuang di sini.
Terlalu berat untukku.
Sakit sekali.
Beban fisiknya begitu besar.
Aku ingin berhenti.
Sakit sekali, sungguh sakit.

Begitulah yang dituliskan oleh dr. Aulia di buku hariannya. Beliau punya riwayat penyakit saraf terjepit bahkan juga sempat menenggak obat-obatan antidepresan. Hal itu makin mengindikasikan beban berat luar biasa yang harus ditanggungnya.

Aku sudah sangat berusaha.
Aku mohon,
Semoga Tuhan mengampuniku.
Tuhan, aku sakit.
Aku mohon tempat aku pulang.

Secuplik catatan diari dr. Aulia memperlihatkan beliau sudah berusaha, tetapi tak sanggup lagi untuk melanjutkan perjuangan. Lantas apakah memang terjadi bullying dan itu menjadi salah satu sebab beliau mengakhiri hidupnya?

Bukti Bullying PPDS

Universitas Diponegoro pun angkat suara meski sebelumnya sempat bungkam. Setelah viral di dunia maya dan dilakukan investigasi oleh pihak berwenang, Undip menyatakan benar telah terjadi perundungan. Mengapa bisa bullying di PPDS terjadi? Bukannya mereka yang bersekolah di PPDS adalah para dokter yang berpendidikan tinggi? Dalam enam bulan terakhir, Azhar Jayaselaku selaku Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI mengatakan, pihaknya telah menerima 1.540 laporan dugaan bullying PPDS hingga awal Agustus 2024. (health.detik.com, 6-9-24)

Apalagi setelah kasus ini viral, makin banyak para penyintas yang speak up. Salah satunya dr. Wildan yang akhirnya mengundurkan diri dari PPDS karena perundungan. Di podcast Deddy Corbuzier, dr. Wildan menceritakan pengalamannya, “Dikucilkan sih tidak, tetapi terkena pukul. Pada saat sekolah dokter spesialis, dimasukkan ke toilet, ditampar, dan dipukul bagian kepala," ungkap Wildan. Beredar pula chat whatsapp dokter senior PPDS bagian bedah yang menghukum juniornya dengan cara menyuruh mereka makan nasi padang lima bungkus tiap orang, divideokan kemudian dikirim ke sang senior. Suruhan semacam ini sungguh tidak mendidik dan sudah termasuk dalam bullying.

Tak bisa dimungkiri, dalam menempuh pendidikan spesialis bukan hal yang mudah. Tekanan-tekanan sengaja diciptakan untuk membentuk mentalitas dokter spesialis yang tangguh sebab menjadi dokter tanggung jawabnya berkaitan dengan nyawa manusia. Seorang dokter harus siap menghadapi banyaknya pasien dan beragam kasus-kasus emergensi. Belum lagi, di tengah sistem kesehatan kita yang masih banyak kurangnya.

Dokter spesialis tidak hanya menghadapi pasien dan penyakitnya, tetapi juga protes keluaga pasien terhadap pelayanan yang diberikan. Tak bisa dibayangkan jika dokter spesialisnya lemah mental yang merasa tertekan dan menyerah duluan sebelum menghadapi masalah pasiennya. Membentuk mentalitas tangguh itu perlu, tetapi apakah dengan cara dirundung baru bisa terwujud? Tentuk tidak harus begitu. Persepsi bahwa senior harus menekan junior agar bisa menjadi tangguh itu hal keliru.

Memang di dunia kedokteran sangat kental senioritas dan penghormatan terhadap guru sebab mereka adalah sumber ilmu. Apalagi di PPDS senior punya wewenang untuk membimbing bukan hanya dalam hal ilmu, tetapi juga skill seperti tindakan operasi. Hal senada diungkap oleh dr. Wildan, “Yang paling penting itu ketika di PPDS, kita harus hormat sama dosen dan senior karena mereka yang bakal ngajarin kita. Saya bukan takut melawan, tetapi takut dipersulit. Ketika dapat perundungan, saya pikir, ya sudah. Kalau bicara juga malah tambah parah. Jadi, saya tidak lapor sama sekali," kata dokter mantan PPDS tersebut.

Penyebab Bullying PPDS

Bias antara otoritas yang dimiliki para senior dengan penghargaan terhadap pemberi ilmu inilah salah satu faktor yang menyebabkan masalah bullying. Fenomena ini masih mengakar dan sulit diatasi sebab tidak jelas mana yang termasuk penghormatan mana yang termasuk perundungan. Senior menyuruh junior bisa termasuk perundungan, bisa juga dalam rangka pendidikan. Pada akhirnya tergantung pada persepsi masing-masing. Dengan demikian, harus ada kejelasan dari awal, kalau perlu dibuatkan peraturan yang jelas tentang hal-hal yang termasuk perundungan dan tidak boleh dilakukan senior serta wajib dilaporkan bila ada yang melanggar. 

Bagi yang memiliki kesadaran tentu tidak akan melestarikan budaya feodal semacam bullying ini. Namun, bagi mereka yang merasa diuntungkan akan terus memanfaatkan situasi dan kondisi bullying yang terjadi. Perundungan juga sulit dihapuskan karena kurangnya perlindungan pada para pelapor. Yang terjadi adalah korban perundungan ujung-ujungnya yang berhenti di tengah jalan, bukan para perundung yang mendapat hukuman, apalagi bila pelaku yang terlibat adalah kaum pure blood (sebutan bagi keturunan dokter-dokter spesialis).

Meninggalnya dr. Aulia adalah efek problematika sistem pendidikan dan kesehatan, bukan hanya dari aspek perundungan semata. Selama menjalani pendidikan PPDS, sistem kerja yang tidak manusiawi membuat fisik tentu sangat lelah, apalagi kerja PPDS tidak digaji. Dokter PPDS Anestesi Undip sering bekerja sejak pukul 06.00 WIB sampai 03.00 WIB atau setara 21 jam per hari. Bahkan bila mendapat giliran jaga, PPDS Anestesi Undip mendapat jadwal minimal 24 jam. Sehingga mereka bisa berada di rumah sakit selama enam hari dan tidak pulang ke rumah. (suara.com 12-8-2024)

Belum lagi, banyak tugas akademik yang harus diselesaikan. Sehingga tekanan-tekanan senior tentu menambah beban mental. Dengan demikian, selayaknya langkah Kemenkes jangan hanya berfokus pada kasus perundungannya, melainkan menyelesaikan masalah sistem kerja dan memberikan gaji layak kepada PPDS sebab selama ini para residen (sebutan dokter yang menjalani program PPDS) mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Pada kasus dr. Aulia terungkap almarhumah bahkan mengeluarkan biaya Rp20—40 juta per bulan, sementara ketika menjadi residen tidak mendapatkan pemasukan. Kita mengapresiasi langkah gerak cepat Kemenkes menanggapi kasus perundungan ini. Namun, tidak bijak bila menggoreng kasus bullying disertai narasi pembenaran untuk memuluskan rencana impor dokter asing. Tentu ini solusi yang jauh panggang dari api.

Membentuk Dokter Bermental Baja

Membentuk militansi bukan dengan maki-maki, kita bisa banyak belajar dari kaderisasi yang para sahabat rasul alami. Mereka menjadi prajurit yang gigih dan dai yang mumpuni, bukan dengan bully. Mentalitas mereka dibentuk oleh kesadaran terhadap akidah Isam. Keyakinan terhadap Allah yang mampu membuat mereka selalu optimis di bawah tekanan yang bertubi-tubi.

Bayangkan saat perang Badar terjadi, sekitar 313 pasukan muslim yang sedang berpuasa akan melawan 1.000 orang kafir. Begitu pula saat perang Ahzab terjadi, pasukan koalisi Quraisy dan Yahudi berjumlah 10.000 siap meluluhlantakkan pasukan muslim.

Namun, kesulitan tersebut tidak membuat kaum muslimin gentar. Mereka tetap optimis dalam berjuang bahkan berhasil menang di tengah keterbatasan. Apa resep rahasia kaderisasi Rasulullah? Beliau mendidik dengan akidah. Keimanan adalah kunci kekuatan, keyakinan kepada Allah yang Maha Kuasa membuat kaum muslimin selalu percaya akan pertolongan-Nya. Hingga ketika menemukan tekanan dahsyat dalam kehidupan, mereka tidak pernah kehilangan harap.

Pembentukan mentalitas berbasis akidah ini dapat terwujud bila sistem pendidikan berasaskan Islam. Ilmu sains dan teknologi tidak seharusnya dikotomi dengan ilmu agama, melainkan menjadi sinergi. Dengan begitu, akan tercetak kaum intelektual yang cerdas iptek sekaligus punya akhlak mulia yang jauh dari mental-mental pembuli.

Ini tentu hal yang sulit diterapkan di sistem sekularisme hari ini. Paradigma pemisahan antara agama dan kehidupan membuat pemahaman agama tidak menjadi patokan. Apalagi bila ada oknum yang merasa diuntungkan dengan bullying ini, dia akan terus memanfaatkan hingga jadi tradisi yang sulit untuk dihentikan.

Dalam Islam, bukan sekadar penanaman nilai-nilai positif terkait dosa dan pahala yang menjadi motivasi tidak mem-bully, tetapi juga Islam punya aturan yang tegas terhadap para pelaku kezaliman tergantung tingkat keparahan perundungan yang dilakukan. Bahkan bila sampai perundungan berakhir menjadi pembunuhan, pelaku bisa dihukum kisas, yakni balasan yang setimpal. Misalnya, pembunuhan dibalas dibunuh, kecuali bila ahli waris memaafkan maka pelaku wajib membayar diat (denda).

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu kisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan. Siapa mendapat maaf dari saudaranya hendaklah mengikutinya dengan cara patut dan hendaklah menunaikan kepadanya dengan cara yang baik. Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Siapa yang melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang amat pedih." (Al-Baqarah: 178) []

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor Narasiliterasi.id
dr.Ratih Paradini Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Kala Kurenta
Next
Aborsi Marak, Generasi Rusak
4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram