Tren penurunan utang negara Indonesia akan berlanjut dalam jangka panjang atau hanya fatamorgana untuk memperbaiki citra pemerintah.
Oleh. Vega Rahmatika Fahra, S.H.
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Utang negara Indonesia tercatat mengalami penurunan pada Agustus 2024 dibandingkan bulan sebelumnya, berdasarkan data resmi dari Kementerian Keuangan. Hal ini menjadi sebuah pencapaian, terutama di tengah tantangan ekonomi global yang masih berlanjut. Namun, sebelum merayakan pencapaian ini, kita perlu menelaah lebih dalam mengenai kondisi utang negara Indonesia khususnya di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan bagaimana sistem kapitalisme turut berperan dalam membentuk struktur keuangan negara kita.
Data Penurunan Utang Negara
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat jumlah utang pemerintah turun menjelang Presiden Joko Widodo (Jokowi) lengser. Sampai Agustus 2024 totalnya mencapai Rp8.461,93 triliun atau 38,49% terhadap produk domestik bruto (PDB), turun Rp40,76 triliun dibandingkan bulan sebelumnya senilai Rp 8.502,69 triliun atau 38,68% PDB (Detik.com).
Penurunan ini menurut pemerintah merupakan hasil dari strategi yang dilakukan untuk memperbaiki defisit anggaran serta kebijakan moneter yang lebih terarah. Pemerintah berhasil menekan pengeluaran yang tidak mendesak serta memperkuat pendapatan negara melalui berbagai upaya intensifikasi pajak dan penerimaan lainnya.
Meski penurunan ini merupakan langkah positif, banyak pihak masih mempertanyakan, apakah tren penurunan ini akan berlanjut dalam jangka panjang atau hanya fatamorgana dalam rangka memperbaiki citra pemerintahan yang sedang jeblok menjelang akhir masa jabatan. Pasalnya, meskipun ada penurunan, total pinjaman yang mencapai lebih dari Rp8.461,93 triliun masih tergolong sangat besar dan ini mencerminkan kondisi struktural ekonomi Indonesia yang masih bergantung pada utang.
Terus Melejit
Jika menilik ke belakang, selama masa pemerintahan Jokowi, utang negara cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data, pada awal masa jabatan Jokowi pada 2014, pinjaman pemerintah berada di kisaran Rp2.600 triliun. Namun, hingga pertengahan 2024, angka ini telah melonjak drastis hingga mencapai lebih dari Rp8.000 triliun.
Peningkatan utang ini tidak terlepas dari ambisi pemerintah dalam mempercepat pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah Indonesia. Proyek-proyek besar seperti pembangunan jalan tol, bandara, pelabuhan, dan infrastruktur lainnya memang memerlukan biaya besar dan pemerintah memilih jalur pembiayaan melalui utang sebagai solusi. Alasan pemerintah pada saat itu adalah bahwa utang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, serta meningkatkan daya saing Indonesia di kancah internasional.
Namun, peningkatan utang ini juga menimbulkan kekhawatiran. Tidak sedikit yang mempertanyakan, sejauh mana kemampuan negara untuk membayar utang tersebut? Terlebih dalam sistem kapitalisme global saat ini, utang sering kali menjadi alat bagi negara-negara maju atau lembaga keuangan internasional untuk menguasai negara-negara berkembang.
Utang, Alat Penjajahan Modern
Dalam kerangka sistem kapitalisme, utang merupakan salah satu instrumen yang sering digunakan oleh negara-negara maju atau lembaga keuangan internasional untuk mengendalikan kebijakan ekonomi negara-negara berkembang. Melalui skema utang, negara pemberi pinjaman dapat memaksa negara penerima untuk mengikuti kebijakan ekonomi yang diinginkan oleh pihak pemberi utang. Kebijakan ini bisa berupa privatisasi sektor-sektor strategis, penghapusan subsidi untuk rakyat, hingga penyesuaian anggaran yang bisa merugikan kepentingan masyarakat luas.
Banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, sering kali terjebak dalam lingkaran utang yang sulit dilepaskan. Saat utang bertumpuk, negara harus membayar bunga yang tinggi sehingga rakyat yang menjadi korban karena alokasi anggaran negara untuk pembangunan, kesehatan, dan pendidikan terpaksa dikorbankan demi memenuhi kewajiban pembayaran utang dan rakyat dibebankan untuk membayar pajak dari semua sektor. Alhasil, alih-alih membawa kesejahteraan, utang justru memperparah ketergantungan negara terhadap lembaga keuangan internasional dan negara-negara adidaya.
Fenomena ini sering disebut sebagai penjajahan ekonomi modern. Kedaulatan negara secara bertahap diambil alih oleh pihak asing melalui mekanisme utang. Oleh karena itu, meskipun terjadi penurunan utang Indonesia pada Agustus 2024, kita tetap harus waspada bahwa negara masih terjebak dalam cengkeraman kapitalisme global. Penurunan utang ini juga bisa jadi hanyalah strategi politik untuk memperbaiki citra pemerintahan pada akhir masa jabatan. Tanpa ada perubahan mendasar dalam struktur ekonomi kita yang masih rentan terhadap utang, penurunan ini tidak akan bertahan lama.
Jeratan Utang
Meski mengalami penurunan, Indonesia belum lepas dari jeratan utang dan penjajahan ekonomi modern karena utang tetap menjadi alat penjajah dalam sistem kapitalisme. Selama struktur ekonomi kita masih bergantung pada utang, kita belum benar-benar merdeka secara ekonomi.
Penurunan pinjaman bisa jadi hanya bersifat sementara dan mungkin saja akan kembali meningkat pada masa depan, tergantung pada kebijakan pemerintahan berikutnya. Jika pemerintahan selanjutnya kembali menerapkan kebijakan yang sama, yaitu pembangunan infrastruktur dengan pembiayaan utang, siklus ketergantungan ini akan terus berulang.
Baca:Â Utang Pemerintah Apa Kabar?
Oleh karena itu, kita harus terus mendorong adanya perubahan mendasar dalam sistem ekonomi kita. Kita harus bergerak menuju sistem yang lebih mandiri dan berdaulat, yaitu ketika utang tidak menjadi sandaran utama dalam pembiayaan pembangunan.
Khilafah, Negara yang Bebas Utang
Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam memiliki pendekatan yang sangat berbeda dalam mengelola keuangan negara dibandingkan dengan sistem kapitalisme yang mendominasi dunia saat ini. Negara Khilafah berusaha untuk mandiri secara ekonomi dan menghindari utang. Dalam ajaran Islam ada prinsip-prinsip kuat terkait pengelolaan keuangan yang bertujuan untuk menjaga kedaulatan negara dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam sistem Khilafah, negara akan menggunakan sumber daya yang ada untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan menjalankan fungsi negara. Negara memiliki beberapa sumber pendapatan yang diatur oleh syariat, seperti:
- Zakat. Zakat adalah kewajiban bagi umat Islam yang memiliki harta mencapai nisab (batas minimum). Zakat disalurkan pada delapan golongan, yaitu fakir, miskin, amil, mualaf, riqab, gharim, fi sabilillah, dan ibnusabil (orang yang dalam perjalanan) seperti diatur dalam Al-Qur'an surah At-Taubah ayat 60.
- Kharaj. Kharaj adalah pungutan yang dikenakan atas tanah kharajiyah, yaitu tanah yang diperoleh melalui futuhat (penaklukan). Kharaj digunakan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan infrastruktur, fasilitas publik, dan kebutuhan militer.
- Jizyah. Jizyah adalah pungutan yang dikenakan kepada nonmuslim yang tinggal di wilayah negara Khilafah. Pungutan ini sebagai kompensasi atas perlindungan yang diberikan oleh negara bagi harta dan jiwa mereka.
- Fai dan ganimah. Fai adalah harta yang diperoleh tanpa pertempuran, sedangkan ganimah adalah harta yang diperoleh dari hasil pertempuran. Fai dan ganimah adalah sumber pendapatan negara yang diatur dalam Al-Qur'an surah Al-Hasyr: 7 dan dapat digunakan untuk kesejahteraan umat.
- Hasil kekayaan alam. Negara Khilafah juga memperoleh pendapatan dari hasil pengelolaan sumber daya alam, seperti minyak, gas, dan mineral. Dalam sistem khilafah, sumber daya alam yang bersifat umum tidak boleh dimiliki oleh individu atau perusahaan swasta. Sebaliknya, harus dikelola oleh negara untuk kemaslahatan umat.
Khatimah
Dengan berbagai sumber pendapatan ini, Khilafah memiliki cukup sumber daya untuk menjalankan fungsinya tanpa harus berutang. Negara dibangun di atas prinsip kemandirian. Pemerintah tidak perlu bergantung pada pinjaman dari negara lain atau lembaga keuangan internasional seperti IMF atau Bank Dunia yang sering kali memaksakan kebijakan yang merugikan kedaulatan negara penerima utang.
Wallahua'lam bishawab. []
Disclaimer
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
Utang itu menjerat bagi yang diutangi. Kedaulatan negara pun tergadaikan oleh utang. Apalagi dengan mekanisme riba, jelas maki tdk berkah.
Utang oh utang, kapan bisa berkurang. Rakyat sudah berat bayar cicilan dan bunganya. Yang teken siapa, yang bayar siapa. Penguasa tidak ada takut-takutnya tekan ratusan triliun utang ribawi.
Siapapun dia, mau negara atau pribadi kalau menggampangkan utang akan lebih mudah disetir